Kamis, 18 April 2013

TEORI PEMBELAJARAN BEHAVIORISTIK PEMBANDING



BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
            Dalam pembahasan makalah ini kami mengangkat tema tentang “Teori Behavioristik” atau teori tentang kepribadian. Kami mengangkat tema ini karena terdapat beberapa poin penting tentang peserta didik dalam belajar, bagaimana mengetahui tingkah laku dan karakteristik anak dalam belajar. Setiap anak mempunyai cara belajar yang berbeda-beda dan ada berbagai macam teori belajar sehingga dalam pembahasan ini akan ditemukan bagaimana cara belajar yang sesuai diterapkan peserta didik.
            Menurut teori behaviorisme bahwa belajar terjadi bila perubahan bentuk tingkah laku dapat diamati, bila bahwa kebiasaan berperilaku terbentuk karena pengaruh sesuatu atau pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar. Teori behaviorisme berpandangan bahwa belajar terjadi melalui operant conditioning.
            Jika seseorang menunjukkan perilaku belajar yang baik akan mendapatkan hadiah dan kepuasan. Peserta didik yang telah mendapatkan hadiah sebagai penguatan akan semakin meningkatkan kualitas perilaku belajarnya. Sebaliknya, jika peserta didik menunjukkan perilaku belajar yang tidak baik akan mendapatkan hukuman dari guru atau orang tua dengan sasaran agar peserta didik dapat merubah perilaku belajarnya yang tidak baik tersebut.
              

1.2Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian teori behavioristik?
2.      Apa saja teori-teori belajar dalam aliran behaviorisme?
3.      Apa saja prinsip dasar teori behavioristik?
4.      Bagaimana implementasi teori behavioristik terhadap pembelajaran?
5.      Apa kelebihan dan kekurangan teori behavioristik?
           
1.3Tujuan Pembahasan
1.      Memahami pengertian teori behavioristik.
2.      Mengetahui teori-teori belajar dalam aliran behaviorisme.
3.      Memahami prinsip dasar teori behavioristik.
4.      Memahami implementasi teori behavioristik terhadap pembelajaran.
5.      Memahami kelebihan dan kekurangan teori behavioristik.























BAB II
PEMBAHASAN

1.1Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
            Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus da respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum bisa mempraktekkan  perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
            Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu untuk membantu belajar siswa, sedangkan respon adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Menurut teori behavioristik, apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respon. Oleh sebab itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon), semuanya harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
             Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga dengan penguatan dikurangi (negative reinforcemet) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin kuat belajrnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan negatif (negative reinforcemet) dalam belajar. Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respon.
            Para ahli yang mengembangkan teori ini antara lain Edward Lee Thorndike Ivan Pavlov, Burrhus Frederic Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie.[1]

2.2 Pandangan para Ahli tentang Teori-Teori Belajar Aliran Behavioristik
1.     Connectionism (Teori Koneksionisme) (S-R Bond) mneurut Edward Lee Thorndike
Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme. Objek eksperimen Thorndike, yaitu seekor kucing. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain merupakan hubuingan antara stimulus (perangsang) merupakan respon jawaban, tanggapan, reaksi), diistilahkan S-R Bond. Belajar adalah pembentukan S-R sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai S-R sebanyak-banyaknya, yaitu orang yang sukses dalam belajar. Pembentujan hubbungan S-R dilakukan melalui latihan dan ulang-ulangan, dengan prinsip trial and error, coba dan salah.
Seekor kucing yang dilaparkan dimasukkan dalam suatu kotak boks percobaan (problem box) yang merupakan suatu labyrint, banyak jalan berliku, dan hanya satu jalan yang benar menuju tujuan. Di ujung poroblem box, dimasukkan makanan, kucing yang membaui makanan, maka dia akan berusaha mencapai makanan itu dengan berbagai jalan, seringkali tersesat, kembali ke tempat semula, atau menemui jalan buntu. Namun, sekali tersbut kucing itu menemukan jalan ke arah makanan, pada percobaan berikutnya dia akan memalui jalan yang langsung menuju makanan Teori ini dalam beberapa hala memiliki kesamaan dengan teori psikologi daya atau Herbartisme.
Beberapa hukum belajar yang disampaikan oleh Thorndike antara lain:
1.      Law of Effect (hukum efek), jika sebuah respon (R), menghasilkan efek yang memuaskan, maka ikatan antara S (stimulus) dengan R (respon) akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai melalui respon, maka semakin lemah pula ikatan yang terjadi antara S-R. Artinya, belajar akan lebih bersemangat apabila mengetahui akan mendapatkan hasil yang baik.
2.      Law of Readness (hukum kesiapan), maknanya, suatu kesiapan (readness) terjadi berlandaskan asumsi bahwa kepuasan  organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), unit-unit inilah yang menimbulakan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pada implementasinya, belajar akan lebih berhasil bila individu memiliki kesiapan untuk melakukannya.
3.      Law of Exercise (hukum latihan), hubungan antara S dengan R akan semakin bertambah erat jika sering dilatih dan akan semakin berkurang bila jarang dilatih. Dengan demikian, belajar akan berhasil apabila banyak latihan atau ulang-ulangan.[2]

2.     Teori belajar kondisioning  klasik (clasical conditioning)
            Ivan Pavlov melakukaban eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama pelatihan ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan atau dikondisikan sebelumnya sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada anjing. Dalam percobaan ini, daging disebut stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi secara otomatis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau pengondisian, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon yang tidak dikondisikan (unrsponse conditioning).
            Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maska stimulus yang lain, seperti bel, tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus tersebut tidak menhasilkan respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut ddengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut eksperimen  Pavlov, jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (unconditioning stimulus) dan dilakuka secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
            Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan beberapa hukum pengondisian, antara lain:
Ø  Pemerolehan (acquisition), adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respon bersyarat, atau yang disebut acquisition atau acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu). Para peneliti sering kali membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak (simultaneus conditioning). Prosedur ini akan menghasilkan respon bersyarat. Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan.
Ø  Pemadaman (extinction), setelah respon itu terbentuk, maka respon itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan respon tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respon bersyarat lalu tidak mempunyai penguat (reinforcer) dan besar kemungkinan respon bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan pemadaman (extinctiond). Beberapa respon bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Ø  Generalisasi dan diskriminasi. Respon bersyarat ini juga terletak dapat dikenakan pada kejadian lain, namun situasinya yang mirip. Inilah yang dikenal dengan generalisasi stimulus atau generalisasi. Misalnya pemuda yang mencintai seorang gadis, dan ia merasa bahagia bila bertemu dengan gadis tersebut. Pada saat ia mengetahui bahwa gadis yang dicintainya menyukai warna pink, maka ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink. Dalam kehidupan sehari-hari perilaku generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai. Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberi respon rasa takut  pada setiap anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
Ø  Kondisioning tandingan (counter conditioning). Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respon bersyarat yang khusus akan digantikan dengan respon bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respon bersyarat yang sebelumnya. Misalnya respon bersyarat yang tidak suka digantikan degan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebaginya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti. Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya. Sehingga ketika itu dilakukan terus-terus menerus akan muncul respon tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.
Berikut ini beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisional klasik dalam kelas. Diantaranya:
a.       Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberi tugas-tugas belajar, misalnya:
-          Menekankan kerja sama dan kompetisi antar kelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiliki perasaan emosional  secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelkajaran yang alain;
-          Membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading corner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
b.      Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau mencekam, misalnya:
-          Mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara mengajarkan materi pelajaran;
-          Membuat tahap jangka pendenk untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnhya dengan memberikan tes harian mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik;
-          Jika siswa takut berbbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan sebuah laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa , kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
c.       Membantu siswa untuk menganal persamaan dan perbedaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat memagi dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya dengan:
-          Meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah yang lebih tinggi atau di perguruan tinggi, bahwa tes-tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang pernah mereka lakukan.[3]
3.     Teori belajar Menurut Clark Hull
            Clark Hull adalah seorang behavioris yang amat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup (strunggle for existence). Oleh sebab itu, kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kegiatan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
 
4.     Teori operant conditioning B.F skinner    
            Pavlov memusatkan perhatian pada adanya perilaku-perilaku karena ditampilkan oleh stimulus tertentu. Akan tetapi skinner berpendapat bahwa  perilaku-perilaku seperti itu mewakili hanya sebagian kecil perilaku-perilaku. Ia menemukan hal lain dari perilaku yang disebutnya perilaku operant (pembiasaan), adanya stimulus yang tidak terkondisi, seperti makan.
            Tidak seperti dalam respondent conditioning (RS) respon dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan effect yang ditimbulkan oleh reinforce, yang sesungguhnya merupakan stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya respon tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam percobaan Pavlov.
            Skinner memusatkan penelitiannya pada hubungan antara tingkah laku dengan konsekuensi-konsekuensinya. Tingkah laku adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku terletak diantara dua pengaruh, yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecendent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Dengan demikian tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah antecendent dan konsekuensi atau keudanya. Sebagai contoh, bila tingkah laku seseorang segera diikuti konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan, maka tingkahlaku tersebut cenderung diulangi, pengadaan konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan untuk mengubah tingkah laku disebut operant conditioning.
            Eksperimen skinner dipusatkan pada subyek dalam situasi yang terkontrol dan mengamati perubahan dalam tingkah laku subyek tersebut yang dihasilkan dengan mengubah secara sistematis konsekuensi dari tingkah laku subyek. Skinner terkenal dengan pengembangan dan pengadaan apparatus yang disebut dengan kota skinner.
            Ia menggunakan seekor tikus yang diletakkan dalam kotak. Kotak dilengkapi peralatan seperti tombol, batang jeruji, dan pengungkit yang akan memudahkan tikus  membuka pintu kotak. Mula-mula tikus mengeksplorasi kotak dengan berlari kesana-kemari, mencakar, melompat, kemudaian secara kebetulan tikus menekan tombol sehingga mengakibatkan butir-butir makanan muncu kedalam wadahnya.

a.      Prinsip Belajar Skinners
Ø  Reinforcement
Didefinisikan sebagai sebuah konsekuen yang menguatkan tingkah laku atau frekuensi tingkah laku. Keefektifan sebuah reinforcement dalam proses belajar perlu ditunjukkan. Misalnya, permen yang pada umumnya dapat menjadi reinforcer bagi prilaku anak kecil, tetapi ketika mereka beranjak dewasa permen bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, bahkan beberapa anak kecil sudah tidak suka menyukai permen.             Oleh karena itu, agar sebuah hadiah atau reinforcement yang diberikan kepada seseorang untuk meningkatkan prilakunya yang sesuai, maka perlu memahami jenis-jenis reinforcement yang disukai, atau diperlukan oleh orang yang akan diberi reinforcement. Pengaruh reinforcement dengan prilaku yang muncul tersebut dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Konsekuen                  Pengaruh
Behavior                     Reinforcer                   Prilaku dikuatkan
Prilaku akan diulang
Secara umum reinforcement dapat dibagi menjadi tiga:
a.       Dari segi jenisnya, reinforcement dibagi menjadi dua katagori, reinforcement primer dan reinforcement sekunder.
b.      Dari segi bentuknya, reinforcement dibagi menjadi dua yaitu reinforcemet positif dan reinforcement negatif
c.       Waktu pemberian reinforcement. Ada empat macam pemberian jadwal reinforcement yaitu,
- Fixed Ratio
- Variabel Ratio
-Fixed Interval
-Variabel Interval
Ø  Punishment
Punishment adalah menghadirkan atau memberikan sebuah situasi yang tidak menyenangkan atau situasi yang ingin dihindari untuk menurunkan tingkah laku. Proses punishment dapat digambarkan sebagai berikut:
Konsekuen                  Pengaruh
Behavior                     Reinforcer                   Prilaku dilemahkan
Frekuensi prilaku akan dilemahkan
Menurut Kazdin (Elliot, 2003), ada dua aspek dalam punishment, yaitu:
-          Sesuatu yang tidak menyenagkan (aversive) muncul setelah sebuah respon, atau yang disebut dengan aversive stimulus. Misalkan, seorang guru yang menjewer siswa yang selalu ramai di kelas.
-          sesuatu yang positif (menyenangkan) setelah sebuah respon tidak muncul, misalnya seorang remaja yang selalu menganggu temannya mungkin akan kehilangan kesempatan untuk menggunakan mobil pada akhir pekan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan mengikuti prilaku yang tidak diinginkan.
Dari segi bentuknya, punishment terdiri dari time out dan respon cost. Time out adalah sebuah bentuk hukuman di mana seseorang akan kehilangan sesuatu yang disukai atau disenangi samapai pada waktu tertentu. Respon cost adalah sebuah bentuk hukuman di mana seseorang akan kehilangan sebuah reinforcement positif jika melakukan prilaku yang tidak diinginkan. Misalnya seorang siswa tidak diberikan kesempatan mengakses internet di ruang komputer sekolah jika ia tidak mengerjakan tugas yang diberikan.
Ø  Shaping
Istilah shaping digunakan dalam teori belajar behavioristik untuk menunjukkan pelajaran ketrampilan-ketrampilan baru atau prilaku-prilaku baru dengan memberikan penguatan kepada siswa untuk menguasai ketrampilan atau prilaku tersebut dengan baik. Dengan kata lain, shaping adalah menggunakan langkah-langkah kecil yang disertai dengan feedback untuk membentu siswa mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Adapun langkah-langkah dalam pemberian shaping adalah:
  1. memilih tujuan yang ingin dicapai
  2. mengetahui kesiapan belajar siswa
  3. mengembangkan sejumlah langkah yang akan memberikan bimbingan kepada siswa untuk melalui tahap demi tahap tujuannya dengan meyesuaikan kemampuan siswa.
  4. Memberikan feedback terhadap hasil belajar siswa.
Ø  Extinction
Extinction adalah mengurangi atau menurunkan tingkah laku dengan menraik reinforcement yang menyebabkan prilaku tersebut terjadi. Misalkan seseorang yang akan  membuka pintu, ternyata pintu terkunci. Pertama kali dia berusaha membuka dengan pelan-pelan sampai akhirnya orang tersebut berusaha membuka dan menggedor pintu dengan keras untuk beberapa lama, sampai dia merasa frustasi dan marah. Tetapi ketika beberapa lama ia menyadari bahwa pintu tetap terkunci, maka ia kemudian pergi meninggalkan pintu tersebut. Extiction merupakan kunci untuk mengatur tingkah laku siswa. Prilaku yang tidak sesuai (missbehavior) dapat diextinction jika reinforcer (penguat) yang menyebabkan terjadinya prilaku tersebut dapat diketahui dan dapat diubah (Slavin, 1994)
Ø  Anteseden dan Perubahan Prilaku
Dalam operant conditioning anteseden dapat memberikan petunjuk apakah sebuah prilaku akan mendapatkan konsekuen yang poditif atau negatif. Skinner membuat eksperimen dengan burung. Dalam eksperimen tersebut, ketika lampu menyala, burung akan mematukkan paruhnya untuk mengambil makanan. Sebaliknya ketika lampunya mati, burung itu tidak mematukkan pauhnya, karena pada saat lampu mati tidak akan ada makanan. Dengan kata lain, dalam eksperimen tersebut burung telah belajar menggunakan anteseden cahaya sebagai sebuah sinyal yang akan ia dapatkan ketika ia mematuk.
Menurut Skinner, untuk menghasilkan perubahan prilaku pada diri individu, selain dengan memperhatikan konsekuen dapat juga digunakan anteseden-anteseden. Dalam hal ini, ada dua cara untuk mengontrol anteseden agar menghasilkan prilaku baru atau perubahan prilaku yaitu dengan cueing dan prompting.
Cueing adalah tindakan pemberian stimulus anteseden sebelum sebuah prilaku tertentu dilakukan. Cues (tanda-tanda) dapat dalam berbagai bentuk yang memberi bentuk kepada kita kapan kita mengubah tingkah laku dan kapan tidak melakukan apa pun.
Prompting. Terkadang siswa membutuhkan bantuan agar dapat merespon cues (tanda-tanda/signal) dengan cara yang benar, sehingga menjadi sebuah stimulus pembeda (a discriminative stimulus). Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan memberikan petunjuk tambahan yang disebut dengan prompting. Ada dua prinsip dalam menggunakan prompting, yaitu:
  1. Yakinkan bahwa stimulus lingkungan yang ingin dijadikan petunjuk / tanda (cue) terjadi segera sebelum prompting digunakan.
  2. Hentikkan secepat mungkin prompting sehingga siswa tidak tergantung.[4]
b. Aplikasi Teori
Behavioristik maksudnya adalah melihat individu manusia sangat terbatas pada perilaku yang berdasarkan responnya terhadap stimulasi dari lingkungannya. Paradigma behavioristik memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan terstruktur rapi, belajar adalah pemerolehan pengetahuan. Mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dan diharapkan pengetahuan atau pemahaman siswa sama dengan pengetahuan atau pemahaman gurunya. Paradigma behavioristik memandang bahwa segala sesuatu di dunia nyata telah terstruktur rapi dan teratur. Orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan yang jelas dan ditetapkan dengan ketat. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakkan disiplin. Ketidakmampuan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, sebaliknya keberhasilan sebagai perilaku yang pantas mendapat hadiah, taat pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar, dan kontrol belajar dipegang oleh sistem yang berada di luar diri si belajar.
            Tujuan pembelajaran dalam paradigma behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, belajar sebagai aktivitas yang menuntut siswa mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Sementara paradigma konstruktivistik tentang tujuan pembelajaran menekankan pada belajar bagaimana belajar, yakni menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam kontek nyata, mendorong siswa untuk berfikir, berfikir ulang, dan mendemonstrasikannya.
            Strategi pembelajaran dalam paradigma behavioristik menekankan pada ketrampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian keseluruhan, pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan menekankan pada kemampuan dan ketrampilan kembali isi buku teks tersebut.
Evaluasi pembelajaran dalam paradigma behavioristik sering bersifat pasif, terpisah, menuntut satu jawaban benar, dan evaluasi sering dilakukan setelah selesai kegiatan belajar. Sementara evaluasi pembelajaran dalam paradigma konstruktivistik menekankan pada penyusunan makna secara aktif, melibatkan ketrampilan terintegrasi dalam kontek nyata, menggali munculnya berfikir divergen, multi solution, dan evaluasi sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran.
Teori Skinner tersebut dewasa ini sangat besar pengaruhnya, terutama di Amerika Serikat dan negara-negara pengaruhnya. Konsep-konsep behavior kontrol dan behavior modification yang sangat populer di kalangan-kalangan tertentu, bersumber pada teori ini.
Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pengajaran, pengaruh teori ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasar atas teori Skinner. Program-program yang demikian itu misalnya:
a.       Programmed Instruction dan sarananya programmed book
b.      Computer Assisted Instruction (CAI), dan
c.       Program yang menggunakan teaching mechine.[5]

2.3Prinsip-Prinsip Dasar Behavioristik
Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan beberapa prinsip-prinsip dasar teori behavioristik yaitu sebagai berikut:
1)     Konsekuensi-konsekuensi, yakni tingkah laku berubah menurut konsekuensi langsung. Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat tingkah laku, sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan melemahkan tingkah laku, bila seekor tikus yang lapar menerima buturan makanan waktu tikus menekan tombol, maka tikus akan menekan tombol berulang-ulang. Akan tetapi bila tikus diberi denyutan lsitrik setiap kali menekan tombol, maka kegiatan menekan tombol akan dikurangi atau bahkan dihindari.    Konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan disebut reinforce dan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut hukuman.
            Reinforce dapat dikelompokkan menjadi reinforce primer dan reinforce sekunder. Reinforce primer memusatkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, misalnya makanan, minuman, air, keamanan, kemesraan, dan seks. Sedangkan reinforce sekunder merupakan reinforce yang baru memperoleh nilai jika diasosiasikan dengan reinforce primer. Uang baru mempunyai nilai bagi seorang anak jika ia mengetahui bahwa uang dapat di belanjakan. Angka-angka pada rapor baru mempunyai nilai bagi siswa jika orang tua memberikan perhatian, penilaian, dan pujian. Sebab pujian orang tua di asosiasikan oleh anak sebagai kasih sayang, kemesraan, dan reinforce sekonder lainnya. Uang dan angka rapor merupakan contoh reinforce sekunder, sebab keduanya tidak mempunyai nilai sendiri jika tidak diasosiasikan dengan reinforce primer atau sekunder lainnya.
             Ada tiga kategori dasar reinforce sekunder yaitu:
a.       Reinforcer social (seperti pujian, senyuman, dan perhatian)
b.      Reinforcer aktifitas (pemberian mainan, hadiah)
c.       Reinvorcer simbolik seperti uang, angka, rapor, binatang.
            Reinforce juga dapat dibedakan menjadi reinforce negative dan reinforce positif. reinforcer positif merupakan stimulus tertentu yang menyenagkan ditunjukkan setelah perbuatan. Misalnya uang atau pujian diberikan kepada anak oleh orang tua setelah anak memperoleh nilai baik dalam ujian. Reinforce negative merupakan stimulus yang kurang menyenangkan ditolak atau dihindari, misalnya seorang guru membebaskan siswa dari pekerjaan rumah jika siswa berbuat baik selama dikelas. Jika pekerjaan rumah dianggap oleh siswa sesuatu yang tidak menyenangkan, maka pembebasan siswa dari tugas pekerjaan rumah merupakan reinforce.
            Kegiatan yang kurang diinginkan dapat ditingkatkan dengan menghubungkan dengan menghubungkan kegiatan yang disenangi.reinforcer negative maupun positif merupakan upaya memperkuat tingkah laku.
2)     Kesegeraan (immediacy) konsekuensi sebagai prinsip belajar behavioristik bahwa konsekuensi-konsekuensi yang segera mengikuti perilaku akan lebih mempengaruhi perilaku daripada konsekuensi yang lambat datangnya.
Prinsip kesegeraan konsekuensi ini penting artinya dalam kelas. Khususnya murid SD/ MI bahwa pujian yang diberikan segera setelah anak melakukan sesuatu pekerjaan dengan baik dapat menjadi reinforce yang lebih kuat dari pada angka yang diberikan kemudian
3)     pembentukan (shaping) merupakan apa yang diberikan reinforce. Apabila guru membimbing siswa menuju pencapaian tujuan pembelajaran dengan memberika reinforce pada langkah-langkah yang menuju keberhasilan, maka guru menggunakan teknik pembentukan.
Istilah pembentukan digunakan dalam teori belajar perilaku dalam mengajarkan keterampilan-keterampilan baru atau perilaku dengan memberikan reinforce pada para siswa dengan memberikan perilaku akhir yang diinginkan.

2.4  Implementasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
            Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
            Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
            Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
            Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pembelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pembelajar.
            Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terakumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
            Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar secara individual. Kegiatan belajar hukum ini mengilhami adanya reinforce pada teori B.F skinner.[6]



2.5Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavioristik
Ø  Kelebihan teori behavioristik
1.      Teori behavioristik ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek dan daya tahan.
2.      Dapat dikendalikan dengan cara melalui stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Ø  Kelemahan-kelemahan teori behavioristik (syah, 2003) antara lain:
1.      Proses belajar dipandang sebagai kegiatan yang diamati lansung, padahal belajar adalah kegiatan yang ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalui gejalanya.
2.      Proses belajar dipandang bersifat otomatis mekanis, sehingga terkesan seperti mesin atau robot, padahal manusia mempunyai kemampuan self regulation dan self control yang bersifat kognitif. Sehingga, dengan kemampuan ini manusia bisa menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan dirinya.
3.      Proses belajar manusia yang di analogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada perbedaan yang mencolok antara hewan dan manusia.[7]









BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
            Teori belajar behavioristik masih dirsakan manfaatnya dalam kegiatan pembelajaran. Selain teori ini telah mampu memberikan sumbangan atau motivasi bagi lahirnya teori-teori belajar yang baru, juga karena prinsip-prinsipnya (walaupun terbatas) masih dapat diaplikasikan secara praktis dalam pembelajaran hingga kini.    
            Walaupun teori ini mulai mendapat kritikan, namun dalam hal-hal tertentu masih diperlukan khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang sifatnya relatif permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.
            Secara ringkas teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar seseuatu  jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan atau input yang berupa stimulus dan keluran atau output yang berupa respon.
Sedangkan apa yang terjadi antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan diukur adalah stimulus dan respon.
            Penguatan (reinforcment) adalah faktor penting dalam belajar, penguatan adalah apasaha yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positif reinforcment) maka respin akan semakin kuat. Demikian jga jika penguatan dikurangi (negative reinforcment) maka respon juga akan menguat.
            Tokok-tokoh penting teori behavioristik antara lain Edward Lee Thorndike Ivan Pavlov, Burrhus Frederic Skinner, J.B. Watson, Clark Hull dan Edwin Guthrie.
            Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktifitas “mimetic” yang meneuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari begian-bagi9an keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. jawaban yang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.


DAFTAR PUSTAKA

                Suyono, M.Pd. 2011,  BELAJAR DAN PEMBELAJARAN, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Hal 60-61
             Budiningsih, Asri, 2005, BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
             H. Baharudin, M. Pd. I, 2007, TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA.


[1] D.R. C. Asri Budiningsih, 2005. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Th  20-21.
[2] Prof. DR. Suyono, M.Pd. 2011. BELAJAR DAN PEMBELAJARN, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Hal 60-61
[3] Drs. H. Baharudin, M. Pd. I,2007. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA. Hal 58-64
[4] Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran , (Jogyakarta: Ar Ruz Media, 2010), hal. 71-78
[5] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal. 274
[6] D.R. C. Asri Budiningsih, 2005. BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Hlm 27-29
[7] Drs. H. Baharudin, M. Pd. I,2007. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: AR-RUZ MEDIA. Hlm 85

Tidak ada komentar:

Posting Komentar