A.
PENDAHULUAN
Allah SWT selalu menciptakan
makhluknya dengan berpasang-pasangan. Misalnya saja ada yang cantik namun juga
ada yag jelek, ada yang pintar ada juga yang kurang pintar, dan ada yang kaya
ada juga yang miskin. Hal ini di ciptakan memang untuk saling melengkapi.
Manusia
merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk
mempertahankan hidupnya. Maka dari itu, islam mengajarkan suatu bentuk
kerjasama yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan. Kerja sama yang di
maksud pada pembahasan ini adalah bentuk tolong-menolong yang disuruh dalam
agama selama kerja sama itu tidak dalam bentuk dosa dan permusuhan sebagaimna
dinyatakan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 2:
¢
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur
(#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$#
Èbºurôãèø9$#ur
4
Artinya: “ Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.” (QS. Al- maidah :
2)
Kerjasama
dalam usaha perdagangan dan industri dapat terjadi antara pemilik modal dengan
pengusaha, yang satu menyerahkan modal dan yang lain menyediakan tenaga,
kerjasama seperti ini disebut dengan mudharabah.
Mudharabah
memberikan kemudahan bagi pergaulan manusia dalam kehidupan dan keuntungan
timbal balik tanpa ada pihak yang dirugikan. Dalam kehidupan sehari-hari
terdapat orang yang punya modal dan tidak pandai berniaga, sedangkan di pihak
lain ditemukan orang yang mampu berniaga tetapi tidak memiliki modal. Dengan
cara mudharabah ini kedua belah pihak bisa mendapatkan keuntungan secara timbal
balik.
B.
SUBTANSI
1.
Pengertian
Mudharabah
Menurut bahasa kata mudharabah
berasal dari kata adh-dharbu fil- ardhi, yang melakukan perjalanan untuk
berniaga.
Allah berfirman :
tbrãyz#uäur tbqç/ÎôØt
Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6t
`ÏB È@ôÒsù «!$# .
ÇËÉÈ
Artinya: “Dan orang-oang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah”.[1]
Mudharabah disebut juga qiradh,
berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal
mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan
sebagian dari keuntungannya.
Perkataan
mudharabah diambil dari perkataan “darb (usaha) diatas bumi “.
Dinamakan demikian karena mudharib berhak untuk bekerja sama bagi hasil atas
jerih payah dan usahanya. Selain mendapatkan keuntungan ia juga berhak untuk
mempergunakan modal dan menentukan tujuannya sendiri. Orang-orang Madinah
menyebut kontrak model ini dengan sebutan “ muqaradah” dimana
perkataan ini diambil dari kata “qard” berarti “menyerahkan”.
Dalam hal ini pemilik modal akan menyerahkan atas modalnya terhadap amil
(pengguna modal).[2]
Jadi
modal yang telah diserahkan adalah amanah dari pemilik modal, namun dalam hal
pengmbangan usaha di serahkan secara mutlak kepada pengusaha. Sehingga tidak
ada campur tangan dari pemilik modal dalam mengembangkan mengelola modal.
Menurut
sejarah, akad mudharabah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Diantara orang yang melakukan akad mudharabah adalah Nabi
Muhammad, saat itu beliau belum menjadi rasul. Beliau bermudharabah dengan siti
khadijah, yang akhirnya menjadi istri beliau. Hati khadijah tertarik dengan
sifat amanah, jujur, dan kebijaksanaan Muhammad dalam perniagaan dan mendapat
keuntungan berlipat ganda, dan akhirnya mereka dijodohkan oleh Allah SWT sebagai
suami istri yang dikaruniakan zuriat yang shaleh.
Dalam kitab Tadhib dijelaskan
bahwa qiradh adalah:
ويسمى
مضا ربة
, والأصل فيه
الأجماع وعمل
الصحا بة
رضى الله
عنهم . قال
في تكملة
المجموع. قال
ابن المنذر
: واجمع اهل
العلم على
جواز المضاربة
في الجملة
.وقال الصنعاني
:لاخلا ف
بين المسلمين
في جواز
القراض , وانه
مما كا
ن في
الجا هلية
فاقره الاسلا
م.
Menurut istilah fiqh, kata
mudharabah adalah akan perjanjian antara kedua pihak, yang salah satu
diantaranya sebagai pemilik modal yang diberikan kepada pihak lain agar
dikembangkan, dan keuntungan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.[4]
Istilah mudharabah yang
dikemukakan oleh para ulama, adalah sebagai berikut:
a.
Menurut
para fuqoha, mudharabah ialah akad antara dua pihak saling menanggung, salah
satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan
bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[5]
b.
Menurut
Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Mudaharabah adalah :
عَقْدُ
عَلَى الشِّرْ
كَةِ فِى
الرِّبحِ بِمَالٍ
مِنْ اَحَدِ
الجَانِبَيْنِ وَعَمَلٍ
مِنَ اْلاخَرَ
Artinya: ”Akad
syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”[6]
c.
Malikiyah
berpendapat bahwa mudharabah adalah :
عُقْدُ
تَوْكِيْلِ صَادَرَمِنْ
رَبِّ اْلمَالَ
لِغَيْرِهِ عَلَى
اَنْ يَتَجِرَ
بِخُصُوصِ الَّنقْدَيْنِ
(الَّذَهَبِ وَاْلفِضَّةِ
)
Artinya: “Akad perwakilan,
dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan ( mas dan perak)”[7]
d. Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah
adalah:
عَقْدُ
يَقْتَضِى أَنْ
يَدْفَعَ شخصٌ لِاخَرَ
مَا لاً
لِيَتَجـَّرَفِيْه
Artinya:“Akad yang menentukan
seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan”.[8]
(وَيَصِحُّ
قِرَاضٌ) وَهُوَ
اَنْ يَعْقِدَ
عَلَى مَالٍ
يَدْفَعُوْهُ لِغَيْرِهِ
لِيَتَّجِرَ فِيْهِ
عَلَى اَنْ
يَكُوْنَ الرِّ
بْحُ مُشْتَرَكًا
بَيْنهُمَا (فِي
نَقْدٍ خَا
لِصٍ مَضْرُوْبٍ)
لِاَ نَّهُ
عَقْدُ غَرَرٍ
لِعَدَمِ اِنْضِبَا
طِ العَمَلِ
وَ الوُثُوقِ
بِا لرِّبْحِ
.[9]
Qirad adalah suatu akad penyerahan harta
oleh pemiliknya kepada orang lain untuk di perdagangkan,dan labanya dimiliki
bersama. Qirad dapat sah dilakukan dalam bentuk uang emas atau perak murni yang
telah tercetak,sebab qirad adalah akad yang tidak jelas (gharar) lantaran tidak
terbatas pekerjaan (yang dikerjakan amil) serta tidak ada kepastian tentang
labanya, Sedangkan menurut pendapat lain menyebutkan bahwa qiradh itu sendiri
harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni, karena itu tidak sah akad
qiradh dengan emas murni, emas perhiasan,emas yang campuran dan juga tidak sah
dengan harta, seperti uang emas atau perak yang tercetak.[10]
Dalam kitab al Muwatha’, karangan imam
malik juga menjelaskan mengenai qiradh dalam bentuk barang. Yahya
mengungkapkan, “ Malik berpendapat bahwa pemberi modal hanya boleh memberi
modal dalam bentuk uang kepada pihak pengelola. Karena pemberian modal usaha
dalam bentuk barang tidak diperbolehkan. Dan juga pemberian modal dalam bentuk
barang hanya terjadi dalam dua kondisi: pertama, pemilik barang
mengatakan kepada pihak lain. “ ambilah barang ini dan juallah. Kemudian
gunakan uang dari hasil penjualannya untuk belanja barang, lalu belillah dengan
cara pemberian modal.” Dalam hal ini pemberi modal telah mensyaratkan
keuntungan lebih untuk dirinya sendiri dari penjalan barang tersebut dengan
biaya barang secukupnya. Kedua, pemilik barang mengatakan, “belilah
dengan barang ini dan jualah. Jika kamu telah menjualnya, seperti barang yang
aku berikan kepadamu. Kemudian keuntungan lebih dari barang tersebut kita bagi
dua”. Jika demikian yang terjadi
maka perlu dipertimbangkan kadar atau jumlah modal yang diberikan kepada
pengelola dalam aktivitas penjualan dan perbaikan barang. Lalu diberikan
kepadanya. Selanjutnya uang tersebut dijadikan modal terhitung sejak uang itu
berubah dalam bentuk dirham atau dinar serta terkumpul dalam bentuk uang dan dikembalikan serupa kepada pemberian
modal.[11]
Dari penyataan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan
pendapat tentang modal dalam bentuk barang yang menjadi syarat dari akad
mudharabah yang sah. Perlu juga diperhatikan modal dengan menggunakan barang
sesungguhnya tidak diperbolehkan dan sebaiknya di hindari dan jika terjadi
demikian maka maka perlu dipertimbangkan kadar atau jumlah modal yang diberikan
kepada pengelola dalam aktivitas penjualan dan perbaikan barang. Lalu diberikan
kepadanya. Selanjutnya uang tersebut dijadikan modal terhitung sejak uang itu
berubah dalam bentuk dirham atau dinar serta terkumpul dalam bentuk uang dan dikembalikan serupa kepada pemberian
modal
2. Landasan Hukum Mudharabah
a.
Al-Quran
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur
`ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya: “ Apabila telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”(QS.Al-Jumu’ah:10)
b.
Hadist
Muamalah dalam bentuk mudharabah disepakati oleh ulama tentang
kebolehannya. Dasar kebolehannya adalah pengalaman nabi yang memperniagakan
modal yang diberikan oleh siti khadijah sebelum beliau diangkat menjadi Nabi .
Secara khusus terdapat dari shuhaib yang diriwayatkan Ibnu Majah.[12]
ثَلاَ
ثٌ فِيْهِنَّ
الْبَرَكَةُ اْلَبَيْعُ
اِلَى اَجَلِ
وَالْمُقَا رَضَةٌ
وَخَلَطُ اْلبُرَّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ
وَلاَ لِلْبَيْعِ
Artinya: “Ada tiga
perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan
mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuj dijual “ (HR. Ibnu
Majah)[13]
c.
Ijma’
para ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian
modal untuk berdagang dengan memperoleh laba dalam bentuk Dinar dan Dirham.
Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan
sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka
berdua, setelah sebelumnya segala sesuatu sudah menjadi jelas.[14]
d.
Qiyas
Mudharabah dapat diqiyaskan pada akad musaqoh (akad memelihara
tanaman). Karena pertimbangan kebutuhan masyarakat kepadanya, karena manusia
itu ada yang kaya ada yang miskin. Terkadang ada seseorang yang memiliki harta,
tetapi tidak tahu bagaimana mengelolanya dan membisniskannya. Ada pula manusia
yang tidak memiliki harta tapi pandai mengelola harta. Oleh karena itu, akad
mudharabah ini dibolehkan secara syara’ untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan
manusia yang berbeda.[15]
2.
Rukun
dan Syarat Mudharabah
Rukun qiradh atau mudharabah ada enam[16], yaitu
:
a. Malik ( pemilik modal)
b. Amil (yang akan menjalankan modal)
c. Amal (pekerjaan pengelolaan harta sehingga
menghasilkan laba)
d. Mal (harta pokok/modal)
e. Akad mudharabah
f.
Keuntungan
Syarat sah mudharabah[17], yaitu
:
a.
Syarat-syarat
pelaku akad hal-hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan
mudharib) adalah keharusan memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu
karena mudharib bekerja atas perintah pemilik modal dimana hal itu mengandung
makna mewakilkan. Tetapi tidak disyaratkan harus beragama islam. mudharabah
syah dilakukan antara seorang muslim dengan non-muslim yang mendapat
perlindungan di negeri islam. menurut ulama malikiyah, mudharabah antara muslim
dan non-muslim adalah makruh.
b.
Syarat-syarat
modal.
·
Modal
harus berupa uang yang masih berlaku, yaitu dinar dan dirham dan sejenisnya.
Maka tidak boleh melakukan mudharabah dengan modal berbentuk barang baik barang
bergerak maupun tidak bergerak. Hal tersebut menurut pendapat mayoritas ulama.
·
Besarnya
modal harus diketahui, jika besarnya modal tidak diketahui, maka mudharabah itu
tidak syah, karena ketidakjelasan terhadap modal menyebabkan ketidakjelasan
terhadap keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan merupakan syarat syh
dalam mudharabah.
·
Modal
harus barang tertentu dan ada, bukan hutang. Modal tidak syah dengan hutang dan
modal yang tidak ada. Mudharabah yang dilakukan dengan hutang adalah mudharbah
fasid.
·
Modal
harus diserahkan kepada amil, hal itu agar amil bisa bekerja dengan modal
tersebut. selain itu, karena modal tersebut merupakan amanah ditangan amil,
tidak sah kecuali dengan menyerahkan kepadanya seperti halnya titipan.
c.
Syarat-syarat
keuntungan
·
Besarnya
keuntungan harus diketahui. Hal itu karena ma’quud alaih (obyek akad) atau
tujuan dari akad adalah keuntungan, sementara ketidakjelasan terhadap objek
akad dapat menyebabkan batalnya akad.
·
Keuntungan
merupakan bagian dari milik bersama (musyaa’) yaitu dengan rasio persepuluh
atau bagian dari keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan sepertiga,
atau seperempat, atau setengah.
3.
Jenis-jenis
Mudharabah
Mudharabah ada dua jenis[18] yaitu :
a. Mudharabah Muthlaqoh adalah seorang yang
memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu, dimana pemilik modal
(investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa
pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola
bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola
modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
b. Mudharabah Muqoyyadah adalah akad mudharabah
yang pemilik modal menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilik modal
memberikan seribu dinar, misalnya pada orang lain untuk mudharabah dengan
syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau tidak menjual dan membeli
kecuali dari orang yang tertentu.
4.
Hukum-hukum
mudharabah menurut syah dan tidaknya.
1. Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah
fasid adalah mengatakan, “berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya
dibagi di antara kita.” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, hanabilah berpendapat
bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang shahih karena
pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjannya, baik ia
mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha
atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak
memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun ditanggung
sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima
adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan
hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama hanafiyah.
a.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau
mengambil barang.
b.
Pemilik
modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak
bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.
Pemilik
modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut
dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[19]
Dapat di simpulkan bahwa yang
disebut mudharabah fasad karena tidak adanya kejelasan mengenai keuntungan bagi
pengusaha. Pemilik modal mengsyaratkan “hasilnya dibagi antara aku dan kamu
“ ini berarti adanya gharar, sedangkan pengusaha berhak mendapatkan
keuntungan dari jerih payahnya.
2. Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah shahih yang
tergolong shahih cukup banyak, di antaranya berikut ini:
a. Tanggung Jawab Penguasa
Ulama fiqih telah sepakat bahwa
pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai
titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemiliknya.
Apabila pengusaha beruntung, ia
memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika
mudharabah rusak karena adanya beberpa sebab yang menjadikannya rusak,
pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah.
