BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar
Belakang
Dalam pembahasan makalah
ini kami mengangkat tema tentang “Teori Behavioristik” atau teori tentang
kepribadian. Kami mengangkat tema ini karena terdapat beberapa poin penting tentang
peserta didik dalam belajar, bagaimana mengetahui tingkah laku dan
karakteristik anak dalam belajar. Setiap anak mempunyai cara belajar yang
berbeda-beda dan ada berbagai macam teori belajar sehingga dalam pembahasan ini
akan ditemukan bagaimana cara belajar yang sesuai diterapkan peserta didik.
Menurut teori behaviorisme bahwa belajar terjadi bila
perubahan bentuk tingkah laku dapat diamati, bila bahwa kebiasaan berperilaku
terbentuk karena pengaruh sesuatu atau pengaruh peristiwa-peristiwa yang
terjadi di lingkungan sekitar. Teori behaviorisme berpandangan bahwa belajar
terjadi melalui operant conditioning.
Jika seseorang menunjukkan perilaku belajar yang baik
akan mendapatkan hadiah dan kepuasan. Peserta didik yang telah mendapatkan
hadiah sebagai penguatan akan semakin meningkatkan kualitas perilaku
belajarnya. Sebaliknya, jika peserta didik menunjukkan perilaku belajar yang tidak
baik akan mendapatkan hukuman dari guru atau orang tua dengan sasaran agar
peserta didik dapat merubah perilaku belajarnya yang tidak baik tersebut.
1.2Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian teori behavioristik?
2.
Apa saja
teori-teori belajar dalam aliran behaviorisme?
3.
Apa saja
prinsip dasar teori behavioristik?
4.
Bagaimana
implementasi teori behavioristik terhadap pembelajaran?
5.
Apa
kelebihan dan kekurangan teori behavioristik?
1.3Tujuan
Pembahasan
1.
Memahami
pengertian teori behavioristik.
2.
Mengetahui
teori-teori belajar dalam aliran behaviorisme.
3.
Memahami
prinsip dasar teori behavioristik.
4.
Memahami
implementasi teori behavioristik terhadap pembelajaran.
5.
Memahami
kelebihan dan kekurangan teori behavioristik.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1Pengertian
Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan
tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus da respon.
Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam
hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum
dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya pun
sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum bisa
mempraktekkan perhitungan perkalian,
maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku
sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input
yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh
di atas stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya
daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk
membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori
behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak
penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon),
semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi
tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang
juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila
penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu juga dengan penguatan dikurangi (negative reinforcemet) responpun
akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru,
ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin kuat belajrnya. Maka
penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive
reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan
ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan
penguatan negatif (negative reinforcemet) dalam belajar. Jadi penguatan
merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
Para ahli yang mengembangkan teori ini antara lain Edward
Lee Thorndike Ivan Pavlov, Burrhus Frederic Skinner, J.B. Watson, Clark Hull
dan Edwin Guthrie.[1]
2.2 Pandangan
para Ahli tentang Teori-Teori Belajar Aliran Behavioristik
1. Connectionism (Teori Koneksionisme) (S-R Bond) mneurut
Edward Lee Thorndike
Koneksionisme
merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Objek eksperimen
Thorndike, yaitu seekor kucing. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak
lain merupakan hubuingan antara stimulus (perangsang) merupakan respon jawaban,
tanggapan, reaksi), diistilahkan S-R Bond. Belajar adalah pembentukan
S-R sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai S-R sebanyak-banyaknya, yaitu
orang yang sukses dalam belajar. Pembentujan hubbungan S-R dilakukan melalui
latihan dan ulang-ulangan, dengan prinsip trial and error, coba dan
salah.
Seekor
kucing yang dilaparkan dimasukkan dalam suatu kotak boks percobaan (problem
box) yang merupakan suatu labyrint, banyak jalan berliku, dan hanya satu jalan
yang benar menuju tujuan. Di ujung poroblem box, dimasukkan makanan, kucing
yang membaui makanan, maka dia akan berusaha mencapai makanan itu dengan
berbagai jalan, seringkali tersesat, kembali ke tempat semula, atau menemui
jalan buntu. Namun, sekali tersbut kucing itu menemukan jalan ke arah makanan,
pada percobaan berikutnya dia akan memalui jalan yang langsung menuju makanan
Teori ini dalam beberapa hala memiliki kesamaan dengan teori psikologi daya
atau Herbartisme.
Beberapa
hukum belajar yang disampaikan oleh Thorndike antara lain:
1.
Law of
Effect (hukum efek), jika sebuah respon (R),
menghasilkan efek yang memuaskan, maka ikatan antara S (stimulus) dengan R
(respon) akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang
dicapai melalui respon, maka semakin lemah pula ikatan yang terjadi antara S-R.
Artinya, belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui akan mendapatkan
hasil yang baik.
2.
Law of
Readness (hukum kesiapan),
maknanya, suatu kesiapan (readness) terjadi berlandaskan asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari
pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), unit-unit inilah yang
menimbulakan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu. Pada implementasinya, belajar akan lebih berhasil bila
individu memiliki kesiapan untuk melakukannya.
3.
Law of
Exercise (hukum latihan), hubungan antara S dengan
R akan semakin bertambah erat jika sering dilatih dan akan semakin berkurang
bila jarang dilatih. Dengan demikian, belajar akan berhasil apabila banyak
latihan atau ulang-ulangan.[2]
2. Teori belajar kondisioning klasik (clasical conditioning)
Ivan Pavlov melakukaban eksperimen
terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dan
rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati,
jika diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air
liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing,
sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau
dikondisikan sebelumnya sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur
jika dihadapkan pada anjing. Dalam percobaan ini, daging disebut stimulus yang
tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi
secara otomatis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau
pengondisian, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai
respon yang tidak dikondisikan (unrsponse conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan
saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maska stimulus
yang lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus
tersebut tidak menhasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut ddengan
stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral (bel)
dipasangkan dengan daging (unconditioning stimulus) dan dilakuka secara
berulang-ulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang
terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama
untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena
itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur
(saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
Dari
hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan
beberapa hukum pengondisian, antara lain:
Ø Pemerolehan (acquisition), adalah
membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang
hingga muncul respon bersyarat, atau yang disebut acquisition atau acquisition
training (latihan untuk memperoleh sesuatu). Para peneliti sering kali membuat
stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik
selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak (simultaneus
conditioning). Prosedur ini akan menghasilkan respon bersyarat. Prosedur
ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan.
Ø Pemadaman (extinction), setelah
respon itu terbentuk, maka respon itu akan tetap ada selama masih diberikan
rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan respon tak bersyarat. Kalau
rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respon bersyarat lalu
tidak mempunyai penguat (reinforcer) dan besar kemungkinan
respon bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin tak
terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan
pemadaman (extinctiond). Beberapa respon bersyarat akan hilang secara
perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Ø Generalisasi dan diskriminasi. Respon
bersyarat ini juga terletak dapat dikenakan pada kejadian lain, namun
situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus
atau generalisasi. Misalnya pemuda yang mencintai seorang gadis, dan ia
merasa bahagia bila bertemu dengan gadis tersebut. Pada saat ia mengetahui
bahwa gadis yang dicintainya menyukai warna pink, maka ia akan merasa bahagia
ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink. Dalam kehidupan
sehari-hari perilaku generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai.
Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberi
respon rasa takut pada setiap anjing.
Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut
menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
Ø Kondisioning tandingan (counter conditioning).
Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning
responden. Pada kondisioning jenis ini, respon bersyarat yang khusus akan
digantikan dengan respon bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak
saling cocok (incompatible) dengan respon bersyarat yang
sebelumnya. Misalnya respon bersyarat yang tidak suka digantikan degan perasaan
suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebaginya. Sehingga
reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan
suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong
maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau
diputarkan film kartun kesayangannya. Sehingga ketika itu dilakukan terus-terus
menerus akan muncul respon tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.
Berikut
ini beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan
prinsip-prinsip kondisional klasik dalam kelas. Diantaranya:
a.
Memberikan
suasana yang menyenangkan ketika memberi tugas-tugas belajar, misalnya:
-
Menekankan
kerja sama dan kompetisi antar kelompok daripada individu, banyak siswa yang
akan memiliki perasaan emosional secara
negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan
digeneralisasikan dengan pelajaran-pelkajaran yang alain;
-
Membuat
kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading
corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
b.
Membantu
siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau
mencekam, misalnya:
-
Mendorong
siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara mengajarkan materi
pelajaran;
-
Membuat
tahap jangka pendenk untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnhya dengan
memberikan tes harian mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari
dengan baik;
-
Jika
siswa takut berbbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah
laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya
dengan berdiri. Setelah dia terbiasa , kemudian mintalah ia untuk membaca
laporan di depan seluruh murid di kelas.
c.
Membantu
siswa untuk menganal persamaan dan perbedaan terhadap situasi-situasi sehingga
mereka dapat memagi dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya dengan:
-
Meyakinkan
siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi
atau di perguruan tinggi, bahwa tes-tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi
akademik lain yang pernah mereka lakukan.[3]
3.
Teori
belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull adalah seorang behavioris
yang amat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap
bertahan hidup (strunggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis
(drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan
menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus
dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kegiatan biologis, walaupun
respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
4. Teori operant
conditioning B.F skinner
Pavlov memusatkan perhatian pada adanya perilaku-perilaku
karena ditampilkan oleh stimulus tertentu. Akan tetapi skinner berpendapat
bahwa perilaku-perilaku seperti itu
mewakili hanya sebagian kecil perilaku-perilaku. Ia menemukan hal lain dari
perilaku yang disebutnya perilaku operant (pembiasaan), adanya stimulus yang
tidak terkondisi, seperti makan.
Tidak seperti dalam respondent conditioning (RS) respon
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan
effect yang ditimbulkan oleh reinforce, yang sesungguhnya merupakan stimulus
yang meningkatkan kemungkinan timbulnya respon tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam percobaan Pavlov.
Skinner memusatkan penelitiannya pada hubungan antara
tingkah laku dengan konsekuensi-konsekuensinya. Tingkah laku adalah perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku terletak
diantara dua pengaruh, yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecendent) dan
pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Dengan demikian tingkah laku dapat
diubah dengan cara mengubah antecendent dan konsekuensi atau keudanya. Sebagai
contoh, bila tingkah laku seseorang segera diikuti konsekuensi-konsekuensi yang
menyenangkan, maka tingkahlaku tersebut cenderung diulangi, pengadaan
konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah
tingkah laku disebut operant conditioning.
Eksperimen
skinner dipusatkan pada subyek dalam situasi yang terkontrol dan mengamati
perubahan dalam tingkah laku subyek tersebut yang dihasilkan dengan mengubah
secara sistematis konsekuensi dari tingkah laku subyek. Skinner terkenal dengan pengembangan dan pengadaan apparatus
yang disebut dengan kota skinner.
Ia menggunakan seekor tikus yang diletakkan dalam kotak.
Kotak dilengkapi peralatan seperti tombol, batang jeruji, dan pengungkit yang
akan memudahkan tikus membuka pintu
kotak. Mula-mula tikus mengeksplorasi kotak dengan berlari kesana-kemari,
mencakar, melompat, kemudaian secara kebetulan tikus menekan tombol sehingga
mengakibatkan butir-butir makanan muncu kedalam wadahnya.
a.
Prinsip Belajar Skinners
Ø
Reinforcement
Didefinisikan sebagai sebuah konsekuen yang
menguatkan tingkah laku atau frekuensi tingkah laku. Keefektifan sebuah
reinforcement dalam proses belajar perlu ditunjukkan. Misalnya, permen yang
pada umumnya dapat menjadi reinforcer bagi prilaku anak kecil, tetapi ketika
mereka beranjak dewasa permen bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, bahkan beberapa
anak kecil sudah tidak suka menyukai permen. Oleh karena itu, agar sebuah hadiah
atau reinforcement yang diberikan kepada seseorang untuk meningkatkan
prilakunya yang sesuai, maka perlu memahami jenis-jenis reinforcement yang
disukai, atau diperlukan oleh orang yang akan diberi reinforcement. Pengaruh reinforcement dengan
prilaku yang muncul tersebut dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Konsekuen Pengaruh
Behavior Reinforcer Prilaku dikuatkan
Prilaku akan diulang
Secara umum reinforcement dapat dibagi menjadi
tiga:
a.
Dari segi jenisnya,
reinforcement dibagi menjadi dua katagori, reinforcement primer dan
reinforcement sekunder.
b.
Dari segi bentuknya,
reinforcement dibagi menjadi dua yaitu reinforcemet positif dan reinforcement
negatif
c.
Waktu pemberian
reinforcement. Ada empat macam pemberian jadwal reinforcement yaitu,
- Fixed Ratio
- Variabel Ratio
-Fixed Interval
-Variabel Interval
Ø
Punishment
Punishment adalah menghadirkan atau memberikan sebuah situasi yang tidak menyenangkan
atau situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan tingkah laku. Proses
punishment dapat digambarkan sebagai berikut:
Konsekuen Pengaruh
Behavior Reinforcer
Prilaku dilemahkan
Frekuensi prilaku akan
dilemahkan
Menurut Kazdin (Elliot, 2003), ada dua aspek
dalam punishment, yaitu:
-
Sesuatu yang tidak
menyenagkan (aversive) muncul setelah sebuah respon, atau yang disebut dengan aversive
stimulus. Misalkan, seorang guru yang menjewer siswa yang selalu ramai di
kelas.
-
sesuatu yang positif
(menyenangkan) setelah sebuah respon tidak muncul, misalnya seorang remaja yang
selalu menganggu temannya mungkin akan kehilangan kesempatan untuk menggunakan
mobil pada akhir pekan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak
menyenangkan mengikuti prilaku yang tidak diinginkan.
Dari segi bentuknya, punishment terdiri dari
time out dan respon cost. Time out adalah sebuah bentuk hukuman di mana
seseorang akan kehilangan sesuatu yang disukai atau disenangi samapai pada
waktu tertentu. Respon cost adalah sebuah bentuk hukuman di mana seseorang akan
kehilangan sebuah reinforcement positif jika melakukan prilaku yang tidak
diinginkan. Misalnya seorang siswa tidak diberikan kesempatan mengakses
internet di ruang komputer sekolah jika ia tidak mengerjakan tugas yang
diberikan.
Ø
Shaping
Istilah shaping digunakan dalam teori belajar
behavioristik untuk menunjukkan pelajaran ketrampilan-ketrampilan baru atau
prilaku-prilaku baru dengan memberikan penguatan kepada siswa untuk menguasai
ketrampilan atau prilaku tersebut dengan baik. Dengan kata lain, shaping adalah
menggunakan langkah-langkah kecil yang disertai dengan feedback untuk membentu
siswa mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Adapun langkah-langkah dalam pemberian shaping
adalah:
- memilih tujuan yang ingin dicapai
- mengetahui kesiapan belajar siswa
- mengembangkan sejumlah langkah yang akan memberikan bimbingan kepada siswa untuk melalui tahap demi tahap tujuannya dengan meyesuaikan kemampuan siswa.
- Memberikan feedback terhadap hasil belajar siswa.
Ø
Extinction
Extinction adalah mengurangi atau menurunkan
tingkah laku dengan menraik reinforcement yang menyebabkan prilaku tersebut
terjadi. Misalkan seseorang yang akan
membuka pintu, ternyata pintu terkunci. Pertama kali dia berusaha
membuka dengan pelan-pelan sampai akhirnya orang tersebut berusaha membuka dan
menggedor pintu dengan keras untuk beberapa lama, sampai dia merasa frustasi
dan marah. Tetapi ketika beberapa lama ia menyadari bahwa pintu tetap terkunci,
maka ia kemudian pergi meninggalkan pintu tersebut. Extiction merupakan kunci
untuk mengatur tingkah laku siswa. Prilaku yang tidak sesuai (missbehavior)
dapat diextinction jika reinforcer (penguat) yang menyebabkan terjadinya
prilaku tersebut dapat diketahui dan dapat diubah (Slavin, 1994)
Ø
Anteseden dan Perubahan
Prilaku
Dalam operant conditioning anteseden dapat
memberikan petunjuk apakah sebuah prilaku akan mendapatkan konsekuen yang
poditif atau negatif. Skinner membuat eksperimen dengan burung. Dalam
eksperimen tersebut, ketika lampu menyala, burung akan mematukkan paruhnya
untuk mengambil makanan. Sebaliknya ketika lampunya mati, burung itu tidak
mematukkan pauhnya, karena pada saat lampu mati tidak akan ada makanan. Dengan
kata lain, dalam eksperimen tersebut burung telah belajar menggunakan anteseden
cahaya sebagai sebuah sinyal yang akan ia dapatkan ketika ia mematuk.
Menurut Skinner, untuk menghasilkan perubahan
prilaku pada diri individu, selain dengan memperhatikan konsekuen dapat juga
digunakan anteseden-anteseden. Dalam hal ini, ada dua cara untuk mengontrol
anteseden agar menghasilkan prilaku baru atau perubahan prilaku yaitu dengan cueing
dan prompting.
Cueing adalah tindakan pemberian stimulus
anteseden sebelum sebuah prilaku tertentu dilakukan. Cues (tanda-tanda) dapat
dalam berbagai bentuk yang memberi bentuk kepada kita kapan kita mengubah
tingkah laku dan kapan tidak melakukan apa pun.
Prompting. Terkadang siswa membutuhkan bantuan
agar dapat merespon cues (tanda-tanda/signal) dengan cara yang benar, sehingga
menjadi sebuah stimulus pembeda (a discriminative stimulus). Salah satu cara
yang dapat digunakan adalah dengan memberikan petunjuk tambahan yang disebut
dengan prompting. Ada dua prinsip dalam menggunakan prompting, yaitu:
- Yakinkan bahwa stimulus lingkungan yang ingin dijadikan petunjuk / tanda (cue) terjadi segera sebelum prompting digunakan.
- Hentikkan secepat mungkin prompting sehingga siswa tidak tergantung.[4]
b. Aplikasi Teori
Behavioristik maksudnya adalah melihat individu
manusia sangat terbatas pada perilaku yang berdasarkan responnya terhadap
stimulasi dari lingkungannya. Paradigma behavioristik memandang pengetahuan
adalah objektif, pasti, tetap, dan terstruktur rapi, belajar adalah pemerolehan
pengetahuan. Mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
dan diharapkan pengetahuan atau pemahaman siswa sama dengan pengetahuan atau pemahaman
gurunya. Paradigma behavioristik memandang bahwa segala sesuatu di dunia nyata
telah terstruktur rapi dan teratur. Orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan yang jelas dan ditetapkan dengan ketat. Pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Ketidakmampuan dalam menambah pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, sebaliknya keberhasilan
sebagai perilaku yang pantas mendapat hadiah, taat pada aturan dipandang
sebagai penentu keberhasilan belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh sistem
yang berada di luar diri si belajar.
Tujuan pembelajaran dalam paradigma
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, belajar sebagai aktivitas
yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari.
Sementara paradigma konstruktivistik tentang tujuan pembelajaran menekankan
pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru yang menuntut
aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk
berfikir, berfikir ulang, dan mendemonstrasikannya.
Strategi pembelajaran dalam
paradigma behavioristik menekankan pada ketrampilan yang terisolasi dan
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan, pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat, aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks dengan menekankan pada kemampuan dan ketrampilan
kembali isi buku teks tersebut.
Evaluasi pembelajaran dalam paradigma
behavioristik sering bersifat pasif, terpisah, menuntut satu jawaban benar, dan
evaluasi sering dilakukan setelah selesai kegiatan belajar. Sementara evaluasi
pembelajaran dalam paradigma konstruktivistik menekankan pada penyusunan makna
secara aktif, melibatkan ketrampilan terintegrasi dalam kontek nyata, menggali
munculnya berfikir divergen, multi solution, dan evaluasi sebagai bagian utuh
dalam proses pembelajaran.
