Senin, 13 Mei 2013

HIWALAH



HIWALAH
A.     Pendahuluan
kata mu’amalat (المعاملات) yang kata tunggalnya mu’amalah (المعاملة) yang berakar pada kata عامل secara arti kata mengandung arti “ saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antra orang dengan orang. Bila kata ini dihubungkan pada lafadz fiqih, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini merupakan imbangan dari fiqih ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah pencipta.[1]
Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling bertukar manfaat, selain itu menurut Idris Ahmad muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya untuk cara yang paling baik. Menurut Rasyid Ridho muamalah adalah tukar menukar barang yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Kalau ketiga definisi di atas, ditelaah secara seksama fiqih muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk mentaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh,mengatur, mengelola,dan mengembangkan mal (harta benda).
Namun, menurut pengertian muamalah di atas, fiqih muamalah mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, seperti salah satunya Hiwalah yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.   Substansi Kajian
1.   Pengertian Hiwalah
تعريف الحوالة : الحوالة في للغة : لإنتقال, يقال : حال عن العهد : آي انتقل عنه وتغير                                                                               
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil artinya ialah memindahkan atau mengoperkan[2]. Maka Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ­hiwalah menurut bahasa ialah:[3]
النقل من محل اْلى محل                                                           
 Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”

بفتح الحاء وحكى كسرها وهى لغة التحول اى الإنتقال و شرعا نقل                            الحق من ذمَة المحيل الى ذمّة المحال عليه                                                                       
Artinya: “Yang berarti kata hawalah dengan dibaca fatha huruf ha’ dan dibaca kasrah, menurut bahasa artinya mengalihkan. Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang mengalihkan kepada orang yang dilimpahi tanggungan.[4]
Dari beberapa penjelasan mengenai pengertian hiwalah menurut bahasa di atas, dapat kita ketahui bahwa hiwalah menurut bahasa itu memindahkan atau mengoperkan jika dilihat dari arti kata لإنتقال sedangkan jika kata hawalah yang mana huruf ha’ nya dibaca fathah dan kasroh maka artinya mengalihkan.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwasanya pengertian hiwalah jika ditinjau dalam artian bahasa artinya memindahkan atau mengalihkan.
Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah adalah sebagai berikut:
a.       Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah:
وفي الإصطلاح عند الحنفية: نقل المطالبة من ذمة المدين الي ذمة الملتزم, بخلاف الكفالة, فاًءنها ضم في المطالبة لا نقل, فلا يطالب المدين بعد      الحوالة بالإتفاق[5]                                                                                  
نَقْلُ الْمُطَالَبَةِ مِنْ ذِمَّةِ الْمَدْيُوْنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمْ
Artinya:”Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
b.      Al-jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan  hiwalah ialah:
نَقْلُ الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
Artinya:“Peralihan hutang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
c.       Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدٌ يَقْتَضِي إِنْتِقَالِ ديْنٍ مِنْ ذِمَّةْ
Artinya: “Akad yang menetapkan pemindahan beban utang  dari seseorang kepada yang lain.”
d.      Muhammad Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدِ تَحْوِيْلَ دَيْنٍ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
Artinya: “Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”

e.       Ibrahim Al-banjuri berpendapat bahwa hiwalah ialah:
نَقْلُ الْحَقَّ مِنْ ذِمَّةِ الْمُحِيْلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَا لِ عَلَيْهِ
Artinya: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan.”
f.        Menurut Taqiyyudin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah:
إنْتِقَا لُ الدِّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ إِلَي ذِمَّةٍ
Artinya: “Pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban orang lain.”
g.       Menurut Idris Ahmad, hiwalah adahlah semacam akad (ijab Kabul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada  orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.”
Menurut dua ulama fiqih madzhab Hanafi mengemukakan definisi hiwalah yang berbeda: Menurut Ibnu Abidin mengatakan bahwa hiwalah ialah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (muhil ‘alaih), sedangkan Kamal bin Hummam (790 H/ 1387 M – 861 H/ 1456 M) mengatakan bahwa hiwalah ialah pengalihan kewajiban membayar hutang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang kepadanya atas dasar saling mempercayai.[6]
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang dianggap paling shahih di kalangan Syafi’iyah dan juga salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah hadits yang artinya “jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, terimalah” (H.R Bukhori dan Muslim)
Yang shahih menurut Hanabilah bahwa Hawalah adalah murni transaksi irfaq (member manfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata “ kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah dan ini sesuai dengan qiyas”.[7]
Jika dilihat dari beberapa definisi di atas hampir sama substansinya tetapi dapat kita simpulkan bahwa hiwalah menurut istilah adalah perpindahan hak membayar hutang dalam transaksi hutang piutang.
2.   Landasan dan Hukum Hiwalah
Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُم عَلَي مُلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ.
 Rasulullah Bersabda: “ menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seorang diantra kamu dialihkan hak penagihan piutangnya pada pihak yang mampu maka terimalah”.
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan bendah.[8]
Sedangkan di dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi  haditsnya adalah sebagai berikut:

مطل الغنى ظلم وإذا ااحلت على مليء فاتبعه                                 

Sedangkan di dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Redaksinya adalah:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُم عَلَي مُلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ.
Adapula yang meriwayatkan  dengan redaksi

مطل الغنى ظلم فإذا ااحيل على ملىء                                           

Semua hadits ini maksudnya adalah sama. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perintah yang terdapat di dalam hadits di atas (yaitu fal-yatba’ atau fal-yahtal) adalah perintah yang bersifat sunnah dan anjuran. Oleh karena itu tidak wajib hukumnya untuk menerima akad al-hawalah. Namun dawud dan Imam Ahmad berpendapat bahwa perintah di dalam hadits tersebut sifatnya adalah wajib, oleh karena itu wajib bagi pihak al-muhal (juga disebut Al-muhtal) untuk menerima hawalah tersebut.
Adapun menurut ijma’ maka secara garis besar seluruh ulama’ sepakat bahwa al-hawalah adalah boleh. Akad al-hawalah boleh dilakukan terhadap Ad-dain (harta yang masih berbentuk uang), bukan terhadap Al-‘Ain (harta yang barangnya berwujud secara konkrit biasanya diartikan barang), atau dengan kata lain akad hawalah sah apabila Al-muhal bihi berupa hutang bukan berupa barang (Al-‘Ain). Karena akad Al-hawalah mengandung arti an-Naqlu atau At-Tahwil (memindahkan, mengalihkan) dan hal ini hanya bias dilakukan terhadap harta yang masih berbentuk hutang, tidak bias dilakukan terhadap Al-‘Ain atau barang. Maksudnya An-naqlu atau pemindahan yang bersifat abstrak tidak bias terjadi pada barang, oleh karena itu tidak sah mengadakan akad hawalah terhadap barang.[9]

3.   Rukun dan Syarat Hiwalah
a.      Rukun Hiwalah
Menurut Syafi’iyah rukun hiwalah ada empat yaitu sebagai berikut:
a.       Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan hutang
b.      Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil
c.       Muhal ‘Alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah
d.      Sighat Hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,”aku hiwalahkan hutangku yang hak bagi engkau kepada si fulan” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya “aku terimah hiwalah engkau”.[10]
Dalam referensi lain yaitu dalam buku Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah menurut mayoritas ulama’ malikiyah,syafi’iyah dan hanabilah rukun hiwalah ada lima yaitu:
a.       Muhil, (orang yang memindahkan )
b.      Muhal, (orang yang menerima pindahan)
c.       Muhal Alaih, (orang yang berhutang kepada muhil)
d.      Muhal bih (hutang yang dipindahkan)
e.       Sighah
Adapun menurut ulama’ hanafiah rukun hawalah hanya satu yaitu sighah.[11]
Menurut M. Abdul Majid,dkk mengemukakan bahwa rukun hiwalah ialah :
1.      Muhil
2.      Muhtal
3.      Muhal Alaih
4.      Hutang Muhil kepada muhtal
5.      Hutang Muhal ‘Alaih kepada Muhil
6.      Sighat[12]

Hal ini juga dijelaskan dalam kitab fthul mu’in yaitu :

(تصح) حوالة (بصيغة) وهى ايخاب من المحيل. كاحلتك على فلان بالدين الذىلك على اونقلت حقك الى فلان اوجعلت مالى عليه لك, وقبول من المحتال بلا تعليق, ويصح باحلنى                                                  
                                                                                              Artinya: “Yang mana artinya hawalah dapat menjadi sah dengan adanya sighat; yaitu ijab dari muhil (pemindah tanggungan hutang), misalnya “utangku kepadamu kupindahkan tanggungannya kepada si Fulan”, “hakmu padaku kupindahkan kepada si Fulan”,atau “hartaku pada si Fulan kujadikan untukmu”, dan qabul (pihak yang piutangnya dipindahkan), dimana ada ijab qabul tidak di ta’liq; misalnya qabul yang sah “pindahkanlah hakku”[13]
Dapat kita pahami di dalam transaksi hiwalah harus ada yang namanya muhal, muhil, muhal ‘alaih, benda yang dihiwalahkan dan sighat. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat yang telah diterangkan di atas yang masuk dalam rukun hiwalah.
b.     Syarat Hiwalah
Didalam bukunya Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada empat yaitu:[14]
وشرائط الحوالة أربعة أشياء: رضاء المحيل، وقبول المحال، وكون الحق مستقرا في الذمة، واتفاق ما في ذمة المحيل و المحال عليه في الجنس والنوع والحلول والتأجيل. وتبرأ بها ذمة المحيل                                            
syarat hiwalah itu ada empat, yaitu :
§  Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
§  Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang)
§  Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
§  Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.[15]
Dalam referensi lain syarat hiwalah adalah sebagai berikut:
v Syarat Bagi Pihak Pertama
a.    Cakap dalam melakukan tindakan hukum, dalam bentuk akad yaitu baligh, dan berakal. Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyis) ataupun dilakukan oleh orang gila
b.   Ada persetujuan (ridho). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jik akewajibannya untuk membayar hutang dialaihkan kepada pihak lain meskipun pihak lain itu memang berhutang kepadanya.

v Syarat kepada pihak kedua
a.    Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal.
b.   Disyaratkan ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah (madzhab hanafi sebagaian besar madzhab maliki dan syafi’i). persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda ada yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima pelunasan itu merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternayata pihak ketiga sudah membayar hutang tersebut.
v Syarat bagi pihak ketiga
a.    Cakap melakukan tindakan  hukum dalam bentuk akad, sebagai syarat bagi pihak pertama dan kedua.
b.   Disyaratkan ada pernyataan  persetujuan dari pihak ketiga (madzhab hanafi). Sedangkan  madzhab lainnya tidak mensyaratkan hal ini. Sebab dalam akad hiwalah  pihak ketiga dipandang sebagai obyek akad. Dengan demikian persetujuannya tidak merupakan syarat syah hiwalah.
c.    Imam Abu Hanifah  dan Muhammad bin hasan Asy- syaibani menambahkan, bahwa Kabul tersebut, dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga didalam suatu majlis akad.
v Syarat yang diperlukan terhadap hutang yang dialihkan
a.    Sesuatu yang dilakukan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang sudah pasti.
b.   Apabila pengalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah Al-Muqayyadah semua ulama’ fikih sepakat menyatakan, bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun hutang pihak ketiga  kepada pihak pertama mesti sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua hutang tersebuut terdapat perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang), atau perbedaan kualitas (hutang dalam bentuk barang) maka hiwalah tidak sah. Tetapi apabila pengalihan itu dalabentuk hiwalah al-muthlaqoh (madzab hanafi), maka kedua hutang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah ataupun kualitasnya.
c.    Madzab Syafi’I menambahkan, bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh temponya. Jika tidak sama, maka tidak sah.[16]
Sedang menurut Miftakhul Khairi menyebutkan syarat-syarat Hawalah itu sebagai berikut :
§  Persamaan dua hak karena hawalah adalah memindahkan hak. Ia dipindahkan sebagaimana sifatnya yang ada yang mencakup jenis, sifat, penempatan (perikatan), dan tenggang waktu. Jika ada perbedaan antara dua hak menyangkut salah satu dari hal tersebut maka hawalah tidak sah.
§  Hawalah pada hutang yang telah tetap. Tidak sah pada hutang transaksi salam karena sifatnya tidak tetap, yaitu transaksi salam dapat dibatalkan jika barang yang ditransaksikan bermasalah.
§  Hawalah dilakukan pada harta yang diketahui. Jika hawalah terjadi pada jual beli, maka tidak boleh pada barang yang belum diketahui. Jika hawalah pada pemindahan hak, maka harus pada barang yang dapat diserahterimakan, sedang barang yang tidak diketahui tidak dapat diserahterimakan.
§  Hawalah dilakukan dengan kerelaan muhil (orang yang memindahkan) dan muhal (orang yang menerima pindahan).
 Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan bahwa syarat-syarat hawalah menurut madzab Hanafiah adalah sebagai berikut :[17]
a.      Syarat-syarat Shighah
Akad al-hawalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qobul atau sesuatu yang semakna dengan ijab qobul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan diatas nota al-hawalah, dengan tulisan dan isyarat. Ijab adalah pihak al-muhil berkata ,”aku alihkan kamu kepada si Fulan.” Qobul adalah seperti pihak al-muhal berkata,: saya terima atau saya setuju.” Ijab dan qobul diisyaratkan harus dilakukan di majlis akad dan akad yang ada disyaratkan harus fnal, sehingga didalamnya tidak berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat.

b.     Syarat-syarat al-Muhiil
Ada dua syarat untuk al-muhiil seperti berikut:
Ø  Ia harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi untuk mengadakan akad yaitu ia adlah orang yang berakal dan baligh. Berdasarkan hal ini berarti baligh adalah syarat an-nafadz (berlaku efektifnya akad al-hawalah), bukan syarat al-in’iqad (syarat terbentuknya akad).
Ø  Ridha dan persetujuan al-muhiil, maksudnya atas kemauan sendiri tidak dalam keadaan dipaksa. Jadi, apabilapihak al-mihiil dalam kondisi dipaksa untuk mengadakan akad al-hawalah, maka akad al-hawlah tersebut tidak sah. Karena al-hawalah adalah bentuk al-ibraa’(pembebasan) yang mengandung arti at-tamliik (pemilikan). Oleh karena itu tidak sah jika dilakukan dengan aadanya unsure paksaan seperti bentuk-bentuk akad yang mengandung makna at-tamliik lainnya. Ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah sependapat dengan ulama’ Hanafiyah dalam syarat satu ini.
Sementara itu Ibnu Kamal dalam kitab “Al-Lidhaah,” menuturkan bahwa Ridho pihak al-muhiil adalah sebagai syarat supaya nanti al-muhal ‘alaih boleh meminta ganti kepadanya.
c.      Syarat Al-Muhal
Ada tiga syarat yang harus terpenuhi dalam kaitannya dengan pihak al-muhal, yaitu,
a.    Ia harus punya kelayakkan dan kompetensi mengadakan akad, sama dengan syarat pertama pihak al-muhiil yaitu ia harus berakal karena qobul dari pihak al-muhal adalah termasuk rukun hawalah. Ia harus juga baligh sebagai syarat akad al-hawalah yang ada bias berlaku efektif. Apabila pihak al-muhal belum baligh maka  butuh kepada persetujuan dan pengesahan dari walinya.
b.    Ridho dan persetujuan al-muhal. Oleh karena itu tidak sah apabila al-muhal dalam keadaan dipaksa berdasarkan alas an yang telah disinggung diatas. Ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah sependapat denangan ulama’ Hanafiyah.
c.    Qabul yang dberikan oleh pihak al-muhal harus dilakukan di majlis akad. Ini adalah syarat terbentuknya akad al-hawalah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Jika seandainya pihak al-muhal tidak hadir di majlis akad lalu sampai kepadanya berita tentang diadakannya akad al-hawalah tersebut lalu ia menerimanya maka menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad akad hiwalah tersebut tetap tidak data dilaksanakan dan tidak berlaku efektif. Sementara itu menurut Abu Yusuf, syarat ketiga ini hanya syarat an-nafs. Al-kasani mengatakan bahwa yang benar adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad, karena qabul pihak al-muhal adalah salah satu rukun al-hawalah.
d.     Syarat-syarat Al-Muhal ‘alaiih
Syarat-syarat muhal ‘alaiih sama dengan syarat-syarat al muhal yaitu
a.    Ia harus memiliki kelayakan dan kompetensi dalam mengadakan akad yaitu harus berakal dan baligh.
b.    Ridho pihak al-muhal ‘alaiih.
c.     Qabulnya al-muhal ‘alaiih harus dilakukan di majlis akad, ini adalah syarat al-in’iqaad menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, bukan hanya sebatas syarat an-nafs.
e.      Syarat-syarat Al-Muhal Biih
Ulama’ sepakat bahwa syarat al-muhal biih ada dua yaitu :
a.    Al-muhal biih harus berupa ad-damain (harta yang berupa utang), maksudnya pihak al-muhil memang memiliki tanggungan hutang kepada pihak al-muhal. Apabila tidak, maka akad tersebut adalah akad al-wakaalah (perwakilan) sehingga selanjutnya secara otomatis hukum dan peraturan akad al-wakalah, bukan akad al-hawalah. Berdasarkan syarat ini maka tidak sah mengadakan akad al-hawalah dengan al-muhal bih berupa harta al-‘ain yang barangnya masih ada, belum rusak atau binasa. Karena al-‘ain tersebut bukan merupakan suatu yang berada dalam tanggungan.
b.    Tanggungan hutang yang ada sudah positif dan bersifat mengikat seperti hutang dalam akad pinjaman hutang (al-qardh). Oleh karena itu tidak sah pada masa lalu akad al-hawalah dengan al-muhal bih adalah harga al-mukhotobah (sejumlah uang yang dibayarkan si budak kepada majikannya sebagai syarat kemerdekaannya) sedangkan si budak adalah sebagai al-muhal ‘alaih. Secara garis besar bias dikatakan bahwa setiap tanggungan hutang yang tidak sah dijadikan sebagai al-makfuul bihi, maka juga tidak sah dijadikan sebagai al-muhal bih yaitu harus berupa hutang yang hakiki, sudah nyata dan positif tidak bersifat spekulatif dan masih mengandung kemungkinan antara ada dan tidak. Yaitu hutang yang biasanya para fuqoha’ menyebutnya dengan hutang yang shohih. Disyaratkannya hutang yang ada harus berstatus positif dan mengikat adalah pendapat jumhur selain ulama’ hanabilah. Sementara itu, ulama’ hanabilah memperbolehkan hawalah terhadap hutang berupa harga akad mukhatabah dan hutang berupa harga pembelian selama masa khiyaar. Ulama’ syafi’iyah memperbolehkan hutang tersebut belum positif dan mengikat dengan sendirinya, seperti hutang berupa harga pembelian yang dibarengi dengan khiyaar di dalam akad. 
Sementara itu ulama’ malikiyyah mensyaratkan tiga hal untuk muhal bih yaitu:
1.      Tanggungan hutang yang dijadikan Al-muhal bih memang telah jatuh tempo pembeyarannya
2.      Tanggungan hutang yang dijadikan Al-muhal bih(hutang yang dialihkan,  maksudnya hutang pihak al-muhil kepada pihak al-muhal) sama spesifikasinya (sifat dan jumlahnya) dengan tanggungan hutang pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil. Oleh karena itu tidak boleh jika salah satunya lebih banyak atu lebih sedikit atu jika salah satunya lebih baik kualitasnya atau lebih jelek. Karena jika tidak sama maka hal itu  berarti telah keluar dari al-hawalah dan termasuk dalam kategori al-bai’ (jual beli) yaitu jual beli hutang dengan hutang.
3.      Kedua tanggungan hutang yang ada (tanggungan hutang phak al-muhil kepada pihak al-muhal dan tanggungan hutang pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil) atau salah satunya bukan dalam bentuk makanan yang dipesan (salam). Karena jika dalam bentuk makanan yang dipesan maka itu termasuk menjual makanan tersebut sebelum pihak yang memesan menerimanya, dan itu tidak boleh. Apabila salah satu hutang yang ada muncul dai akad jual beli sedangkan hutang yang satunya lagi muncul dari akadAl-qardh maka boleh apabila hutang yang dialihkan telah jatuh tempo.
Dari penjelasan beberapa madzab di atas, dalam hal ini masing-masing orang baik muhal, muhil dan muhal ‘alaih sama-sama harus berakal, baligh dan sama-sama ridho. Ridho disini sangat penting sekali dalam transaksi hiwalah karena jika tanpa adanya keridhoan maka akan terjadi perselisihan hak hutang piutang. Selain itu juga harus ada persetujuan di antara pihak pertama dan kedua. Hal ini sesuai dengan madzab Hanafi yang mengatakan kebiasaan orang dalam membayar hutang berbeda-beda ada yang mudah dan ada yang sulit.
4.   Jenis dan Bentuk  Hiwalah
Madzab Hanafi membagi hiwalah dalam berbagai bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, maka hiwalah dapat dibagi dua:
1)     Apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-haqq (حوالة الحق = pemindahan hak)
2)     Apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah al-dain (الحوالة الدين = pemindahan hutang)[18].
Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyyah hiwalah ada dua yaitu hiwalah yang berbentuk mutlak dan hiwalah yang berbentuk muqayyad.[19]
1)     Pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al-muqoyyadah (الحوالة المقيدة = pemindahan bersyarat).
Sebagai contoh A berhutang kepada B sebesar Rp.500.000,-. Sedangkan B juga berhutang kepada C sebesar Rp.500.000,-. B kemudian memindahkan atau menglihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A, sebagai ganti dari pembayaran hutang B kepada A. Dengan demikian, hiwalah al-muqoyyad pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A. sedangkan pada sisi lain , sekaligus merupakan hiwalah al-dain, karena B mengalihkan kepada A mejadi kewajiban C kepada A.
2)     Pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al-muthlaqah (حوالة المطلقة= pemindahan mutlak).
Sebagai contoh A berhutang kepada B sebesar Rp.500.000,-. A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A. Dengan demikian. Hiwalah al-mutlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja, karena yang dipindahkan hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada B.
   Kedua bentuk hawalah di atas hukumnya boleh berdasarkan sabda Rasulullah yaitu :
ومن احيل على مليئ فليتبع                                                      
Yang artinya : Barang siapa yang (haknya) dialihkan kepada orang yang kaya (muhal ‘alaih) maka hendaklah ia menerima pengalian tersebut.
   Hanya saja hawalah yang berbentuk mutlaq memiliki beberapa perbedaan hal seperti berikut:
a.       Apabila hawalah adalah berbentuk mutlaq dan pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil maka pihak muhal hanya menagih pihak muhal ‘alaih untuk membayar tanggungan hutang yang ada di dalam akad hiwalah saja (yaitu, tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal).
b.      Apabila hiwalah yang ada berbentuk muqayyad namun kemudian ternyata pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil seperti jika tanggungan hutang yang ada merupakan harga pembelian barang yang dijual oleh pihak muhil kepada pihak muhal ‘alaih dan barang yang dijual tersebut ternyata mustahaq (ternyata hak milik orang lain bukan hak milik si muhil yang menjualnya) maka hiwalah tersebut batal. Karena ketika didalam hawalah tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah tanggungan hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil, maka hutang tersebut sudah terikat dengan akad hiwalah tersebut, namun ketika ternyata pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil maka sudah tentu akad hiwalah tersebut batal dan tidak ada.
Namun apabila akad hawalah tersebut adalah berbentuk mjutlaq, dan ternyata pihak muhal  ‘alaih tidak memiliki tanggunagan hutang kepada pihak muhil maka akad hawalah tersebut tetap sah dan tidak batal.
c.       Apabila akad hawalah berbentuk muqayyad kemudian pihak muhil meninggal dunia sebelum pihak muhal ‘alaih membayarkan hutang yang ada kepada poihak muhal padahal pihak muhil memiliki beberapa tanggungan hutang yang lain selain tanggungan hutang kepada pihak muhal, sementara pihak muhil sudah tidak memiliki harta lagi selain harta yang berada di dalam tanggungan pihak muhal ‘alaih, maka dalam kasus ini menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Abu Yusuf pihak muhal statusnya tidak lebih berhak daripada pihak-pihak yang berpiutang lainnya terhadap harta muhil yang berupa hutang yang berda dalam tanggungan muhal ‘alaih tersebut.
Sebenarnya dalam hiwalah pada umunya berupa uang bukan barang. Namun jika yang diperlakukan hutang piutang adalah barang maka dalam pengembaliannya harus sama persis.
Dilihat dari jenis objeknya hiwalah dibagi menjadi dua yaitu:
Hiwalah Al Haqq (pemindahan hak/anjak piutang) adalah hiwalah yang merupakan hak untuk menagih piutang. Yang mengambil alih piutang harus berhati-hati pada kredibilitas dan kemampuan pihak yang berutang selain harus melihat keabsahan transaksinya.
Hawalah Haq merupakan bandingan hawalah terhadap hutang yang terjadi adalah perubahan dan pergantian individu al-madiin (pihak yang berhutang) bagi pihak al-dayn (yang berpiutang) atau dengan kata  lain mengganti al-madiin (yaitu muhil) dengan al-madiin yang lain (yaitu al-muhal ‘alaih). Di dalam hawalah terdapat hutang, pihak al-muhil adalah pihak yang berhutang (al-madiin). Karena ia meng-ihalah-kan kepada pihak lain yaitu al-muhal ‘alaih untuk membayar tanggungan hutangnya. Hawalah terhadap hutang hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan ulama.
Hawalah haq hukumnya juga boleh berdasarkan kesepakatan keempat madzab, tidak hanya menurut selain ulama Hanafiyah saja seperti yang telah dipahami oleh sebagian pakar syari’at dan hukum, karena hawalah yang berbentuk muqoyyat yang di syari’atkan, menuurt ulama Hanafiyah mencakup hiwalatul haq. Karena di dalah hiwalah yang berbentuk muqoyyat, seseorang (maksudnya muhil) disamping sebagai al-madiin (pihak yang berhutang) kepada seseorang yaitu al-muhal, ia juga sebagai al-dayn (yang berpiutang) kepada orang lain yaitu al-muhal ‘alaih. Lalu ia mengadakan akad hawalah agar pihak yang berpiutang kepadanya, yaitu al-muhal mengambil pembayaran hutangnya dari pihak yang berhutang kepada pihak al-muhil yaitu pihak muhal ‘alaih. Ini adalah hiwalatul haq dan pada waktu yang sama juga merupakan bentuk hawalah terhadap hutang.
Adapun selain ulama Hanafiyah yang memperbolehkan hawalatul haq, maka sandarannya adalah kemutlakan diberbolehkannya hawalah oleh syari’at, baik apakah setelah itu hawalah tersebut dalam bentuk penjualan atau penukaran hutang dibayar dengan hutang atau tidak.
Karena mereka berbeda pendapat seputar masalah menjual hutang dengan hutang atau menghibahkannya kepada selain pihak yang berhutang. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah memperbolehkan hal tersebut dengan beberapa syarat seperti ‘iwad (sesuatu yang menjadi penggganti atau penukar) harus diterima atau dipastikan di majlis jual beli yang dilakukan, hutang yang dijual bukan berbentuk makanan, sesuatu yang dijadikan harga pembayaran harus tidak sejenis hutang yang dijual, penjualan hutang tersebut tidak boleh pada pihak yang bersengketa dengan pihak yang berhutang agar dalam transaksi tersebut tidak mengandung sesuatu yang menyusahkan pihak al-madiin. Menurut mereka hiwalatul haq bukanlah termasuk bentuk penjualan hutang dengan hutang. Sementara itu ulama Hanabila tidak memperbolehkan menjual hutang dengan hutang atau menghibahkannya kepada selain al-madiin.
Kesimpulannya adalah bahwa hiwalah menurut fuqoha bukan merupakan bentuk jua beli, akan tetapi merupakan sebuah akad tersendiri yang berbeda dengan akad jual beli dalam hal syarat dan konsekuensi-konsekuensinya. Sementara ulama Malikiyah dan Syafi’iyah yang memperbolehkan menghibahkan hutang kepada selain al-madiin, maka menurut mereka di dalam akad ini Nampak terlihat akad hiwalatul haq dalam bentuknya yang sempurna dan jelas akan tetapi harus dengan terpenuhnya syarat-syarat hibah seperti adanya ijin untuk melakukan al-qobdhu (serah terima sesuatu yang dihibahkan) dan syarat-syarat jual beli hutang.[20]
Hawalah Dayn. Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawakah haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.[21]

5.   Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka hiwalah tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama’ jumhur.
Muhammad syafi’i Antonio mengemukakan, bahwa manfaat hiwalah di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2.      Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3.      Dapat menjadi salah satu sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syari’ah.
Menurut madzab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi pada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang meng-hiwalah-kan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih. Dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang mengutangkan (muhal) dapat kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
Hukum hiwalah adalah mubah sepanjang tidak merugikan semua pihak, berdasarkan hadis NAbi Muammad SAW yang artinya :
“Orang yang mampu membayar hutang haram melalaikan hutang, maka jika salah seorang kamu memindahkan hutangnya maka hendaklah diterima pemindahan hutang itu, asalkan orang yang menerima pemindahan sanggup memmbayarnya” (HR. Ahmad dan Haihaqi)
Sedang dalam buku Ensiklopedia Fiqih Muamalah dijelaskan bahwa mayoritas ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika hawalah telah sah, muhil (orang yang memindahkan) terbebas dari tanggungan hutangnya kepada muhal (orang yang menerima pindahan) dan tidak ada hak bagi muhal untuk mengembalikan tanggungan kepada muhil meskipun hak itu sulit diselesaikan karena muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) menunda-nunda, jatuh pailit, atau meninggal dunia.
Malikiyah berpendapat bahwa muhil (orang yang memindahkan) tidak terbebas dari tanggungan. Muhal (orang yang menerima pindahan) boleh mengembalikan hawalah kepada muhil jika muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) jatuh pailit dan ia (muhal) tidak mengetahuinya[22].
Abu Hanifah berpendapat bahwa muhal (orang yang menerima pindahan) boleh mengembalikan hawalah kepada muhil (orang yang memindahkan) jika muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) meninggal dunia dalam kondisi pailit atau ia menyangkal hutangnya dengan bersumpah dihadapan hakim. Abu Yusuf dan Muhammad menambahkan, jika muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) mendapat pembatasan untuk membelanjakan hartanya karena jatuh pailit.
Pendapat lain mengatakan jika hawalah dilakukan dengan kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) sedang muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) orang yang mampu dam au membayar, muhal tidak boleh menarik kembali transaksi hawalah terhadap muhil karena muhil telah terbebas dari tanggungan ketika hawalah terjadi dan hutang telah terpindahkan darinya. Jika hawalah dilakukan ranpa kerelaaan muhal, sementara muhal’alaih orang yang jatuh pailit atau meninggal dunia, muhal boleh menuntut kembali haknya kepada muhil karena muhal tidak dapat menunaikan kewajibannya. Di samping itu, muhal juga tidak wajib menerima hawalah kepada orang yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya karena dapat merugikan.
6.   Unsur Kerelaan Dalam Hiwalah
a.           Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kerelaan muhal adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demekian ini karena penyelesaiantanggungan itu berbeda-beda: bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal’alaih itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal wajib menerima pemindahan itu dan tidak disyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadits yang telah disebutkan di atas.
Yang jelas alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal untuk menerima hawalah adalah karena muhal’alaih kondisinya berbeda-beda: ada yang mudah membayar, ada yang sulit, ada yang cepat membayar, dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal’alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal’alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda membayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hiwalah. Dengan demikian juga didasarkan kepada hadits di atas
b.          Kerelaan Muhal’alaih
Mayoritas ulama’ malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih. Ini berdasarkan hadits (artinya) “jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang banyak, ikutilah (terimalah)”(Riwayat: Bukhori dan Muslim). Disamping itu hak ada pada muhil (orang yang memindahkan) dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiyyah berpendapat bahwa disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang falid Pendapat yang falid adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih berdasarkan hadits di atas. Disamping itu muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya (muhil atau muhal).
7.   Akibat Hukum
Jika akad hiwalah telah terjadi, maka akibatnya :[23]
a.       Jumhur ulama berpendapat, bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada pihak kedua dengan tersendirinya akan terlepas (bebas). Sedangkan menurut sebagian para ulama madzab Hanafi, antara lain Kamal bin Humman, kewajiban tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada pihak kedua.
b.      Akad hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
c.       Madzab Hanafi yang membenarkan terjadi hiwalah al-muthlaqah berpendapat, bahwa jika akad hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika melakukan akad hutang piutang sebelumnya, masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
8.   Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut:
a.       Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalah, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
b.      Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
c.       Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.
d.      Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
e.       Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.
f.        Menurut mafzab Hanafi, hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi, karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut), atau meninggal dunia dalam keadaan pailit.[24]
Dalam refrensi lain dijelaskan bahwa akad hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak untuk melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut hanafiyah, ketika muhal’alaih mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak penagihan beralih kepada muhil. Menurut Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah ketika akad hawalah telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban hutang tidak bisa dialihkan kembali pada muhil.
Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan dan muhal tidak diberitahu oleh muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan terhadap muhil. Karena, ia diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul (tidak diketahui) dan mengandung unsure gharar (ketidak pastian).[25]

9.   Transaksi Melalui Bank
Pada zaman dahulu orang-orang melakukan transfer uang dengan cara suftajah yang beraal dari bahasa persi yang diserap menjadi bahasa Arab. Asal mulanya adalah kata suftajah yang berarti sesuatu yang kokoh. Dinamakan demikian karena masalah ini sangat kokoh. Malikiyah menyebutnya dengan balushah.
Bentuk konkritnya seseorang membayarkan uang kepada orang lain (biro pengantar barang) yang harus memberikan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima di Negara lain. Orang melakukan hal demikian ini untuk menjaga keamanan di jalan, baik keamanan uang yang dikirim maupun jiwa orang yang membawanya.

            Hukum Suftajahh
Mayoritas fuqoha’ Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat bahwa suftajah tidak boleh dipraktekkan karena mengandung hutang piutang yang menarik manfaat (mengandung riba). Seseorang seolah-olah member hutang kepada oarng lain dengan keuntungan keamanan dari bahaya jalan. Demikian ini tidak boleh.
Hanabilah berpendapat bahwa suftajah boleh dipraktekkan karena bukan termasuk kategori hutang piutang, namun termasuk kategori hawalah yang dibolehkan karena ada kemaslahatan bagi pihak yang mempunyai hak. Disamping itu, pada asalnya segala transaksi hukumnya boleh.
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ali, ibnu abbas. Al-Hasan, Ibnu az-Zubair, Ibnu Sirin, an-Nawawi, Ahmad. Dan ishak bahwa Abdullah ibnu Az-Zubair Radhiyallahu”anh menerima uang dari seorang laki-laki di Mekkah. Kemudian ia memerintahkannya unutuk membayarkannya kepada saudaranya Mush’ab di Irak.
Pendapat yang valid adalah boleh mempraktekkan suftajah karena termasuk kategori hiwalah, bukan hutang piutang. Demikian ini didukung oleh fakta, dewasa ini dengan adanya apa yang disebut dengan al-hawalah albankiyah (transfer melalui bank/wesel), yaitu seorang membayar atau membuang uangnya di bank, kemudian bank memberikan cek untuk menerima uang itu di Negara lain dengan jenis uang yang sama atau dengan mata uang lain yang sesuai dengan kursnya. Transfer juga dapat melalui faximil, telepon, dan sarana telekomunikasi lainnya.
Majlis konvensi fiqih di bawah Rabithah al-‘alam al-Islami dalam pertemuan kesebelas yang dipimpin oleh Syaikh Abdul Aziz ibnu Baz Rahimallah membolehkan suftajah. Keputusan majlis itu sebagai berikut:
1.      Menerima cek sama dengan menerima barang dengan tangan ketika terpenuhi syarat-syaratnya sebagaimana yang terjadi dalam penukaran uang melalui transfer bank.
2.      Nomor rekening dinilai sebagai menerima dengan tangan bagi orang yang menukarkan mata uang dengan mata uang lainnya, baik dengan cara seseorang membayarkan uang kepada bank atau dengan uang yang telah ditabungkan di bank tersebut. Wallahu a’lam.[26]

10.       Kapan Pihak Al-Muhal ‘Alaih Berhak Menerima Ganti Kepada Pihak Al-Muhil
Pembahasan ini mencakup dua hal, yaitu pembahasan tentang syarat-syarat al-ruju’ (meminta ganti) dan pembahasan seputar bentuk ganti yang boleh bagi pihak muhal ‘alaih untuk memintanya dari pihak muhil, apakah sesuai dengan hutang yang ada (muhal bih) ataukah sesuai dengan apa yang dibayarkan oleh pihak muhal’alaih kepada pihak muhil.
Adapun syarat-syarat ruju’ adalah sebagai berikut:
a.       Akad hawalah yang ada berdasarkan perintah dan permintaan pihak muhil. Oleh karena itu apabila hawalah ada tidak atas perintah dan permintaan pihak muhil maka pihak muhal’alaih tidak berhak meminta ganti kepadanya. Seperti jika ada seseorang (muhal ‘alaih) berkata kepada Ad-Dai’in (pihak yang berpiutang atau muhal), “ kamu memiliki harta begini dan begini yang berada di dalam tanggungan si Fulan, maka pindahkanlah tanggungan hutang itu kepadaku,” lalu pihak muhal pun setuju dan menerima hawalah tersebut, maka hawalah tersebut sah. Akan tetapi jika orang yang berkata tersebut (dalam hal ini posisinya adalah sebagai pihak muhal ‘alaih) membayar tanggungan hutang yang dimaksud, maka ia tidak memiliki hak meminta ganti kepada pihak muhil, karena ketika itu ia adalah orang yang bertabru’ (berderma) dan disini sama sekali tidak ditemukan adanya tamlik (pemilikan) hutang yang ada dari muhal untuk muhal ‘alaih. Maka disini muhal ‘alaih tidak memiliki hak untuk meminta ganti kepada muhil.
b.      Muhal ‘alaih telah membayar yang ada atau terjadi sesuatu yang semakna dengan pembayaran, seperti hutang itu dihibahkan atau disedekahkan kepada muhal ‘alaih dan ia menerima hibah atau sedekah tersebut. Begitu juga apabila muhal ‘alaih orang yang mewarisi muhal, karena waris termasuk salah satu sebab kepemilikan. Oleh karena itu apabila ia mewarisinya, maka berarti apa yang diwarisinya (hutang yang ada) yang sebelumnya menjadi tanggungannya berubah hak miliknya, sehingga ia memiliki hak untuk meminta ganti atau menagih kepada muhil. Seandainya pihak muhal ‘alaih dibebaskan dari tanggungan hutang yang ada, maka ia tidak berhak meminta ganti kepada pihak muhil. Karena Al-Ibra atau pembebasan berarti pengguguran hak, maka dari itu pihak muhal alaih tidak memiliki hak apa-apa. Sehingga ia tidak memiliki hak untuk meminta ganti kepada pihak muhil.
c.       Pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil yang menyamai tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal. Oleh karena itu, apabila pihak muhal ‘alaih memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil yang menyamai tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal maka berarti telah terjadi Al-Maqqshas (sama-sama impas) antara pihak muhal ‘alaih dengan muhil.
C.   Skematika
Secara garis besar praktik hiwalah dalam konsep dasar fiqihnya sebagai berikut:
Gambar 1. Konsep al-Hiwalah menurut Ulama Syafi’iyah



Di bawah ini skema hiwalah menurut ulama Hanafiyah









Di bawah ini termasuk skema hiwalah di perbankan Syari’ah


D.  Penutup
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang menurut istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun Hiwalah ada empat yaitu:
1.      Muhil (orang yang meminjami hutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
2.      Muhal (orang yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3.      Muhal ‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4.      Muhal Bih (hutang yang dipindahkan) dengan ketentuan barangnya harus jelas.
Sedangkan syarat hiwalah itu ada empat, yaitu :
§  Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
§  Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang)
§  Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
§  Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya. Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta hiwalah, dan muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar dan Bakar mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar tidak mampu membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu ditagihkan kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan Ali, sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.


























DAFTAR PUSTAKA

Khairi, Miftakhul dkk. Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah  (Yogyakarta: Makatabah Al-Hanif.2009)
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2008)
Hasan, M.Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2004)
Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Fathul Mu’ini (Surabaya: Al-Hidayah.2011)
Dib Al-Bugha, Mustafa. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzab Syafi’I (Solo: Media Zikir.2009)
Sarwad, Ahmad. Fiqih Kehidupan (7) Mu’amalah (Jakarta: DU Publishing)
Muhammad bin Qasim Aal-Gazi. Fathul Qorib (Surabaya: Al-Hidayah.1991)
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. Fiqih Mu’amalah (Bogor: Ghalia Indonesia.2011)
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media.2003)
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2002)
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.1997)
Anwar, Syarifuddin. Khifayatul Akhyar (Surabaya: CV Bina Iman.2007)
Abdul Jalil, Ma’ruf. Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka Al-sunnah.2008)
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah (Bandung: Al-Ma’arif.1987)
Jilid 6.وهبة الزهيلي. الفقه الإسلامي وادلة. دمسق- سورية
ابن قاسم الغزى. البجورى. اندونسيا. مكتبة دحلان


[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 175
[2]. Jilid 6. وهبة الزهيلي. الفقه الإسلامي وادلة. دمسق- سورية. صفحة 4187
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 99-101
[4] Muhammad bin Qasim Aal-Gazi. Fathul Qorib (Surabaya: Al-Hidayah,1991), hlm. 375-376
[5] Jilid 6.وهبة الزهيلي. الفقه الإسلامي وادلة. دمسق- سورية. صفحة 4187
[6] Abdul Aziz Dahlan,  Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hlm 560
[7] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009), hlm 215-216
[8] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah  (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.258-259
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih islam Wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm.85-86
[10] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Mu’amalah (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011 ), hlm.
[11] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009), hlm. 214
[12] Op cit.hlm.
[13] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul mu’in (Surabaya: Al-Hidayah, 2011), hlm. 284.
[14] Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 43.
[15] Mustafa Dib Al-Bugha. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam madzhab Syafi’I  (Solo: Media Zikir, 2009), hlm.279.
[16]M.Ali Hasan,  Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm.222-223.
[17] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm.88-92.
[18] M.Ali Hasan,  Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 221.
[19] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm.92.

[20] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu  (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 97-98.
[21] Ahmad Sarwad, Fiqih Kehidupan (7) Muamalah  (Jakarta: Du Publishing), hlm. 248
[22] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009), hlm. 218.
[23] M.Ali Hasan,  Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm .224-225.
[24]  M.Ali Hasan,  Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam  (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 225.
[25] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Mu’amalah  (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.261.
[26]Miftakhul khairi, dkk, Ensiklopedia Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm. 219-221.