Jika harta rusak tanpa
disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika
mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja. Jika disyaratkan bahwa
pengusaha harus bertangung jawab atas rusaknya modal, menurut ulama hanafiyah
dan hanabilah, syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian,
pengusaha bertanggung jawab atas modal dan berhak atas laba.
Adapun ulama malikiyah dan
syafi’iyah berpendapat bahwa mudgarabah batal.
v Tasharruf penguasaha, Hukum
tentang Tasharrruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada mudharabah mutlak
atau terikat
1.
Pada
Mudharabah Mutlak, Menurut
ulama hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk
beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba,
seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal
tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta
tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah :
a. Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah
ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b. Menurut ulama malikiyah, pengusaha tidak boleh
membeli barang dagangan melebihi modal yang diberikan kepadanya.
c. Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk
mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta
milik orang lain. Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama hanafiyah, pengusaha
menyerahkan modal terseebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal.
Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah tanggung-jawabnya
(pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada
pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba
yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai
kesepakatan di antara keduanya. Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha
bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa
seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha
pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang
berusaha secara sempurna. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh
diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun
atas seizin pemilik modal.
2.
Pada
mudharabah terikat, Secara
umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang
ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara lain :
a.
Penentuan
tempat, Jika pemilik modal menentukan tempat, seperti ucapan, “Gunakan modal ini untuk
mudharabah, dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya. Pengusaha harus
mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan
yang dibolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Tasikmalaya,
ia bertanggung jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
b.
Penentuan
orang, Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan
orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus
menjual barang, sebab hal itu termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah
pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
c.
Penentuan
waktu, Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu
sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam
waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.[20]
5.
Hak-hak
pengusaha dan pemilik modal.
1. Pengusaha memiliki dua hak atas harta
mudharabah, yaitu hak nafkah dan hak laba, yang telah ditentukan dalam akad.
a. Hak nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda
pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapat
mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1. Imam Syafi’i, menurut riwayat paling zahir,
berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya,
kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari
laba. Jika pengusaha mensyaratkan kepada pemilik modal agar dibolehkan
menggunakan modal untuk keperluannya, akan menjadi rusak.
2. Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam
Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah
dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain.
Hanya saja menurut Imam Malik, hal itu bisa dilakukan jika modal yang ada
memang mencukupi untuk itu.
3. Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk
menafkahkan harta untuk keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam
perjalanan jika disyaratkan pada waktu akad. Dengan demikian, jika tidak
disyaratkan pada waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal. Di antara alasan
para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk
keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia
tidak mau mudharabah sebab kebutuhan mereka cukup banyak ketika mudharabah.
Belanja yang dibolehkan, sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, adalah kebutuhan
sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian, dan lain-lain, dengan syarat tidak
berlebih-lebihan. Belanja tersebut kemudian dikurangkan dari laba, jika sudah
ada laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.
b. Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak
mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika
usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia
bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, disyaratkan setelah modal
diambil.
Diantara dalil-dalil
yang mengharuskan pemilik modal mengambil modalnya terlebih dahulu adalah
hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Perumpamaan orang
muslim seperti pedagang tidak menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”
2. Hak pemilik modal
a. Keuntungan dibagi dihadapan pemilik modal dan
pekerja pada saat pekerja mengambil bagian keuntungannya.
b. Pekerja tidak boleh mengambil bagiannya tanpa
kehadiran pemilik modal.
c. Hak bagi pemilik modal mengambil bagian laba
jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan
apa-apa.[21]
6.
Pertentangan
antara Pemilik dan Pengusaha
1. Perbedaan dalam Mengusahakan Harta
Di antara pemilik modal dan
pengusaha terkadang ada perbedaan dalam hal kerumunan ber-tasharruf,
kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang disyaratkan, serta ukuran
modal.
Jika terjadi perbedaan antara
pemilik dan pengusaha, yaitu satu pihak yang menyangkut sesuatu yang umum dan
pihak lain yang menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang
menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba,
yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
Jika terjadi perbedaan pendapat
antara muthlaq dan muqayyad, yang diterima adalah pernyataan yang menyatakan
muthlaq, seperti jika pemilik modal menyatakan, “Saya izinkan kamu untuk
berdagang di Mesir. Tidak boleh berdagang selain di daerah itu.” Akan tetapi,
pengusaha tidak mengakui bahwa pemilik modal menyebutkan tempat maka yang
diterima adalah ucapan pengusaha, sebab lebih mendekati kemutlakan.
Jika kedua orang yang berakad
berbeda dalam jenis usaha atau jenis barang yang harus dibeli, maka yang
diterima adalah ucapan pemilik harta. Jika pemilik modal menyatakan bahwa modal
di-tasharruf-kan kepada gandum, tetapi pengusaha menyatakan bahwa modal
harus di-tasharruf-kan kepada pakaian, yang diterima adalah ucapan
pemilik modal sebab pengusaha harus mengusahakan hartanya atas seizin pemilik
modal.
2. Perbedaan dalam Harta yang Rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat
antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha
menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal
mengingkarinya, maka yang diterima, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah
ucapan pengusaha, sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni
tidak ada khianat.
