AL-IJARAH
(SEWA-MENYEWA)
Salah satu bentuk kegiatan manusia
dalam lapangan muamalah adalah Ijarah. Ijarah sering disebut dengan “upah” atau
“imbalan”. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering mmenerjemahkan kata Ijarah
dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu
barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang
luas.
Manusia merupakan makhluk social
yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia
bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di
dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna
memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi
dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut
ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari
sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi
sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu
Al’Qur’an dan Al-Hadits.
Konsep Islam mengenai
muamalah amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya.
Namun jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan.
Akhlakul Karimah secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam
ber-muamalah dan harus dipatuhi sepenuhnya.
Dan di sini
kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi
sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi),
yaitu SEWA-MENYEWA
A.
Substansi Kajian
1.
Pengertian al-Ijarah
تعريفها:
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض , ومنه سمى الثواب أجرًا. وفى الشرع: عقد على
المنافع بعوض, فلا يصح استجار الشجر من أجل الانتفاع بالثمر. لأن الشجرليس منفعةً,
ولااستئجار النقدين, ولا الطعام للأكل ,ولا المكيل والموزون لأنه لا ينتفع بها إلا
باستهلاك أعيانها. وكذلك لا يصح استئجار بقرةٍ أو شاةٍ أو ناقة لحلب لبنها لأن الإ
جارة تملّك المنافع, وفى هذه الحال تملك اللبن وهو عين. والعقد يرد على المنفعة
لاللعين.[1]
Al-Ijarah secara etimologi berasal dari kata al-ajru
yang berarti al-‘Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu
dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru/upah. Al-ijarah adalah akad
suatu manfaat untuk jangka waktu tertentu dan dengan bayaran tertentu.
Dalam pengertian lain,
وكل ما أمكن الانتفاع به مع بقاء عينه
صحت إجارته، إذا قدرت منفعته بأحد أمرين : بمدة أو عمل وإطلاقها يقتضي تعديل
الأجرة، إلا أن يشترط التأجيل. ولا تبطل الإجارة بموت أحد المعاقدتين، وتبطل بتلف
العين المستأجرة، ولا ضمان على الآجيرإلا بعوان.
Segala
sesuatu yang dapat dimanfaatkan dan keadaannya tetap utuh (tidak berubah), maka
boleh menyewakannya jika manfaatnya itu ditentukan dengan salah satu perkara:
dengan jangka waktu atau pekerjaan. Ongkos ijarah (sewa) harus dibayar tunai.
Kecuali jika ada perjanjian untuk menangguhkan pembayaran ongkos sewa tersebut.[2]
Ada beberapa definisi ijarah
yang dikemukakan oleh para ulama’:
a. Ulama hanafiah
عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan
pengganti.”
b. Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ
مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً
مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan
yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
d. Menurut syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh
Umairah bahwa yang dimaksud dengan ijaroh ialah:
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja
untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”
e. Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib bahwa
yang dimaksud dengan ijaroh adalah:
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan
syarat-syarat.”
f. Menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijaroh ialah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
g. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa ijarah
adalah:
“Akad yang objeknya ialah penukaran manfaat
untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan
menjual manfaat.”
Menurut Amir Syarifuddin al-ijarah secara sederhana dapat
diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.
Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda
disebut ijarah al’ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang
menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah
ad-Dzimah atau upah mengupah, seperti upah mengetik skripsi. Sekalipun objeknya
berbeda keduanya dalam konteks fiqih disebut al-ijaroh.
Pada hakikatnya, pengertian
ijarah menurut jumhur ulama Fiqh itu sama.
وَهِىَ بِكَسْرِ الْهَمْزَةِ فِى الْمَشْهُوْرِ وَحُكِىَ ضَمَّهَا
وَهِىَ لُغَةً اِسْمٌ لِلْاِجَارَةِ وَشَرْعًا عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ
مَعْلُوْمَةٍ مَقْصُوْدَةٍ قَا بِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَ الْاِبَا حَةِ بِعِوَضٍ
مَعْلُوْمٍ.
Lafazh “ijarah” dengan
dibaca kasrah huruf hamzahnya menurut pendapat yang masyhur, dan diceritakan bahwa lafazh tersebut dibaca dlammah hamzahnya
Ijarah menurut bahasa ialah
nama bagi suatu upah, sedangkan menurut syara’ ialah suatu bentuk akad atas
kemanfa’atan yang telah dimaklumi, disengaja dan nerima penyerahan, serta
diperbolehkan dengan penggantian yang jelas. [3]
Sewa-menyewa
ialah akad atas manfaat yang dimaksud lagi diketahui, dengan takaran yang
diketahui menurut syarat-syarat, dan rukun yang telah ditentukan. Ada juga yang
mendefinisikan: sewa-menyewa ialah melakukan akad untuk mengambil manfaat
sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai denga
perjanjian yang tellah ditentukan.
Sabda rasulullah saw:
اَنَّهُ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِحْتَجَمَ وَاَعْطَى الْحُجَّامَ اَجْرَهُ .
رواه السيخان
“Sesungguhnya rasulullah saw pernah berbekam
kepada seseorang dan beliau member upah kepada tukang bekam itu. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)[4]
Banyak ayat dan riwayat
yang dijadikan argument oleh para ulama akan kebolehan ijarah tersebut.
Landasan di al-Qur’an, diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam surat
az-Zukhruf ayat 32 yang berbunyi:
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)t |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±Ïè¨B Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ
“Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.”
Adapun
landasan sunnah tentang ijarah ini, antara lain ialah:
1. Hadist
riwayat Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:
وَاسْتَأْ
جَرَ النَبِىُ صلى لله عليه وستام :
وَأبُوْ بَكْرِ رَجَلاً مِنْ بَنِى دِ يْلٍ هَا دِياً خريتا وَهُوَ عَلَى دِيْن
كُفّاَرِ قُرَيْشٍ فَأَمَنَاهُ فَدَ فَعَا اِ ليْهِ رَا حِلَتَيْهِمَا وَوَعَدَاهُ
غَا رَالثُوْرِبَعْدَ ثَلاَثِ لَيَالٍ فَأَتَا هُمَا بَرَا حِلَتَيْهِمَا.
“Rasulullah dan Abu Bakar pernah menyewa seseorang dari Bani
al-Dii sebagai penunjuk jalan yang ahli, dan orang tersebut beragama yang
dianut oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka berdua memberikan kepada orng
tersebut kendaraannya dan menjanjikannya kepada orang tersebut supaya
dikembalikan sesudah tiga malam di Gua Tsur.”
2. Hadist
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang berbunyi:
اُعْطُواالأَجِيْرَ أجُرَهُ قَبْلَ
أنْ يَحِفَّ عَرَ قُهُ
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tangannya sebelum
keringatnya kering.”
3. Hadist
riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasaiy dari Sa’d bin Abi Waqas menyebutkan:
كُنَّا
نَكْرِى اْلاَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَا قِى مِنَ الزَّ رْعِ فَنَهى رَسُوْلُ الله
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَنْ ذَا لِكَ وَاَمَرْنَا اَنْ نَكْرِ بَهَا
بِذَهَبٍ اَوْ فِضَّةٍ.
“Dahulu
kita menyewa tanah dengan jalan membayar dengan hasil tanaman yang tumbuh
disana. Rasulullah lalu melarng cara yang demikian dan memerintahkan kami agar
membayarnya dengan uang mas atau perak.” [5]
2. Sifat
dan Hukum Ijarah
a. Sifat
Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah,
ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah Swt: “yang boleh
dibatalkan”. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada
pemenuhan akad.
Sebaliknya, jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah
adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu
yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan
pendapatnya pada ayat al-Qur’an di atas.
Berdasarkan dua pandangan di
atas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya salah
seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur
ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah kepada ahli warisnya.[6]
b. Hukum
Ijarah
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan
bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud
‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan
kemanfaatannya.
Adapun hukum ijarah rusak,
menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi
orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi syarat. Akan tetapi, jika
kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan
perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus
dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.[7]
Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an,
Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :
فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن
(الطلاق)
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah
upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum Ijarah dari Al-hadis adalah:
اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum krtingatnya
kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
Landasan
Ijma’nya ialah semua umat bersepakat, tidak ada seorang ulama pun yang
membantah kesepakatan (Ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka
yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.
c. Pembagian
dan Hukum Ijarah
وَلاَ تَصِحُّ اْلاِ جَا رَةُ اِلاَّ
بِاِيْجَابٍ كَأ جَرْتُكَ وَقَبُوْلٍ كَإسْتَأْ جَرْتُ.
Ijarah hukumnya tidak
sah,kecuali harus ada Ijab, seperti: “aku menyewa (berburuh) kepadamu”.
Dan harus pula ada Qabul, seperti : “aku menyewa kepadamu.”
Jadi
untuk sahnya suatu akad Ijarah (sewa-menyewa) maka harus ada Ijab dan Qabul.
Contoh
Ijab: seperti ucapan
“saya
menyewakan barang ini kepadamu.”
Atau:
“saya menyewakan kepadamu”
Atau
juga: “ saya berikan kemanfaatan-kemanfaatan barang ini kepadamu selama satu
tahun.”
Contoh
Qabul: seperti ucapan
“saya
menyewa”
Atau:
“saya sewa barang ini”
Atau
juga: “saya terima”[8]
Ijarah terbagi dua, yaitu
ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau
upah-mengupah.[9]
Adapun
objek ijarah adalah terdiri atas dua bentuk, yaitu :
1.
Ijarah bersifat manfaat,
contoh sewa menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian pengantin,dll
2.
Ijarah bersifat pekerjaan,
yaitu dengan cara memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan,
seperti buruh bangunan, penjahit, tukang sepatu, dll[10]
1.
Hukum Sewa-Menyewa
Dalam ijarah
bagian pertama ini, objek akadnya adalah manfaat dari suatu benda. Dibolehkan ijarah atas barang
mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang ijarah terhadap
benda-benda yang diharamkan.
a. Ketetapan
Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut
Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan hukum akad ijarah berlaku sedikit demi
sedikit atau setahap demi setahap, sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat.
Hal itu karena manfaat dari suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi
sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit.
Akan
tetapi menurut Syafi’iyah, ketetapan hukum akad ijarah itu berlaku secara
kontan sehingga masa sewa dianggap seolah-olah seperti benda tampak.
Sebagai
akibat dari perbedaan antara Hanafiah dan Malikiyah di satu pihak dan
Syafi’iyah di pihak lain, timbul perbedaan antara mereka dalam masalah
berikutnya.
1) Hubungan
antara uang sewa dengan akad
2) Penyerahan
barang yang disewakan setelah akad
3) Ijarah
dikaitkan dengan masa yang akan datang
b. Cara
Memanfaatkan Barang Sewaan
1) Sewa
rumah, toko, dan semacamnya
Penyewa boleh
memanfaatkannya sesuai dengan kehendaknya. Hanya saja ia tidak boleh
menempatkan barang-barang atau alat-alat berat yang nantinya akan membebani dan
merusak bangunan yang disewanya.
2) Sewa
tanah
Dalam sewa tanah, harus
dijelaskan tujuannya. Apabila tujuannya tidak dijelaskan, maka ijarah menjadi
fasid. Hal ini karena manfaat dari tanah berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan
bangunan, tanaman, dan jenisnya.
3) Sewa
kendaraan
Dalam menyewa kendaran,
harus dijelaskan salah satu dari dua hal, yaitu waktu dan tempat. Demikian pula
barang yang akan dibawa, dan benda atau orang yang akan diangkut harus
dijelaskan, karena semuanya itu nantinya akan berpengaruh kepada kondisi
kendaraanya. Apabila hal itu tidak dijelaskan maka bisa menimbulkan
perselisihan antara penyewa dan yang menyewakan.
c. Perbaikan
Barang Sewaan
Menurut
Hanafiah, apabila barang yang disewa itu mengalami kerusakan, maka yang berkewajiban
memperbaikinya adalah pemiliknya, bukan penyewa.
d. Kewajiban
Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
Apabila
masa sewa telah habis, maka kewajiban penyewa adalah sebagai berikut:
1) Penyewa
harus menyerahkan kunci rumah atau toko kepada pemiliknya.
2) Apabila
yang disewa itu kendaraan, maka penyewa harus mengembalikan kedaraan yang
disewanya ke tempat asalnya.
2.
Hukum Upah-Mengupah.
Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal
atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah suatu
akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Tenaga
kerja ada dua macam, yaitu:
a) Tenaga
kerja khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu.
b) Tenaga
kerja musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang
sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya.
3.
Disyariatkannya
Ijarah
Sama
persis seperti jua beli dan pernikahan, disyariatkannya ijarah tidak memerlukan
dalil karena ia termasuk di antara dharurat (keharusan) yang bukan objek
untuk ijtihad dan taklid. Meski demikian, ada beberapa ayat untuk tabarrruk (mengharapkan
keberkahan) dan tayammun (mengharapkan kebaikan).
Di
antaranya ayat yang dengan tegas menghalalkan mut’ah, yaitu firman Allah SWT: Maka
istri-istri yang telah kamu nikmati (melalui nikah mut’ah) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (QS. An-Nisa’: 24). Juga ayat
tentang penyusuan, Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya (QS. Ath-Thalaq: 6). Adapun ayat 32 dari
Surah az-Zukhruf: Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian
yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat “mempergunakan” sebagian
yang lain” (sukhriyyan) tersebut ialah bahwa sebagian orang
mempergunakan (memanfaatkan) orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu dengan
upah dan imbalan.
Disebutkan
dalam ajaran Ahlulbait ‘alaihimus salam bahwa lebih baik bagi seseorang
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat mandiri (wiraswasta), seperti
berdagang dan sebagainya, dan tidak bekerja untuk orang lain karena di dalam
ijarah (yakni bekerja untuk orang lain dengan upah) terdapat pembatasan rezeki.
Imam Shadiq as berkata, “Orang yang mempekerjakan dirinya (untuk orang lain
dengan upah) telah membatasi rezekinya sendiri.”
Maksudnya
bahwa semua hasil yang datang dan diperolah dari kerjanya adalah bukan
miliknya, tetapi milik orang lain. Di dalam riwayat lain dari Imam ash-Shadiq
as disebutkan bahwa beliau berkata, “Jangan seseorang menyewakan dirinya. Akan
tetapi, hendaklah dia meminta rezeki dari Allah dan berdagang. Jika dia
menyewakan dirinya, maka dia telah menolak rezekinya”.
Akan tetapi,
tak diragukan bahwa kemakruhan ijarah ini akan terangkat jika seseorang
terpaksa untuk itu dan dia tidak mendapatkan jalan reseki kecuali dengannya.
Imam Ali, Amirul Mukminin as pun pernah bekerja untuk seorang Yahudi ketika
berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah, dan beliau tidak mau bergantung
dan menjadi beban bagi orang lain.[11]
4.
Syarat al-Ijarah
Syarat ini didasarkan pada
firman Allah
Swt:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu*; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
*Larangan membunuh diri
sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain
berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
Ijarah
dapat dikategorikan jual-beli, sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat
ini berkaitan dengan ‘aqid.
a. Mengetahui
manfaatnya.
Seperti menempati rumah sewa, atau menjahitkan
pakaian. Karena sewa-menyewa itu seperti jual beli, dan jual beli itu harus
diketahui barang yang akan dibeli.
b. Harus
perkara yang mubah (dibolehkan) manfaatnya.
Maka tidak boleh menyewa
seorang budak perempuan untuk digauli (disetubuhi), atau menyewa seorang
perempuan untuk menyanyi atau meratapi mayat misalnya, atau menyewa sebidang
tanah untuk dibangun gereja atau tempat minum minuman keras (bar).
c. Mengetahui
upahnya.
Berdasarkan perkataan Abu
Sa’id r.a, “Rasulullah saw melarang menyewa pekerja sehingga dijelaskan
mengenai upahnya kepadanya.” (HR. Ahmad 3/59, 68, 71). [13]
Syarat ijarah terdiri empat macam, sebagaiman syarat dalam
jual beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz
(syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a. Syarat
Terjadinya Akad
Syarat in”inqad (terjadnya
akad) berkaitan dengan aqid, zad akad, dan tempat akad. Sebagaimana
telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang
melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta
tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri,
akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah mensyratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikatagorikan ahli
akad.
b. Syarat
Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang
harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang
tidak memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat
menjadikan adanya ijarah.
c. Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih
(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs
al-‘aqad), yaitu:
1) Adanya
keridaan dari kedua pihak yang akad
2) Ma’qud
‘Alaih bermanfaat dengan jelas
3) Penjekasan
waktu
4) Sewa
bulanan
5) Penjelasan
jenis pekerjaan
6) Penjelasan
waktu kerja
7) Ma’qud
‘alaih (barang) harus dapat memenui secara syara’
8) Kemanfaatan
benda dibolehkan menurut syara’
9) Tidak
menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya
10) Tidak
mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa
11) Manfaat
ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum.
d. Syarat
Barang Sewaan (Ma’qud ‘alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atu
dikuasai. Hal itu didasarkan pada hadis Rasululullah SAW, yang melarang menjual
barang yang tidak dapat dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.
e. Syarat
Kelaziman
Syarat
kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1) Ma’qud
‘alaih (barang sewaan) terhindar dari cacat
2) Tidak
ada uzur yang dapat membatalkan akad.[14]
d. Rukun
Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.[15]
Adapun menurut Jumhur ulama,
rukun ijarah ada empat, yaitu:
a.
Ada yang menyewa dan yang
mempersewakan (‘aqid). Syaratnya adalah:
1) Berakal
2) Berkehendak
sendiri (bukan dipaksa).
3) Keduanya
tidak bersifat mubazir.
4) Balig
(minimal berumur 15 tahun).
b.
Shighat akad.
c.
Sewa. Disyaratkan keadaannya
diketahui dalam beberapa hal:
1)
Jenisnya.
2)
Kadarnya.
3)
Sifatnya.
d.
Manfaat. Syarat manfaat:
1)
Manfaat yang berharga.
Manfaat yang tidak berharga adakalanya karna ada larangan dari agama, misalnya
menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain.
2)
Keadaan manfaat dapat
diberikan oleh yang mempersewakan.
3)
Diketahui kadarnya, dengan
jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun; atau diketahui
dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor.
Menurut
Ahmad Mujahidin rukun Ijarah yang terdapat pada pasal 295 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) terdiri atas :
·
Pihak yang menyewa
·
Pihak yang menyewakan
·
Benda yang diijarahkan,
dan
·
Akad [16]
e.
Hak dan
kewajiban dalam Ijarah
Akibat
hukum tercapainya ijab qabul (shighat al ‘aqd) dalam akad ialah berlakunya hak
dan kewajiban dari masing-masing pihak. Kewajiban pihak yang menyewakan (mu’jir) ialah menyediakan barang / jasa
dengan imbalan akan mendapat upah (ujrah) dari penyewa (musta’jir). Apabila
terjadi kerusakan barang akan menjadi tanggung jawab pihak yang menyewakan
(mu’jir), kecuali kerusakan itu secara nyata disebabkan karena kelalaian dari
pihak penyewa (musta’jir). Rasulullah SAW bersabda :
علي ا ليد ماأخذت حتي تؤديه
(رواه أحمد)
Tangan
yang mengambil bertanggung jawab sampai membayarnya (HR Ahmad).
Begitu pula dalam ijarah yang
objeknya berupa manfaat perbuatan, berarti para pekerja kontrak yang disewa
jasanya tak ubahnya seperti wakil dari orang yang memberikan kepercayaan untuk
melakukan tugasnya. Karena itu pekerja sewaan wajib menanggung resiko kerusakan
apapuun, kecuali karena kelalaian/ kesengajaan.
f.
Al-Ijarah
Al – Muntahiyah bin- Tamlik ( Finanacial Lease )
Al
Ijarah Al – Muntahiyah bit –Tamlik adalah perpaduan antara kontrak juala beli
dengan akad sewa, atau akad sewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan
barang di tangan penyewa. Berdasarkan definisi ini, akad
al-ijarah Al- muntahiyah bin –tamlik berbeda dengan akad ijarah biasa dalam hal
:
·
Kotrak
al-ijarah al muntahiyah bit tamlik terdiri atas dua akad, yakni akad sewa
sampai dengan batas tertentu, serta akad perpindahan kepemilikan objek sewa di
akhir masa perjanjian yang bersifat independen, baik dengan akad jual beli atau
pun hibah. Artinya, di akhir masa sewa, pemilik barang berjanji akan menjual
barang tersebut kepada penyewa, atau dengan akad hibah.
·
Biaya
sewa yang dibayarkan penyewa, biasanya lebih besar dari upah sewa biasa. Biaya
sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelian beserta besaran margin yang di
inginkan. Ketika biaya sewa telah lunas terbayarkan di akhir masa sewa,
kepemilikan barang akan bergeser kepada penyewa dengan akad yang independen,
baik dengan akad jual beli atau hibah.
Al - Ijarah Al - muntahiyah bit - Tamlik merupakan
instrument pembiayaan yang diperbolehkan oleh syara’, dengan dalil sebagai
berikut:
·
Kontrak
al-ijarah al-muntahiyah bit-tamlik bukanlah merupakan penggabungan dua akad,
yakni sewa dan jual beli dalam satu akad, yang mana hal ini dilarang oleh
syara’. Namun, ia terdiri atas dua akad yang terpisah, pertama dalam akad sewa,
dan di akhir masa sewa dibentuk akad baru yang independen, yakni akad jual beli
atau hibah.
·
Menurut
ulama’ Hanabilah, pihak yang melakukan transaksi memilki kebebasan penuh dalam
menentukan kesepakatan dan syarat dalam sebuah akad, dan hokum asal hal ini
adalah hibah (diperbolehkan). Sepanjang, kesepakatan atau syarat tersebut tidak
bertentangan dengan nash-nash syara’ atau merusak kaidah syar’iyah. Atau syarat
tersebut menafikkan substansi (maksud).
·
Adapun
janji pihak yang menyewakan barang untuk melakukan transaksi perpindahan
kepemilikan barang di akhir masa sewa, bukanlah suatu hal yang dapat merusak
akad dalam pandangan syara’. Karena, janji bukanlah merupakan bentuk akad, dan
tidak dapat merusak segala konsekuensi yang ada dalam akad. Atau dapat
menjerumuskan pihak yang bertransaksi pada sesuatu yang dilarang syara’ seperti
riba atau gharar. Malikiyah dan Hanafiyah menyatakan, janji tersebut bersifat
mengikat.
·
Ulama’
Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijarah) bisa digabungkan dengan akad jual beli
dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang menfikkan substansi keduanya.
Begitu juga dengan Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengakui keabsahan
penggabungan dua akad ini dalam satu transaksi, karena tidak ada pertentangan
substansi akad diantara keduanya.
·
Selain
itu, juga terdapat fatwa dari konferensi fikih internasional pertama di bait at
– tanwil al – Kuwaiti (7-11 maret 1987) yang mengakui keabsahan akad al – ijarah
al- muntahiyah bit – tamlik yang di akhiri dengan akad hibah. Atau juga
ketetapan ulama’ fikih dunia no. 44 dalaam sebuah konferensi di Kuwait (10-15
desember 1988) yang menghadirkan alternatif solusi, yakni akad ini diganti
dengan jual beli kredit, atau akad ijarah, di mana di akhir perjanjian, penyewa
diberi beberapa opsi, yaitu memperpanjang masa kontrak sewa, menyelesaikan akad
dengan mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa dengan harga yang
berlaku di pasaran.[17]
g.
Jenis-jenis ijarah
1.
Ijarah
muthlaqoh atau leasing
adalah proses sewa- menyewa yang biasa kita temui dalam kegiatan perekonomian
sehari-hari, yang digunakan untuk menyewa dalam jangka waktu tertentu atau
untuk tujuan suatu proyek atau usaha tertentu. Bentuk pertama biasanya
digunakan untuk menyewa barang atau aset, sedangkan yang kedua dipakai untuk
menyewa pekerja atau tenaga ahli.
2.
Bai’
takhrij atau ijarah wa
iqtina adalah akad sewa menyewa bank (
muajjir ) dengan penyewa ( mustajir )
yang disertai janji bahwa pada saat yang telah ditentukan kepemilikan barang
berpindah menjadi milik penyewa (mustajir).
3.
Musyarakah
mutanaqisah adalah kombinasi akad musyarakah
dan ijarah ( perkongsian dengan sewa ). Sistem ini dapat diterapkan dalam
pemberian kredit rumah dan proses refinancing.[18]
h. Jenis barang yang diijarahkan
Kebolehan
melakukan akad ijarah, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
ditentukan jenis objeknya yaitu sebagai berikut
1.
Benda yang menjadi objek
ijarah harus benda yang halal atau mubah
2.
Benda yang diijarah harus
digunakan untuk hal-hal yang dibenarkan menurut syariat
3.
Setiap benda yang dapat
dijadikan objek jual beli dapat dijadikan objek ijarah
i. Menyewa
pohon untuk mengambil buahnya
Sebagian ulama berpendapat bahwa
manfaat yang disewa itu hendaklah jangan sampai mengandung lenyapnya sesuatu
yang berupa zat, hanya harus semata-mata manfaat saja. Ulama yang berpendapat
demikian tidak memperbolehkan pohon-pohon untuk mengambil buahnya, begitu juga
menyewa binatang untuk mengambil bulu dan sebagainya.
Ulama yang lain berpendapat bahwa
tidak ada halangan menyewa pohon-pohon karena buahnya, berlaku seperti menyewa
seorang untuk menyusukan anak. Sedangkan seorang perempuan untuk mengambil manfaat
susunya, jelas boleh menurut ayat
yang diatas, karena faedah yang diambil sesuatu dengan tidak mengurangi
pokoknya (asalnya) sama artinya dengan manfaat.[19]
j.Sewa
menyewa Rumah
Sewa
menyewa rumah adalah untuk dipergunakan sebagai tempat tinggal oleh penyewa,
atau si penyewa menyuruh orang lain untuk menempatinya dengan cara meminjamkan
atau menyewakan kemabali.
Hal ini dibolehkan dengan syarat pihak penyewa tidak
merusak bangunan yang disewanya selain itu pihak penyewa atau orang yang
menempati mempunyai kewajiban untuk memelihara rumah tersebut untuk tetap dapat
dihuni, sesuai dengan kebiasaan yang lazim berlaku di tengah-tengah masyarakat.[20]
k. Penyewaan
Pakaian
Apabila menyewa pakaian
untuk dipakai secara muthlak,maka tidak boleh dipakai waktu tidur malam,
sekalipun terjadi kebiasaan mereka melakukan yang seperti itu.
l. Persewaan
tanah
Tentang persewaan tanah para
Fuqoha’ banyak berselisih pendapat.
Segolongan Fuqoha’ melarangnya
sama sekali, dam mereka adalah golongan yang terkecil. Pendapat ini dikemukakan
oleh Tawus dan Abu Bakar bin Rahman.
Humhur Fuqoha’ membolehkannya, tetapi mereka berselisih
mengenai jenis barang yang dipakai untuk menyewa.
Sekelompok Fuqoha’ menyatakan bahwa penyewaan itu hanya boleh
dilakukan dengan uang dirham dan dinar saja. Pendapat ini dikemukakan olah
Robi’ah dan Sa’in bin Al-Musayyab. \
Sekelompok lain mnegatakan
bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan semua barang kecuali makanan. Baik
dari makanan yang tumbuh di tanah itu atau bukan. Juga segala sesuatu yang
tumbuh du tanah itu, baik berupa makanan atau bukan. Inilah pendapat Malik dan
mayoritas pendukungnya.
Sekelompok lain lagi
mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan apa saja selain
makanan.
Fuqaha lain mngatakan bahwa
penyewaan tanah boleh dilakukan dengan barang, atau yang lain dengan
syaratbukan merupakan bagian dari makanan yang tumbuh di tanah itu. Pendapat
ini dikemukakan oleh Sali Bin Abdullah dan sebagian ulama yang angkatan
terdahulu. Ini juga merupakan pendapat Syafi’I dan lahir pendapat malik dalam
Kitab al- Muwatha’.
Dan fuqaha lain lagi
mengatakan bahwa penyewaan tanah boleh dilakukan dengan segala sesuatu dan
dengan sebagian dari penghasilan tanah itu. Pendapat ini dikemukakan oleh
Ahmad, ats-Tsauri, al-Laits, Abu Yusuf dan Muhammad dari pengikut Abu Hanifah,
serta Ibnu Abi Laila, al-Auza’i, dan sekelopok fuqaha.
Alasan Fuqaha yang Melarang
Persewaan Tanah
m. Perihal Resiko
Dalam
hal perjanjian sewa-menyewa, risiko mengenai barang yang dijadikan obyek
perpanjian sewa-menyewa dipikul oleh si pemilik barang (yang menyewakan), sebab
si penyewa hanya menguasai untuk mengambil manfaat dari brang yang
dipersewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya berhak atas manfaat
barang/benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap berada pada pihak
yang menyewakan.
Jadi
apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang menjadi obyek perjanjian
sewa-menyewa, maka tanggung jawab pemiliklah sepenuhnya, si penyewa tidak mempunyai
kewajiban untuk memperbaikinya, kecuali apabila kerusakan barang itu dilakukan
dengan sengaja, atau dalam pemakaian barang yang disewanya, kurang pemeliharaan
(sebagaimana lazimnya pemeliharaan barang seperti itu).[21]
n. Menyewakan Barang Sewaan
Boleh kah penyewa menyewakan
kembali baranga sewaannya? Menurut Sayyid Sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan
lagi baranga sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan baranag
itu sesuai dengan penggunaaan yang di janjikan ketika akad awal. Misalnya,
penyewaan seekor binatang, ketika akad awal dinyatakan bahwa binatang itu
disewa untuk membajak sawah. Kemudian binatang tersebut disewakan lagi kepada
penyewa kedua, maka binatang itu harus digunakan untuk membajak pula. Penyewa
pertama boleh menyewakan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau
kurang sedikit atau bahkan lebih mahal dari harga penyewaan pertama. Hal ini
boleh-boleh saja di lakukan. Menurut sayyid Sabiq kebiasaan seperti itu disebut
al-Khulwu. Hal ini berlaku juga untuk penyewaan-penyewaan yang lainnya.
Seperti, penyewaan rumah, kendaraan, dan alat-alat musik.
Sementara itu, menurut hendi
suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab
adalah pemilik barang (al-Mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan
akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir. Bila kerusakan itu akibat dari
kelalaian penyewa (al-musta’jir) maka yang bertanggung jawab adalah
penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.[22]
o. Pembatalan
dan berakhirnya ijarah
Ijarah
adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh pada
salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila
didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal
(fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.
Terjadinya cacat pada barang
sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
Maksudnya bahwa pada
barang yang menjadi objek perjanjian sewa-menyewa terdapat kerusakan ketika
sedang berada di tangan pihak penyewa, yang mana kerusakan itu adalah
diakibatkan kelalaian pihak penyewa sendiri. Dalam hal seperti
ini pihak yang menyewakan dapat memintakan pembatalan.
b.
Rusaknya barang yang disewakan,
seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
Maksudnya barang yang
menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa mengalami kerusakan atau musnah sama
sekali sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa yang
diperjanjiakan.
c.
Rusaknya barang yang
diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
Maksudnya barang yang
menjadi sebab terjadinya hubungan sewa-menyewa mengalami kerusakan, sebab
dengan rusaknya atau musnahnya barang yang menyebabkan terjadinya perjanjian
maka akad tidak akan mungkin terpenuhi lagi.
d.
Terpenuhinya manfaat yang
diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
Dalam hal ini yang
dimaksudkan, bahwa apa yang menjadi tujuan perjanjian sewa-menyewa telah
tercapai, atau masa perjanjian sewa-menyewa telah berakhir sesuai dengan
ketentuan yang disepakati oleh kedua pihak.
e. Menurut
hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko
untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan
memfasakhkan sewaan itu.
Penganut Mahzab Hanafi
menambahkan bahwa adanya uzur juga merupakan salah satu penyebab putus atau
berakhirnya perjanjian sewa-menyewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari
salah satu pihak.
Adapun yang dimaksud
dengan uzur disini adalah suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin
dapat terlaksana sebagaimana mestinya.[23]
p. Pengembalian
sewaan
Jika
ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Adapun
ketentuan pengembalian barang sewaan adalah sebagai berikut:
a.
Jika barang itu dapat
dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, yaitu dengan cara
menyerahkan langsung bendanya. Misalkan sewa-menyewa kendaraan.
b.
Jika bentuk barang sewaan
adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong.
Maksudnya tidak ada harta pihak penyewa di dalamnya, misalnya sewa-menyewa
rumah.
c.
Jika barang sewaan itu
tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari
tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah
berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian
mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[24]
B. Skematika
Kesimpulan
Al-Ijarah secara etimologi berasal dari kata al-ajru
yang berarti al-‘Iwadh/penggantian, dari sebab itulah ats-Tsawabu
dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru/upah. Al-ijarah adalah akad
suatu manfaat untuk jangka waktu tertentu dan dengan bayaran tertentu. Secara
terminologi, Menurut ulama Syafi’iyah, al-ijarah adalah suatu jenis akad
atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah,
dan boleh dimanfaatkan dengan cara member imbalan tertentu. Jumhur
ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak
dapat dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya,
seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada
ayat al-Qur’an di atas. Hukum
ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya
upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah
termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun syarat-syarat
al-Ijarah, antara lain:
a.
Adanya keridhaan dari kedua
pihak yang akad
b.
Mengetahui manfaatnya.
c.
Harus perkara yang mubah
(dibolehkan) manfaatnya.
d.
Mengetahui upahnya
Adapun menurut Jumhur ulama,
rukun ijarah ada empat, yaitu:
a. Ada
yang menyewa dan yang mempersewakan (‘aqid). Syaratnya adalah:
1) Berakal
2) Berkehendak
sendiri (bukan dipaksa).
3) Keduanya
tidak bersifat mubazir.
4) Balig
(minimal berumur 15 tahun).
b. Shighat
akad.
c. Sewa. Disyaratkan keadaannya
diketahui dalam beberapa hal:
1) Jenisnya.
2) Kadarnya.
3) Sifatnya.
d. Manfaat. Syarat manfaat:
1) Manfaat
yang berharga. Manfaat yang tidak berharga adakalanya karna ada larangan dari
agama, misalnya menyewa seseorang untuk membinasakan orang lain.
2) Keadaan
manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
3) Diketahui
kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau satu tahun;
atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke
Bogor.
e. Ujrah
(Upah).
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu:
1) Berupa
harta tetap yang dapat diketahui.
2) Tidak
boleh sejenis dengan barang manfaat dari Ijarah, seperti upah menyewa rumah
untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
3)
DAFTAR
PUSTAKA
Mujahidin,Ahmad.2010.Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia, Bogor : Ghalia
Indonesia
Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir, Syekh. 2009. Minhajul Muslim Pedoman
Hidup Ideal Seorang Muslim. Surakarta: Insan Kamil.
Sujak, Abu ter Imron Abu Amar. 1983. Fathul Qarib
Jilid 1. Kudus: Menara Kudus.
Ghazaly, Abdul Rahman. 2010 Fiqh Mu’amalat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mughuniyah, Jawad Muhammad. 2009. Fiqih Imam Ja’far Shadiq.
Jakarta: Lentera.
Mudjahit
A.K,dkk. 1994. Materi Pokok Fiqih II. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama dan Universitas Terbuka.
Muslich, Ahmad Wardi, Drs. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Pasaribu, Chairuman, Haji, dkk. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Syafe’i, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Suhendi, Hendi, Haji. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Sunarto, Achmad. TT. Fathul Qarib. Surabaya: Al-Hidayah.
Sahrani,Sohari,
Abdullah, Ruf’ah, 2011. Fiqih Muamalah. Bogor:
PT. Gali Indonesia
Rasjid,Sulaiman.
1994. Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru
Algensindo
السابق السيد. 2009. الفقه السنة الجزء 3. فاكس:
دار الحديث
[2] Musthafa Diib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap, (Media zikir :
Surakarta) halm 303
[4] Mudjahit
A.K,dkk, Materi Pokok Fiqih II (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama dan
Universitas Terbuka, 1994,cet 3), hal, 403-404.
[13] Abu
Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim (Surakarta : Insan Kamil, cet 2, september 2009), hal, 654.
[16] Ahmad Mujahidin,
Kewenangan dan Prosedur penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,
Bogor : Ghalia Indonesia 2010, hal 186
[17] Dimyauddin Djuwaini, pengantar fikih muamalah, Yogyakarta :
pustaka pelajar, 2008. Hal: 161-164.
[20] Chairuman Pasaribu, Hukum perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, hal 55
[22] Abdur rahman al Ghazali,Ghufron Ihsan, Sapiudi
Shidiq,Fiqih mu’amalah, Bab 18 hal.
[24]
Hendi Suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet 5, 2010), hal, 122-123.
Halo, Aplikasi Pinjaman
BalasHapusApakah Anda tertarik untuk mendapatkan pinjaman @ 2%? Jika ya,? email kami sekarang untuk informasi lebih lanjut tentang pinjaman yang Anda butuhkan sebagai pinjaman. Sekarang silahkan hubungi kami di: gloryloanfirm@gmail.com bersama-sama dengan informasi di bawah ini.
Penawaran kami $ 3,000.00 sampai $ 20,000.000.00 juga berlaku untuk informasi lebih lanjut
{Lengkapi formulir di bawah pinjaman}
Nama Anda: ===========
COUNTRY: ===========
NEGARA ===========
ALAMAT: ===========
GENRE: ===========
Jumlah yang dibutuhkan: ===========
PERIODE: ===========
NOMOR TELEPON: =========== =============
Nama Ibu Anita
Hubungi kami melalui e-mail: gloryloanfirm@mail.com Salam
Akun yang lebih baik untuk perusahaan yang sah.
membalas