Senin, 29 April 2013

FIQH MU'AMALAH



A.     PENDAHULUAN
Allah SWT selalu menciptakan makhluknya dengan berpasang-pasangan. Misalnya saja ada yang cantik namun juga ada yag jelek, ada yang pintar ada juga yang kurang pintar, dan ada yang kaya ada juga yang miskin. Hal ini di ciptakan memang untuk saling melengkapi.
            Manusia merupakan mahluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk mempertahankan hidupnya. Maka dari itu, islam mengajarkan suatu bentuk kerjasama yang berorientasi untuk mendapatkan keuntungan. Kerja sama yang di maksud pada pembahasan ini adalah bentuk tolong-menolong yang disuruh dalam agama selama kerja sama itu tidak dalam bentuk dosa dan permusuhan sebagaimna dinyatakan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 2:
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
 Artinya:  “ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”  (QS. Al- maidah : 2)
            Kerjasama dalam usaha perdagangan dan industri dapat terjadi antara pemilik modal dengan pengusaha, yang satu menyerahkan modal dan yang lain menyediakan tenaga, kerjasama seperti ini disebut dengan  mudharabah.
            Mudharabah memberikan kemudahan bagi pergaulan manusia dalam kehidupan dan keuntungan timbal balik tanpa ada pihak yang dirugikan. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat orang yang punya modal dan tidak pandai berniaga, sedangkan di pihak lain ditemukan orang yang mampu berniaga tetapi tidak memiliki modal. Dengan cara mudharabah ini kedua belah pihak bisa mendapatkan keuntungan secara timbal balik.





B.     SUBTANSI
1.     Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa kata mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil- ardhi, yang melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah berfirman :
  tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#  . ÇËÉÈ  
Artinya: “Dan orang-oang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah”.[1]
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
            Perkataan mudharabah diambil dari perkataan “darb (usaha) diatas bumi . Dinamakan demikian karena mudharib berhak untuk bekerja sama bagi hasil atas jerih payah dan usahanya. Selain mendapatkan keuntungan ia juga berhak untuk mempergunakan modal dan menentukan tujuannya sendiri. Orang-orang Madinah menyebut kontrak model ini dengan sebutan muqaradah” dimana perkataan ini diambil dari kata “qard” berarti “menyerahkan”. Dalam hal ini pemilik modal akan menyerahkan atas modalnya terhadap amil (pengguna modal).[2]
            Jadi modal yang telah diserahkan adalah amanah dari pemilik modal, namun dalam hal pengmbangan usaha di serahkan secara mutlak kepada pengusaha. Sehingga tidak ada campur tangan dari pemilik modal dalam mengembangkan mengelola modal.
            Menurut sejarah, akad mudharabah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Diantara orang  yang melakukan akad mudharabah adalah Nabi Muhammad, saat itu beliau belum menjadi rasul. Beliau bermudharabah dengan siti khadijah, yang akhirnya menjadi istri beliau. Hati khadijah tertarik dengan sifat amanah, jujur, dan kebijaksanaan Muhammad dalam perniagaan dan mendapat keuntungan berlipat ganda, dan akhirnya mereka dijodohkan oleh Allah SWT sebagai suami istri yang dikaruniakan zuriat yang shaleh.
Dalam kitab Tadhib dijelaskan bahwa qiradh adalah:
ويسمى مضا ربة , والأصل فيه الأجماع  وعمل الصحا بة رضى الله عنهم . قال في تكملة المجموع. قال ابن المنذر : واجمع اهل العلم على جواز المضاربة في الجملة .وقال الصنعاني :لاخلا ف بين المسلمين في جواز القراض , وانه مما كا ن في الجا هلية فاقره الاسلا م.
   ونقل العمل بهذا عن عدد من الصحابة , منهم عمر وابنه عبدد الله وعثمانن ابن عفان , رضي الله عنهم . [3]
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akan perjanjian antara kedua pihak, yang salah satu diantaranya sebagai pemilik modal yang diberikan kepada pihak lain agar dikembangkan, dan keuntungan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.[4]
Istilah mudharabah yang dikemukakan oleh para ulama, adalah sebagai berikut:
a.       Menurut para fuqoha, mudharabah ialah akad antara dua pihak saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.[5]
b.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu. Mudaharabah adalah :
  عَقْدُ عَلَى الشِّرْ كَةِ فِى الرِّبحِ بِمَالٍ مِنْ اَحَدِ الجَانِبَيْنِ وَعَمَلٍ مِنَ اْلاخَرَ
Artinya:  Akad syirkah dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”[6]
c.       Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah :

عُقْدُ تَوْكِيْلِ صَادَرَمِنْ رَبِّ اْلمَالَ لِغَيْرِهِ عَلَى اَنْ يَتَجِرَ بِخُصُوصِ الَّنقْدَيْنِ (الَّذَهَبِ وَاْلفِضَّةِ )
Artinya: “Akad perwakilan, dimana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan ( mas dan perak)”[7]
d.      Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah:
عَقْدُ يَقْتَضِى أَنْ يَدْفَعَ شخصٌ  لِاخَرَ مَا لاً لِيَتَجـَّرَفِيْه
Artinya:“Akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan”.[8]
(وَيَصِحُّ قِرَاضٌ) وَهُوَ اَنْ يَعْقِدَ عَلَى مَالٍ يَدْفَعُوْهُ لِغَيْرِهِ لِيَتَّجِرَ فِيْهِ عَلَى اَنْ يَكُوْنَ الرِّ بْحُ  مُشْتَرَكًا بَيْنهُمَا (فِي نَقْدٍ خَا لِصٍ مَضْرُوْبٍ) لِاَ نَّهُ عَقْدُ غَرَرٍ لِعَدَمِ اِنْضِبَا طِ العَمَلِ وَ الوُثُوقِ بِا لرِّبْحِ .[9] 
       Qirad adalah suatu akad penyerahan harta oleh pemiliknya kepada orang lain untuk di perdagangkan,dan labanya dimiliki bersama. Qirad dapat sah dilakukan dalam bentuk uang emas atau perak murni yang telah tercetak,sebab qirad adalah akad yang tidak jelas (gharar) lantaran tidak terbatas pekerjaan (yang dikerjakan amil) serta tidak ada kepastian tentang labanya, Sedangkan menurut pendapat lain menyebutkan bahwa qiradh itu sendiri harus berupa uang (dirham dan dinar) yang murni, karena itu tidak sah akad qiradh dengan emas murni, emas perhiasan,emas yang campuran dan juga tidak sah dengan harta, seperti uang emas atau perak yang tercetak.[10]
       Dalam kitab al Muwatha’, karangan imam malik juga menjelaskan mengenai qiradh dalam bentuk barang. Yahya mengungkapkan, “ Malik berpendapat bahwa pemberi modal hanya boleh memberi modal dalam bentuk uang kepada pihak pengelola. Karena pemberian modal usaha dalam bentuk barang tidak diperbolehkan. Dan juga pemberian modal dalam bentuk barang hanya terjadi dalam dua kondisi: pertama, pemilik barang mengatakan kepada pihak lain. “ ambilah barang ini dan juallah. Kemudian gunakan uang dari hasil penjualannya untuk belanja barang, lalu belillah dengan cara pemberian modal.”   Dalam hal ini pemberi modal telah mensyaratkan keuntungan lebih untuk dirinya sendiri dari penjalan barang tersebut dengan biaya barang secukupnya. Kedua, pemilik barang mengatakan, “belilah dengan barang ini dan jualah. Jika kamu telah menjualnya, seperti barang yang aku berikan kepadamu. Kemudian keuntungan lebih dari barang tersebut kita bagi dua”.  Jika demikian yang terjadi maka perlu dipertimbangkan kadar atau jumlah modal yang diberikan kepada pengelola dalam aktivitas penjualan dan perbaikan barang. Lalu diberikan kepadanya. Selanjutnya uang tersebut dijadikan modal terhitung sejak uang itu berubah dalam bentuk dirham atau dinar serta terkumpul dalam bentuk uang  dan dikembalikan serupa kepada pemberian modal.[11]
     Dari penyataan di atas dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang modal dalam bentuk barang yang menjadi syarat dari akad mudharabah yang sah. Perlu juga diperhatikan modal dengan menggunakan barang sesungguhnya tidak diperbolehkan dan sebaiknya di hindari dan jika terjadi demikian maka maka perlu dipertimbangkan kadar atau jumlah modal yang diberikan kepada pengelola dalam aktivitas penjualan dan perbaikan barang. Lalu diberikan kepadanya. Selanjutnya uang tersebut dijadikan modal terhitung sejak uang itu berubah dalam bentuk dirham atau dinar serta terkumpul dalam bentuk uang  dan dikembalikan serupa kepada pemberian modal
2. Landasan Hukum Mudharabah

a.       Al-Quran
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya: “ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS.Al-Jumu’ah:10)
b.      Hadist
       Muamalah dalam bentuk mudharabah disepakati oleh ulama tentang kebolehannya. Dasar kebolehannya adalah pengalaman nabi yang memperniagakan modal yang diberikan oleh siti khadijah sebelum beliau diangkat menjadi Nabi . Secara khusus terdapat dari shuhaib yang diriwayatkan  Ibnu Majah.[12]
ثَلاَ ثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ اْلَبَيْعُ اِلَى اَجَلِ وَالْمُقَا رَضَةٌ وَخَلَطُ اْلبُرَّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ وَلاَ لِلْبَيْعِ
Artinya: “Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuj dijual “ (HR. Ibnu Majah)[13]
c. Ijma’
       para ulama’ sepakat atas bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatu sudah menjadi jelas.[14]
d.      Qiyas
       Mudharabah dapat diqiyaskan pada akad musaqoh (akad memelihara tanaman). Karena pertimbangan kebutuhan masyarakat kepadanya, karena manusia itu ada yang kaya ada yang miskin. Terkadang ada seseorang yang memiliki harta, tetapi tidak tahu bagaimana mengelolanya dan membisniskannya. Ada pula manusia yang tidak memiliki harta tapi pandai mengelola harta. Oleh karena itu, akad mudharabah ini dibolehkan secara syara’ untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan manusia yang berbeda.[15]
2.     Rukun dan Syarat Mudharabah
            Rukun qiradh atau mudharabah ada enam[16], yaitu :
a.      Malik ( pemilik modal)
b.      Amil (yang akan menjalankan modal)
c.       Amal (pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba)
d.      Mal (harta pokok/modal)
e.       Akad mudharabah
f.        Keuntungan
            Syarat sah mudharabah[17], yaitu :
a.       Syarat-syarat pelaku akad hal-hal yang disyaratkan dalam pelaku akad (pemilik modal dan mudharib) adalah keharusan memenuhi kecakapan untuk melakukan wakalah. Hal itu karena mudharib bekerja atas perintah pemilik modal dimana hal itu mengandung makna mewakilkan. Tetapi tidak disyaratkan harus beragama islam. mudharabah syah dilakukan antara seorang muslim dengan non-muslim yang mendapat perlindungan di negeri islam. menurut ulama malikiyah, mudharabah antara muslim dan non-muslim adalah makruh.
b.      Syarat-syarat modal.
·         Modal harus berupa uang yang masih berlaku, yaitu dinar dan dirham dan sejenisnya. Maka tidak boleh melakukan mudharabah dengan modal berbentuk barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak. Hal tersebut menurut pendapat mayoritas ulama.
·         Besarnya modal harus diketahui, jika besarnya modal tidak diketahui, maka mudharabah itu tidak syah, karena ketidakjelasan terhadap modal menyebabkan ketidakjelasan terhadap keuntungan. Sementara penentuan jumlah keuntungan merupakan syarat syh dalam mudharabah.
·         Modal harus barang tertentu dan ada, bukan hutang. Modal tidak syah dengan hutang dan modal yang tidak ada. Mudharabah yang dilakukan dengan hutang adalah mudharbah fasid.
·         Modal harus diserahkan kepada amil, hal itu agar amil bisa bekerja dengan modal tersebut. selain itu, karena modal tersebut merupakan amanah ditangan amil, tidak sah kecuali dengan menyerahkan kepadanya seperti halnya titipan.

c.       Syarat-syarat keuntungan
·         Besarnya keuntungan harus diketahui. Hal itu karena ma’quud alaih (obyek akad) atau tujuan dari akad adalah keuntungan, sementara ketidakjelasan terhadap objek akad dapat menyebabkan batalnya akad.
·         Keuntungan merupakan bagian dari milik bersama (musyaa’) yaitu dengan rasio persepuluh atau bagian dari keuntungan, seperti jika keduanya sepakat dengan sepertiga, atau seperempat, atau setengah.

3.     Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah ada dua jenis[18] yaitu :

a.       Mudharabah Muthlaqoh adalah seorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu, dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib (pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.

b.      Mudharabah Muqoyyadah adalah akad mudharabah yang pemilik modal menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilik modal memberikan seribu dinar, misalnya pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau tidak menjual dan membeli kecuali dari orang yang tertentu.

4.     Hukum-hukum mudharabah menurut syah dan tidaknya.
1.      Hukum Mudharabah Fasid
Salah satu contoh mudharabah fasid adalah mengatakan, “berburulah dengan jaring saya dan hasil buruannya dibagi di antara kita.” Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, hanabilah berpendapat bahwa pernyataan termasuk tidak dapat dikatakan mudharabah yang shahih karena pengusaha (pemburu) berhak mendapatkan upah atas pekerjannya, baik ia mendapatkan buruan atau tidak.
Hasil yang diperoleh pengusaha atau pemburu diserahkan kepada pemilik harta (modal), sedangkan pemburu tidak memiliki hak sebab akadnya fasid. Tentu saja, kerugian yang ada pun ditanggung sendiri oleh pemilik modal. Namun, jika modal rusak atau hilang, yang diterima adalah ucapan pengusaha dengan sumpahnya. Pendapat ulama Syafi’iyah dan hanabilah hampir sama dengan pendapat ulama hanafiyah.
a.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha dalam membeli, menjual, memberi, atau mengambil barang.
b.      Pemilik modal mengharuskan pengusaha untuk bermusyawarah sehingga pengusaha tidak bekerja, kecuali atas seizinnya.
c.       Pemilik modal memberikan syarat kepada pengusaha agar mencampurkan harta modal tersebut dengan harta orang lain atau barang lain miliknya.[19]
Dapat di simpulkan bahwa yang disebut mudharabah fasad karena tidak adanya kejelasan mengenai keuntungan bagi pengusaha. Pemilik modal mengsyaratkan “hasilnya dibagi antara aku dan kamu “ ini berarti adanya gharar, sedangkan pengusaha berhak mendapatkan keuntungan dari jerih payahnya.
2.      Hukum Mudharabah Sahih
Hukum mudharabah shahih yang tergolong shahih cukup banyak, di antaranya berikut ini:
a.       Tanggung Jawab Penguasa
Ulama fiqih telah sepakat bahwa pengusaha bertanggung jawab atas modal yang ada di tangannya, yakni sebagai titipan. Hal ini karena kepemilikan modal tersebut atas seizin pemiliknya.
Apabila pengusaha beruntung, ia memiliki hak atas laba secara bersama-sama dengan pemilik modal. Jika mudharabah rusak karena adanya beberpa sebab yang menjadikannya rusak, pengusaha menjadi pedagang sehingga ia pun memiliki hak untuk mendapatkan upah.
Jika harta rusak tanpa disengaja, ia tidak bertanggung jawab atas rusaknya modal tersebut. Jika mengalami kerugian pun, ditanggung oleh pengusaha saja. Jika disyaratkan bahwa pengusaha harus bertangung jawab atas rusaknya modal, menurut ulama hanafiyah dan hanabilah, syarat tersebut batal, tetapi akadnya sah. Dengan demikian, pengusaha bertanggung jawab atas modal dan berhak atas laba.
Adapun ulama malikiyah dan syafi’iyah berpendapat bahwa mudgarabah batal.
v  Tasharruf penguasaha, Hukum tentang Tasharrruf pengusaha berbeda-beda bergantung pada mudharabah mutlak atau terikat
1.       Pada Mudharabah Mutlak, Menurut ulama hanafiyah, jika mudharabah mutlak, maka pengusaha berhak untuk beraktivitas dengan modal tersebut yang menjurus kepada pendapatan laba, seperti jual-beli. Begitu pula pengusaha dibolehkan untuk membawa modal tersebut dalam suatu perjalanan dengan maksud untuk mengusahakan harta tersebut. Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pengusaha adalah :
a.       Pengusaha hanya boleh mengusahakan modal setelah ada izin yang jelas dari pemiliknya.
b.      Menurut ulama malikiyah, pengusaha tidak boleh membeli barang dagangan melebihi modal yang diberikan kepadanya.
c.       Pengusaha tidak membelanjakan modal selain untuk mudharabah, juga tidak boleh mencampurkannya dengan harta miliknya atau harta milik orang lain. Dalam mudharabah mutlak, menurut ulama hanafiyah, pengusaha menyerahkan modal terseebut kepada pengusaha lainnya atas seizin pemilik modal. Namun demikian, harta tersebut tetap berada di bawah tanggung-jawabnya (pengusaha pertama). Jika mendapatkan laba, laba tersebut dibagikan kepada pemilik modal dan pengusaha pertama sesuai kesepakatan. Adapun bagian dari laba yang diterima oleh pengusaha pertama dibagi lagi dengan pengusaha kedua sesuai kesepakatan di antara keduanya. Menurut ulama selain Hanafiyah, pengusaha bertanggung jawab atas modal jika ia memberikan modal kepada orang lain tanpa seizinnya, tetapi laba dibagi atas pengusaha kedua dan pemilik modal. Pengusaha pertama tidak berhak mendapatkan laba sebab laba diberikan kepada mereka yang berusaha secara sempurna. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa modal tidak boleh diberikan kepada pengusaha lain, baik dalam hal usaha maupun laba, meskipun atas seizin pemilik modal.

2.       Pada mudharabah terikat, Secara umum, hukum yang terdapat dalam mudharabah terikat sama dengan ketetapan yang ada pada mudharabah mutlak. Namun, ada beberapa pengecualian, antara lain :
a.       Penentuan tempat, Jika pemilik modal menentukan tempat, seperti ucapan,            “Gunakan modal ini untuk mudharabah, dengan syarat harus di daerah Tasikmalaya. Pengusaha harus mengusahakannya di daerah Tasikmalaya, sebab syarat tempat termasuk persyaratan yang dibolehkan. Apabila pengusaha mengusahakannya bukan di daerah Tasikmalaya, ia bertanggung jawab atas modal tersebut beserta kerugiannya.
b.       Penentuan orang, Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal untuk menentukan orang yang harus dibeli barangnya oleh pengusaha atau kepada siapa ia harus menjual barang, sebab hal itu termasuk syarat yang berfaedah. Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab hal itu mencegah pengusaha untuk mencari pasar yang sesuai dan menghambat pencarian laba.
c.       Penentuan waktu, Ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan pemilik modal menentukan waktu sehingga jika melewati batas, akad batal. Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah melarang persyaratan tersebut sebab terkadang laba tidak dapat diperoleh dalam waktu sebentar dan terkadang dapat diperoleh pada waktu tertentu.[20]

5.     Hak-hak pengusaha dan pemilik modal.
1.      Pengusaha memiliki dua hak atas harta mudharabah, yaitu hak nafkah dan hak laba, yang telah ditentukan dalam akad.
a.       Hak nafkah (membelanjakan)
Para ulama berbeda pendapat dalam hak nafkah modal atau harta mudharabah. Secara umum, pendapat mereka dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :
1.      Imam Syafi’i, menurut riwayat paling zahir, berpendapat bahwa pengusaha tidak boleh menafkahkan modal untuk dirinya, kecuali atas seizin pemilik modal sebab pengusaha akan memiliki keuntungan dari laba. Jika pengusaha mensyaratkan kepada pemilik modal agar dibolehkan menggunakan modal untuk keperluannya, akan menjadi rusak.
2.      Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Hanafi, dan Imam Zaidiyah berpendapat bahwa pengusaha berhak menafkahkan harta mudharabah dalam perjalanan untuk keperluannya, seperti pakaian, makanan, dan lain-lain. Hanya saja menurut Imam Malik, hal itu bisa dilakukan jika modal yang ada memang mencukupi untuk itu.
3.      Ulama Hanabilah membolehkan pengusaha untuk menafkahkan harta untuk keperluannya, baik pada waktu menetap maupun dalam perjalanan jika disyaratkan pada waktu akad. Dengan demikian, jika tidak disyaratkan pada waktu akad, tidak boleh menafkahkan modal. Di antara alasan para ulama membolehkan pengusaha untuk membelanjakan modal mudharabah untuk keperluan antara lain, jika modal boleh dinafkahkan, dikhawatirkan manusia tidak mau mudharabah sebab kebutuhan mereka cukup banyak ketika mudharabah. Belanja yang dibolehkan, sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, adalah kebutuhan sehari-hari, seperti makan, minum, pakaian, dan lain-lain, dengan syarat tidak berlebih-lebihan. Belanja tersebut kemudian dikurangkan dari laba, jika sudah ada laba. Jika tidak ada laba, diambil dari modal.
b.      Hak mendapatkan laba
Pengusaha berhak mendapatkan bagian dari sisa laba sesuai dengan ketetapan dalam akad, jika usahanya mendapatkan laba. Jika tidak, ia tidak mendapatkan apa-apa sebab ia bekerja untuk dirinya sendiri. Dalam pembagian laba, disyaratkan setelah modal diambil.
Diantara dalil-dalil yang mengharuskan pemilik modal mengambil modalnya terlebih dahulu adalah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Perumpamaan orang muslim seperti pedagang tidak menyerahkan laba sehingga menyerahkan modalnya.”

2.      Hak pemilik modal
a.       Keuntungan dibagi dihadapan pemilik modal dan pekerja pada saat pekerja mengambil bagian keuntungannya.
b.      Pekerja tidak boleh mengambil bagiannya tanpa kehadiran pemilik modal.
c.       Hak bagi pemilik modal mengambil bagian laba jika menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, pengusaha tidak mendapatkan apa-apa.[21]

6.     Pertentangan antara Pemilik dan Pengusaha
1.      Perbedaan dalam Mengusahakan Harta
Di antara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaan dalam hal kerumunan ber-tasharruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang disyaratkan, serta ukuran modal.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik dan pengusaha, yaitu satu pihak yang menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain yang menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum dalam perdagangan, yakni menyangkut pendapatan laba, yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara muthlaq dan muqayyad, yang diterima adalah pernyataan yang menyatakan muthlaq, seperti jika pemilik modal menyatakan, “Saya izinkan kamu untuk berdagang di Mesir. Tidak boleh berdagang selain di daerah itu.” Akan tetapi, pengusaha tidak mengakui bahwa pemilik modal menyebutkan tempat maka yang diterima adalah ucapan pengusaha, sebab lebih mendekati kemutlakan.
Jika kedua orang yang berakad berbeda dalam jenis usaha atau jenis barang yang harus dibeli, maka yang diterima adalah ucapan pemilik harta. Jika pemilik modal menyatakan bahwa modal di-tasharruf-kan kepada gandum, tetapi pengusaha menyatakan bahwa modal harus di-tasharruf-kan kepada pakaian, yang diterima adalah ucapan pemilik modal sebab pengusaha harus mengusahakan hartanya atas seizin pemilik modal.
2.      Perbedaan dalam Harta yang Rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya, maka yang diterima, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha, sebab pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yakni tidak ada khianat.
3.      Perbedaan tentang Pengembalian Harta
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha, bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal.
Adapun menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah yang diterima adalah ucapan pengusaha, sebab pengusaha dipercaya.
4.      Perbedaan dalam Jumlah Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlah modal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya.
5.      Perbedaan dalam Ukuran Laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal, jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
Ulama Malikiyah berpendapat, yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat :
a.       Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudharabah.
b.      Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama Syafi’iyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagian laba, harus diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaannya.

6.    Perbedaan dalam Sifat Modal
            Ulama Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa bila ada perbedaan dalam sifat modal, ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik harta, misalnya pemilik menyatakan, “Saya serahkan harta untuk mudharabah, berdagang, membeli sesuatu, dan lain-lain,” sedangkan pengusaha menyatakan bahwa harta itu diberikan kepadanya secara cuma-cuma sebab yang membayarkan adalah pemiliknya.[22]
7.     Perkara yang Membatalkan Mudharabah
Mudharabah dianggap batal pada hal berikut :
a.       Pembatalan, Larangan Berusaha, dan Pemecatan
Mudharabah menjadi batal dengan adanya pembatalan mudharabah, larangan untuk mengusahakan dan pemecatan. Semua ini jika memenuhi syarat pembatalan dan larangan, yakni orang yang melakukan akad mengetahui pembatalan dan pemecatan tersebut, serta modal telah diserahkan ketika pembatalan atau larangan. Akan tetapi, jika pengusaha tidak mengetahui bahwa mudharabah telah dibatalkan, pengusaha dibolehkan untuk tetap mengusahakannya.
b.      Salah Seorang Aqid Meninggal Dunia
Jumhur ulama berpendapat bahwa mudharabah batal, jika salah seorang aqid meninggal dunia, baik pemilik modal maupun pengusaha. Hal ini karena mudharabah berhubungan dengan perwakilan yang akan batal dengan meninggalnya wakil atau yang mewakilkan. Pembatalan tersebut dipandang sempurna dan sah, baik diketahui salah seorang yang melakukan akad atau tidak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah tidak batal dengan meninggalnya salah seorang yang melakukan akad, tetapi dapat diserahkan kepada ahli warisnya, jika dapat dipercaya.
c.       Salah Seorang Aqid Gila
Jumhur ulama berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah, sebab gila atau sejenisnya membatalkan keahlian dalam mudharabah.
d.      Pemilik Modal Murtad
Apabila pemilik modal murtad atau terbunuh dalam keadaan murtad, atau bergabung dengan musuh serta telah diputuskan oleh hakim atas pembelotannya, menurut Imam Abu Hanifah, hal itu membatalkan mudharabah sebab bergabung dengan musuh sama saja dengan mati. Hal itu menghilangkan keahlian dalam kepemilikan harta, dengan dalil bahwa harta orang murtad dibagikan di antara para ahli warisnya.
e.       Modal Rusak di Tangan Pengusaha
Jika modal rusak ditanggan mudharib sebelum dibelanjakan sesuatu. Maka akad mudharabahnya batal. Pasalnya, modal menjadi spesifik untuk mudharabah dengan adanya penerimaan barang, sehingga akadnya batal dengan rusaknya modal, seperti wadi’ah
Demikian juga akad mudharabah batal dengan digunakannya modal oleh mudharib, dinafkahkan atau diberikan kepada orang lain kemudian digunakan oleh orang tersebut, hingga mudharib tidak memiliki hak untuk membeli sesuatu untuk mudharabah. Jika mudharib mengganti modal yang digunakannya, maka dia dapat membelanjakan kembali modal tersebut untuk mudaharabah.
Jika mudharib tidak untung, maaka dia tidak wajib untuk meminta utang tersebut, karena dia dalam hal ini dia dianggap sebagai wakil dan wakil bekerja dengan suka rela. Orang yang bekerja dengan sukarela tidak dapat dipaksa untuk memenuhi tindakan sukarela. Hanya saja mudharib diperintahkan untuk mengalihkan ( hiwalah) pemilik modal pada orang lain yang berutang untuk mengambil haknya padanya hingga pemiik modal bisa menerima modalnya.[23]
Jadi rusaknya akad  mudaharabah juga disebabkan oleh rusaknya modal ditangan mudharib. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa seorang mudharrib haruslah orang yang amanah, dapat diprcaya untuk melakukan suatu akad kerjasama. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
8.             Biaya pengelolaan mudharabah
Biaya bagi mudharib diambil dari hartanya sendiri, selama ia tinggal di lingkungan atau daerahnya sendiri, demikian juga bila ia mengadakan perjalanan untuk kepentingan mudharabah. Bila biaya mudharabah diambil dari keuntungan, kemungkinan pemilik harta atau modal tidak akan memperoleh bagian dari keuntungan karena mungkin saja biaya tersebut sama besar atau lebih besar daripada keuntungan. Namun jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah guna keperluan dirinya ditengah perjalanan atau karena penggunaan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka ia boleh menggunakan odal mudharabah.[24]
Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya di bebankan kepada pengelola modal,namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.
9.     Tindakan setelah matinya pemilik modal
            Jika pemilik modal meninggal duni, mudharabah menjadi fasakh. Bila mudharabah telah fasakh pengelola modal tidak berhak mengelola modal mudharabah lagi. Jika pengelola menggunakan modal tersebut, sedangkan ia mengetahui bahwa pemilik modal telah meninggal dan tanpa izin ahli warisnya, maka perbuatan seperti ini dianggap sebagai ghasab. Ia wajib menjamin(mengembalikannya), kemudian jika modal itu menguntungkan, keuntungannya dibagi menjadi dua.
            Jika mudharabah telah fasakh atau batal, sdangkan modal berbentuk ‘uruud(barang dagangan),pemilik modal dan pengelola modal menjual atau membaginya, karena yang demikian itu adalah hak berdua. Jika pengelola modal setuju dngan penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, pemilik modal dipaksa menjualnya. Karena pengelola modal mempunyai hak dalam keuntungan dan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjualnya.[25]
10.Perbedaan antara kerjasama biasa dengan mudharabah
Kerjasama biasa itu ada selama partner-partner itu ada. Pembagian yang termasuk dalam bentuk perkongsian biasa adalah kecil. Semua partner menempati bagian yang aktif dalam perhatian dan kontribusi pembagian modalnya. Sementara dalam qiradh, pemilik modal menyediankan dana, sementara agen aktif mengoprasikan seluruh perhatiannya hampir tanpa kontrol pemilik modal. Agen dapat jauh dari tempat dimana perjanjian itu di lakukan. Dalam qiradh modal modal harus ada sebagai aturan umum secara kontan namun dalam bentuk perkongsian biasa hal tersebut tidak ada.[26]
11.  Aplikasi Dalam Perbankan  Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada  masyarakat dalam bentuk kredit  dan bentuk-bentuk lainnya. Sedangkan bank syariah yaitu bank yang  dijalankan berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Prinsip sayriah yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan dalam sesuai dengan syariah.
Penerapan produk-produk pembiayaan dan pendanaan perbankan syariah  dengan prinsip  mudharabah yaitu:
1.      Tabungan Mudharabah (Tabungan berjangka)
Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang telah disepakati, tetap tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan dengan itu. Para ahli perbankan zaman dahulu memberikan pengertian tabungan merupakan simpanan sementara sebelum pemilik melakukan pilihannya apakah si pemilik akan melakukan konsumsi atau untuk kepentingan investasi.
Tabungan mudharabah berlandaskan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 1 April 2000 tentang tabungan.  Tabungan mudharabah ini di kelola dengan prinsip mudharabah mutlaqhah karena pengelolaan dana investasi tabungan ini sepenuhnya diserahkan kepada mudharib. Tabungan mudharabah tidak dapat ditarik setiap saat, hal ini sangat berkaitan dengan pembagian hasil usaha.
Pembagian keuntungan berdasarkan pada nisbah yang disepakati pada awal kontrak antara bank dengan nasabah dan waji dituangkan pada perjanjian secara tertulis. Dalam bank islam tidak ada special rate yang adahanyalah special nisbah. Dalam special nisbah yang diberi hanya porsi pembagian keuntungan yang berbeda-beda dengan nisbah umum yang berlaku antara shahibul maal dengan mudaharib, sedangkan pendapatannya sangat tergantung dengan hasil usaha yang benar-benar diterima oleh pihak bank.[27]
2.      Deposito Mudharabah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpanan dengan bank yang bersankutan. Deposito ada dua:
a.       Deposito berjangka biasa
Deposito yang berakhir pada jangka waktu yang diperjanjikakn, perpanjangan hanya dapat dilakukan setelah ada permohonan baru.
b.      Deposite berjangka otomatis
Pada saat jatuh tempo, secara otomatis akan diperpanjang untuk jangka waktu yang sama tanpa pemberitahuan dari pemohon.
            Setiap jatuh tempo nasabah akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah dari hasil investasi yang telah dilakukan oleh bank. Periode penyimpanan  dana ditentukan berdasarkan periode bulanan. Bank dapat memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan kepada pemilik dana.







C.     
SKEMATIKA

Dapat di pahami dari bagan diatas, bahwa hal pertama yang di lakukan dalam mudharabah adalah adanya akad antara shahibul maal dengan mudharib ( pengusaha). Akad mudharabah dinyatakan sah jika telah memenuhi  syarat-syaratnya.  Shahibul maal merupakan pemilik modal yang akan membiayai proyek usaha yang akan di jalan kan oleh mudharib. Setelah usaha yang dijalankan mendapatkan laba maka pengusaha wajib mengembalikan modal usaha kepada shahibul maal. Laba yang tersisa kemudian di bagi sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan.
1.     Hikmah dari akad mudharabah
Akad mudharabah memberikan banyak manfaat bagi manusia, khususnya bagi orang islam. hikmah dari akad mudharabah diantaranya yaitu meningkatkan kehidupan masyarakat ekonomi lemah yang potensial dalam dunia usaha agar dapat hidup layak sebagaimana yang dikehendaki oleh setiap manusia.[28] Jadi secara umum hikmah yang dapat diambil adalah membentuk kehidupan masyarakat dalam keadaan makmur.
2.      Problematika-problematika akad  Mudharabah
Salah satu hal yang menyebabkan akad mudharabah batal adalah rusaknya modal ditangan mudahrib atau pengusaha. Permasalahannya adalah apa tindakan dari mudharib masih tetap berlaku dalam akad mudharabah yang rusak?
Jawab:
Tidak ada perbedaan bagi akan yang rusak dan akad yang batal. Keduanya satu arti. Akad akan batal atau rusak dengan hilangnya salah satu rukun dari rukun yang ada atau salah satu syarat dari syarat-syarat yang sudah ditetapka. Namun jika modal bukan uang atau keuntngan tidak diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak yang berakaddan apabila  keduanya memberikan syarat yang bertentangan  dengan maksud dari akad yaitu keuntungan dibagi dua dan jika akad rusak, maka pengelolaan pengusaha tetap berlaku, sebab walaupun akad batal namun izin tetap ada sehingga dia masih berhak mengelola, dan jika ada keuntungan si pengusaha tidak mendapatkan bagian.  Pengusaha hanya mendapatkan upah sesuai dengan standart upah harian.[29] Namun jika pengusaha rela menerima qiradh sesuai dengan hukum dan syarat-syarat aslinya maka si pengusaha ini tidak mendapatkan upah dari hasil usahanya, hal ini karena modal telah rusak ditangan pengusaha, dan akad pun batal.
Jika ada keuntungan dari modal, kapankah si pekerja mendapat bagian dalam keuntungan ?
Jawab :
Ada tiga pendapat dalam menyikapi permasalahan ini. Pertama,  sebelum terlihat sama dengan si pemodal. Kedua,  diberi bagian saja sebab jika dia mendapatkan keuntungan setelah keuntungan terlihat, maka ia sama saja dengan rekan kongsi bagi si pemodal dan jika ada yang rusak, maka dihitung dari dua harta tersebut dan tidak sebaliknya sebab dia mendapatkan bagian dengan cara pemberian sehingga hak miliknya  tidak tetap kecuali jika terjadi setelah fasakh  dan modal menjadi uang, bahkan seandainya ada keuntungan setelah dibagi ia akan dikurangi untuk menutupi keuntungan yang sudah dibagi.
            Si pekerja mendapat keuntungan dengan pembagiannya sebab kalau ia mendpat keuntungan setelah terlihat ada keuntungan dan sebelum dibagi, maka tidak ubahnya dengan partner dalam harta modal sehingga kekurangan yang terjadi setelah itu menjadi tanggungjawab berdua dan kejadiannya tidak.  Hanya saja hak miliknya menjadi tetap dengan cara pembagian jika modal sudah berbentuk uang dan akad menjadi batal, bahkan jika ada kerugian setelah pembagian ia akan dikurangi dari keuntungan yang sudah dibagikan dan menjadi hak miliknya dengan kembalinya modal yang  fasakh tanpa pembagian. Ini artinya hak milik dari keuntungan tidak tetap dan tanpa perubahan kecuali jika modal sudah berbentuk uang kembali dan akad menjadi fasakh baik pembagian selesai atau tidak. Adapun jika hanya sekear terlihatnya keuntungan, maka dia tidak mendapat bagian namun dia akan mendapatkan bagian yang ditetapkan dan jika si pemodal meninggal akan diwariskan, dan untuk mebayar utangnya ditambah untuk biaya penyiapan proses penguburan sebab harta ini ada kaitan langsung dengan si pemodal yang  meninggal. Dan tidak bisa masuk dalam hitungan keuntungan setiap tambahan yang terjadi  dari modal yang bukan dikerjakan dari usaha si pekerja sebab bukan bagian dari hasil perdagangan seperti bauh-buahan, anak hewan, dantambah-tambahan yang lain yang bukan karena usaha si pekerja dan seandainya ia membeli seekor hewan yang hamil atau pohon yang sedang berbuah dan bukan hasil kawin silang, maka pendapat yang paling kuat bahwa anak dan buah bukan termasuk dari harta qiradh dan tidak hanya milik si pemodal sendiri namun menjadi milik mereka berdua.
            Ada yang mengatakan, bahwa si pekerja berhak mendapatkan bagiannya dari keuntungan sebab dia satu dari dua orang yang melakukan akad qiradh sehingga dia berhak mendapatkan keuntungan saja.[30]
D.     PENUTUP
Mudharabah adalah sebagi salah satu bentuk kerja sama antara pemilik modal (Rabb al-mal) dengan seorang ahli (mudharib) dalam rangka menjalankan usaha.
Mudharabah dalam fiqh maudharabah digunakan terutama sebagai suatu instrumen dagang yakni jual beli baik jarak jauh (luar kota) ataupun perdagangan local (dikota sendiri) kalangan madzab maliki dan syafi’i menekankan bahwa mudharabah adalah instrumen yang murni.
Landasan hukum akad mudharabah yaitu QS Al-Jumu’ah: 10
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  
Artinya: “ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS.Al-Jumu’ah:10)
Hukum diperbolehkannya melakukan akad mudharabah telah disepakati oleh para ulama dan fuqoha’. Dalam melakukan akad mudharabah ini terdapat rukun yang wajib di penuhi yaitu :
a.      Malik ( pemilik modal)
b.      Amil (yang akan menjalankan modal)
c.       Amal (pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba)
d.      Mal (harta pokok/modal)
e.       Akad mudharabah
f.        Keuntungan
Sedangkan syarat-syarat sahnya akad mudharabah yaitu:
a.       Modal berbentuk uang
b.      Orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasyaruf.
c.       Modal harus diketahui dengan jelas, agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba yang diperoleh.
d.      Keuntungan dibagi dua, atau sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
e.       Melakukan ijab qabul.
Mudharabah ada dua macam yaitu mudharabah mutlalaqoh (tidak terikat/bebas)  dan mudharabah muqqoyad (terikat)
Hukum muhdarabah menurut sah tidaknya juga ada dua yaitu mudharabah shahih dan mudharabah fasad.
Hal-hal yang membatalkan akad mudharabah antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Fasakh (pembatalan) dan larangan usaha atau pemecatan
b.      Kematian salah satu pelaku akad
c.       Salah satu pelaku akad gila
d.      Murtadnya pemilik modal
e.       Rusaknya modal mudharabah ditangan mudharib
Dalam hal pembiayaan Kiranya dapat dipahami bahwa biaya pengelolaan mudharabah pada dasarnya di bebankan kepada pengelola modal,namun tidak masalah biaya diambil dari keuntungan apabila pemilik modal mengizinkannya atau berlaku menurut kebiasaan.
Aplikasi akad mudharabah dalam bank syariah yaitu berbentuk product-product transaksi perbankan, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.









DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran Tarjamahan.Departemen Agama. QS. Al-Muzzammil: 20
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. shahih sunan Ibnu Majah. Jakarta:Pustaka Azzam.

Abdul Aziz, zainuddin bin. Tarjamah Fat-hul Mu’in 2. Surabaya: Al-Hidayah
Anas,  Imam malik bin. 2006.  Al-Muwatha’lil Imam Malik. Jakarta : Pustaka Azzam.
A.Rahman I, Doi. 2002. Penjelasan Lengkap hukum-hukum Allah. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Az-Zuhaili, Wahab . 2011. Fiqh Islam 5. Jakarta:Gema Insani.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat “ Sistem Transaksi dalam Islam.  Jakarta: Amzah.
Badawi al-khalafi, Abdul ‘azhim bin. Al-Wajiz Fiqhis Sunnah  Kitabil ‘Aziz. Jakarta:Pustaka as-Sunnnah.

Dhibgul Al-Bhago, Musthofa. Kitab Al-Tadhib. Malang: Ma’had Sunan Ampel Al-Aly.

Djamali, R.Abdul. 2002. Hukum Islam “ Berdasarkan Ketentuan Kurimkulum Konsorsium Ilmu Hukum”. Bandung: Mandar Maju

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasan, M.Ali . 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT GrafindoPersada.
Qasim, muhammad. 1995.  Fathul Qorib jilid 1. Surabaya: PT Karya Aditama.

Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta:Prenada Media.

Wiroso. 2005.  Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: PT Grasindo.


[1] QS. Al-Muzzammil: 20
[2] Wiroso,  Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta:PT Grasindo, 2005)hlm.33-34
[3]Dhibgul Al-Bhago, Musthofa. Kitab Al-Tadhib: 140
[4]Abdul ‘azhim bin Badawi al-khalafi, Al-Wajiz Fiqhis Sunnah  Kitabil ‘Aziz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnnah, 2007, cetakan ketiga), hlm. 689
[5] H.Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 136.
[6] Ibid. hlm. 136
[7] Ibid.
[8] Ibid
[9] Asy-syekh zainuddin bin abdul aziz malibari, kitab tarjamahan Fathul mu’in 2, (Surabaya: Al-Hidayah), hlm 320-321.
[10] Az-syekh muhammad bin qasim al-ghazy, Fathul Qorib Jilid 1, hlm.417-418.
[11] Imam malik bin anas,  Al-Muwatha’lil Imam Malik,  (Jakarta : Pustaka Azzam, 2006),hlm.120.
[12] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003),  Hlm, 245.
[13]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, shahih sunan Ibnu Majah,  (Jakarta:  Pustaka Azzam,  2007),  Kitab At-tijarah no. 2280
[14] Abdul ‘azhim bin Badawi al-khalafi,  Al-Wajiz Fiqhis Sunnah  Kitabil ‘Aziz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnnah,  2007, cetakan  3), hlm. 689
[15] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani,  2011), Hlm. 479
[16]Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani,  2011), hlm. 139.
[17] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5 (Jakarta: Gema Insani,  2011), Hlm, 482-489.
[18] Dr.Wahab Az-Zuhaili,  Fiqh Islam 5, (Jakarta: Gema Insani,  2011), Hlm. 479
[19] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hlm. 489.
[20] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5(Jakarta:Gema Insani, 2011)Hlm.491-492.
[21] M.Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam islam, (jakarta: GrafindoPersada, 2003), hlm. 179-180.
[22] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5(Jakarta:Gema Insani, 2011)Hlm.508-511
[23] Dr.Wahab Az-Zuhaili, Fiqh Islam 5, (Jakarta:Gema Insani, 2011), Hlm.1201
[24] H.Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 141-142.
[25] H.Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 142.
[26] Doi, A.Rahman I,Penjelasan Lengkap hukum-hukum Allah, (Jakarta: PT RajaGrafindo.2002).hlm.466.
[27] Wiroso,  Penghimpunan Dana Dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta:PT Grasindo, 2005)hlm.46
[28]R. Abdul Djamali, (Hukum Islam): 176
[29] PROF. DR. Abdul aziz Muhammad Azzam,  Fiqh Muamalat ‘ Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,  (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 263.
[30]  PROF. DR. Abdul aziz Muhammad Azzam,  Fiqh Muamalat ‘ Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,  (Jakarta : Amzah, 2010), hlm. 264-265.

1 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum,,, bagaimana dengan kasus investasi/tanam modal dibidang sapi perah,,yang mana penanaman modal pada tanggal 14 Januari 2019 senilai 19.500.000 dengan mendapatkan 2ekor sapi,,pada setiap tanggal 14 dibulan berikutnya, mendapatkan nisbah 2.200.000,selama 6 bulan,,memasuki bulan ke7 masuk masa kering,artinya sapi sedang bunting tidak menghasilkan susu,bulan ke 12 dapat bagian pedet(anakan sapi tersebut),,bulan ke13 dapat nisbah lagi sampai 6 bulan berikutnya,,begitulah seterusnya sampai kontrak 3 tahun,, pertanyaan saya masuk dalam katagori apa aqad tersebut,,,halal apa haramkan harta dari usaha tersebut,,mohon penjelasannya,,,

    BalasHapus