3. Perbedaan tentang Pengembalian Harta
Jika terjadi perbedaan pendapat
antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan
pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah
dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal.
Adapun menurut ulama Malikiyah
dan Syafi’iyah yang diterima adalah ucapan pengusaha, sebab pengusaha
dipercaya.
4. Perbedaan dalam Jumlah Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika
terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang diterima adalah ucapan
pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5. Perbedaan dalam Ukuran Laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika
pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut
pemilik adalah sepertiganya.
Ulama Malikiyah berpendapat,
yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat :
a. Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang
berlaku dalam mudharabah.
b. Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut
ulama Syafi’iyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus
diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas
perniagaannya.
6.
Perbedaan
dalam Sifat Modal
Ulama
Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal,
ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta, misalnya pemilik
menyatakan, “Saya serahkan harta untuk mudharabah, berdagang, membeli sesuatu,
dan lain-lain,” sedangkan pengusaha menyatakan bahwa harta itu diberikan
kepadanya secara cuma-cuma sebab yang membayarkan adalah pemiliknya.[22]
7. Perkara yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dianggap
batal pada hal berikut :
a. Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah
menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan
dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni
orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta
modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika
pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha
dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
b. Salah Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa
mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal
maupun pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang
akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut
dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad
atau tidak.
Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan
akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
c. Salah Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa
gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian
dalam mudharabah.
d. Pemilik Modal Murtad
Apabila pemilik modal murtad
atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah
diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah, hal itu
membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal
itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta
orang murtad dibagikan di antara para ahli warisnya.
e. Modal Rusak di Tangan Pengusaha
Jika modal rusak ditanggan
mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu. Maka akad mudharabahnya batal. Pasalnya,
modal menjadi spesifik untuk mudharabah dengan adanya penerimaan barang,
sehingga akadnya batal dengan rusaknya modal, seperti wadi’ah
Demikian juga akad mudharabah
batal dengan digunakannya modal oleh mudharib, dinafkahkan atau diberikan
kepada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut, hingga mudharib tidak
memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk mudharabah. Jika mudharib mengganti
modal yang digunakannya, maka dia dapat membelanjakan kembali modal tersebut
untuk mudaharabah.
Jika mudharib tidak untung,
maaka dia tidak wajib untuk meminta utang tersebut, karena dia dalam hal ini
dia dianggap sebagai wakil dan wakil bekerja dengan suka rela. Orang yang
bekerja dengan sukarela tidak dapat dipaksa untuk memenuhi tindakan sukarela.
Hanya saja mudharib diperintahkan untuk mengalihkan ( hiwalah) pemilik modal
pada orang lain yang berutang untuk mengambil haknya padanya hingga pemiik
modal bisa menerima modalnya.[23]
Jadi rusaknya akad mudaharabah juga disebabkan oleh rusaknya
modal ditangan mudharib. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa seorang mudharrib
haruslah orang yang amanah, dapat diprcaya untuk melakukan suatu akad kerjasama.
Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
8.
Biaya
pengelolaan mudharabah
Biaya
bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri, selama ia tinggal di lingkungan
atau daerahnya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk
kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan,
kemungkinan pemilik harta atau modal tidak akan memperoleh bagian dari
keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau lebih besar
daripada keuntungan. Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk
membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya ditengah perjalanan atau
karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan
odal mudharabah.[24]
Kiranya
dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya di bebankan
kepada pengelola modal,namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan
apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.
9.
Tindakan
setelah matinya pemilik modal
Jika pemilik modal meninggal duni,
mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal
tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola menggunakan modal
tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa
izin ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab.
Ia wajib menjamin(mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan,
keuntungannya dibagi menjadi dua.
Jika mudharabah telah fasakh atau
batal, sdangkan modal berbentuk ‘uruud(barang dagangan),pemilik modal dan
pengelola modal menjual atau membaginya, karena yang demikian itu adalah hak
berdua. Jika pengelola modal setuju dngan penjualan, sedangkan pemilik modal
tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya. Karena pengelola modal
mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan
menjualnya.[25]
10.Perbedaan
antara kerjasama biasa dengan mudharabah
Kerjasama
biasa itu ada selama partner-partner itu ada. Pembagian yang termasuk dalam
bentuk perkongsian biasa adalah kecil. Semua partner menempati bagian yang
aktif dalam perhatian dan kontribusi pembagian modalnya. Sementara dalam
qiradh, pemilik modal menyediankan dana, sementara agen aktif mengoprasikan
seluruh perhatiannya hampir tanpa kontrol pemilik modal. Agen dapat jauh dari
tempat dimana perjanjian itu di lakukan. Dalam qiradh modal modal harus ada
sebagai aturan umum secara kontan namun dalam bentuk perkongsian biasa hal
tersebut tidak ada.[26]
11. Aplikasi Dalam Perbankan Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit
dan bentuk-bentuk lainnya. Sedangkan bank syariah yaitu bank yang dijalankan berdasarkan pada prinsip-prinsip
syariah. Prinsip sayriah yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara
bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha,
atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dalam sesuai dengan syariah.
Penerapan produk-produk pembiayaan dan pendanaan perbankan
syariah dengan prinsip mudharabah yaitu:
1.
Tabungan Mudharabah (Tabungan berjangka)
Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah disepakati, tetap tidak
dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu. Para ahli
perbankan zaman dahulu memberikan pengertian tabungan merupakan simpanan
sementara sebelum pemilik melakukan pilihannya apakah si pemilik akan melakukan
konsumsi atau untuk kepentingan investasi.
Tabungan mudharabah berlandaskan pada Fatwa Dewan Syariah
Nasional nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 1 April 2000 tentang
tabungan. Tabungan mudharabah ini di
kelola dengan prinsip mudharabah mutlaqhah karena pengelolaan dana investasi
tabungan ini sepenuhnya diserahkan kepada mudharib. Tabungan mudharabah tidak
dapat ditarik setiap saat, hal ini sangat berkaitan dengan pembagian hasil
usaha.
Pembagian keuntungan berdasarkan pada nisbah yang disepakati
pada awal kontrak antara bank dengan nasabah dan waji dituangkan pada
perjanjian secara tertulis. Dalam bank islam tidak ada special rate yang
adahanyalah special nisbah. Dalam special nisbah yang diberi
hanya porsi pembagian keuntungan yang berbeda-beda dengan nisbah umum yang
berlaku antara shahibul maal dengan mudaharib, sedangkan pendapatannya sangat
tergantung dengan hasil usaha yang benar-benar diterima oleh pihak bank.[27]
2.
Deposito Mudharabah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpanan dengan bank
yang bersankutan. Deposito ada dua:
a.
Deposito berjangka biasa
Deposito yang berakhir pada jangka waktu yang diperjanjikakn,
perpanjangan hanya dapat dilakukan setelah ada permohonan baru.
b.
Deposite berjangka otomatis
Pada saat jatuh tempo, secara otomatis akan diperpanjang
untuk jangka waktu yang sama tanpa pemberitahuan dari pemohon.
Setiap jatuh
tempo nasabah akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah dari hasil
investasi yang telah dilakukan oleh bank. Periode penyimpanan dana ditentukan berdasarkan periode bulanan.
Bank dapat memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan kepada pemilik dana.
C.
SKEMATIKA
SKEMATIKA
Dapat di pahami dari bagan
diatas, bahwa hal pertama yang di lakukan dalam mudharabah adalah adanya akad
antara shahibul maal dengan mudharib ( pengusaha). Akad mudharabah dinyatakan
sah jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Shahibul maal merupakan pemilik modal yang
akan membiayai proyek usaha yang akan di jalan kan oleh mudharib. Setelah usaha
yang dijalankan mendapatkan laba maka pengusaha wajib mengembalikan modal usaha
kepada shahibul maal. Laba yang tersisa kemudian di bagi sesuai kesepakatan
yang telah ditetapkan.
1. Hikmah dari akad mudharabah
Akad mudharabah memberikan
banyak manfaat bagi manusia, khususnya bagi orang islam. hikmah dari akad
mudharabah diantaranya yaitu meningkatkan kehidupan masyarakat ekonomi lemah
yang potensial dalam dunia usaha agar dapat hidup layak sebagaimana yang
dikehendaki oleh setiap manusia.[28] Jadi
secara umum hikmah yang dapat diambil adalah membentuk kehidupan masyarakat
dalam keadaan makmur.
2. Problematika-problematika
akad Mudharabah
Salah
satu hal yang menyebabkan akad mudharabah batal adalah rusaknya modal ditangan
mudahrib atau pengusaha. Permasalahannya adalah apa tindakan dari mudharib
masih tetap berlaku dalam akad mudharabah yang rusak?
Jawab:
Tidak
ada perbedaan bagi akan yang rusak dan akad yang batal. Keduanya satu arti.
Akad akan batal atau rusak dengan hilangnya salah satu rukun dari rukun yang
ada atau salah satu syarat dari syarat-syarat yang sudah ditetapka. Namun jika
modal bukan uang atau keuntngan tidak diketahui secara jelas oleh kedua belah
pihak yang berakaddan apabila keduanya
memberikan syarat yang bertentangan
dengan maksud dari akad yaitu keuntungan dibagi dua dan jika akad rusak,
maka pengelolaan pengusaha tetap berlaku, sebab walaupun akad batal namun izin
tetap ada sehingga dia masih berhak mengelola, dan jika ada keuntungan si
pengusaha tidak mendapatkan bagian.
Pengusaha hanya mendapatkan upah sesuai dengan standart upah harian.[29] Namun
jika pengusaha rela menerima qiradh sesuai dengan hukum dan syarat-syarat
aslinya maka si pengusaha ini tidak mendapatkan upah dari hasil usahanya, hal
ini karena modal telah rusak ditangan pengusaha, dan akad pun batal.
Jika ada keuntungan dari modal,
kapankah si pekerja mendapat bagian dalam keuntungan ?
Jawab
:
Ada
tiga pendapat dalam menyikapi permasalahan ini. Pertama, sebelum terlihat sama dengan si pemodal. Kedua,
diberi bagian saja sebab jika dia
mendapatkan keuntungan setelah keuntungan terlihat, maka ia sama saja dengan
rekan kongsi bagi si pemodal dan jika ada yang rusak, maka dihitung dari dua
harta tersebut dan tidak sebaliknya sebab dia mendapatkan bagian dengan cara
pemberian sehingga hak miliknya tidak
tetap kecuali jika terjadi setelah fasakh dan modal menjadi uang, bahkan seandainya ada
keuntungan setelah dibagi ia akan dikurangi untuk menutupi keuntungan yang
sudah dibagi.
Si pekerja mendapat keuntungan
dengan pembagiannya sebab kalau ia mendpat keuntungan setelah terlihat ada
keuntungan dan sebelum dibagi, maka tidak ubahnya dengan partner dalam harta
modal sehingga kekurangan yang terjadi setelah itu menjadi tanggungjawab berdua
dan kejadiannya tidak. Hanya saja hak
miliknya menjadi tetap dengan cara pembagian jika modal sudah berbentuk uang
dan akad menjadi batal, bahkan jika ada kerugian setelah pembagian ia akan
dikurangi dari keuntungan yang sudah dibagikan dan menjadi hak miliknya dengan
kembalinya modal yang fasakh
tanpa pembagian. Ini artinya hak milik dari keuntungan tidak tetap dan tanpa
perubahan kecuali jika modal sudah berbentuk uang kembali dan akad menjadi fasakh
baik pembagian selesai atau tidak. Adapun jika hanya sekear terlihatnya
keuntungan, maka dia tidak mendapat bagian namun dia akan mendapatkan bagian
yang ditetapkan dan jika si pemodal meninggal akan diwariskan, dan untuk mebayar
utangnya ditambah untuk biaya penyiapan proses penguburan sebab harta ini ada
kaitan langsung dengan si pemodal yang
meninggal. Dan tidak bisa masuk dalam hitungan keuntungan setiap
tambahan yang terjadi dari modal yang
bukan dikerjakan dari usaha si pekerja sebab bukan bagian dari hasil
perdagangan seperti bauh-buahan, anak hewan, dantambah-tambahan yang lain yang
bukan karena usaha si pekerja dan seandainya ia membeli seekor hewan yang hamil
atau pohon yang sedang berbuah dan bukan hasil kawin silang, maka pendapat yang
paling kuat bahwa anak dan buah bukan termasuk dari harta qiradh dan tidak
hanya milik si pemodal sendiri namun menjadi milik mereka berdua.
Ada yang mengatakan, bahwa si
pekerja berhak mendapatkan bagiannya dari keuntungan sebab dia satu dari dua
orang yang melakukan akad qiradh sehingga dia berhak mendapatkan keuntungan
saja.[30]
D.
PENUTUP
Mudharabah
adalah sebagi salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal (Rabb al-mal)
dengan seorang ahli (mudharib) dalam rangka menjalankan usaha.
Mudharabah
dalam fiqh maudharabah digunakan terutama sebagai suatu instrumen dagang yakni
jual beli baik jarak jauh (luar kota) ataupun perdagangan local (dikota
sendiri) kalangan madzab maliki dan syafi’i menekankan bahwa mudharabah adalah
instrumen yang murni.
Landasan
hukum akad mudharabah yaitu QS Al-Jumu’ah: 10
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$#
(#rãϱtFR$$sù
Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur
`ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur
©!$#
#ZÏWx.
ö/ä3¯=yè©9
tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
Artinya: “ Apabila telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”(QS.Al-Jumu’ah:10)
Hukum diperbolehkannya
melakukan akad mudharabah telah disepakati oleh para ulama dan fuqoha’. Dalam
melakukan akad mudharabah ini terdapat rukun yang wajib di penuhi yaitu :
a.
Malik (
pemilik modal)
b. Amil (yang akan menjalankan modal)
c. Amal (pekerjaan pengelolaan harta sehingga
menghasilkan laba)
d. Mal (harta pokok/modal)
e. Akad mudharabah
f.
Keuntungan
Sedangkan syarat-syarat sahnya
akad mudharabah yaitu:
a. Modal berbentuk uang
b. Orang yang melakukan akad disyaratkan mampu
melakukan tasyaruf.
c. Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat
dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba yang diperoleh.
d. Keuntungan dibagi dua, atau sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati.
e. Melakukan ijab qabul.
Mudharabah ada dua macam yaitu
mudharabah mutlalaqoh (tidak terikat/bebas)
dan mudharabah muqqoyad (terikat)
Hukum muhdarabah menurut sah
tidaknya juga ada dua yaitu mudharabah shahih dan mudharabah fasad.
Hal-hal yang membatalkan akad
mudharabah antara lain adalah sebagai berikut:
a. Fasakh (pembatalan) dan larangan usaha atau
pemecatan
b. Kematian salah satu pelaku akad
c. Salah satu pelaku akad gila
d. Murtadnya pemilik modal
e. Rusaknya modal mudharabah ditangan mudharib
Dalam
hal pembiayaan Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada
dasarnya di bebankan kepada pengelola modal,namun tidak masalah biaya diambil
dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut
kebiasaan.
Aplikasi
akad mudharabah dalam bank syariah yaitu berbentuk product-product transaksi
perbankan, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran Tarjamahan.Departemen Agama. QS.
Al-Muzzammil: 20
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin. 2007. shahih sunan Ibnu Majah. Jakarta:Pustaka
Azzam.
Abdul
Aziz, zainuddin bin. Tarjamah Fat-hul Mu’in 2. Surabaya: Al-Hidayah
Anas, Imam malik bin. 2006. Al-Muwatha’lil Imam Malik. Jakarta :
Pustaka Azzam.
A.Rahman
I, Doi. 2002. Penjelasan Lengkap hukum-hukum Allah. Jakarta: PT
RajaGrafindo.
Az-Zuhaili, Wahab . 2011. Fiqh Islam 5. Jakarta:Gema
Insani.
Azzam,
Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat “ Sistem Transaksi dalam Islam. Jakarta: Amzah.
Badawi
al-khalafi, Abdul ‘azhim bin. Al-Wajiz Fiqhis Sunnah Kitabil ‘Aziz. Jakarta:Pustaka
as-Sunnnah.
Dhibgul
Al-Bhago, Musthofa. Kitab Al-Tadhib. Malang: Ma’had Sunan Ampel Al-Aly.
Djamali,
R.Abdul. 2002. Hukum Islam “ Berdasarkan Ketentuan Kurimkulum Konsorsium
Ilmu Hukum”. Bandung: Mandar Maju
Suhendi,
Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasan,
M.Ali . 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT
GrafindoPersada.
Qasim,
muhammad. 1995. Fathul Qorib
jilid 1. Surabaya: PT Karya Aditama.
Syarifuddin,
Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:Prenada Media.
Wiroso.
2005. Penghimpunan Dana Dan
Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT Grasindo.
[1] QS.
Al-Muzzammil: 20
[2] Wiroso, Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha
Bank Syariah, (Jakarta:PT Grasindo, 2005)hlm.33-34
[3]Dhibgul
Al-Bhago, Musthofa. Kitab Al-Tadhib: 140
[4] ‘Abdul ‘azhim bin Badawi al-khalafi, Al-Wajiz
Fiqhis Sunnah Kitabil ‘Aziz, (Jakarta:
Pustaka as-Sunnnah, 2007, cetakan ketiga), hlm. 689
[6] Ibid.
hlm. 136
[7]
Ibid.
[8]
Ibid
[9]
Asy-syekh zainuddin bin abdul aziz malibari, kitab tarjamahan Fathul mu’in 2,
(Surabaya: Al-Hidayah), hlm 320-321.
[10]
Az-syekh muhammad bin qasim al-ghazy, Fathul Qorib Jilid 1, hlm.417-418.
[12] Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media,
2003), Hlm, 245.
[13]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, shahih sunan Ibnu Majah, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), Kitab At-tijarah no. 2280
[14] Abdul
‘azhim bin Badawi al-khalafi, Al-Wajiz
Fiqhis Sunnah Kitabil ‘Aziz, (Jakarta:
Pustaka as-Sunnnah, 2007, cetakan 3), hlm. 689
[15]
Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hlm. 479
[16]Dr.Wahab
Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 139.
[17] Dr.Wahab
Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hlm, 482-489.
[18] Dr.Wahab Az-Zuhaili,
Fiqh Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hlm. 479
[19] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5, (Jakarta:
Gema Insani, 2011), Hlm. 489.
[20] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5(Jakarta:Gema Insani,
2011)Hlm.491-492.
[21] M.Ali
Hasan, Berbagai macam transaksi dalam islam, (jakarta: GrafindoPersada,
2003), hlm. 179-180.
[22] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5(Jakarta:Gema Insani,
2011)Hlm.508-511
[23] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5, (Jakarta:Gema
Insani, 2011), Hlm.1201
[24] H.Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 141-142.
[26] Doi,
A.Rahman I,Penjelasan Lengkap hukum-hukum Allah, (Jakarta: PT
RajaGrafindo.2002).hlm.466.
[27] Wiroso,
Penghimpunan Dana Dan Distribusi
Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta:PT Grasindo, 2005)hlm.46
[28]R. Abdul
Djamali, (Hukum Islam): 176
[29] PROF.
DR. Abdul aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Muamalat ‘ Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 263.
[30] PROF. DR. Abdul aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat ‘ Sistem Transaksi Dalam Fiqh
Islam, (Jakarta : Amzah, 2010), hlm.
264-265.
Assalaamu'alaikum,,, bagaimana dengan kasus investasi/tanam modal dibidang sapi perah,,yang mana penanaman modal pada tanggal 14 Januari 2019 senilai 19.500.000 dengan mendapatkan 2ekor sapi,,pada setiap tanggal 14 dibulan berikutnya, mendapatkan nisbah 2.200.000,selama 6 bulan,,memasuki bulan ke7 masuk masa kering,artinya sapi sedang bunting tidak menghasilkan susu,bulan ke 12 dapat bagian pedet(anakan sapi tersebut),,bulan ke13 dapat nisbah lagi sampai 6 bulan berikutnya,,begitulah seterusnya sampai kontrak 3 tahun,, pertanyaan saya masuk dalam katagori apa aqad tersebut,,,halal apa haramkan harta dari usaha tersebut,,mohon penjelasannya,,,
BalasHapus