Kamis, 18 April 2013

IMPLIKASI TEORI BELAJAR KONSTRUTIVISTIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam minda manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universiti tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.
Menurut paham dari aliran konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada siswa atau anak didik dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu diberi binaan tentang pengetahuan menurut pengalaman masing – masing.
Pembelajaran dalam konteks Konstruktivisme merupakan hasil dari usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid sesuai dengan prinsip Student centered bukan teacher centered. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu suatu aktifitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan dalam proses pemikiran anak. Pikiran murid tidak akan menghadapi suatu realitas yang berwujud secara terasing dalam lingkungan sekitar.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila istilah baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian dari pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Hal inilah yang biasa dinamakan dengan konstruktivisme.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian teori belajar konstruktivistik ?
2.      Bagiamana implikasinya dalam pembelajaran ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Akar sejarah teori konstruktivistik
Revolusi konstruvistik mempunyai akar yang jauh dalam akar pendidikan dan pendekatan itupun sangat mengandalkan karya peaget dan Vygotsky sebagai sumbernya, yang keduanya menekankan bahwa perubahan kognisi terjadi hanya ketika konsepsi sebelumnya mengalami proses disekuilibrasi dari sudut informasi baru. Keduanya juga menekankan sifat sosial pembelajaran, dan keduanya menyarankan menggunakan kelompok belajar dengan kemampuan campuran untuk meningkatkan perubahan konsepsi.
Pemikiran konstruktivistik medern paling banyak menggunakan teori Vygotsky yang telah digunakan untuk mendukung metode pengajaran di ruang kelas yang menekankan pembelajaran kerjasama. Ada empat prinsip utama dari gagasan Vygotsky yang telah memainkan peran penting yaitu:
1.      Pembelajaran Sosial, Penekanan pada sifat pembelajaran anak-anak belajar, ia berpendapat melalui interaksi bersama dengan orang dewasa dan teman-teman akan lebih mampu. Dalam proyek kerjasama, anak-anak dihadapkan pada proses pemikiran dari teman-teman mereka, metode ini bukan hanya memungkinkan hasil pembelajaran yang tersedia bagi siswa, tetapi juga memungkinkan proses pemikiran siswa tersedia bagi semua.
Vygotsky mencatan bahwa orang-orang yang berhasil memecahkan masalah-masalah yang sulit. Dalam kelompok kerjasama, anak-anak dapat mendengarkan pembicaraan batin dengan dapat mempelajari cara orang-orang yang berhasil memecahkan masalah berfikir melalui cara mereka sendiri.
2.      Zona perkembangan proksimal: Konsep utama yang kedua ialah, gagasan bahwa anak-anak paling baik mempelajari konsep yang berada pada zona perkembangan proksimal mereka. Anak-anak yang bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka akan terlibat dalam tugas yang tidak dapat mereka kerjakan sendiri dan hanya dapat dikerjakan dengan bantuan orang dewasa. Ketika anak-anak bekerjasama, kemungkinan akan mempunyai tempat yang terampil dalam menyelesaikan tugas tersebut dengan tingkat kognisi yang lebih tinggi tentunya.
3.      Masa Magang Kognisi, selain masa proksimal Vygotsky juga menekankan pada masa magang kognisi istilah ini merujuk pada proses yang digunakan seorang pelajar untuk memperoleh keahlian melalui interaksi dengan pakar, apakah orang dewasa atau teman atau yang lebih tua darinya yang pasti lebih mempunyai otoritas dalam hal tersebut. Pengajaran inilah yang disebut masa magang kognisi.
Para ahli teori konstruktivis menyarankan kepada para pendidik agar mengalihkan kegiatan pembelajaran kepada kegiatan sehari-hari diluar kelas, yaitu dengan melibatkan siswa dalam tugas-tugas yang rumit bagi mereka sendiri dan melibatkan siswa dalam kelompok yang kooperatif, dimana siswa yang lebih mampu akan membantu siswa yang kurang mampu untuk melalui tugas-tugas yang telah diberikan .
4.      Pembelajaran termediasi, dalam pembelajaran ini, siswa harus diberi pekerjaan atau tugas yang rumit, sulit, dan realitas akan tetapi kemudian diberikan sedikit bantuan untuk mencapai tugas-tugas yang tealah diberikan, akan tetapi bukan berarti diajarkan bagian-bagian kecil pengetahuan yang pada suatu hari berkembang menjadi sebuah tugas yang sulit.
            Prinsip ini digunakan untuk mendukung penggunaan proyek di ruang kelas, similasi, penjajakan dalam komunitas, penulisan untuk pembaca yang sesungguhnya, dan tugas-tugas otentik lainnya.[1]
B.     Pengertian teori belajar komstruktivistik
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus.[2]
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Teori belajar ini(konstruktivistik) mula-mula digagas oleh giambatissta vico (1710). Dalam bukunya yang berjudul De antiquissme italurum sepientia, yang artinya “tuhan adalah sang pencipta alam semesta dan manusia adalah sebagai tuannya.” Dia menjelaskan bahwa tuhan yang lebih tahu seluk beluk alam semesta ini, karena Dia yang telah menciptakannya dan dari apa Dia buat. Sementara itu manusia dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksinya.[3]
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
Adapun karakteristik/ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
ü  Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
ü  Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
ü  Menyokong pembelajaran secara koperatif
ü  Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid
ü  Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
ü  Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
ü  Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Dan yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.
konsep pembelajaran menurut teori konstruktivistik adalah suatu proses pembelajaran yang mengondisikan siswa untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru brdasarkan data hingga menjadikan sebuah pengetahuan yang bermakna,[4] dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti: Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar[5].
C.      Tokoh-tokoh teori belajar konstruktivistik
1.      Driver dan Bell
Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut :
ü  siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
ü  belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
ü  pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
ü  pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
ü  kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
2.      J.J. Piaget
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental, sebagai berikut :
ü  perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
ü  tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual,
ü  gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis, menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat . Ruseffendi(Muhammad thabrani dan arif mustofa).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Suparno(Muhammad thabrani dan arif mustofa).
3.      Vigotsky
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain Tanjung (Muhammad thabrani dan arif mustofa) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
4.      Tasker
Tasker (Muhammad thabrani dan arif mustofa) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut :
ü  peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna,
ü  pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna,
ü  mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
5.      Wheatley
Wheatley (Muhammad thabrani dan arif mustofa) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
ü  Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
ü  Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengonstruksian ilmu pengetahuan ,melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik, hudoyo (Muhammad thabrani dan arif mustofa) mengatakan bahwa seorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah di ketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru. Pengalaman belajar yang lalu dari dari seseorang kan mempengarui terjadinya prosese belajar tersebut.   
6.      Hanbury
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (Muhammad thabrani dan arif mustofa), mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu :
ü  siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
ü   pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
ü  strategi siswa lebih bernilai,
ü  siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman.[6]


D.     Implikasi teori pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran
1.      Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2.      Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para sisiwa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru kedalam kerangka kognitifnya.
3.      Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-model itu.
4.      Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
5.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik.
6.      Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
7.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Para pengajar diharapkan dapat belajar sepanjang hayat seirama dengan pengetahuan yang mereka perlukan untuk mendukung pekerjaannya serta menghadapi tantangan dan kemajuan sains dan teknologi. Pengajar tidak diharuskan memiliki semua pengetahuan, tetapi hendaknya memiliki pengetahuan yang cukup sesuai dengan yang mereka perlukan, di mana memperolehnya, dan bagaimana memaknainya. Para pengajar diharapkan bertindak atas dasar berpikir yang mendalam, bertindak independen dan kolaboratif satu sama lain, dan siap menyumbangkan pertimbangan-pertimbangan kritis.
Para pengajar diharapkan menjadi masyarakat yang memiliki pengetahuan luas dan pemahaman yang mendalam. Di samping penguasaan materi, pengajar juga dituntut memiliki keragaman model atau strategi pembelajaran, karena tidak ada satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan belajar dari topik-topik yang beragam.
Oleh karena itu, peranan pengajar tidak lebih dari sebagai fasilitator, suatu posisi yang berbeda dengan pandangan tradisional. Tugas sebagai fasilitator relatif lebih berat dibandingkan hanya sebagai transmiter pembelajaran. Pengajar sebagai fasilitator akan memiliki konsekuensi langsung sebagai perancah, model, pelatih, dan pembimbing. Di samping sebagai fasilitator, secara lebih spesifik peranan pengajar dalam pembelajaran adalah sebagai expert learners, sebagai manager, dan sebagai mediator. Sebagai expert learners, pengajar diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang cukup untuk pebelajar, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika pebelajar sulit mencapai tujuan, berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor pebelajar.
Sebagai manager, pengajar berkewajiban memonitor hasil belajar para pebelajar dan masalah-masalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan tugas. Dalam hal ini, pengajar berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan mengenai isi, menyeleksi proses-proses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan awal dan pengelompokan pebelajar.
Sebagai mediator, pengajar memandu mengetengahi antar pebelajar, membantu para pebelajar memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu masalah, memandu para pebelajar mengembangkan sikap positif terhadap belajar, pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para pebelajar, pemodelan proses berpikir dengan menunjukkan kepada pebelajar ikut berpikir kritis.[7]


















BAB III
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta,memahami dan  makna sesuatu makna dari apa yang dipelajari, dengan bantuan guru atau yang lainnya.
pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme akan memberi peluang kepada guru untuk memilih kaidah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan murid dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan.
guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, beban guru sebagai pengajar akan berkurangan di mana guru lebih bertindak sebagai pemudahcara atau fasilitator.

















DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih,asri. 2005. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta. Rinekacipta.
Sukardjo. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta. Rajawali Pers.
Smith, Mark. K. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Yogyakarta. Mirza.
Yamin, Martinis. 2008. Paradikma Pendidikan Konstruvistik. Jakarta. GP Press.
Slavin, Robert. E. 2006. Psokologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta. Indeks
Thobroni, Muhammad dan arif mustofa. 2011. Belajar dan pembelajaran. Pustaka Ar-ruzz : Jogjakarta
Santyasa, I Wayan. 2004. Model Problem Solving Dan Reasoning Sebagai Alternatif Pembelajaran Inovatif. Makalah disajikan dalam KONASPI V tanggal 5 – 9 Oktober 2004 di Surabaya.



[1] Robert e.slavin.psikologi pendidikan 2009 (pustaka indeks.jakarta) hal 8
[2] Muhammad thobroni dan arif mustofa, belajar dan pembelajaran,2011, (Jogjakarta. Ar-ruzz media) hal 107
[3] Martinis yamin, paradigm pendidikan konstruktivistik, 2008 (Jakarta. Gaung persada press) hal 7
[4] Sukardjo, ukim komaruddin, landasan pendidikan, 2010 (rajagrafindo. jakarta) hal 56
[5] Muhammad thobroni dan arif mustofa, belajar dan pembelajaran,2011, (Jogjakarta. Ar-ruzz media) hal 116
[6] Muhammad thobroni dan arif mustofa, belajar dan pembelajaran,2011, (Jogjakarta. Ar-ruzz media) hal 114
[7] Santyasa, I Wayan. 2004. Model Problem Solving Dan Reasoning Sebagai Alternatif Pembelajaran Inovatif. Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar