Kamis, 18 April 2013

PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, pendidikan(terutama Islam)dengan berbagai coraknya yang berorientasi memberikan bekal kepada manusia(peserta didik)untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis) tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Dunia Islam akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang sangat menuntut upaya pemecahan secara mendesak. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia Islam masa kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat.
Masa depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini. inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam. Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (Social Science) dan ilmu-ilmu alam (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
 Bertolak dari problematika diatas, di Islam pun dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda proses dan tujuannya. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik dan kurang perduli terhadap peradaban teknologi modern, ini sering diwarnai corak pemikiran timur tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari bentuk kedua ini berupa Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan karena itu, pendekatannya bersifat non-agamis. Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka sendiri.
Rekonstuksi pendidikan Islam, akhir-akhir ini banyak mengundang perhatian setiap pihak yang memiki perhatian dan kepentingan (stakeholder) akan harapan lebih optimalnya urgensi pendidikan Islam sebagai pendidikan yang berseberangan dengan visi pendidikan umum yang sekarang seakan menjamur disegala lapisan masyarakat umumnya. Renaisans (proyek pengembangan) pendidikan Islam, harus memiliki tujuan dan visi yang jelas serta mapan, dari orientasi yang ingin dicapai setelah pelaksanaan proses pendidikan (ultimate aim).
Menindak lanjuti masalah ini, salah satu tokoh pendidikan Islam yang sangat peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam kontemporer, Syekh Muhammad Naquib Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad ke-20, merupakan salah satu tokoh Melayu Muslim yang memiliki otoritas yang sangat berpengaruh pada kebijakan pendidikan Islam Melayu bahkan dunia internasional. Al-Attas, bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun Al-Attas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada Universitas (ISTAC), dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan.
Penulis memandang prestasi dan kapasitas serta otoritas yang telah dicapai Al-Attas ini sangat mengagumkan, karena itu penulis tertarik untuk menelaah konsep pendidikan Al-Attas untuk menggali pemahaman dibalik keberhasilan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan library risert. Peneliti menelusuri karya-kaya atau tulisan Al-Attas serta sumber-sumber yang berkaitan dengan kerangka berpikir yang membangun gagasan-gagasan yang dikemukakan Al-Attas tentang pendidikan Islam. Setelah data diperoleh, penulis mengalisis data tersebut dengan pendekatan induktif analis dan dipaparkan dengan bahasa peneliti sendiri.
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa Syekh Muhammad Naquib Al-Attas memaparkan bahwa proses pendidikan akan berjalan sesuai dengan harapan dan tujuan apabila sebelum pelaksanaannya dilakukan perencanaan-perencanaan yang berkaitan dengan teknik (metode) dan contens (isi) pendidikan itu sendiri. Sedangkan tujuan pendidikan Islam bukanlah menciptakan warga Negara yang baik, melainkan membentuk manusia integral dalam wujud universal yang berpegang teguh pada pondasi agama (fitrah), namun tidak menafikan kedudukan sains dalam kehidupan didunia ini. Oleh karena paradigma pendidikan yang paling tepat digunakan adalah ta’dib, bukan ta’lim ataupun tarbiyah. Konsep pendidikan seperti ini sangat relevan dalam mengangkat kembali image (citra) umat Islam yang lebih bermartabat, dan mampu mengemban amanah Allah khalifah fil ardi dimuka bumi, dengan tetap mengakui sisi materialistis (dunia) dan selalu memperhatikan kelangsungan religius (alam akhirat).
B.    RUMUSAN MASALAH
1.     Bagaimana biografi muhammad naquib al attas?
2.     Bagaimanakah konsep pendidikan Islam menurut  Muhammad Al-Naquib al-Attas ?
C.      TUJUAN
Setiap kegiatan atau aktivitas yang disadari pasti ada yang ingin dicapai. Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami konsep pendidikan Islam menurut   Muhammad Al-Naquib al-Attas.

D.    MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam makalah ini adalah :
1.      Secara Teoritis(pengetahuan langsung), dapat semakin memperkaya kebaikan  pemikiran Islam pada umumnya dan bagi civitas akademika Fakultas Agama Islam jurusan Tarbiyah pada khususnya.
2.      Secara Praktis(jelas), dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum, sehingga mampu menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.     BIOGRAFI MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
1)   Riwayat Hidup
           Syekh Muhammad. Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir 5 Juli 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun kebelakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad Saw.
           Diantara leluhurnya menjadi wali dan ulama. Salah seorang diantaranya adalah Syekh Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syekh Abu Hafs ‘Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-din Al-Raniri, salah seorang Alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syekh M. Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘aydarus, yang bersal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
           Dari pihak bapak, kakek Syekh Naquib yang bernama Syekh Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya dirasakan di Indonesia , tapi sampai juga ke negeri Arab. Muridnya, Syekh Hasan Fad’ak, kawan Laurence of Arabiyah, dilantik menjadi penasehat agama Amir Faisal, saudara Raja Abdullah dari Yordania.
           Neneknya, Ruqaiyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristocrat yang menikah dengann Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khdijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungkul Abdullah Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah untuk yang kedua kalinya dengan Syekh Abdullah Al-Attas dan dikaruniakan seorang anak, Syekh Ali Al-Attas, yaitu bapaknya Muhammad Naquib.
           Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syekh Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syekh Zaid, seorang Insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.

2). Pendidikan
           Latar belakang keluarga sangat berpengaruh terhadap pendidikan Al-Attas. Dari keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan ilmu-ilmu keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang sangat bermanfa’at baginya dalam mengembangkan dasar bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu.
Pada usia lima tahun, Al-Attas dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Disana, Al-Attas tinggal bersama pamannya Ahmad, kemudian dengan bibinya Azizah, keduanya adalah anak Ruqayah Hanum dari suami pertamanya, Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad (w. 1919), Kepala Menteri Johor Modernt yang pertama.
           Pada masa pendudukan Jepang Al-Attas kembali ke Jawa untuk melanjutkan pendidikanya di Madrasah Al-‘Urwatu Al Wutsqah, (Sukabumi 1941-1945), sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Setelah perang dunia ke II pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Johor untuk melanjutkan pendidikannya, pertama di Bukit Zahrah Scholl kemudian melanjutkan ke Engglish College (1946-1951). Disini Al-Attas tinggal bersama salah seorang pamannya Ungku Aziz ibn Ungku Abdul Majid. Ungku Abdul Aziz memiliki perpustakaan manuskrip Melayu yang bagus, terutama mengenai sejarah dan sastra Melayu.
           Setelah menamatkan sekolah Menengah pada 1951, Al-Attas mendaftarkan dirinya pada resimen Melayu sebagai kadet untuk mengikuti pendidikan meliter yang pertama kali di Eton Hall, Chaster, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandurst, Inggris (1952-1955), disini Al-Attas banyak belajar memahami semangat dan gaya hidup masyarakat Ingris. Selain mendalami pendidikan kemiliteran Al-Attas juga sempat berkunjung ke tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi intelektual, seni, dan gaya bangunan keislaman. Selanjutnya Al-Attas sempat berkenalan dengan seorang pejuang merebut kemerdekaan Maroko dari tangan Prancis dan Spanyol, serta perkenalannya yang pertama kali dengan pandangan Metafisika tasawuf. Pengalaman-pengalaman Al-Attas ini, tentu meninggalkan kesan yang mendalam bagi perjalanan hidupnya.
           Dalam waktu yang tidak lama, setelah Al-Attas menamatkan pendidikan meliternya dari Sandhurst, Al-Attas mengambil Program S1 di Universitas Malaya. Setelah merampungkan S1, berkat dukungan dari Canada Council Fellowship dengan beasiswa selama tiga tuhun yang terhitung sejak 1960, untuk belajar di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal, yang didirikan Wilfred Cantwell Smith. Al-Attas mendapat gelar M.A. pada Universitas McGill pada tahun 1962 setelah merampungkan tesisnya berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh, dengan predikat memuaskan.
           Setahun kemudian, atas dukungan dari beberapa sarjana dan tokoh-tokoh orientalis terkenal, Al-Attas pindah ke SOAS (School of Orientalis and African Studies), Universitas London untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Dibawah bimbingan Profesor Arberry dan Dr. Martin Lings, pada tahun 1965 Al-Attas memperoleh gelar Ph.D. setelah mempertahankan desertasi doktoralnya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri, dengan sangat memuaskan.

3). Pengalaman Kerja (Profesi)
           Setelah menamatkan studi doktoralnya yang dirampungnya di Universiti London, Al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1968-1970), dan Al-Attas juga sebagai Dekan Fakultas Sastra di Kampus yang sama. Disini Al-Attas berusaha memperbaiki struktur akademic fakultas dan mengharuskan setiap jurusan menyusun rencana dan mengurus aktivitas akademiknya dengan berkonsultasi pada jurusan-jurusan lain yang sefakultas sehingga mereka tidak berjalan sendiri-sendiri sebagaimana keadaan sebelumnya.
           Al-Attas juga terlibat dalam pendirian UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior, Al-Attas juga berusaha menggantikan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan bahasa Melayu, dan terlibat juga dalam megonseptualisasikan dasar-dasar filsafat UKM dan mempelopori pendirian fakultas ilmu dan kajian Islam, yang direalisasikan pada tuhun 1973, dengan didirikanya IBKKM (Institut Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan Melayu) di UKM, dan Al-Attas langsung mengepalainya. Selain itu, pada tahun 1991 Al-Attas juga telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC, dilanjutkan 1997 kampus ini mengalami perkembangan sepuluh kali dari kampus sebelumnya.
           Dari penjelasan diatas, jelas tergambar bahwa Al-Attas merupakan sosok intelektual, baik konseptual maupun implikasinya dalam menjalankan karirnya, tentu saja sumbangsinya didalam dunia pendidikan Islam dalam merekonsruksi peradapan dan kualitas yang dibutuhkan oleh dunia bagi pendidikan Islam dan menagangkat kembali sejarah keemasan Islam pada masa lampau.

4). Pengalaman Organisasi Dan Penghargaaan
           Pada bagian ini akan di jabarkan, walapun sedikit sudah tergambar oleh uraian diatas tentang pengalaman Al-Attas dalam berkecipung dalam organisasi kependidikan Islam baik di Malaysia maupun Internasional. Al-Attas sendiri dikenal seorang sarjanawan yang menguasai berbagai bidang disiplin ilmu, sehingga banyak mengundang kepercayaan bagi para orientalis Barat dan tokoh-tokoh penting Melayu.
Misalnya saja, Al-Attas dipercayai untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des Orientlistes yang ke-29 di Paris tahun 1973. Maka, atas kontribusi Al-Attas dalam perbandingan filsafat, Al-Attas dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal seperti Hendri Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutzu. Dan Al-Attas menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun 1976 dan sekaligus Pembicara serta utusan resmi dari Negara Malaysia dalam Konferensi Islam Internasional (Internasinal Islamic Conference) yang juga diadakan secara bersamaan di London.
           Al-Attas juga aktif dalam Conferensi Dunia Pertama pengenai Pendidikan Islam (First World Conference on Islamic Education) yang diselenggarakan di Mekkah pada tahun 1977, dan Al-Attas pun selaku pemimpin komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam. Sebagai Visiting Professor untuk studi Islam di Universitas Temple, Philadelphia (1978), anugrah Medali Seratus Tahun meninggalnya Sir Muhammad Iqbal (Iqbal Centenari Commemorative Medal) dari Presiden Pakistan, dan Al-Attas pernah terlibat dalam berbagai kongres yang diselenggarakan oleh UNESCO maupun badan academis yang lain.
           Di Malaysia pun Al-Attas tidak diragukan lagi posisi dan perananya, dari tahun 1970-1984 Al-Attas terpilih sebagai Ketua Lembaga Bahasa dan Kesusastraan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Menjadi Ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of Southeast Asian Studies) di Universitas Ohio, Amerika, untuk priode 1980-1982. Dan Al-Attas selaku pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute Of Islamic Thought and Civilition), Malaysia sejak tahun 1987.
           Al-Attas telah menyampaikan banyak makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Jauh, dan berbagai Negara Islam lainnya. Berkat berbagai kotribusinya yang menyeluruh dalam pemikiran Islam kontemporer, pada tahun 1993 Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan Presiden Universitas Islam Malaysia Internasional (Internasional Islamic University Malaysia) menunjuk Al-Attas (Syekh M. Naquib Al-Attas) sebagai Pemegang pertama Kursi Kehormatan Abu Hamid Al-Ghazali (Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Selanjutnya Raja Hussein dari Yordania mengangkat Al-Attas sebagai Anggota Royal Academy of Jordan pada tahun 1994, dan Universitas Khartoum menganugrahi Al-Attas dengan gelar Doktor kehormatan (D. Litt.) pada bidang seni tahun 1995.
B.     GAGASAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
Syekh Muhammad Naquib al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistimatis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara yang baik & tidak pula pekerja yang baik (sosial politik pemerintahan). Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik.
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.
1.     Definisi Pendidikan Islam
Sejarah runtuhnya peta intelektualitas keislaman yang bagi Islam harus mengakui ketertinggalan dari peradapan zaman, membuat pemikir Muslim kontemporer bangkit dari tidurnya, proses inilah yang disinyalir oleh Hasan Hanafi sebagai kebangkitan Islam gelombang ke tiga yang sudah dirintis sejak masa Rifa’ah Thahthawi (1801-1873 M). Upaya tersebut masih terus berjalan, bahkan dari generasi-kegenerasi secara alami turun-temurun, peradapannya pun juga menyesuaikan diri dengan peradapan zaman.
Untuk merintis pendidikan Islam yang selayaknya, sebelum mengalami keruntuhan tersebut, maka tentu sangat memerlukan suatu penelaan yang mapan terhadap makna, orientasi dan tujuan sesungguhnya dari pendidikan Islam itu sendiri. Untuk memaknai kata “pendidikan” yang disandingkan dengan kata “Islam” dibutuhkan penguasaan literatur yang memadai. Keharusan ini, mengingat keluasan dan beragamnya penafsiran dari para ahli terdahulu, maupun praktisi pendidikan Islam yang selalu adanya perbedaan pandangan maupun prinsip implikasinya. Disamping itu juga para pemikir (tokoh) tidak dapat mengklaim pahamnya sebagai keputusan final (akhir) dalam upaya pengembangan pendidikan, terutama dalam hal ini pendidikan Islam.
Istilah “pendidikan Islam” tentu saja berasal dari khazanah bahasa Arab, mengingat dalam bahasa itulah Islam diturunkan. Menurut kata yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasul, yakni dua sumber pokok ajaran Islam. Istilah yang dipakai untuk menunjuk konsep dan kegiatan pendidikan adalah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Dari ketiga macam itu yang popular digunakan, baik di Negara-negara berbahasa Arab bahkan Indonesia juga, ternyata istilah “tarbiyah”, menyusul ta’lim dan sangat jarang menggunakan istilah ta’dib.
Selanjutnya kalau ditinjau dalam konteks keindonesian, Nurcholis Majid misalnya, memaknai pendidikan:“…Adalah ketidak mampuan teknis dikalangan muslimin yang bila dilacak lebih jauh akan bermuara pada bidang pendidikan. Terjadinya kelemahan dalam bidang pendidikan justru merupakan akibat aset positif kaum muslimin dalam perjuangan nasional pada zaman penjajahan, yaitu sikap non kooperatif termasuk dalam bidang pendidikan, sehingga putra-putri Islam tidak sempat menikmati bangku pendidikan tertentu yang menyampaikan mereka pada status sosial yang strategis sifatnya”.
Pengertian diatas menjelaskan bahwa, pengalaman pahit masa lalu terasa akibatnya sampai sekarang, oleh karena itu menjadi keharusan mutlak dikalangan muslim untuk menyelenggarakan pendidikan Islam dengan sebaik-baiknya. Apalagi keadaan yang selalu bergerak menuju kemajuan teknologi, maka kegiatan pendidikan Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi, tanpa adanya itu pendidikan Islam akan tertinggal oleh gerak yang teratur dan terencana.
Nasution (1983) menguraikan, berdasarkan apa yang disyaratkan oleh Al-Qur’an dan Hadits manusia tersusun/terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh merupakan badan kasar manusia, hayat adalah tenaga atau daya kehidupan yang biasa disebut roh atau nyawa; sedangkan jiwa menurut Nasution memiliki dua daya, yaitu daya fikir/intelek (akal) yang terdapat didalam kepala, serta daya rasa (hati) yang terletak dalam dada, Jika demikian halnya, maka pendidikan Islam tidak lain adalah upaya aktualisasi atau mengembangkan tiga unsur tersebut. Defenisi tersebut dirangkum oleh pendapat yang menjelaskan secara lebih rinci, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak serta keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Dari pengertian pendidikan tersebut, menunjukkan bahwa melalui proses pendidikan yang sempurna akan membentuk suatu masyarakat yang tertata dengan rapi dan disiplin yang tinggi. Suasana demikian akan mengantarkan pada mayarakat yang damai dan saling menghargai, bertoleransi, hidup berdampingan secara damai, masyarakat seperti itu dapat terwujud karena masyarakatnya telah memiliki peradapan dan pola hidup yang tinggi (kolektif) yang diperoleh tidak lain yakni dari hasil pendidikan yang mengarahkan tindak tanduk prilaku manusia kearah yang lebih baik.
Definisi yang beragam oleh berbagai kalangan diatas, banyak dipengaruhi oleh pandangan dunia (weltans chauung) masing-masing. Namun pada dasarnya semua pandangan-pandangan yang berbeda itu, bertemu dalam semacam kesimpulan awal, bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Dengan memiliki pola kehidupan yang efektif dan efisien tersebut maka diharapkan manusia dapat menjalankan hidupnya yang sesuai dengan peran dan fungsi utamanya di muka bumi ini.
Dalam kaca mata Al-Attas, pendidikan merupakan proses penanaman sesuatu pada diri manusia, yang mengacu pada penanaman dan tahapan kepada individu yang mendukung pendidikan itu. Memang objek pendidikan tidak lepas dari pihak yang memberikan ilmu (pendidik) dan keaktifan peserta didik. Jadi menurut Al-Attas pendidikan akan berlangsung pada indivudu yang memang memerlukan serta beranggapan bahwa pendidikan sebagai kebutuhan yang harus didapatkan (mutlak). Karena hakikat ilmu adalah perubahan tindak-tanduk (prilaku) yang memilikinya sehingga kehidupan yang dijalani lebih berkesinambungan dan bermakna sehingga mampu mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi.
            Definisi pendidikan yang digagas oleh Al-Attas merupakan/ mengandung proses pengajaran seseorang pada tatanan kosmis (individu) dan sosial yang akan mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagai khalifah. Pandangan seperti ini sangat memerlukan penjelasan yang lebih spesifik lagi, mengingat konsep yang dikemukakan masih sangat abstrak dan filosifis. Dan terkesan mengabaikan aspek-aspek yang telah dipandang suatu keharusan dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini, walaupun Al-Attas sangat mengakui bobot dari gagasan tentang pendidikannya tersebut.


2.     Fungsi Pendidikan Islam
           Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa Al-Attas bukanlah seperti kebanyakan tokoh-tokoh di dunia pendidikan Islam yang lain pada umumnya, namun seluruh aktivitas educatif Al-Attas dihabiskan pada lingkup tataran pendidikan tinggi, bukan pendidikan dasar atau menengah. Ini sangat jelas dalam perannya sebagai tenaga educatif dalam beberapa Universitas dan sekolah tinggi baik dikawasan Asia maupun Eropa. Di Malaysia sendiri Al-Attas adalah tokoh Penggagas utama proyeksi ISTAC sebagai manifestasi dari ide-ide yang digagas Al-Attas dalam pengembangan pendidikan tinggi Islam.
Posisi penting ini, kemungkinan didorong oleh faktor intern beliau yang bermuatan “multi fungtion” sebagaimana diketahui kapasitas yang dimiliki seperti beliau ini jarang, untuk mengatakan tidak ada, seorang filisof yang memiliki kemampuan yang “setara” dengan beliau ini. Selain itu perlu diketahui bahwa persefsi Al-Attas tentang pendidikan tinggi ini ternyata memicu kesimpulan bahwa pendidikan dasar sampai menengah tidak akan ada kemajuannya, jikan tidak adanya pembenahan dari pendidikan tinggi, karena pendidikan tinggilah yang mendidik para pendidik profesional pada tingkat dasar.
Menurut Al-Attas, Universitas (Islam) seharusnya merupakan gambaran dari wujud manusia universal atau “insan kamil”. Al-Attas memaknai insan kamil adalah seseorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam prilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud Ilahiah tanpa harus meninggalkan atau kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk ciptaanNya.
Dalam sambutannya, pada pembukaan ISTAC, tertanggal 4 Oktober 1991; Kuala Lumpur, Al-Attas menjelaskan: Sebagai desainer utama, interior maupun eksterior, saya telah berusaha mengekpresikan kehadiran Islam: yaitu dengan atmosfer ketenangan yang didalamnya melahirkan pemikiran-pemikiran brilan dan mulia; disana hiruk-pikuk kehidupan sekuler yang penuh dengan kekhawatiran tidak memiliki ruang; didalamnya pula penyelidikan-penelitian ilmiah diantara bangunan-bangunan yang indah bisa terwujudkan. Saya rela memosisikan ISTAC sedemikian rupa sehingga menghadap kiblat. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada tangga 27 Rajab bersamaan peringatan perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Saw. ke langit tertinggi …. Diatas tempat peletakan batu pertama itulah sebuah mangkok mancur itulah berdiri dan Tuhan menciptakan segala sesuatu dari air dan air adalah simbol ilmu pengetahuan.
Sudah jelas bahwa tuhan memanifestasikan sifat Ketuhanan-Nya kedalam diri manusia dan begitu juga sebaliknya. Hal ini berarti manusia harus mampu mengatur permasalahan internal dirinya sendiri dan sekaligus pada masyarakatnya. Sebagaimana tuhan mengatur seluruh alam semesta ini. Al-Ghazali mengajarkan bahwa manusia bisa mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup melalui penyesuaian diri dengan inspirasi kesempurnaan Tuhan dan menghiasi diri dengan makna sifat-sifat Tuhan sebanyak mungkin.
Oleh karena itu universitas Islam, sebagai refleksi insan kamil (manusia universal) dalam wujud dan tujuanya harus memberikan perhatian pada masalah haqq. Al-Attas menerangkan bahwa haqq tidak hanya merujuk pada kebenaran sebuah pernyataan, kepercayaan, dan pertimbangan, tetapi juga pada proporsi hakikat sebuah realitas, singkatnya: “Haqq berarti kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, kenyataan, dan keseimbangan”.
Persoalan selanjutnya adalah, sejauh pemikiran Al-Attas, kemana arah sebuah universitas Islam ini akan dibawa, atau sebagai tujuan akhir (aims) keberadaan sebuah universitas itu berdiri. Sejenak kita kembali, pada konsep bahwa universitas harus mencermikan diri manusia, bukan hanya berdasarkan pada asas-asas ontologis sebagaimana diterangkan sebelumnya, melainkan usaha menganalisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas.
University itu sendiri itu diambil dari bahasa Latin, universitas yang mencermikan istilah yang berasal dari Islam, kulliyah, karena dalam Islam ilmu pengetahuan (al-‘ilm) dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang universal (kulliyat). Kemudian pengunaan istilah anatomi kemanusiaan faculty oleh berbagai universitas adalah hasil terjemahan dari bahasa Arab.
Gagasan beliau sebenarnya mengisyaratkan kepada pemerintah Muslim agar lebih bijak untuk mendirikan apa yang menjadi konsep universitas Islam modern, dan penekanannya pun tidak hanya terbatas pada organisasi ataupun hukum, melainkan lebih pada aspek keilmuan, epistimoligis, kurikuler, pedaegogis, dan aspek-aspek pendidikan lainnya. Sturuktur universitas Islam yang dilukiskan Al-Attas, bisa dipahami dari kritikan terhadap universitas barat modern yang kehadirannya tidak merefleksikan manusia. Sekalipun universitas itu berusaha untuk merefleksikannya, itu bukanlah manusia sesungguhnya, melainkan sosok menusia sekuler, politik dan ekonomi. Dalam hal ini Al-Attas menulis: “Bagaikan manusia tanpa kepribadian, universitas modern tidak memiliki pusat penting yang menyatukan, tidak memiliki prinsip dasar yang permanent sebagai tujuan akhirnya. Ia masih berpura-pura memikirkan sesuatu yang universal, bahkan mengaku memiliki fakultas dan jurusan seolah-olah merupakan kesatuan tubuh—tetapi tidak memiliki otak, apalagi akal dan jiwa, kecuali hanya sepenuhnya menuntut fungsi administratif untuk perbaikan dan perkembangan fisik …. Berbagai fakultas yang ada didalamnya tidak saling bekerja sama, masing-masing sibuk dengan keinginannya, dengan kebebasan berkehendak mereka.”
Kedaan yang sangat menyedihkan adalah ketika beberapa negara-negara Muslim yang kebanyakan mengorientasikan universitas Islam pada gaya-gaya filsafat dan manjemen organisasi ekonomi dan industri yang sukses, melihat adanya kekeliruan dalam tujuan pendirian universitas, maka beliau menyuarakan kepada pelaksana pendidikan Islam agar materi-materi dan tujuan pendidikan harus dimodifikasi sesuai tuntutan pasar dan industri serta peluang kerja, tetapi dalam hal ini beliau sangat menekankan perhatiannya bahwa asas spiritual yang fundamental bagi filsafat Pendidikan Tinggi tidak harus dikorbankan demi efisiensi ekonomi dan supremasi birokrasi.
3.     Tujuan Pendidikan Islam
           Pada bagian ini, sampai pada pembahasan yang sangat inti dalam telaah konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Al-Attas dalam rekonstruksi pendidikan Islam kontemporer. Walaupun secara sekilas telah tergambar dari singgungan sebelumnya, bahasan ini akan memerlukan tempat khusus, karena akan menjadikan tulisan ini inklusif dari seorang tokoh pendidikan Islam, yang dalam hal ini adalah  M. Naquib Al-Attas. Tujuan pendidikan Islam itu sendiri tergantung pada tingkatannya masing-masing, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jadi setiap jenjang/tingkatan pendidikan itu memiliki tujuan yang berbeda-beda dengan disesuaikan dengan taraf penerimaan dari peserta didik dan bersifat berkelanjutan secara dinamis dan saling berkaitan.
           Al-Attas berpendapat, dalam menentukan terma pendidikan Islam adalah istilah tarbiyah dan bukan pula ta’lim yang tepat dalam pendidikan Islam melainkan istilah “ta’dib”. Sementara menurut ahli yang lain lagi, malahan bukan sama sekali tarbiyah ataupun ta’dib melainkan istilah ta’lim yang lebih tepat untuk dipergunakan.
Istilah mana yang tepatnya? Tentu saja harus disesuaikan dengan segala kondisi dan tingkatan atau jenjang dalam setiap penggunaan ketiga terma tersebut:
1)     Terma tarbiyah yang lebih menonjolkan pada penumbuh kembangan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta hal-hal yang konkret. Oleh karena itu ciri-ciri pendidikan ini sangat cocok diterapkan pada pendidikan tingkat dasar/ kanak-kanak (Infanci) atau lebih konkret sesuai dengan istilah yang dipakai untuk proses pendidikan tingkat taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
2)     Terma ta’lim menurut Abdul Fattah Jalal lebih universal (tinggi dan luas) dari tarbiyah, lebih cocok digunakan pada proses pendidikan menengah, atau pada usia remaja dan menjelang dewasa (SLTP dan SLTA)
3)     Terma ta’dib diperuntukkan pada proses pematangan /penyempurnaan pendidikan. Sangat cocok dipakai pada jenjang pendidikan untuk dewasa (Perguruan Tinggi). Penulis berkeyakinan bahwa pendidikan yang sebenarnya merupakan serangkaian upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat kesempurnaan (insan khamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya didunia atau hanya diahirat saja, melainkan kedua-duanya harus seimbang proporsinya. Singkatnya menjadi khalifah fi ard (memakmurkan dunia) dengan segenap kemampuan dan limit waktu tang tersedia ketika hidup didunia, sehingga mengantarkan pada keselamatan di hari penghisafan (hari pembalasan) nanti.

4)    Subyek Didik
1)    Pendidik
Setelah terwujudnya pembangunan kampus ISTAC, maka arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam menjadi terlihat dengan jelas dan nyatalah apa yang diasumsikan Al-Attas semulanya. Salah satu unsur terpenting dalam suatu proses pendidikan adalah tenaga pendidik. Melalui tangan tenaga pendidik inilah yang mampu membawa peserta didik pada tujuan yang hendak dicapai (Insan Khamil).
Adapun sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus. Naiat yang lurus disini adalah menjalankan tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah dan perbuatan yang sangat terpuji dimata peserta didik. Sehingga setiap gerak-gerik seorang pendidik selalu mendatangkan asumsi positif bagi peserta didik, singkatnya pendidik yang berwibawah dimata peserta didiknya.
Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan sumber yang jelas dan telah mapan, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif (kuat). Al-Qur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah kepada yang otoritatif dibidangnya (ahl al-zikri) jika tidak mengetahui tentang sesuatu. Oleh karena itu, peran seorang guru dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.
Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam arti yang ideal (sesuai harapan). Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebi dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada perintah Allah SWt. Dalam pernyataan diatas, perlu kita kaitkan dengan pernyataan Al-Ghazali: “Makhluk yang paling sempurna dimuka bumi ini adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya,. Guru atau pengajar selalu menyempurnahkan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kapada Allah…” dan dia juga berkata: “Seorang yang berilmu dan bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar dibawah lolong langit ini. Ia bagai mata hari yang mencahayai orang lain, sedang ia sendiripun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiripun harum…”
Dari pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa profesi keguruan merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung disbanding denga profesi yang lain. Dengan profesi itu seorang guru menjadi prantara antara manusia dalam hal ini murud dengan Penciptanya, Allah SWT. Kalau direnungkan tugas guru adalah seperti tugas para utusan Allah.
Selain keharusan adanya sifat diatas, Al-Attas menekankan pendidik untuk menjalankan fungsinya dengan landasan rasa yang ikhlas. Dengan menyerahkan setiap aktivitas mengajarnya sebagai ibadah yang ditangguhkan nanti oleh Allah ganjaranya. Menyikapi adanya tuntutan kesejahtraan yang diinginkan, selayaknya sama seperti manusia yang lain (honor), harus diperhatikan dengan tidak berlebihan dari hak seorang Pendidik.
2)    Peserta Didik
Peserta didik juga hendaklah untuk tidak tergesa-gesa dalam mempelajari dan tidak belajar pada sembarang guru, namun perlu adanya menyiapkan waktu untuk mencari siapa guru yang terbaik pada bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk memperoleh gelar tertentu.
Al-Ghazali mengingatkan agar peserta didik untuk tidak merasa sombong, namun belajar menghargai mereka yang telah membantu dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan tidak hanya memandang mereka yang termasyur atau terkenal.
Jadi, peserta didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya, namun perlu diperhatikan juga kualitas/mutu seorang guru atau lembaga pendidikan yang akan mengantarkanya untuk mencapai tujuan tersebut agar tidak lari dari hakikat utama pembelajaran tersebut, yakni mencapai derajat Insan Khamil. Disini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik merupakan motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor (pelatih) yang mengarahkan peserta didik, sebagimana diketahui manusia dibekali potensi untuk mencapai ilmu, namun semua tidak akan tercapai dengan sendirinya tanpa bantuan dari pihak lain (pendidik).
5)     Kurikulum
Membahas tentang kurikulum, tentu akan mengajak untuk melihat bagaimana parangkat lunak pada lembaga pendidikan, kalau ditelusuri secara seksama kurikulum yang dirumuskan oleh Syekh Muhammad Naquib Al-Attas ini digolongkan pada keutamaan pengauasaan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya. Karena tujuan pendidikan Islam menurut Al-Attas untuk mewujudkan Insan khamil, maka pembelajarannya pun ada yang bersifat fardu ain dan fardu kifayah.
Dalam pandangan Al-Attas sturuktur dan kurikulum pendidikan Islam harus menggambarkan manusia dan hahekatnya, hakikat manusia bersifat ganda (dual nature) yaitu aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuanya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan aql lebih tepat berhubungan dengan ilmu inti atau pardu ain.
1. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama)
Adapun ilmu-ilmu inti atau fardu ain yang dimaksud adalah:
ü  Kitab suci Al-Qur’an
ü  Sunnah
ü  Syariat
ü  Teologi
ü  Metafisika Islam
ü  Ilmu Bahasa
2. Fardu kifayah
Adapun yang tergolong dalam Ilmu fardu kifayah:
ü  Ilmu Kemanusiaan
ü  Ilmu Alam
ü  Ilmu Terapan
ü  Ilmu Teknologi
ü  Perbandingan Agama
ü  Ilmu Linguistik; Bahasa Islam
ü  Sejarah Islam

6)    Metode Pendidikan Islam
           Sebelum mengkaji lebih jauh, perlu adanya kehati-hatian, karena dalam kontek filsafat pendidikan Islam Al-Attas memiliki metode khusus karena relitas tujuan dan makna “adab” pada pendidikan Islam adalah penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan bukan juga ta’lim. Aspek yang akan kita sentuh disini yang akan menjadi bahasan disini adalah: persiapan spiritual, pendidik dan peserta didik, fungsi bahasa, metode tauhid, fungsi panca indra serta metafora dan cerita.
a.      Persiapan Spiritual
Persiapan spitual yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana kita kenal dalam Islam setiap tindakan harus didahului oleh niat, dalam pernyataan hadist yang cukup terkenal dinyatakan bahwa: “perbuatan seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan Allah akan memberikan pahalah sesuai dengan niat hamba-Nya”. Al-Attas mengakui adanya sifat spiritual yang mendasar dalam praktik pendidikan, prinsip ini sudah tidak asing lagi, tapi sudah didengungkan oleh pemikir-pemikir muslim terdahulu dalam semangat yang sama, termasuk Al-Ghazali yang menekankan ikhlas sebagai kewajiban kedua setelah membimbing peserta didik dengan penuh rasa simpati seakan-akan anak sendiri. Al-Thusi juga mementingkan bagi penuntut ilmu untuk mencari ridha Allah SWT semata. Dengan kata lain peserta didik wajib mengembangkan adab yang sempurnah dalam proses menuntut ilmu.
Pendapat Al-Attas ini menghendaki adanya niat yang lurus untuk mempelajari ilmu. Pentingnya niat ini sangat jelas diperlukan, mengingat sebuah hadistt Nabi : “perbuatan seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan Allah akan memberikan pahalah sesuai dengan niat hamba-Nya”. Dari hadistt itu sangat dituntut bagi pencari ilmu untuk kembali memperhatikan niat yang ingin dicapai dalam mempelajari sebuah disiplin ilmu, agar apa yang diharapkan akan tercapai dan proses pencapaiannya pun senantiasa dalam ridha Allah SWT. dan nantinya akan berbuah manfaat.
b.     Bahasa
Pada kalangan pemikir muslim kontemporer hanya Al-Attas yang baru menyadari pentingnya peranan bahasa sebagai alat dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama dan kebudayaan dan peradapan. Al-Attas selalu menganalisis bahasa dan menjelaskan bahasa secara benar, khususnya dalam bahasa “rumpun Islam” sehingga makna yang benar mengenai istilah dan konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak berubah atau dikacaukan. Singkatnya perananan bahasa ini, Al-Attas mengharapkan kaum terpelajar muslim untuk memusatkan perhatian pada misteri bahasa arab dan bahasa asing lainnya. Begitu juga dalam proses pencarian ilmu pengetahuan, kedudukan bahasa sebagai alat dan sarana komunikasi yang sungguh tidak dapat dinafikan.
c.      Metode Tauhid
Salah satu karakteristik dan efistimologis Islam yang dijelaskan secara inklusif dan telah dipraktikkan oleh Al-Attas adalah metode tauhid dalam pencapaian ilmu pengetahuan. Metode ini terkadang sangat menjengkelkan ketika seseorang telah memahami agama Islam, konsep-konsep dan prinsip-prinsip etikanya banyak yang bertanya mengenai cara mengimplikasikannya dalam kehidupan profesi pribadi mereka. Dalam hal ini Al-Attas hanya menggaris bawahi bahwa jika seseorang telah benar-benar memahami ini semua, pertanyaan seperti ini tidak semestinya diutarakan, karena tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dengan praktik, kecuali kalau terhalang oleh faktor eksternal.
d.     Metafora dan Cerita
       Salah satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas adalah pada metode pendidikan Islam yaitu penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang disamapaikan secara lisan (ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits. Efektivitas penggunaan metode ini sudah tidak diragukan lagi, begitu juga dalam sejarah pendidikan di Barat yang tidak lepas menggunakan metode ini. Al-Attas pada karyanya Rangkaian Ruba’at, telah menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau, untuk menyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai cerminan dari realitas Absolut.
e.       Media
ü  Panca indera
Realitas tunggal pada diri manusia adalah kemampuan-kemampuan setiap unsur indera yang saling berhubungan yang dimanifestasikan kedalam proses persepsi yang mengeluarkan aktivitas. Pada diri manusia terdapat lima alat penginderaan eksternal yang diantaranya adalah perasaan untuk meraba, merasa, mencium, melihat serta indera untuk mendengar.
Disini, memanfaatkan indera secara maksimal akan menjadi upaya yang efektif untuk menangkap pembelajaran yang ada disekitar tempat tinggal peserta didik, hal ini sebangai mana perintah pertama yang turun kapada Nabi yakni iqra’ (bacalah). Dari perintah tersebut maka manusia harus membaca keadaan sekitarnya baik yang tersurat maupun yang tersirat agar mengambil hikmah dibalik pencipataanya.
ü  Ruang belajar
Salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah ruang belajar yang memenuhi standar kelayakan selama proses pembelajaran berlangsung, keadaan yang nyaman dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang dilakukan. Selain itu penempatan (sturuktur) letak yang strategis dan lingkungan yang ikut mendukung proses pencapaian hasil dari pembelajaran, dan ide desain semacam ini telah diterapkan Al-Attas pada kampus ISTAC sejak awal berdirinya.
ü  Perpustakaan
Perpustakaan merupakan unsur atau kebutuhan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu, dengan bersandar pada pustaka/literatur yang lengkap maka penguasaan terhadap keilmuan yang luas dan mampu menjawab segala persoalan yang dihadapi oleh kalangan pendidik maupun menumbuhkan keaktifan peserta didik dalam memperkaya wawasan sendiri secara mandiri dengan melacak informasi yang terkandung luas dalam perpustakaan.
ü  Labolatorium
Labolatorium (lab.) praktik merupakan sarana yang efektif dalam meningkatkan keterampilan peserta didik dalam merealisasikan secara profesional setiap bidang keilmuan yang memerlukan praktik sacara berkala untuk menunjang skill yang diharapkan setelah menyelesaikan proses pembelajaran. Seperti labolaturium bahasa, biologi, fisika, dan lain-lain.
C.      Paradigma Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas
Sebagaimana telah penulis paparkan diatas bahwa konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Naquib Al-Attas memiliki perbedaan antara pendapat/gagasan yang telah dilontarkan oleh tokoh pendidikan Islam yang lainnya. Perbedaan ini terlihat sangat tajam karena konsep pendidikan Al-Attas menggunakan terma ta’dib, sehingga banyak unsur lain seperti orientasi (tujuan) dan metode juga ikut mewarnai perbedaan tersebut, perbedaan seperti ini sepatutnya dipandang sebagai hikmah akan keluasan khazanah (wawasan) yang tersimpan dalam kajian Islam.
Perkembangan pendidikan Islam secara terus-menerus mengalami adaptif dengan tuntutan moderenisasi yang juga memperkenalkan ide-ide Nasionalisme yang terinspirasi dari ideologi Barat, sampai pada penerapan teknologi dan perkenalan pada sistim pendidikan ala Barat di negara-negara Islam.
Contoh sederhana mengenai adab ini, berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang benar, yang tidak boleh disentuh oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan adab (membaca Al-Qur’an), yaitu mengambil air wudhu. Berangkat dari pernyataan diatas, artinya penekanan Al-Attas terhadap adab yang harus dimiliki seorang peserta didik adalah mutlak harus memiliki adab sebelum terjun atau melangkah dalam arus keilmuan. Keharusan ini menjadi sangat mutlak karena setiap ilmu itu asalnya satu, yakni dari Allah SWT., dan untuk mencapainya tentu melalui perantara (otoritas) yang dapat dipercaya. Dan dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Attas menekankan ta’dib adalah pra syarat untuk memperoleh pengetahuan.
Melihat kondisi kemunduran pendidikan Islam yang telah kehilangan identitas (image) sesungguhnya (inklusif) itulah, Al-Attas secara teliti dan juga didukung dengan kapasitas memadai yang dimilikinya dan berawal dari rasa kekhawatiran terhadap keterpurukan pendidikan Islam, Al-Attas mulai mendiognosa serta merumuskan terminologi yang ideal serta tepat untuk pendidikan Islam dalam mencapai tujuan yang diamanahkan Allah SWT. kepada diri setiap manusia.
Sama halnya dengan pemikir Muslim lainnya, Al-Attas juga mengedepankan adanya perencanaan yang bagus/mapan sebelum menjalankan proses pendidikan. Perencanaan ini dituntut pada diri pendidik maupun pada diri peserta didik. Pendidik hendaknya memiliki pemahaman terhadap disiplin ilmu yang diajarkan mamupun sifat keutamaan yang harus dimiliki pendidik (ahlak al-karimah) yang pantas sebagai teladan bagi peserta didik.
Selanjutnya kandungan (content) pada visi pendidikan Islam juga ikut mempengaruhi seperti apa menusia yang akan dibentuk (out put) setelah proses pendidikan berahir. Pendidikan yang diidamkan Al-Attas adalah pendidikan yang menelurkan alumnus yang memiliki out put yang berwawasan luas serta mampu memfilter antara kepentingan dunia dan keharusan memperhatikan bekal untuk alam akhirat. Singkatnya pendidikan yang dilontarkan Al-Attas tidak menutup diri terhadap kemajuan zaman, namun tetap berpegang pada dasar-dasar yang dimiliki pada prinsip Islam.
D.     Relevansi Konsep Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas Pada Era Sekarang
Patut dibenarkan apa yang dilontarkan oleh Ismail Raji al-Farruqi bahwa inti dari persoalan yang dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan. Dan tugas terberatnya adalah memecahkan masalah tersebut. Hal ini dapat difahami dari satu segi tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah fil ardi. Dalam diri manusia terdapat berbagai potensi sebagai modal kekhalifaannya. Potensi-potensi tersebut ibarat mutiara yang tersimpan yang akan bermanfaat jika digali melalui pendidikan.
Berawal dari munculnya filsafat pragmatisme yang mendapat inspirasi dari John Dewey, telah mengubah arah orientasi pendidikan. filsafat pragmatisme telah mengabaikan konsep-konsep kebenaran dan menggantikannya dengan kegunaan, pengaruh tersebut selalu terus berjalan yang akhirnya terwujudlah manusia-manusia yang menghancurkan konsep keagungan dan kemuliaan manusia dengan Tuhannya dan alam.
Konsep pendidikan tersebut selayaknya untuk kembali dikaji ulang, dan berupaya pada penggantian konsep pada sistim pendidikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sejati. Memang, sistim pendidikan sekuler di Barat telah mampu untuk menjawab tantangan-tantangan yang bersifat kebutuhan manusia dibidang materi, yang diawali pengembangan pengetahuan untuk mencapai keunggulan sains dan teknologi. Tetapi keadaan tersebut sebenarnya telah membawa krisis kepribadian, dan kehancuran nilai-nilai pada diri manusia.
Tidak ada jalan lain untuk dapat merubah keadaan tersebut, kecuali kembali kepada pembenahan sistim pendidikan yang lebih memperhatikan esensi (hakikat) penciptaan manusia di bumi sebagai khalifah Allah. Oleh karena itu dalam pendidikan Islam tidak dikenal adanya istilah akliyah tanpa mengikut sertakan syar’iyah. Tidak hanya mengembangkan aspek kognitif kecuali afektif dan psikomotorik juga diikut sertakan.
Usaha perpaduan sistim yang secara integral itulah yang mengantarkan manusia pada penguasaan ilmu-ilmu agama serta juga ilmu umum, tanpa menjadi tenggelam pada arus sekuler Barat yang dapat membunuh aqidah umat Islam, dalam hal ini Al-Furuqi menjelaskan: “Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim yang antara lain tidak menandainya buku-buku pegangan yang telah usang dan guru-guru yang tak berpengalaman didalam sistim yang tradisional, dan peniruan metode-metode dan ideal-ideal Barat sekuler didalam sistim yang sekuler.”
Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan tersentuh oleh teknologi dan sains.
Melalui padangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Persfektif yang menyatakan bahwa hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi, politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya corruption of knowledge ( koropsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang gemilang tersimpan. Sehingga nilai adab dalam diri umat Islam dan jatuh pada kemerosotan yang sangat dalam.
Perlu kembali ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi seorang warga negara yang baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan negara. Menurut Islam, manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan pada diri Nabi Muhammad.
Rumusan tujuan pendidikan Islam dewasa ini yang merupakan hasil tiruan dari Barat, ternyata tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan Islam. Menurut Al-Attas cara seperti itu tidak akan pernah berhasil mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungannya, dan pada pendidikan sekuler gambaran mengenai manusia yang utuh memang tidak dimilikinya. Karena tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan manusia yang baik (insan khamil), maka puncak perwujudan dan kesempurnaan dalam pendidikan Islam adalah universitas.
Upaya yang dilakukan Al-Attas ini merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan Al-Ghazali dalam konsep “Ihya Ulum Ad-Din” yang memulihkan kembali nilai adab, dan Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada zaman yang sudah modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsur sekuler dari Barat, dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman nilai-nilai Islam dengan ta’dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan bertingkah laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.
E.      Dewesternisasi Dan Islamisasi
1.     Westernisasi
      Pemikiran Westernisasi adl sebuah arus besar yg mempunyai jangkauan politik sosial kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa terutama kaum muslimin dgn gaya Barat. Dengan cara menggusur kepribadian Muslim yg merdeka dan karakteristiknya yg unik.
Kemudian kaum muslimin dijadikan tawanan budaya yg meniru secara total peradaban Barat. Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah meniru kebarat-baratan. Usaha mereka telah berhasil. Apalagi ditunjang dgn tampilnya acara-acara TV yg terlalu berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati diri kepribadian Muslim hanya tampak pada sebagian kecil ummat. Bangga dgn kebiasaan dan adat orang-orang kafir sementara dgn adatnya sendiri merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian kalangan ummat Islam.
ü  PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
·          Indikasi adanya ide westernisasi
            Rasulullah SAW bersabda “Kamu pasti akan mengikuti tradisi orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan ikut masuk pula.” Ibnu Khaldun berkata “Orang kalah selalu erkeinginan mengikuti yg menang dalam segala hal; dalam berpakaian berperilaku dan adat kebiasaannya.”
Seorang orientalis Inggris H.A.R.Gibb dalam bukunya Wither Islam berkata “Di antara fenomena penting politik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya perhatian membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik.” Dalam pembahasannya itu ia berterus terang menyatakan bahwa sasaran pembahasan ialah utk mengetahui “Sejauh mana gerakan westernisasi ini mencapai Timur dan faktor apa saja yg menjadi penghambatnya.”
Ketika Lord Allenby memasuki Al-Quds tahun 1918 ia berteriak “Sekarang tamatlah perang.” Lawrence Brown berkata “Ancaman hakiki terhadap peradaban Barat terkandung di dalam sistem Islam dan kemampuan expansinya ketundukan dan dinamika ajarannya. Islam adl satu-satunya tembok penghalang bagi kolonialisme Barat.” Munculnya berbagai imbauan yg menyerukan dunia Islam supaya mengikuti pola peradaban Barat.
Adanya penggalakan ide pembentukan pemikiran Islam yg maju yg menjustifikasi model Barat. Tujuannya ialah menghapus keunikan karakteristik kepribadian Islam agar kemantapan hubungan antara Barat dan dunia Islam terwujud dan mengabdi kepada kepentingan Barat. Bermunculannya seruan yg bersifat nasionalistik dan pengkajian sejarah kuno serta ajakan kebebasan yg dipandang sebagai asas kemajuan bangsa. Berbarengan dgn itu ditonjolkannya sistem ekonomi Barat dgn penuh pesona dan kekagumana serta diulang-ulanginya pembicaraan mengenai poligami dalam Islam pembatasan thalaq dan ikhtilath antara pria dan wanita.
Tersebarnya ide internasionalisme dan humanisme yg oleh pendukungnya dianggap sebagai jalan menuju kesatuan idiologi bagi seluruh ummat manusia yg mampu mengikis segala perbedaan agama dan etnis dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Agar bumi ini menjadi satu negara yg beragama dan berbahasa satu serta budaya sama.
Tipu daya tersebut merupakan upaya pengebiran pemikiran Islam dan mengeliminasinya dari kenyataan hidup serta menempatkannya pada salon-salon yg dikuasai para pendukung idiologi dunia yg sedang berkuasa. Tersebarnya idiologi nasionalisme merupakan langkah menuju westernisasi pada abad ke-19. Idiologi ini di transfer dari Eropa ke Arab Iran Turki Indonesia dan India. Tujuannya utk merobek-robek kesatuan dunia Islam dan mencingcangnya menjadi bagian-bagian kecil berdasarkan ikatan geografis. Akibatnya bermunculan negara-negara nasional berdasarkan asal-usul ras darah dan keturunan yg sama.
Meningkatnya perhatian orang dalam membangkitkan peradaban klasik H.A.R.Gibb berkata “Di antara fenomena penting polotik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya perhatian utk membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik yg berkembang pesat di berbagai negara yg dewasa ini cukup meyibukan kaum muslimin. Perhatian dunia Islam sekarang inimasih terbatas pada kuatnya permusuhan terhadap Eropa. Tetapi di masa mendatang tidak mustahil hal itu akan memegang peranan penting di dalam memperkuat nasionalisme-nasionalisme lokal dan memperkokoh sendi-sendinya.”
Rockefeller Yahudi fanatik ini pernah mengeluarkan dana 10 juta dolar Amerika utk pembangunan musium peninggalan fir’aun di Mesir dan mendirikan sebuah akademi arkeologi di negeri itu. Munculnya perhatian orang utk mengkaji tokoh misterius di dalam sejarah Islam seperti Sukhrowardi Ibnu Rowandi dan Abu Nawas.
Louis Massignon seorang orientalis terkenal telah melakukan penelitian terhadap Al-Hallaj. Pada tahun 1912 hasil penelitiannya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Al-Hallaj al-Shufi al-Syahid fi al-Islam . Kitab-kitab Al-Hallaj kemudian ditahqiq dan diedarkan secara meluas. Demikian juga kumpulan puisinya. Munculnya perhatian di dunia Islam utk menyebarkan dan mendukung gerakan-gerakan sesat seperti Qadianisme Bahaisme Chauvinisme Fir’aunisme Finiqisme dan Barbarisme.
Kemudian muncul pula kecenderungan utk menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Qaramithah dan Gerakan Negro dengan dalih bahwa semua itu merupakan gerakan kemerdekaan revolusioner di dunia Islam. Selain itu disanjung-sanjung pula pribadi-pribadi yg berbahaya seperti Sir Sayyid Ahmad Khan Amir Ali Namiq Kamal Abdul Haq Hamid Taufiq Fikrat dan Sanggulaji .
Kolonialisme Orientalisme Komunisme Free Massonry dgn seluruh cabang-cabangnya Zionisme dan para propagandis penyatuan agama semuanya bersatu mendukung gerakan westernisasi. Tujuannya adalah utk menghancurkan dunia Islam menjadi berkeping-keping menundukkannya hingga menjadi makanan yg empuk bagi mereka.
Fenomena lain ialah tersebarnya aliran-aliran yg merusak Islam seperti Freudisme Darwinisme Marxisme slogan pengembangan moral dan pengembangan masyarakat . Juga berkembangnya perhatian terhadap existensialisme sekularisme liberalisme pengkajian tentang tashawuf Islam seruan nasionalisme sukuisme dan kebangsaan. Selain itu tumbuh kecenderungan berkembangnya ide pemisahan antara agama dan negara upaya pendangkalan agama penyerangan terhadap Islamwahyu Rasul dan sejarah Islam. Kemudian lahir pula sikap ragu terhadap nilai-nilai Islam dan seruan membebaskan orisinalitas dan keunikan Islam serta menumbuhkan takut mati dan kemiskinan. Semua itu bertujuan mencabut fikrah jihad dari akal dan kalbu kaum Muslimin. Berbarengan dgn itu disebarkan pula isu bahwa penyebab kemunduran bangsa Arab dan ummat Islam adl Islam.
Munculnya anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan luapan akal budi disertai dgn sanjungan terhadap kejeniusan Muhammad SAW kecemerlangan dan kebersihan jiwanya. Ini merupakan langkah awal utk menghapus sifat kenabian yg ada pada diri Muhammad.
·         Konferensi-konferensi tentang westernisasi
Konferensi Baltimore tahun 1942. Dalam konferensi ini direkomendasikan supaya digalakkan pengkajian Islam dan mengintodusir gerakan-gerakan rahasia ke dalam tubuh ummat.
Tahun 1947 di Universitas Princeton Amerika Serikat diadakan konferensi yg bertujuan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah kultural dan sosial di Timur Dekat. Hasil konferensi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan ini menduduki urutan ke 116 dari proyek pengadaan 1000 buah buku di Mesir. Dalam konferensi ini hadir antara lain T. Cuyler Young Habib Kurani Abdul Haq Edward dan Louis Thomas.
Konferensi tentang kebudayaan Islam dan kehidupan modern di universitas Princeton pada musim panas tahun 1953 M. hadir dalam konferensi ini para pemikir seperti Mill Broze Harold Smith Raphael Patai Harrold Allen John Croswell Syaikh Mushthafa Zarqa Kenneth Cragg Isytiyaq Hussein dan Fazlur Rahman dari India.
Konferensi ke III direncanakan di Lahore Pakistan tahun 1955 tetapi gagal. Rencananya akan mengikutsertakan pakar-pakar dan peneliti Muslim serta para orientalis dalam mengarahkan kajian-kajian tentang Islam.
Tahun 1953 diselenggarakan konferensi gabungan Islam - Kristen di Beirut Lebanon. Kemudian di Iskandariyah lalu berturut-turut diselenggarakan di Roma dan negara-negara lain berupa pertemuan dan seminar-seminar dgn maksud yg sama.

·         Buku-buku tentang westernisasi yg berbahaya
Islam Modern History karangan W.C. Smith derektur Institute of Islamic Studies dan guru besar ilmu perbandingan agama pada Mc. Gill Unversity Kanada. Ia meraih gelar doktor dari Princeton University tahun 1948 di bawah bimbingan orientalis terkenal H.A.R. Gibb. Ia pernah menjadi mahasiswanya ketika Smith belajar di Cambridge University. Buku ini menyerukan liberalisme sekulerisme dan pemisahan antara agama dan negara.
Wither Islam karangan H.A.R. Gibb yg diterbitkan di Libanon pada tahun 1932. Buku ini disusun bersama sejumlah orang-orang orientalis. Isinya berupa kajian penting tentang sebab-sebab terhambatnya proses westernisasi cara mengembangkan dan mamajukannya.
Protokolat hakim-hakim zionisme yg muncul di seluruh dunia tahun 1902 M. buku ini pernah dilarang masuk ke Timur Tengah dan dunia Islam sampai kira-kira tahun 1952 M yakni beberapa tahun setelah berdirinya negara Israel di jantung dunia Arab dan Islam. Dapat dipastikan pelarangannya itu berkaitan erat dgn pengkhidmatan Yahudi terhadap gerakan westernisasi secara umum.
Buku-buku yg berisi gambaran tentang figur-figur sebagai tokoh Islam dalam bentuk usang cabul dan palsu seperti gambaran dalam buku Seribu Satu Malam Harun al-Rasyid kisah yg ditulis Jurji Zaidan. Demikian pula buku-buku yg bersandar pada mithologi klasik yg diramu ke dalam sejarah Islam seperti buku ‘Ala Hamisi al-Sirah oleh Thaha Husein dan buku buku yg mengingkari kenabian dan wahyu seperti buku Muhammad Rasulu al-Hurriyah oleh Syarqawi.
ü  AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA
            Pasukan salib telah menderita kekalahan berulang kali setelah perang Hiththin. Orang-orang Turki Osmani menaklukan ibukota Bizantium dan pusat gereja mereka pada tahun 1453 M. kemudian kota tersebut dijadikan ibu kota Turki dan namanya diubah menjadi Istambul yakni Dar al-Islam .
Selain itu pasukan Islam Turki dapat sampai ke Eropa dan menggempur Wina pada tahun 1529 M. penggempuran ini berlangsung sampai tahun 1683 M. semua itu diawali dgn jatuhnya Andalusia yg dijadikan pusat pemerintahan dinasti Umawiyah.
Peristiwa-peristiwa tersebut mendorong munculnya westernisasi sebagai upaya menebus kekalahan yg mereka derita selama itu. Sedangkan kristenisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari westernisasi. Tujuan utamanya tidak lain yaitu utk menghancurkan dunia Islam dari dalam.
Westernisasi pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konspirasi Kristen-Zionis-Kolonialis terhadap ummat Islam. Mereka bersatu utk mencapai tujuan bersama yaitu membaratkan dunia Islam agar kepribadian Islam yg unik terhapus dari muka bumi ini.
2.     Dewesternisasi
            Istilah dewestenisasi adalah proses pembersihan dari westernisasi, jika westernisasi di fahami sebagai pembaratan atau mengadopsi, mengambil alih gaya hidup barat, maka dewesternisasi dapat di fahami sebagai upaya pelepasan sesuatu dari proses pembaratan, atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh barat. Dengan dukungan islamisasi. Menurut al attas islamisasi adalah prosess pembebasan manusia dari tradisi magis, mitodologis, animis, tradisi nasionalis dan cultural secara sekulerisme.
3.     Islamisasi ilmu
            Islamisasi merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup (worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Secara historis, ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi. 
Bagi al-Attas, pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum. Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya (original nature).
Dari uraian di atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution) tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
F.      Metafisika Epistimologi
         Pemikiran metafisika al attas berangkat dari faham teologisnya. Dalam tradisi islam di kenal istilah tasawuf . al attas memberikan batasan yang jelas mengenai berbagai tingkatan orang yang melakukan olah spiritual tasawuf(salik) dalam dunia kesufian. Dan setidaknya ada tiga tingkatan yang ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat hirarkis(bertingkat-tingkat). pertama: mubtadi’ ini adalah tingkatan yang awal dalam tingktan ini si salik hanya terbatas melkukan amalan-amalan yang yang berkisar pada masalah moral dan adab. kedua: mutawasith, dalam tingkatan yang kedua ini si salik sudah mulai melakukan wirid dan zikir yang mengenai kualitas, kuantitas, dan frekuensinya di tentukan sang mursyid(mursyid). dan ini harus dilkukan secara kontinu.ketiga:muntahiy, pada tingkata ini si salik memasuki dunia filsafat dan metafisika.dalam tingkatan ini sisalik di wajibkan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ketiga jenis pengetahuan(‘ilm), yaitu ilmu kebijaksanaan ketuhanan(al hikmah al ilahiyah), ilmu syari’ah atau ilmu naqliyyah(al’ulum al syri’ah)al ‘ulum al aqliyyah(rasional).
G.     Inti Asumsi Dan Metode Epistimologi Modern
        Peradaban Barat dengan sains modern sebagai pendukungnya telah menyisakan problema yang serius berkaitan dengan hakikat asal usul serta tujuan ilmu. Sains modern cenderung mengabaikan intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu. Dalam sains modern, otoritas hanya merujuk kepada persepsi inderawi dan rasio yang spekulatif. Realitas telah dibatasi pada alam dunia. Ini adalah konsekwensi logis dari sumber ilmu sains modern Barat yang hanya terbatas kepada panca-indera dan rasio.
        Selain itu, sains modern telah menjadikan keraguan sebagai sebuah metode yang benar. Perspektif rasionalisme dan empirisisme yang menjadi jiwa sains modern tidak banyak disadari oleh kalangan Muslim. Padahal, paradigm antroposentris tidaklah sesuai dengan pandangan-hidup Islam. Bagi seorang Muslim, realitas mencakup bukan saja yang kasat mata, tetapi juga yang tidak kasat mata. Alam nyata yang menjadi objek kajian dalam sains bukanlah satu-satunya alam. Alam nyata ini adalah relatif yang wujudnya bergantung kepada Tuhan. Jadi, untuk mengetahui hakekat realitas, tidak cukup hanya dengan panca-indera dan rasio. Perbedaan ontologis tentang realitas melahirkan perbedaan epistemologis. Wahyu dalam Islam bisa menjadi sumber ilmu.
        dari sekelumit gambaran di ataas, maka metode utam a yang di kembangkan tidak luput dari tiga metode yaitu :pertama ,  nasionalisme tang cenderung pada indrawi. kedua, menolak bahwa wahyu dan agama adalah sebagai sumber ilmu. ketiga, menyandarkan semua pengetahuan pada fakta yang dapat di amati.
H.    Sumber Dan Metode Epistimologi Islam
        Sumber dan metode ilmu al attas mengatakan bahwa ilmu datang dari tuhan dan di perolah melalui sejumlah saluran indara yang sehat, laporan yang benar yang di sandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
1)    Indra-indra lahir batin
Dengan menyebutbistilah indra yang sehat maka yang di maksud adalah indra lahiriyah yang meliputi indra perasa, indra pencium, penglihat dll.dan terkait dengan panca indra yang bersifat lahiriyah di atas indra batin yang secara batiniyah mempersepsi citra-citra indrawi dan maknanya, menyerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan, mnyimpan hasil-hasil penyerapan. Dan indra batiniyah itu diantaranya adalah indra umum, pengitan kembali, Dll.
2)    Akal dan intuisi
Akal adalah suatu substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ ruhaniyah pemahaman yang di sebut hati atau qolbu yang menjadi tempat terjadinya intuisi.intregitas antar akal dan intuisi dalam epistimologi islam merupakan sebuah keharusan. Sebab diantara dua unsur di atas walaupun mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu bila akal itu mengarah kepada hal-hal intelligible (suatu yang dapat dicerna akal) yang di upayakan, sedangkan intuyisi mengarah pada hal-hal sensible (dapat di cerna oleh akal) yang dianugrahkan, akan tetapi merupakan unsure yang sama. Maksudnya bila akal merupakan salah satu sarana aktivitas jiwa yang tentunya berkaitan dengan ruh dan qolbu, maka intuisi juga nerupakan hal yang sama.
3)    Proses epistimologis pencapaian makna
          Istilah “makna” difahami al attas sebagai pengenalan masing-masing tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam suatu system yang terjadi. Ketika hubungan antara sesuatu itu dengan lainnya dengan system menjadi jelas dan mudah difahami. Makna adalah suatu bentuk citra aqliah (intelligible) yang ditunjukkkan oleh suatu kata, ungkapan, atau lambang.
          Selanjutnya berhubungan dengan pencapaian suatu makna, unsure manusia adalah elemen yang menjadi titik sentral di dalamnya. Karena itu manusia di definisikan sebagai hewan rasio (hayawan al nathiq). Dan rasio adalah di ambi dari kata nathiq, yang mengacu pada sebuah pengetahuan bawaan yang mampu memahami sebuah makna. Sebenarnya kajian tentang definisi manusia sebagai hayawan yang berbicara, untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Socrates(469-399SM).
          Eksistensi manusia mempunyai tingkat tingkat berbeda tergantung pada jangkauan operasi indra lahir bdan batin, tingkat eksistensi tersebut adalah: pertama, eksistensi yang real atau nyata, yang merupakan eksistensi pada tingkatan objektif seperti dunia lahir. Kedua, eksistensi yang dapat di inderadan terbatas pada komponene-komponen indera serta pengalaman indrawi, termasuk mimpi, penglihatan batin dan ilusi merupakan pengalaman inderawi dalam imajinasi ketika objek-objek itu tidak ada dalam persepsi manusia.  Ketiga, eksistensi intelektual yang terdiri atas konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. Keempat, eksistensi analog, yang dibentuk oleh hal-hal yang tidak wujud pada tingkat-tingkat yang telah di sebut diatas, akan tetapi wujud seperti hal yang lain yang menyerupai hal-hal tertentu atau analog dengannya.
Selain dari tingkatan yang telah disebutkan diatas, al attas juga mengakui adanya tingkatan yang lain selain tingkat eksistensi pada tingkat kebenaran yang rasional  yakni tingkatan suprarasional atau transcendental yang dialami oleh para nabi, wali Allah, dan orang-orang bijak yang amat dalam ilmunya. Tingkatan ini adalah tingkatan eksistensi suci, dimana semua difahami dengan dengan adanya.


I.       Moralitas dan pendidikan
          Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari emikiran manusia tantang konsep agamanya. Dalam islam dikenal ada istilah din(agama), maka dalam hal ini yang menjadi kajianpertama adlah konse din itu sendiri sebelum membahas hal-hal yang lainnya.dan menurut al attas salah satu terminology yang menjadi sorotan utama adalah yang berkaitan dengan moralitas dan pendidikan yang menjadi istilah dalam agama.
          Dalam konsep agam setidaknya ada beberapa konsep yang terkandung di dalamnya yaitu:iman(keyaqinan), islam(kepatuhan) dan ihsan(keterpaduan antara hati dan pikiran dalm perbuatan yang baik). dan semua ini penggeraknya adalah ilmu.
          Dari gambaran yang telah di sebut diatas, terlihat bahwa penggambaran intelektual Muhammad naquib al attas merupan sebuah fenomena yang berangkat dari duia metafisis menuju kepada dunia empiris, dan ini kebalikan dari penggambaran al ghozali. Perbedaan alur penggambaran ini sangat di pengarui oleh situasi dan kondisi yang di alami dan di hadapi . bila al attas berada dalam gemerlapan dunia modern yang penuh dengan kepalsuan, maka al ghozali berada dalam dunia yang dalam kondisi politik yang tak menentu, dan timbul aliran-aliran yang sesat yang tidak sesui dengan islam dan agama yang lain.
          Pemikiran al attas bila dilihat secar subtantif termasuk katagori tradisional, jika dianalisis secara metodologis dia termasuk skripturalis, dan jika di tinjau secara historis maka tercakaup dalam tipologi modernis. Maka dari itu sangat sulut bagi kita untuk menentukan tipologi pemikirannya. Akan tetapi menurit penulis, al attas merupakan ilmuan yang termasuk tipologi reformis skriptualis. Meskipun pemikiran al attas mendasar pada tek-tek klasik, namun ia telah melakukan aktualisasi dan reformasi agar sesua dengan konteks era kontemporer (kekinian).


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Muhammad. Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir 5 Juli 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun kebelakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad Saw.
            Diantara leluhurnya menjadi wali dan ulama. Salah seorang diantaranya adalah Syekh Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syekh Abu Hafs ‘Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-din Al-Raniri, salah seorang Alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah. Ibunda Syekh M. Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘aydarus, yang bersal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
            dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Konsep pendidikan Al-Attas tidak memungkiri adanya perencanaan yang mapan dalam memulai proses pendidikan Islam, karena dengan perencanaan inilah akan tergambar suatu hasil yang akan dicapai oleh pendidikan. Selain itu, setiap unsur yang terlibat dalam pendidikan harus saling melengkapi dan bersifat kooparations.
Perbedaan konsep pendidikan yang digunakan Al-Attas dengan tokoh pendidikan Islam yang lainya adalah ta’dib dalam terminologi pendidikan. Ta’dib, yaitu rangkaian pendidikan untuk membentuk manusia menjadi manusia universal (insan khamil). Tujuan ini sesuai dengan proto tipe penciptaan manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT., dan menjadi khalifah Allah di bumi yang mampu menjalankan fungsinya dengan memanfaatkan segenap potensiyang ada pada diri manusia. Tujuan ini akan tercapai dengan mudah apabila manusia mengetahui hakikat diri manusia itu sendiri.
Relevansi konsep pendidikan yang digagaskan oleh Al-Attas ini sangat relevan (up to date) untuk mengantisipasi tantangan internal dan eksternal. Dalam kondisi kemerosotan identitas (citra) pendidikan Islam yang telah terkontaminasi oleh paham sekuler dari Barat yang menghilangkan keterlibatan unsur ketuhanan (religius) dalam proses pendidikan yang sesungguhnya. Keadaan seperti ini, kalau tidak ditindak lanjuti sedini mungkin akan dapat membawa bahaya kehancuran aspek aqidah (kepercayaan) umat Islam sendiri.
Realisasi konsep pendidikan Al-Attas yang berdasarkan ta’dib, mengikut sertakan niat yang utama sebagai ibadah kepada Allah semata, bukan tujuan yang lain seperti motivasi keduniawian. Pendidikan merupakan proses yang harus dijalan secara dinamis dan update seiring perkembangan zaman “life long education” (pendidikan sepanjang hayat) yang tidak ada batasan untuk mempelajarinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk mencapai tujuan pendidikan seperti itu, maka sangat penting peran literaur (perpustakaan) sebagai sandaran keabsahan setiap bidang keilmuan (ilmu agama/umum).
DAFTAR PUSTAKA

·         Syamsul Hady, Pemikiran Pendidikan Islam, 2011
·         Saiful Muzani. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, 1991.
·         Ismail Raji Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka. 1984.
·         Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan. 1994.
·         Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Alih bahasa: Haidar Bagir, disunting oleh Jalaludi Rahmad, Penerbit Mizan. Bandung. Cet. 1. 1984.
·         Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia, majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, p. 11-12
·         Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa, 2003)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar