Jumat, 26 April 2013

AL IJARAH



AL-IJARAH
(SEWA-MENYEWA)


Salah satu bentuk kegiatan manusia dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau “imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering mmenerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
Manusia merupakan makhluk social yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi), yaitu SEWA-MENYEWA

A.     Substansi Kajian

1.     Pengertian al-Ijarah
تعريفها: الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض , ومنه سمى الثواب أجرًا. وفى الشرع: عقد على المنافع بعوض, فلا يصح استجار الشجر من أجل الانتفاع بالثمر. لأن الشجرليس منفعةً, ولااستئجار النقدين, ولا الطعام للأكل ,ولا المكيل والموزون لأنه لا ينتفع بها إلا باستهلاك أعيانها. وكذلك لا يصح استئجار بقرةٍ أو شاةٍ أو ناقة لحلب لبنها لأن الإ جارة تملّك المنافع, وفى هذه الحال تملك اللبن وهو عين. والعقد يرد على المنفعة لاللعين.[1]
Al-Ijarah secara etimologi berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru/upah. Al-ijarah adalah akad suatu manfaat untuk jangka waktu tertentu dan dengan bayaran tertentu.
Dalam pengertian lain,
وكل ما أمكن الانتفاع به مع بقاء عينه صحت إجارته، إذا قدرت منفعته بأحد أمرين : بمدة أو عمل وإطلاقها يقتضي تعديل الأجرة، إلا أن يشترط التأجيل. ولا تبطل الإجارة بموت أحد المعاقدتين، وتبطل بتلف العين المستأجرة، ولا ضمان على الآجيرإلا بعوان.

Segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh (tidak berubah), maka boleh menyewakannya jika manfaatnya itu ditentukan dengan salah satu perkara: dengan jangka waktu atau pekerjaan. Ongkos ijarah (sewa) harus dibayar tunai. Kecuali jika ada perjanjian untuk menangguhkan pembayaran ongkos sewa tersebut.[2]
Ada beberapa definisi ijarah yang dikemukakan oleh para ulama’:
a. Ulama hanafiah
عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ  بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
d. Menurut syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijaroh ialah:
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan  yang diketahui ketika itu.”
e. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan ijaroh adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijaroh ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah adalah:
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu  pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat.”
Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah ad-Dzimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al-ijaroh.
Pada hakikatnya, pengertian ijarah menurut jumhur ulama Fiqh itu sama.
وَهِىَ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ فِى الْمَشْهُوْرِ وَحُكِىَ ضَمَّهَا وَهِىَ لُغَةً اِسْمٌ لِلْاِجَارَةِ وَشَرْعًا عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَا بِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَ الْاِبَا حَةِ بِعِوَضٍ مَعْلُوْمٍ.
Lafazh “ijarah” dengan dibaca kasrah huruf hamzahnya menurut pendapat yang masyhur, dan diceritakan bahwa lafazh tersebut dibaca dlammah hamzahnya
Ijarah menurut bahasa ialah nama bagi suatu upah, sedangkan menurut syara’ ialah suatu bentuk akad atas kemanfa’atan yang telah dimaklumi, disengaja dan nerima penyerahan, serta diperbolehkan dengan penggantian yang jelas. [3]
Sewa-menyewa ialah akad atas manfaat yang dimaksud lagi diketahui, dengan takaran yang diketahui menurut syarat-syarat, dan rukun yang telah ditentukan. Ada juga yang mendefinisikan: sewa-menyewa ialah melakukan akad untuk mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai denga perjanjian yang tellah ditentukan.
Sabda rasulullah saw:
اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَاَعْطَى الْحُجَّامَ اَجْرَهُ . رواه السيخان
Sesungguhnya rasulullah saw pernah berbekam kepada seseorang dan beliau member upah kepada tukang bekam itu. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)[4]  
Banyak ayat dan riwayat yang dijadikan argument oleh para ulama akan kebolehan ijarah tersebut. Landasan di al-Qur’an, diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Firman Allah dalam surat az-Zukhruf ayat 32 yang berbunyi:
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)tƒ |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±ŠÏè¨B Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ xÏ­GuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ  
 “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Adapun landasan sunnah tentang ijarah ini, antara lain ialah:
1.      Hadist riwayat Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:

وَاسْتَأْ جَرَ النَبِىُ  صلى لله عليه وستام : وَأبُوْ بَكْرِ رَجَلاً مِنْ بَنِى دِ يْلٍ هَا دِياً خريتا وَهُوَ عَلَى دِيْن كُفّاَرِ قُرَيْشٍ فَأَمَنَاهُ فَدَ فَعَا اِ ليْهِ رَا حِلَتَيْهِمَا وَوَعَدَاهُ غَا رَالثُوْرِبَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ فَأَتَا هُمَا بَرَا حِلَتَيْهِمَا.
“Rasulullah dan Abu Bakar pernah menyewa seseorang dari Bani al-Dii sebagai penunjuk jalan yang ahli, dan orang tersebut beragama yang dianut oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka berdua memberikan kepada orng tersebut kendaraannya dan menjanjikannya kepada orang tersebut supaya dikembalikan sesudah tiga malam di Gua Tsur.”
2.      Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi:
اُعْطُواالأَجِيْرَ أجُرَهُ قَبْلَ أنْ يَحِفَّ عَرَ قُهُ
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tangannya sebelum keringatnya kering.”
3.      Hadist riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasaiy dari Sa’d bin Abi Waqas menyebutkan:

كُنَّا نَكْرِى اْلاَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَا قِى مِنَ الزَّ رْعِ فَنَهى رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَنْ ذَا لِكَ وَاَمَرْنَا اَنْ نَكْرِ بَهَا بِذَهَبٍ اَوْ فِضَّةٍ.
“Dahulu kita menyewa tanah dengan jalan membayar dengan hasil tanaman yang tumbuh disana. Rasulullah lalu melarng cara yang demikian dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak.” [5]



2.     Sifat dan Hukum Ijarah
a.      Sifat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah Swt: “yang boleh dibatalkan”. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya,  jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an di atas.
Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.[6]

b.     Hukum Ijarah
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatannya.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.[7]
Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :

فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum Ijarah dari Al-hadis adalah:
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
Landasan Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.

c.      Pembagian dan Hukum Ijarah
وَلاَ تَصِحُّ اْلاِ جَا رَةُ اِلاَّ بِاِيْجَابٍ كَأ جَرْتُكَ وَقَبُوْلٍ كَإسْتَأْ جَرْتُ.
Ijarah hukumnya tidak  sah,kecuali harus ada Ijab, seperti: “aku menyewa (berburuh) kepadamu”. Dan harus pula ada Qabul, seperti : “aku menyewa kepadamu.”
Jadi untuk sahnya suatu akad Ijarah (sewa-menyewa) maka harus ada Ijab dan Qabul.
Contoh Ijab: seperti ucapan
“saya menyewakan barang ini kepadamu.”
Atau: “saya menyewakan kepadamu”
Atau juga: “ saya berikan kemanfaatan-kemanfaatan barang ini kepadamu selama satu tahun.”
Contoh Qabul: seperti ucapan
“saya menyewa”
Atau: “saya sewa barang ini”
Atau juga: “saya terima”[8]
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.[9]

Adapun objek ijarah adalah terdiri atas dua bentuk, yaitu :
1.      Ijarah bersifat manfaat, contoh sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian pengantin,dll
2.      Ijarah bersifat pekerjaan, yaitu dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, seperti buruh bangunan, penjahit, tukang sepatu, dll[10]

1.              Hukum Sewa-Menyewa
Dalam ijarah bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a.       Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan hukum akad ijarah berlaku sedikit demi sedikit atau setahap demi setahap, sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat. Hal itu karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit.
Akan tetapi menurut Syafi’iyah, ketetapan hukum akad ijarah itu berlaku secara kontan sehingga masa sewa dianggap seolah-olah seperti benda tampak.
Sebagai akibat dari perbedaan antara Hanafiah dan Malikiyah di satu pihak dan Syafi’iyah di pihak lain, timbul perbedaan antara mereka dalam masalah berikutnya.
1)     Hubungan antara uang sewa dengan akad
2)     Penyerahan barang yang disewakan setelah akad
3)     Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
b.      Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
1)     Sewa rumah, toko, dan semacamnya
Penyewa boleh memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja ia tidak boleh menempatkan barang-barang atau alat-alat berat yang nantinya akan membebani dan merusak bangunan yang disewanya.
2)     Sewa tanah
Dalam sewa tanah, harus dijelaskan tujuannya. Apabila tujuannya tidak dijelaskan, maka ijarah menjadi fasid. Hal ini karena manfaat dari tanah berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan bangunan, tanaman, dan jenisnya.
3)     Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaran, harus dijelaskan salah satu dari dua hal, yaitu waktu dan tempat. Demikian pula barang yang akan dibawa, dan benda atau orang yang akan diangkut harus dijelaskan, karena semuanya itu nantinya akan berpengaruh kepada kondisi kendaraanya. Apabila hal itu tidak dijelaskan maka bisa menimbulkan perselisihan antara penyewa dan yang menyewakan.
c.       Perbaikan Barang Sewaan
Menurut Hanafiah, apabila barang yang disewa itu mengalami kerusakan, maka yang berkewajiban memperbaikinya adalah pemiliknya, bukan penyewa.

d.      Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
Apabila masa sewa telah habis, maka kewajiban penyewa adalah sebagai berikut:
1)     Penyewa harus menyerahkan kunci rumah atau toko kepada pemiliknya.
2)     Apabila yang disewa itu kendaraan, maka penyewa harus mengembalikan kedaraan yang disewanya ke tempat asalnya.

2.              Hukum Upah-Mengupah.
Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Tenaga kerja ada dua macam, yaitu:
a)     Tenaga kerja khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu.
b)     Tenaga kerja musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya.



3.       Disyariatkannya Ijarah
Sama persis seperti jua beli dan pernikahan, disyariatkannya ijarah tidak memerlukan dalil karena ia termasuk di antara dharurat (keharusan) yang bukan objek untuk ijtihad dan taklid. Meski demikian, ada beberapa ayat untuk tabarrruk (mengharapkan keberkahan) dan tayammun (mengharapkan kebaikan).
Di antaranya ayat yang dengan tegas menghalalkan mut’ah, yaitu firman Allah SWT: Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (melalui nikah mut’ah) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (QS. An-Nisa’: 24). Juga ayat tentang penyusuan, Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya (QS. Ath-Thalaq: 6). Adapun ayat 32 dari Surah az-Zukhruf: Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat “mempergunakan” sebagian yang lain” (sukhriyyan) tersebut ialah bahwa sebagian orang mempergunakan (memanfaatkan) orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu dengan upah dan imbalan.
Disebutkan dalam ajaran Ahlulbait ‘alaihimus salam bahwa lebih baik bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat mandiri (wiraswasta), seperti berdagang dan sebagainya, dan tidak bekerja untuk orang lain karena di dalam ijarah (yakni bekerja untuk orang lain dengan upah) terdapat pembatasan rezeki. Imam Shadiq as berkata, “Orang yang mempekerjakan dirinya (untuk orang lain dengan upah) telah membatasi rezekinya sendiri.”
Maksudnya bahwa semua hasil yang datang dan diperolah dari kerjanya adalah bukan miliknya, tetapi milik orang lain. Di dalam riwayat lain dari Imam ash-Shadiq as disebutkan bahwa beliau berkata, “Jangan seseorang menyewakan dirinya. Akan tetapi, hendaklah dia meminta rezeki dari Allah dan berdagang. Jika dia menyewakan dirinya, maka dia telah menolak rezekinya”.
Akan tetapi, tak diragukan bahwa kemakruhan ijarah ini akan terangkat jika seseorang terpaksa untuk itu dan dia tidak mendapatkan jalan reseki kecuali dengannya. Imam Ali, Amirul Mukminin as pun pernah bekerja untuk seorang Yahudi ketika berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah, dan beliau tidak mau bergantung dan menjadi beban bagi orang lain.[11]

4.       Syarat al-Ijarah
a.       Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad.[12]
Syarat ini didasarkan pada firman Allah Swt:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu*; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

*Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

       Ijarah dapat dikategorikan jual-beli, sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
a.       Mengetahui manfaatnya.
Seperti menempati rumah sewa, atau menjahitkan pakaian. Karena sewa-menyewa itu seperti jual beli, dan jual beli itu harus diketahui barang yang akan dibeli.
b.      Harus perkara yang mubah (dibolehkan) manfaatnya.
Maka tidak boleh menyewa seorang budak perempuan untuk digauli (disetubuhi), atau menyewa seorang perempuan untuk menyanyi atau meratapi mayat misalnya, atau menyewa sebidang tanah untuk dibangun gereja atau tempat minum minuman keras (bar).
c.       Mengetahui upahnya.
Berdasarkan perkataan Abu Sa’id r.a, “Rasulullah saw melarang menyewa pekerja sehingga dijelaskan mengenai upahnya kepadanya.” (HR. Ahmad 3/59, 68, 71). [13]

       Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaiman syarat dalam jual beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.

a.       Syarat Terjadinya Akad
Syarat in”inqad (terjadnya akad) berkaitan dengan aqid, zad akad, dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
     Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
     Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikatagorikan ahli akad.

b.      Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

c.       Syarat Sah Ijarah
     Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-‘aqad), yaitu:
1)  Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
2)  Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
3)  Penjekasan waktu
4)  Sewa bulanan
5)  Penjelasan jenis pekerjaan
6)  Penjelasan waktu kerja
7)  Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenui secara syara’
8)  Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
9)  Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
10)  Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
11)  Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.

d.      Syarat Barang Sewaan (Ma’qud ‘alaih)
       Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atu dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadis Rasululullah SAW, yang melarang menjual barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.

e.       Syarat Kelaziman
       Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1)     Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2)     Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.[14]

d.     Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.[15]
Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:
a.       Ada yang menyewa dan yang mempersewakan (‘aqid). Syaratnya adalah:
1)       Berakal
2)       Berkehendak sendiri (bukan dipaksa).
3)       Keduanya tidak bersifat mubazir.
4)       Balig (minimal berumur 15 tahun).
b.       Shighat akad.
c.       Sewa. Disyaratkan keadaannya diketahui dalam beberapa hal:
1)        Jenisnya.
2)        Kadarnya.
3)        Sifatnya.
d.       Manfaat. Syarat manfaat:
1)     Manfaat yang berharga. Manfaat yang tidak berharga adakalanya karna ada larangan dari agama, misalnya menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain.
2)     Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
3)     Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun; atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor.
Menurut Ahmad Mujahidin rukun Ijarah yang terdapat pada pasal 295 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) terdiri atas :
·         Pihak yang menyewa
·         Pihak yang menyewakan
·         Benda yang diijarahkan, dan
·         Akad [16]

e.   Hak dan kewajiban dalam Ijarah
Akibat hukum tercapainya ijab qabul (shighat al ‘aqd) dalam akad ialah berlakunya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Kewajiban pihak yang menyewakan  (mu’jir) ialah menyediakan barang / jasa dengan imbalan akan mendapat upah (ujrah) dari penyewa (musta’jir). Apabila terjadi kerusakan barang akan menjadi tanggung jawab pihak yang menyewakan (mu’jir), kecuali kerusakan itu secara nyata disebabkan karena kelalaian dari pihak penyewa (musta’jir). Rasulullah SAW bersabda :
علي ا ليد ماأخذت حتي تؤديه (رواه أحمد)

Tangan yang mengambil bertanggung jawab sampai membayarnya (HR Ahmad).
Begitu pula dalam ijarah yang objeknya berupa manfaat perbuatan, berarti para pekerja kontrak yang disewa jasanya tak ubahnya seperti wakil dari orang yang memberikan kepercayaan untuk melakukan tugasnya. Karena itu pekerja sewaan wajib menanggung resiko kerusakan apapuun, kecuali karena kelalaian/ kesengajaan.

f.     Al-Ijarah Al – Muntahiyah bin- Tamlik ( Finanacial Lease )

Al Ijarah Al – Muntahiyah bit –Tamlik adalah perpaduan antara kontrak juala beli dengan akad sewa, atau akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan barang di tangan penyewa. Berdasarkan definisi ini, akad al-ijarah Al- muntahiyah bin –tamlik berbeda dengan akad ijarah biasa dalam hal :
·         Kotrak al-ijarah al muntahiyah bit tamlik terdiri atas dua akad, yakni akad sewa sampai dengan batas tertentu, serta akad perpindahan kepemilikan objek sewa di akhir masa perjanjian yang bersifat independen, baik dengan akad jual beli atau pun hibah. Artinya, di akhir masa sewa, pemilik barang berjanji akan menjual barang tersebut kepada penyewa, atau dengan akad hibah.
·         Biaya sewa yang dibayarkan penyewa, biasanya lebih besar dari upah sewa biasa. Biaya sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelian beserta besaran margin yang di inginkan. Ketika biaya sewa telah lunas terbayarkan di akhir masa sewa, kepemilikan barang akan bergeser kepada penyewa dengan akad yang independen, baik dengan akad jual beli atau hibah.
Al - Ijarah Al - muntahiyah bit - Tamlik merupakan instrument pembiayaan yang diperbolehkan oleh syara’, dengan dalil sebagai berikut:
·         Kontrak al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik bukanlah merupakan penggabungan dua akad, yakni sewa dan jual beli dalam satu akad, yang mana hal ini dilarang oleh syara’. Namun, ia terdiri atas dua akad yang terpisah, pertama dalam akad sewa, dan di akhir masa sewa dibentuk akad baru yang independen, yakni akad jual beli atau hibah.
·         Menurut ulama’ Hanabilah, pihak yang melakukan transaksi memilki kebebasan penuh dalam menentukan kesepakatan dan syarat dalam sebuah akad, dan hokum asal hal ini adalah hibah (diperbolehkan). Sepanjang, kesepakatan atau syarat tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash syara’ atau merusak kaidah syar’iyah. Atau syarat tersebut menafikkan substansi (maksud).
·         Adapun janji pihak yang menyewakan barang untuk melakukan transaksi perpindahan kepemilikan barang di akhir masa sewa, bukanlah suatu hal yang dapat merusak akad dalam pandangan syara’. Karena, janji bukanlah merupakan bentuk akad, dan tidak dapat merusak segala konsekuensi yang ada dalam akad. Atau dapat menjerumuskan pihak yang bertransaksi pada sesuatu yang dilarang syara’ seperti riba atau gharar. Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan, janji tersebut bersifat mengikat.
·         Ulama’ Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijarah) bisa digabungkan dengan akad jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang menfikkan substansi keduanya. Begitu juga dengan Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengakui keabsahan penggabungan dua akad ini dalam satu transaksi, karena tidak ada pertentangan substansi akad diantara keduanya.
·         Selain itu, juga terdapat fatwa dari konferensi fikih internasional pertama di bait at – tanwil al – Kuwaiti (7-11 maret 1987) yang mengakui keabsahan akad al – ijarah al- muntahiyah bit – tamlik yang di akhiri dengan akad hibah. Atau juga ketetapan ulama’ fikih dunia no. 44 dalaam sebuah konferensi di Kuwait (10-15 desember 1988) yang menghadirkan alternatif solusi, yakni akad ini diganti dengan jual beli kredit, atau akad ijarah, di mana di akhir perjanjian, penyewa diberi beberapa opsi, yaitu memperpanjang masa kontrak sewa, menyelesaikan akad dengan mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa dengan harga yang berlaku di pasaran.[17]

g.     Jenis-jenis ijarah
1.      Ijarah muthlaqoh atau leasing adalah proses sewa- menyewa yang biasa kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari, yang digunakan untuk menyewa dalam jangka waktu tertentu atau untuk tujuan suatu proyek atau usaha tertentu. Bentuk pertama biasanya digunakan untuk menyewa barang atau aset, sedangkan yang kedua dipakai untuk menyewa pekerja atau tenaga ahli.
2.      Bai’ takhrij atau ijarah wa iqtina adalah akad sewa menyewa bank ( muajjir ) dengan penyewa ( mustajir ) yang disertai janji bahwa pada saat yang telah ditentukan kepemilikan barang berpindah menjadi milik penyewa (mustajir).
3.      Musyarakah mutanaqisah adalah kombinasi akad musyarakah dan ijarah ( perkongsian dengan sewa ). Sistem ini dapat diterapkan dalam pemberian kredit rumah dan proses refinancing.[18]

h.      Jenis barang yang diijarahkan
Kebolehan melakukan akad ijarah, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) ditentukan jenis objeknya yaitu sebagai berikut
1.      Benda yang menjadi objek ijarah harus benda yang halal atau mubah
2.      Benda yang diijarah harus digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syariat
3.      Setiap benda yang dapat dijadikan objek jual beli dapat dijadikan objek ijarah


i. Menyewa pohon untuk mengambil buahnya
          Sebagian ulama berpendapat bahwa manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya sesuatu yang berupa zat, hanya harus semata-mata manfaat saja. Ulama yang berpendapat demikian tidak memperbolehkan pohon-pohon untuk mengambil buahnya, begitu juga menyewa binatang untuk mengambil bulu dan sebagainya.
          Ulama yang lain berpendapat bahwa tidak ada halangan menyewa pohon-pohon karena buahnya, berlaku seperti menyewa seorang untuk menyusukan anak. Sedangkan seorang perempuan untuk mengambil manfaat susunya, jelas boleh menurut ayat yang diatas, karena faedah yang diambil sesuatu dengan tidak mengurangi pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat.[19]


j.Sewa menyewa Rumah
Sewa menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh penyewa, atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan atau menyewakan kemabali.
Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak penyewa tidak merusak bangunan yang disewanya selain itu pihak penyewa atau orang yang menempati mempunyai kewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat dihuni, sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku di tengah-tengah masyarakat.[20]
k.   Penyewaan Pakaian
Apabila menyewa pakaian untuk dipakai secara muthlak,maka tidak boleh dipakai waktu tidur malam, sekalipun terjadi kebiasaan mereka melakukan yang seperti itu.

l.     Persewaan tanah
Tentang persewaan tanah para Fuqoha’ banyak berselisih  pendapat. Segolongan Fuqoha’  melarangnya sama sekali, dam mereka adalah golongan yang terkecil. Pendapat ini dikemukakan oleh Tawus dan Abu Bakar bin Rahman.
Humhur Fuqoha’  membolehkannya, tetapi mereka berselisih mengenai jenis barang yang dipakai untuk menyewa.
Sekelompok Fuqoha’  menyatakan bahwa penyewaan itu hanya boleh dilakukan dengan uang dirham dan dinar saja. Pendapat ini dikemukakan olah Robi’ah dan Sa’in bin Al-Musayyab. \
Sekelompok lain mnegatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan semua barang kecuali makanan. Baik dari makanan yang tumbuh di tanah itu atau bukan. Juga segala sesuatu yang tumbuh du tanah itu, baik berupa makanan atau bukan. Inilah pendapat Malik dan mayoritas pendukungnya.
Sekelompok lain lagi mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan apa saja selain makanan.
Fuqaha lain mngatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan barang, atau yang lain dengan syaratbukan merupakan bagian dari makanan yang tumbuh di tanah itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Sali Bin Abdullah dan sebagian ulama yang angkatan terdahulu. Ini juga merupakan pendapat Syafi’I dan lahir pendapat malik dalam Kitab al- Muwatha’.
Dan fuqaha lain lagi mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan segala sesuatu dan dengan sebagian dari penghasilan tanah itu. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad, ats-Tsauri, al-Laits, Abu Yusuf dan Muhammad dari pengikut Abu Hanifah, serta Ibnu Abi Laila, al-Auza’i, dan sekelopok fuqaha.

Alasan Fuqaha yang Melarang Persewaan Tanah
m. Perihal Resiko
Dalam hal perjanjian sewa-menyewa, risiko mengenai barang yang dijadikan obyek perpanjian sewa-menyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan), sebab si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat dari brang yang dipersewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya berhak atas manfaat barang/benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap berada pada pihak yang menyewakan.
Jadi apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa, maka tanggung jawab pemiliklah sepenuhnya, si penyewa tidak mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya, kecuali apabila kerusakan barang itu dilakukan dengan sengaja, atau dalam pemakaian barang yang disewanya, kurang pemeliharaan (sebagaimana lazimnya pemeliharaan barang seperti itu).[21]

n.     Menyewakan Barang Sewaan
Boleh kah penyewa menyewakan kembali baranga sewaannya? Menurut Sayyid Sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi baranga sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan baranag itu sesuai dengan penggunaaan yang di janjikan ketika akad awal. Misalnya, penyewaan seekor binatang, ketika akad awal dinyatakan bahwa binatang itu disewa untuk membajak sawah. Kemudian binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua, maka binatang itu harus digunakan untuk membajak pula. Penyewa pertama boleh menyewakan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau kurang sedikit atau bahkan lebih mahal dari harga penyewaan pertama. Hal ini boleh-boleh saja di lakukan. Menurut sayyid Sabiq kebiasaan seperti itu disebut al-Khulwu. Hal ini berlaku juga untuk penyewaan-penyewaan yang lainnya. Seperti, penyewaan rumah, kendaraan, dan alat-alat musik.
Sementara itu, menurut hendi suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-Mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir. Bila kerusakan itu akibat dari kelalaian penyewa (al-musta’jir) maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.[22]

o.      Pembatalan dan berakhirnya ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
Maksudnya bahwa pada barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa terdapat kerusakan ketika sedang berada di tangan pihak penyewa, yang mana kerusakan itu adalah diakibatkan kelalaian pihak penyewa sendiri. Dalam hal seperti ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan.
b.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
Maksudnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa mengalami kerusakan atau musnah sama sekali sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang diperjanjiakan.
c.       Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
Maksudnya barang yang menjadi sebab terjadinya hubungan sewa-menyewa mengalami kerusakan, sebab dengan rusaknya atau musnahnya barang yang menyebabkan terjadinya perjanjian maka akad tidak akan mungkin terpenuhi lagi.
d.      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
Dalam hal ini yang dimaksudkan, bahwa apa yang menjadi tujuan perjanjian sewa-menyewa telah tercapai, atau masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh kedua pihak.
e.       Menurut hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
Penganut Mahzab Hanafi menambahkan bahwa adanya uzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian sewa-menyewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari salah satu pihak.
Adapun yang dimaksud dengan uzur disini adalah suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin dapat terlaksana sebagaimana mestinya.[23]


p.     Pengembalian sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Adapun ketentuan pengembalian barang sewaan adalah sebagai berikut:
a.       Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, yaitu dengan cara menyerahkan langsung bendanya. Misalkan sewa-menyewa kendaraan.
b.      Jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong. Maksudnya tidak ada harta pihak penyewa di dalamnya, misalnya sewa-menyewa rumah.
c.       Jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[24]

B.  Skematika





Kesimpulan
Al-Ijarah secara etimologi berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru/upah. Al-ijarah adalah akad suatu manfaat untuk jangka waktu tertentu dan dengan bayaran tertentu. Secara terminologi, Menurut ulama Syafi’iyah, al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan cara member imbalan tertentu. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an di atas. Hukum ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.

Adapun syarat-syarat al-Ijarah, antara lain:
a.       Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
b.      Mengetahui manfaatnya.
c.       Harus perkara yang mubah (dibolehkan) manfaatnya.
d.      Mengetahui upahnya

Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:
a.    Ada yang menyewa dan yang mempersewakan (‘aqid). Syaratnya adalah:
1)  Berakal
2)  Berkehendak sendiri (bukan dipaksa).
3)  Keduanya tidak bersifat mubazir.
4)  Balig (minimal berumur 15 tahun).
b.    Shighat akad.
c.     Sewa. Disyaratkan keadaannya diketahui dalam beberapa hal:
1)  Jenisnya.
2)  Kadarnya.
3)  Sifatnya.
d.    Manfaat. Syarat manfaat:
1)  Manfaat yang berharga. Manfaat yang tidak berharga adakalanya karna ada larangan dari agama, misalnya menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain.
2)  Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
3)  Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun; atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor.
e.     Ujrah (Upah). Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
1)  Berupa harta tetap yang dapat diketahui.
2)  Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari Ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
3)   
DAFTAR PUSTAKA

  Mujahidin,Ahmad.2010.Kewenangan dan Prosedur    Penyelesaian
          Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Bogor : Ghalia
           Indonesia
Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir, Syekh. 2009. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim. Surakarta: Insan Kamil.
Sujak, Abu ter Imron Abu Amar. 1983. Fathul Qarib Jilid 1. Kudus: Menara Kudus.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2010 Fiqh Mu’amalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mughuniyah, Jawad Muhammad. 2009. Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Jakarta: Lentera.
Mudjahit A.K,dkk. 1994. Materi Pokok Fiqih II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama dan Universitas Terbuka.
Muslich, Ahmad Wardi, Drs. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Pasaribu, Chairuman, Haji, dkk. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Suhendi, Hendi, Haji. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sunarto, Achmad. TT. Fathul Qarib. Surabaya: Al-Hidayah.
Sahrani,Sohari, Abdullah, Ruf’ah, 2011. Fiqih Muamalah. Bogor:
            PT. Gali Indonesia
Rasjid,Sulaiman. 1994. Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru
            Algensindo
السابق السيد. 2009. الفقه السنة الجزء 3. فاكس: دار الحديث


[1] 138, السابق السيد. 2009. الفقه السنة الجزء 3. فاكس: دار الحديث, صفحة
[2] Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap, (Media zikir : Surakarta) halm 303
[3] Achmad Sunarto, Terjemah fat-hul Qarib, (Surabaya: Al-Hidayah,TT), hal 426.
[4] Mudjahit A.K,dkk, Materi Pokok Fiqih II (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama dan Universitas Terbuka, 1994,cet 3), hal, 403-404.
[5] Helmi Karim, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hal, 30-33.
[6] Rachmat Syafei, Op.Cit., hal, 130.
[7] Ibid., hal, 131.
[8] Imron Abu Amar, Fat-Hul Qarib Jilid 1 (Kudus: Menara Kudus, 1983), hal, 298-299.
[9] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010), hal, 328.
[10] Sholeh bin as sadlani, Taisirul Fiqh, hal 403
[11] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq (Jakarta: Lentera, 2009), hal, 678.
[12] Rachmat Syafe’i, Op.Cit., hal, 126.
[13] Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim (Surakarta : Insan Kamil, cet 2, september 2009), hal, 654.
[14] Rachmat Syafei, Log.Cit., hal, 125-129.
[15] Ibid., hal 125.
[16] Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan Prosedur penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia 2010, hal 186
[17] Dimyauddin Djuwaini, pengantar fikih muamalah, Yogyakarta : pustaka pelajar, 2008. Hal: 161-164.
[18] Ibid, hal 188
[19] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994, hal 304
[20] Chairuman Pasaribu, Hukum perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hal 55

[21] Chairuman Pasaribu, dkk, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal, 55.
[22] Abdur rahman al Ghazali,Ghufron Ihsan, Sapiudi Shidiq,Fiqih mu’amalah, Bab 18 hal.
[23] Ibid., hal,  57-59.
[24] Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet 5, 2010), hal, 122-123.

1 komentar:

  1. Halo, Aplikasi Pinjaman
    Apakah Anda tertarik untuk mendapatkan pinjaman @ 2%? Jika ya,? email kami sekarang untuk informasi lebih lanjut tentang pinjaman yang Anda butuhkan sebagai pinjaman. Sekarang silahkan hubungi kami di: gloryloanfirm@gmail.com bersama-sama dengan informasi di bawah ini.
    Penawaran kami $ 3,000.00 sampai $ 20,000.000.00 juga berlaku untuk informasi lebih lanjut
    {Lengkapi formulir di bawah pinjaman}
    Nama Anda: ===========
    COUNTRY: ===========
    NEGARA ===========
    ALAMAT: ===========
    GENRE: ===========
    Jumlah yang dibutuhkan: ===========
    PERIODE: ===========
    NOMOR TELEPON: =========== =============
    Nama Ibu Anita
    Hubungi kami melalui e-mail: gloryloanfirm@mail.com Salam

    Akun yang lebih baik untuk perusahaan yang sah.

    membalas

    BalasHapus