Teori Skinner tersebut dewasa ini sangat besar
pengaruhnya, terutama di Amerika Serikat dan negara-negara pengaruhnya.
Konsep-konsep behavior kontrol dan behavior modification yang sangat populer di
kalangan-kalangan tertentu, bersumber pada teori ini.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam
lapangan metodologi dan teknologi pengajaran, pengaruh teori ini sangat besar.
Program-program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun
berdasar atas teori Skinner. Program-program yang demikian itu misalnya:
a.
Programmed Instruction dan
sarananya programmed book
b.
Computer Assisted Instruction
(CAI), dan
2.3Prinsip-Prinsip Dasar Behavioristik
Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
beberapa prinsip-prinsip dasar teori behavioristik yaitu sebagai berikut:
1) Konsekuensi-konsekuensi, yakni tingkah laku berubah menurut konsekuensi langsung.
Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sedangkan
konsekuensi yang tidak menyenangkan akan melemahkan tingkah laku, bila seekor
tikus yang lapar menerima buturan makanan waktu tikus menekan tombol, maka
tikus akan menekan tombol berulang-ulang. Akan tetapi bila tikus diberi
denyutan lsitrik setiap kali menekan tombol, maka kegiatan menekan tombol akan
dikurangi atau bahkan dihindari. Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan disebut reinforce
dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
Reinforce dapat dikelompokkan menjadi reinforce primer dan
reinforce sekunder. Reinforce primer memusatkan kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, misalnya makanan, minuman, air, keamanan, kemesraan, dan seks.
Sedangkan reinforce sekunder merupakan reinforce yang baru memperoleh nilai
jika diasosiasikan dengan reinforce primer. Uang baru mempunyai nilai bagi
seorang anak jika ia mengetahui bahwa uang dapat di belanjakan. Angka-angka
pada rapor baru mempunyai nilai bagi siswa jika orang tua memberikan perhatian,
penilaian, dan pujian. Sebab pujian orang tua di asosiasikan oleh anak sebagai
kasih sayang, kemesraan, dan reinforce sekonder lainnya. Uang dan angka rapor
merupakan contoh reinforce sekunder, sebab keduanya tidak mempunyai nilai
sendiri jika tidak diasosiasikan dengan reinforce primer atau sekunder lainnya.
Ada tiga kategori
dasar reinforce sekunder yaitu:
a. Reinforcer social (seperti pujian, senyuman, dan perhatian)
b. Reinforcer aktifitas (pemberian mainan, hadiah)
c. Reinvorcer simbolik seperti uang, angka, rapor, binatang.
Reinforce juga dapat dibedakan menjadi reinforce negative
dan reinforce positif. reinforcer positif merupakan stimulus
tertentu yang menyenagkan ditunjukkan setelah perbuatan. Misalnya uang atau
pujian diberikan kepada anak oleh orang tua setelah anak memperoleh nilai baik
dalam ujian. Reinforce negative merupakan stimulus yang kurang
menyenangkan ditolak atau dihindari, misalnya seorang guru membebaskan siswa
dari pekerjaan rumah jika siswa berbuat baik selama dikelas. Jika pekerjaan
rumah dianggap oleh siswa sesuatu yang tidak menyenangkan, maka pembebasan
siswa dari tugas pekerjaan rumah merupakan reinforce.
Kegiatan yang kurang diinginkan dapat ditingkatkan dengan
menghubungkan dengan menghubungkan kegiatan yang disenangi.reinforcer negative
maupun positif merupakan upaya memperkuat tingkah laku.
2) Kesegeraan (immediacy) konsekuensi sebagai prinsip belajar behavioristik bahwa
konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi
perilaku daripada konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya dalam
kelas. Khususnya murid SD/ MI bahwa pujian yang diberikan segera setelah anak
melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik dapat menjadi reinforce yang lebih kuat
dari pada angka yang diberikan kemudian
3) pembentukan (shaping) merupakan apa yang diberikan reinforce. Apabila guru
membimbing siswa menuju pencapaian tujuan pembelajaran dengan memberika
reinforce pada langkah-langkah yang menuju keberhasilan, maka guru menggunakan
teknik pembentukan.
Istilah pembentukan digunakan dalam teori belajar perilaku
dalam mengajarkan keterampilan-keterampilan baru atau perilaku dengan
memberikan reinforce pada para siswa dengan memberikan perilaku akhir yang
diinginkan.
2.4 Implementasi Teori Behavioristik dalam
Pembelajaran
Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar
dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan
dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang
terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses
pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka. Karena
teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan
dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pembelajar atau peserta didik
adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar
harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pembelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori
behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi
aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali
pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terakumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi
buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif,
ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar
menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan
setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan
pembelajar
secara individual. Kegiatan belajar hukum
ini mengilhami adanya reinforce pada teori B.F
skinner.[6]
2.5Kelebihan dan Kekurangan Teori
Behavioristik
Ø
Kelebihan
teori behavioristik
1.
Teori
behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek dan daya tahan.
2.
Dapat
dikendalikan dengan cara melalui stimulus alami dengan stimulus yang tepat
untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Ø
Kelemahan-kelemahan
teori behavioristik (syah, 2003) antara lain:
1.
Proses
belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati lansung, padahal belajar adalah
kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali
melalui gejalanya.
2.
Proses
belajar dipandang bersifat otomatis mekanis, sehingga terkesan seperti mesin
atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self
control yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa
menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3.
Proses
belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima,
mengingat ada perbedaan yang mencolok antara hewan dan manusia.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Teori belajar behavioristik masih
dirsakan manfaatnya dalam kegiatan pembelajaran. Selain teori ini telah mampu
memberikan sumbangan atau motivasi bagi lahirnya teori-teori belajar yang baru,
juga karena prinsip-prinsipnya (walaupun terbatas) masih dapat diaplikasikan
secara praktis dalam pembelajaran hingga kini.
Walaupun teori ini mulai mendapat
kritikan, namun dalam hal-hal tertentu masih diperlukan khususnya dalam
mempelajari aspek-aspek yang sifatnya relatif permanen dengan tujuan belajar
yang telah dirumuskan secara ketat.
Secara ringkas teori behavioristik
mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap
telah belajar seseuatu jika ia telah
mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui
pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluran atau output yang
berupa respon.
Sedangkan
apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan
sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur adalah
stimulus dan respon.
Penguatan (reinforcment) adalah
faktor penting dalam belajar, penguatan adalah apasaha yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcment) maka respin
akan semakin kuat. Demikian jga jika penguatan dikurangi (negative
reinforcment) maka respon juga akan menguat.
Tokok-tokoh penting teori
behavioristik antara lain Edward Lee Thorndike Ivan Pavlov, Burrhus Frederic
Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie.
Aplikasi teori ini dalam
pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic”
yang meneuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari begian-bagi9an
keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi
menuntut satu jawaban benar. jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah
menyelesaikan tugas belajarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyono, M.Pd. 2011, BELAJAR DAN PEMBELAJARAN,
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Hal 60-61
Budiningsih, Asri,
2005, BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
H. Baharudin, M.
Pd. I, 2007, TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta:
AR-RUZ MEDIA.
[1] D.R. C. Asri Budiningsih, 2005. BELAJAR
DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Th 20-21.
[2] Prof. DR. Suyono, M.Pd. 2011. BELAJAR
DAN PEMBELAJARN, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Hal 60-61
[3] Drs. H. Baharudin, M. Pd. I,2007. TEORI
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA. Hal 58-64
[4] Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan
Pembelajaran , (Jogyakarta: Ar Ruz Media, 2010), hal. 71-78
[5] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 274
[6] D.R. C. Asri Budiningsih, 2005. BELAJAR
DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Hlm 27-29
[7] Drs. H. Baharudin, M. Pd. I,2007. TEORI
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA. Hlm 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar