BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pendidikan
merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia, pendidikan(terutama Islam)dengan
berbagai coraknya yang berorientasi memberikan bekal kepada manusia(peserta didik)untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya
pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang
selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik
dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis) tetapi
kebahagiaan hidup di dunia juga bisa
diraih.
Dunia
Islam akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan seputar krisis pendidikan Islam serta problem lain yang
sangat menuntut upaya pemecahan secara mendesak.
Dan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia
Islam masa kini, persoalan pendidikan adalah tantangan yang paling berat.
Masa
depan Islam akan sangat tergantung pada bagaimana dunia itu menghadapi tantangan ini. inilah
yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal
pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam. Pada
persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering
hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek
kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering hanya difahami
sebagai pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama,
sedangkan ilmu-ilmu sosial (Social Science) dan ilmu-ilmu alam (Nature
Science) dianggap pengetahuan yang umum.
Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa terikat)
antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting
asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Bertolak dari problematika diatas, di Islam
pun dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda proses dan tujuannya. Pertama,
sistem pendidikan tradisional yang hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik
dan kurang perduli terhadap peradaban teknologi modern, ini sering diwarnai
corak pemikiran timur tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang
kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari bentuk kedua
ini berupa Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan karena itu,
pendekatannya bersifat non-agamis. Para alumninya sering tidak menyadari
warisan ilmu klasik dari tradisi mereka sendiri.
Rekonstuksi pendidikan Islam, akhir-akhir ini
banyak mengundang perhatian setiap pihak yang memiki perhatian dan kepentingan
(stakeholder) akan harapan lebih optimalnya urgensi pendidikan Islam sebagai
pendidikan yang berseberangan dengan visi pendidikan umum yang sekarang seakan
menjamur disegala lapisan masyarakat umumnya. Renaisans (proyek pengembangan)
pendidikan Islam, harus memiliki tujuan dan visi yang jelas serta mapan, dari
orientasi yang ingin dicapai setelah pelaksanaan proses pendidikan (ultimate
aim).
Menindak lanjuti masalah ini, salah satu
tokoh pendidikan Islam yang sangat peduli terhadap eksistensi pendidikan Islam
kontemporer, Syekh Muhammad Naquib Al-Attas yang berdedukasi dipertengahan abad
ke-20, merupakan salah satu tokoh Melayu Muslim yang memiliki otoritas yang sangat
berpengaruh pada kebijakan pendidikan Islam Melayu bahkan dunia internasional.
Al-Attas, bukan hanya seorang ideator ulung maupun hanya teoritis semata, namun
Al-Attas telah merealisasikan dalam penerapan gagasan dan idenya pada
Universitas (ISTAC), dan sukses dengan hasil yang patut dibanggakan.
Penulis memandang prestasi dan kapasitas
serta otoritas yang telah dicapai Al-Attas ini sangat mengagumkan, karena itu
penulis tertarik untuk menelaah konsep pendidikan Al-Attas untuk menggali
pemahaman dibalik keberhasilan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan library risert. Peneliti menelusuri
karya-kaya atau tulisan Al-Attas serta sumber-sumber yang berkaitan dengan
kerangka berpikir yang membangun gagasan-gagasan yang dikemukakan Al-Attas
tentang pendidikan Islam. Setelah data diperoleh, penulis mengalisis data
tersebut dengan pendekatan induktif analis dan dipaparkan dengan bahasa
peneliti sendiri.
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan
bahwa Syekh Muhammad Naquib Al-Attas memaparkan bahwa proses pendidikan akan
berjalan sesuai dengan harapan dan tujuan apabila sebelum pelaksanaannya
dilakukan perencanaan-perencanaan yang berkaitan dengan teknik (metode) dan
contens (isi) pendidikan itu sendiri. Sedangkan tujuan pendidikan Islam
bukanlah menciptakan warga Negara yang baik, melainkan membentuk manusia
integral dalam wujud universal yang berpegang teguh pada pondasi agama
(fitrah), namun tidak menafikan kedudukan sains dalam kehidupan didunia ini.
Oleh karena paradigma pendidikan yang paling tepat digunakan adalah ta’dib,
bukan ta’lim ataupun tarbiyah. Konsep pendidikan seperti ini sangat relevan
dalam mengangkat kembali image (citra) umat Islam yang lebih bermartabat, dan
mampu mengemban amanah Allah khalifah fil ardi dimuka bumi, dengan tetap
mengakui sisi materialistis (dunia) dan selalu memperhatikan kelangsungan
religius (alam akhirat).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana biografi muhammad naquib al attas?
2. Bagaimanakah konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Al-Naquib al-Attas ?
C. TUJUAN
Setiap kegiatan atau aktivitas yang disadari pasti ada yang
ingin dicapai. Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami
konsep pendidikan Islam menurut
Muhammad Al-Naquib al-Attas.
D. MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dalam makalah ini adalah :
1. Secara Teoritis(pengetahuan langsung), dapat semakin
memperkaya kebaikan pemikiran Islam pada
umumnya dan bagi civitas akademika Fakultas Agama Islam jurusan Tarbiyah pada
khususnya.
2. Secara Praktis(jelas), dapat bermanfaat bagi masyarakat
secara umum, sehingga mampu menumbuhkan kepedulian terhadap pendidikan pada
umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
1) Riwayat Hidup
Syekh
Muhammad. Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir 5 Juli 1931 di
Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun
kebelakang melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan
silsilah yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad Saw.
Diantara
leluhurnya menjadi wali dan ulama. Salah seorang diantaranya adalah Syekh
Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syekh Abu
Hafs ‘Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-din Al-Raniri,
salah seorang Alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah.
Ibunda Syekh M. Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘aydarus, yang bersal dari
Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
Dari
pihak bapak, kakek Syekh Naquib yang bernama Syekh Abdullah ibn Muhsin ibn
Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya dirasakan di
Indonesia , tapi sampai juga ke negeri Arab. Muridnya, Syekh Hasan Fad’ak,
kawan Laurence of Arabiyah, dilantik menjadi penasehat agama Amir Faisal,
saudara Raja Abdullah dari Yordania.
Neneknya,
Ruqaiyah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristocrat yang menikah dengann
Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w. 1895) yang menikah dengan
adik Ruqayah Hanum, Khdijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor. Setelah Ungkul
Abdullah Majid wafat (meninggalkan dua orang anak), Ruqayah menikah untuk yang
kedua kalinya dengan Syekh Abdullah Al-Attas dan dikaruniakan seorang anak,
Syekh Ali Al-Attas, yaitu bapaknya Muhammad Naquib.
Al-Attas
adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syekh Hussein,
seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan
yang bungsu bernama Syekh Zaid, seorang Insinyur kimia dan mantan dosen
Institut Teknologi MARA.
2). Pendidikan
Latar
belakang keluarga sangat berpengaruh terhadap pendidikan Al-Attas. Dari
keluarganya yang terdapat di Bogor, dia memperoleh pendidikan ilmu-ilmu
keislaman, sedangkan dari keluarganya di Johor, dia memperoleh pendidikan yang
sangat bermanfa’at baginya dalam mengembangkan dasar bahasa, sastra dan
kebudayaan Melayu.
Pada usia lima tahun, Al-Attas dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Disana, Al-Attas tinggal bersama pamannya Ahmad, kemudian dengan bibinya Azizah, keduanya adalah anak Ruqayah Hanum dari suami pertamanya, Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad (w. 1919), Kepala Menteri Johor Modernt yang pertama.
Pada usia lima tahun, Al-Attas dikirim ke Johor untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941). Disana, Al-Attas tinggal bersama pamannya Ahmad, kemudian dengan bibinya Azizah, keduanya adalah anak Ruqayah Hanum dari suami pertamanya, Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad (w. 1919), Kepala Menteri Johor Modernt yang pertama.
Pada
masa pendudukan Jepang Al-Attas kembali ke Jawa untuk melanjutkan pendidikanya
di Madrasah Al-‘Urwatu Al Wutsqah, (Sukabumi 1941-1945), sebuah lembaga
pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Setelah
perang dunia ke II pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Johor untuk melanjutkan
pendidikannya, pertama di Bukit Zahrah Scholl kemudian melanjutkan ke Engglish
College (1946-1951). Disini Al-Attas tinggal bersama salah seorang pamannya
Ungku Aziz ibn Ungku Abdul Majid. Ungku Abdul Aziz memiliki perpustakaan
manuskrip Melayu yang bagus, terutama mengenai sejarah dan sastra Melayu.
Setelah
menamatkan sekolah Menengah pada 1951, Al-Attas mendaftarkan dirinya pada
resimen Melayu sebagai kadet untuk mengikuti pendidikan meliter yang pertama
kali di Eton Hall, Chaster, Wales, kemudian di Royal Military Academy,
Sandurst, Inggris (1952-1955), disini Al-Attas banyak belajar memahami semangat
dan gaya hidup masyarakat Ingris. Selain mendalami pendidikan kemiliteran
Al-Attas juga sempat berkunjung ke tempat-tempat yang terkenal dengan tradisi
intelektual, seni, dan gaya bangunan keislaman. Selanjutnya Al-Attas sempat
berkenalan dengan seorang pejuang merebut kemerdekaan Maroko dari tangan
Prancis dan Spanyol, serta perkenalannya yang pertama kali dengan pandangan
Metafisika tasawuf. Pengalaman-pengalaman Al-Attas ini, tentu meninggalkan
kesan yang mendalam bagi perjalanan hidupnya.
Dalam
waktu yang tidak lama, setelah Al-Attas menamatkan pendidikan meliternya dari
Sandhurst, Al-Attas mengambil Program S1 di Universitas Malaya. Setelah
merampungkan S1, berkat dukungan dari Canada Council Fellowship dengan beasiswa
selama tiga tuhun yang terhitung sejak 1960, untuk belajar di Institute of
Islamic Studies, Universitas McGill, Montreal, yang didirikan Wilfred Cantwell
Smith. Al-Attas mendapat gelar M.A. pada Universitas McGill pada tahun 1962
setelah merampungkan tesisnya berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th
Century Acheh, dengan predikat memuaskan.
Setahun
kemudian, atas dukungan dari beberapa sarjana dan tokoh-tokoh orientalis
terkenal, Al-Attas pindah ke SOAS (School of Orientalis and African Studies),
Universitas London untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Dibawah bimbingan
Profesor Arberry dan Dr. Martin Lings, pada tahun 1965 Al-Attas memperoleh
gelar Ph.D. setelah mempertahankan desertasi doktoralnya yang berjudul The
Mysticism of Hamzah Fanshuri, dengan sangat memuaskan.
3). Pengalaman Kerja (Profesi)
Setelah
menamatkan studi doktoralnya yang dirampungnya di Universiti London, Al-Attas
dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas Kajian Melayu Universitas
Malaya, Kuala Lumpur (1968-1970), dan Al-Attas juga sebagai Dekan Fakultas
Sastra di Kampus yang sama. Disini Al-Attas berusaha memperbaiki struktur
akademic fakultas dan mengharuskan setiap jurusan menyusun rencana dan mengurus
aktivitas akademiknya dengan berkonsultasi pada jurusan-jurusan lain yang
sefakultas sehingga mereka tidak berjalan sendiri-sendiri sebagaimana keadaan
sebelumnya.
Al-Attas
juga terlibat dalam pendirian UKM (Universitas Kebangsaan Malaysia), dalam
kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior, Al-Attas juga berusaha
menggantikan pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dengan bahasa
Melayu, dan terlibat juga dalam megonseptualisasikan dasar-dasar filsafat UKM
dan mempelopori pendirian fakultas ilmu dan kajian Islam, yang direalisasikan
pada tuhun 1973, dengan didirikanya IBKKM (Institut Bahasa, Sastra, dan
Kebudayaan Melayu) di UKM, dan Al-Attas langsung mengepalainya. Selain itu,
pada tahun 1991 Al-Attas juga telah merancang dan mendesain bangunan kampus
ISTAC, dilanjutkan 1997 kampus ini mengalami perkembangan sepuluh kali dari
kampus sebelumnya.
Dari penjelasan diatas, jelas tergambar bahwa Al-Attas merupakan sosok intelektual, baik konseptual maupun implikasinya dalam menjalankan karirnya, tentu saja sumbangsinya didalam dunia pendidikan Islam dalam merekonsruksi peradapan dan kualitas yang dibutuhkan oleh dunia bagi pendidikan Islam dan menagangkat kembali sejarah keemasan Islam pada masa lampau.
Dari penjelasan diatas, jelas tergambar bahwa Al-Attas merupakan sosok intelektual, baik konseptual maupun implikasinya dalam menjalankan karirnya, tentu saja sumbangsinya didalam dunia pendidikan Islam dalam merekonsruksi peradapan dan kualitas yang dibutuhkan oleh dunia bagi pendidikan Islam dan menagangkat kembali sejarah keemasan Islam pada masa lampau.
4). Pengalaman Organisasi Dan Penghargaaan
Pada
bagian ini akan di jabarkan, walapun sedikit sudah tergambar oleh uraian diatas
tentang pengalaman Al-Attas dalam berkecipung dalam organisasi kependidikan
Islam baik di Malaysia maupun Internasional. Al-Attas sendiri dikenal seorang
sarjanawan yang menguasai berbagai bidang disiplin ilmu, sehingga banyak
mengundang kepercayaan bagi para orientalis Barat dan tokoh-tokoh penting
Melayu.
Misalnya saja, Al-Attas dipercayai untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des Orientlistes yang ke-29 di Paris tahun 1973. Maka, atas kontribusi Al-Attas dalam perbandingan filsafat, Al-Attas dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal seperti Hendri Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutzu. Dan Al-Attas menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun 1976 dan sekaligus Pembicara serta utusan resmi dari Negara Malaysia dalam Konferensi Islam Internasional (Internasinal Islamic Conference) yang juga diadakan secara bersamaan di London.
Misalnya saja, Al-Attas dipercayai untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des Orientlistes yang ke-29 di Paris tahun 1973. Maka, atas kontribusi Al-Attas dalam perbandingan filsafat, Al-Attas dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy, sebuah lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang professor yang terkenal seperti Hendri Corbin, Seyyed Hossein Nasr, dan Toshihiko Izutzu. Dan Al-Attas menjadi konsultan utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) yang diadakan di London pada tahun 1976 dan sekaligus Pembicara serta utusan resmi dari Negara Malaysia dalam Konferensi Islam Internasional (Internasinal Islamic Conference) yang juga diadakan secara bersamaan di London.
Al-Attas
juga aktif dalam Conferensi Dunia Pertama pengenai Pendidikan Islam (First
World Conference on Islamic Education) yang diselenggarakan di Mekkah pada
tahun 1977, dan Al-Attas pun selaku pemimpin komite yang membahas tujuan dan
definisi pendidikan Islam. Sebagai Visiting Professor untuk studi Islam di
Universitas Temple, Philadelphia (1978), anugrah Medali Seratus Tahun
meninggalnya Sir Muhammad Iqbal (Iqbal Centenari Commemorative Medal) dari
Presiden Pakistan, dan Al-Attas pernah terlibat dalam berbagai kongres yang
diselenggarakan oleh UNESCO maupun badan academis yang lain.
Di
Malaysia pun Al-Attas tidak diragukan lagi posisi dan perananya, dari tahun
1970-1984 Al-Attas terpilih sebagai Ketua Lembaga Bahasa dan Kesusastraan
Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Menjadi Ketua Lembaga Tun Abdul
Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of Southeast Asian
Studies) di Universitas Ohio, Amerika, untuk priode 1980-1982. Dan Al-Attas
selaku pendiri sekaligus Rektor ISTAC (International Institute Of Islamic
Thought and Civilition), Malaysia sejak tahun 1987.
Al-Attas
telah menyampaikan banyak makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika,
Jepang, Timur Jauh, dan berbagai Negara Islam lainnya. Berkat berbagai
kotribusinya yang menyeluruh dalam pemikiran Islam kontemporer, pada tahun 1993
Dato’ Seri Anwar Ibrahim dalam kapasitasnya sebagai Presiden ISTAC dan Presiden
Universitas Islam Malaysia Internasional (Internasional Islamic University
Malaysia) menunjuk Al-Attas (Syekh M. Naquib Al-Attas) sebagai Pemegang pertama
Kursi Kehormatan Abu Hamid Al-Ghazali (Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Selanjutnya
Raja Hussein dari Yordania mengangkat Al-Attas sebagai Anggota Royal Academy of
Jordan pada tahun 1994, dan Universitas Khartoum menganugrahi Al-Attas dengan
gelar Doktor kehormatan (D. Litt.) pada bidang seni tahun 1995.
B. GAGASAN
PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS
Syekh Muhammad Naquib
al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti
pendidikan secara sistimatis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara yang baik
& tidak pula pekerja yang baik (sosial politik pemerintahan). Sebaliknya,
tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik.
Apabila ditelaah dengan
cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas
bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem
pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat dilihat
dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang
dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia
yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang
dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang,
memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang
intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal,
horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua;
manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk
menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan
adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang
terpadu.
Indikasi lain yang
mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki
terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem
pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas
untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus
menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas,
dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah
pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip
keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya
tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di
situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan
kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan
baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang
berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator
bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu
kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan
aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini
relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan
moral dan agama. Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena
ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut
hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya,
kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan
Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan
nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki
dan amal yang dilakukan.
1. Definisi
Pendidikan Islam
Sejarah runtuhnya peta intelektualitas keislaman yang bagi Islam harus
mengakui ketertinggalan dari peradapan zaman, membuat pemikir Muslim
kontemporer bangkit dari tidurnya, proses inilah yang disinyalir oleh Hasan
Hanafi sebagai kebangkitan Islam gelombang ke tiga yang sudah dirintis sejak
masa Rifa’ah Thahthawi (1801-1873 M). Upaya tersebut masih terus berjalan,
bahkan dari generasi-kegenerasi secara alami turun-temurun, peradapannya pun
juga menyesuaikan diri dengan peradapan zaman.
Untuk merintis pendidikan Islam yang selayaknya, sebelum mengalami
keruntuhan tersebut, maka tentu sangat memerlukan suatu penelaan yang mapan
terhadap makna, orientasi dan tujuan sesungguhnya dari pendidikan Islam itu
sendiri. Untuk memaknai kata “pendidikan” yang disandingkan dengan kata “Islam”
dibutuhkan penguasaan literatur yang memadai. Keharusan ini, mengingat keluasan
dan beragamnya penafsiran dari para ahli terdahulu, maupun praktisi pendidikan
Islam yang selalu adanya perbedaan pandangan maupun prinsip implikasinya. Disamping
itu juga para pemikir (tokoh) tidak dapat mengklaim pahamnya sebagai keputusan
final (akhir) dalam upaya pengembangan pendidikan, terutama dalam hal ini
pendidikan Islam.
Istilah “pendidikan Islam” tentu saja berasal dari khazanah bahasa Arab,
mengingat dalam bahasa itulah Islam diturunkan. Menurut kata yang tercantum
dalam Al-Qur’an dan Hadis Rasul, yakni dua sumber pokok ajaran Islam. Istilah
yang dipakai untuk menunjuk konsep dan kegiatan pendidikan adalah ta’lim,
tarbiyah, dan ta’dib. Dari ketiga macam itu yang popular digunakan, baik di
Negara-negara berbahasa Arab bahkan Indonesia juga, ternyata istilah
“tarbiyah”, menyusul ta’lim dan sangat jarang menggunakan istilah ta’dib.
Selanjutnya kalau ditinjau dalam konteks keindonesian, Nurcholis Majid
misalnya, memaknai pendidikan:“…Adalah ketidak mampuan teknis dikalangan
muslimin yang bila dilacak lebih jauh akan bermuara pada bidang pendidikan.
Terjadinya kelemahan dalam bidang pendidikan justru merupakan akibat aset
positif kaum muslimin dalam perjuangan nasional pada zaman penjajahan, yaitu
sikap non kooperatif termasuk dalam bidang pendidikan, sehingga putra-putri
Islam tidak sempat menikmati bangku pendidikan tertentu yang menyampaikan
mereka pada status sosial yang strategis sifatnya”.
Pengertian diatas menjelaskan bahwa, pengalaman pahit masa lalu terasa
akibatnya sampai sekarang, oleh karena itu menjadi keharusan mutlak dikalangan
muslim untuk menyelenggarakan pendidikan Islam dengan sebaik-baiknya. Apalagi
keadaan yang selalu bergerak menuju kemajuan teknologi, maka kegiatan
pendidikan Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi, tanpa adanya itu pendidikan
Islam akan tertinggal oleh gerak yang teratur dan terencana.
Nasution (1983) menguraikan, berdasarkan apa yang disyaratkan oleh
Al-Qur’an dan Hadits manusia tersusun/terdiri dari tiga unsur yaitu tubuh,
hayat, dan jiwa. Tubuh merupakan badan kasar manusia, hayat adalah tenaga atau
daya kehidupan yang biasa disebut roh atau nyawa; sedangkan jiwa menurut
Nasution memiliki dua daya, yaitu daya fikir/intelek (akal) yang terdapat
didalam kepala, serta daya rasa (hati) yang terletak dalam dada, Jika demikian
halnya, maka pendidikan Islam tidak lain adalah upaya aktualisasi atau
mengembangkan tiga unsur tersebut. Defenisi tersebut dirangkum oleh pendapat yang
menjelaskan secara lebih rinci, bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak serta
keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup
baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menghadapi masyarakat dengan segala
kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.
Dari pengertian pendidikan tersebut, menunjukkan bahwa melalui proses
pendidikan yang sempurna akan membentuk suatu masyarakat yang tertata dengan
rapi dan disiplin yang tinggi. Suasana demikian akan mengantarkan pada
mayarakat yang damai dan saling menghargai, bertoleransi, hidup berdampingan
secara damai, masyarakat seperti itu dapat terwujud karena masyarakatnya telah
memiliki peradapan dan pola hidup yang tinggi (kolektif) yang diperoleh tidak
lain yakni dari hasil pendidikan yang mengarahkan tindak tanduk prilaku manusia
kearah yang lebih baik.
Definisi yang beragam oleh berbagai kalangan diatas, banyak dipengaruhi
oleh pandangan dunia (weltans chauung) masing-masing. Namun pada dasarnya semua
pandangan-pandangan yang berbeda itu, bertemu dalam semacam kesimpulan awal,
bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara lebih efektif dan
efisien. Dengan memiliki pola kehidupan yang efektif dan efisien tersebut maka
diharapkan manusia dapat menjalankan hidupnya yang sesuai dengan peran dan
fungsi utamanya di muka bumi ini.
Dalam kaca mata Al-Attas, pendidikan merupakan proses penanaman sesuatu
pada diri manusia, yang mengacu pada penanaman dan tahapan kepada individu yang
mendukung pendidikan itu. Memang objek pendidikan tidak lepas dari pihak yang
memberikan ilmu (pendidik) dan keaktifan peserta didik. Jadi menurut Al-Attas
pendidikan akan berlangsung pada indivudu yang memang memerlukan serta
beranggapan bahwa pendidikan sebagai kebutuhan yang harus didapatkan (mutlak).
Karena hakikat ilmu adalah perubahan tindak-tanduk (prilaku) yang memilikinya
sehingga kehidupan yang dijalani lebih berkesinambungan dan bermakna sehingga
mampu mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi.
Definisi pendidikan
yang digagas oleh Al-Attas merupakan/ mengandung proses pengajaran seseorang
pada tatanan kosmis (individu) dan sosial yang akan mengantarkannya untuk
menemukan fungsinya sebagai khalifah. Pandangan seperti ini sangat memerlukan
penjelasan yang lebih spesifik lagi, mengingat konsep yang dikemukakan masih
sangat abstrak dan filosifis. Dan terkesan mengabaikan aspek-aspek yang telah
dipandang suatu keharusan dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini, walaupun
Al-Attas sangat mengakui bobot dari gagasan tentang pendidikannya tersebut.
2.
Fungsi Pendidikan Islam
Seperti
yang telah disinggung sebelumnya, bahwa Al-Attas bukanlah seperti kebanyakan
tokoh-tokoh di dunia pendidikan Islam yang lain pada umumnya, namun seluruh
aktivitas educatif Al-Attas dihabiskan pada lingkup tataran pendidikan tinggi,
bukan pendidikan dasar atau menengah. Ini sangat jelas dalam perannya sebagai
tenaga educatif dalam beberapa Universitas dan sekolah tinggi baik dikawasan
Asia maupun Eropa. Di Malaysia sendiri Al-Attas adalah tokoh Penggagas utama
proyeksi ISTAC sebagai manifestasi dari ide-ide yang digagas Al-Attas dalam
pengembangan pendidikan tinggi Islam.
Posisi penting
ini, kemungkinan didorong oleh faktor intern beliau yang bermuatan “multi
fungtion” sebagaimana diketahui kapasitas yang dimiliki seperti beliau ini
jarang, untuk mengatakan tidak ada, seorang filisof yang memiliki kemampuan
yang “setara” dengan beliau ini. Selain itu perlu diketahui bahwa persefsi
Al-Attas tentang pendidikan tinggi ini ternyata memicu kesimpulan bahwa
pendidikan dasar sampai menengah tidak akan ada kemajuannya, jikan tidak adanya
pembenahan dari pendidikan tinggi, karena pendidikan tinggilah yang mendidik
para pendidik profesional pada tingkat dasar.
Menurut Al-Attas,
Universitas (Islam) seharusnya merupakan gambaran dari wujud manusia universal
atau “insan kamil”. Al-Attas memaknai insan kamil adalah seseorang yang sanggup
menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam prilakunya dan betul-betul menghayati
kesatuan esensialnya dengan wujud Ilahiah tanpa harus meninggalkan atau
kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk ciptaanNya.
Dalam sambutannya,
pada pembukaan ISTAC, tertanggal 4 Oktober 1991; Kuala Lumpur, Al-Attas
menjelaskan: Sebagai desainer utama, interior maupun eksterior, saya telah
berusaha mengekpresikan kehadiran Islam: yaitu dengan atmosfer ketenangan yang
didalamnya melahirkan pemikiran-pemikiran brilan dan mulia; disana hiruk-pikuk
kehidupan sekuler yang penuh dengan kekhawatiran tidak memiliki ruang;
didalamnya pula penyelidikan-penelitian ilmiah diantara bangunan-bangunan yang
indah bisa terwujudkan. Saya rela memosisikan ISTAC sedemikian rupa sehingga
menghadap kiblat. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada tangga 27
Rajab bersamaan peringatan perjalanan Isra dan Mi’raj Nabi Saw. ke langit
tertinggi …. Diatas tempat peletakan batu pertama itulah sebuah mangkok mancur
itulah berdiri dan Tuhan menciptakan segala sesuatu dari air dan air adalah
simbol ilmu pengetahuan.
Sudah jelas bahwa
tuhan memanifestasikan sifat Ketuhanan-Nya kedalam diri manusia dan begitu juga
sebaliknya. Hal ini berarti manusia harus mampu mengatur permasalahan internal
dirinya sendiri dan sekaligus pada masyarakatnya. Sebagaimana tuhan mengatur
seluruh alam semesta ini. Al-Ghazali mengajarkan bahwa manusia bisa mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan hidup melalui penyesuaian diri dengan inspirasi
kesempurnaan Tuhan dan menghiasi diri dengan makna sifat-sifat Tuhan sebanyak
mungkin.
Oleh karena itu
universitas Islam, sebagai refleksi insan kamil (manusia universal) dalam wujud
dan tujuanya harus memberikan perhatian pada masalah haqq. Al-Attas menerangkan
bahwa haqq tidak hanya merujuk pada kebenaran sebuah pernyataan, kepercayaan,
dan pertimbangan, tetapi juga pada proporsi hakikat sebuah realitas,
singkatnya: “Haqq berarti kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kebijaksanaan,
keadilan, kebenaran, kenyataan, dan keseimbangan”.
Persoalan
selanjutnya adalah, sejauh pemikiran Al-Attas, kemana arah sebuah universitas
Islam ini akan dibawa, atau sebagai tujuan akhir (aims) keberadaan sebuah
universitas itu berdiri. Sejenak kita kembali, pada konsep bahwa universitas
harus mencermikan diri manusia, bukan hanya berdasarkan pada asas-asas
ontologis sebagaimana diterangkan sebelumnya, melainkan usaha menganalisis
istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas.
University itu
sendiri itu diambil dari bahasa Latin, universitas yang mencermikan istilah
yang berasal dari Islam, kulliyah, karena dalam Islam ilmu pengetahuan
(al-‘ilm) dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang universal
(kulliyat). Kemudian pengunaan istilah anatomi kemanusiaan faculty oleh berbagai
universitas adalah hasil terjemahan dari bahasa Arab.
Gagasan beliau
sebenarnya mengisyaratkan kepada pemerintah Muslim agar lebih bijak untuk
mendirikan apa yang menjadi konsep universitas Islam modern, dan penekanannya
pun tidak hanya terbatas pada organisasi ataupun hukum, melainkan lebih pada
aspek keilmuan, epistimoligis, kurikuler, pedaegogis, dan aspek-aspek
pendidikan lainnya. Sturuktur universitas Islam yang dilukiskan Al-Attas, bisa
dipahami dari kritikan terhadap universitas barat modern yang kehadirannya
tidak merefleksikan manusia. Sekalipun universitas itu berusaha untuk
merefleksikannya, itu bukanlah manusia sesungguhnya, melainkan sosok menusia
sekuler, politik dan ekonomi. Dalam hal ini Al-Attas menulis: “Bagaikan manusia
tanpa kepribadian, universitas modern tidak memiliki pusat penting yang
menyatukan, tidak memiliki prinsip dasar yang permanent sebagai tujuan
akhirnya. Ia masih berpura-pura memikirkan sesuatu yang universal, bahkan
mengaku memiliki fakultas dan jurusan seolah-olah merupakan kesatuan
tubuh—tetapi tidak memiliki otak, apalagi akal dan jiwa, kecuali hanya
sepenuhnya menuntut fungsi administratif untuk perbaikan dan perkembangan fisik
…. Berbagai fakultas yang ada didalamnya tidak saling bekerja sama,
masing-masing sibuk dengan keinginannya, dengan kebebasan berkehendak mereka.”
Kedaan yang sangat
menyedihkan adalah ketika beberapa negara-negara Muslim yang kebanyakan
mengorientasikan universitas Islam pada gaya-gaya filsafat dan manjemen
organisasi ekonomi dan industri yang sukses, melihat adanya kekeliruan dalam
tujuan pendirian universitas, maka beliau menyuarakan kepada pelaksana
pendidikan Islam agar materi-materi dan tujuan pendidikan harus dimodifikasi
sesuai tuntutan pasar dan industri serta peluang kerja, tetapi dalam hal ini
beliau sangat menekankan perhatiannya bahwa asas spiritual yang fundamental
bagi filsafat Pendidikan Tinggi tidak harus dikorbankan demi efisiensi ekonomi
dan supremasi birokrasi.
3.
Tujuan Pendidikan Islam
Pada bagian ini, sampai pada
pembahasan yang sangat inti dalam telaah konsep pendidikan Islam yang digagas
oleh Al-Attas dalam rekonstruksi pendidikan Islam kontemporer. Walaupun secara
sekilas telah tergambar dari singgungan sebelumnya, bahasan ini akan memerlukan
tempat khusus, karena akan menjadikan tulisan ini inklusif dari seorang tokoh
pendidikan Islam, yang dalam hal ini adalah
M. Naquib Al-Attas. Tujuan pendidikan Islam itu sendiri tergantung pada
tingkatannya masing-masing, yaitu pendidikan dasar, menengah dan pendidikan
tinggi. Jadi setiap jenjang/tingkatan pendidikan itu memiliki tujuan yang
berbeda-beda dengan disesuaikan dengan taraf penerimaan dari peserta didik dan
bersifat berkelanjutan secara dinamis dan saling berkaitan.
Al-Attas
berpendapat, dalam menentukan terma pendidikan Islam adalah istilah tarbiyah
dan bukan pula ta’lim yang tepat dalam pendidikan Islam melainkan istilah
“ta’dib”. Sementara menurut ahli yang lain lagi, malahan bukan sama sekali
tarbiyah ataupun ta’dib melainkan istilah ta’lim yang lebih tepat untuk dipergunakan.
Istilah mana yang tepatnya? Tentu saja harus disesuaikan dengan segala kondisi dan tingkatan atau jenjang dalam setiap penggunaan ketiga terma tersebut:
Istilah mana yang tepatnya? Tentu saja harus disesuaikan dengan segala kondisi dan tingkatan atau jenjang dalam setiap penggunaan ketiga terma tersebut:
1)
Terma tarbiyah yang lebih menonjolkan
pada penumbuh kembangan fisik material dan unsur-unsur kasih sayang serta
hal-hal yang konkret. Oleh karena itu ciri-ciri pendidikan ini sangat cocok
diterapkan pada pendidikan tingkat dasar/ kanak-kanak (Infanci) atau lebih
konkret sesuai dengan istilah yang dipakai untuk proses pendidikan tingkat
taman kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
2)
Terma ta’lim menurut Abdul Fattah Jalal
lebih universal (tinggi dan luas) dari tarbiyah, lebih cocok digunakan pada
proses pendidikan menengah, atau pada usia remaja dan menjelang dewasa (SLTP
dan SLTA)
3) Terma ta’dib diperuntukkan
pada proses pematangan /penyempurnaan pendidikan. Sangat cocok dipakai pada
jenjang pendidikan untuk dewasa (Perguruan Tinggi). Penulis berkeyakinan bahwa pendidikan yang sebenarnya merupakan
serangkaian upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat
kesempurnaan (insan khamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh Islam bukan
hanya didunia atau hanya diahirat saja, melainkan kedua-duanya harus seimbang proporsinya.
Singkatnya menjadi khalifah fi ard (memakmurkan dunia) dengan segenap kemampuan
dan limit waktu tang tersedia ketika hidup didunia, sehingga mengantarkan pada
keselamatan di hari penghisafan (hari pembalasan) nanti.
4) Subyek Didik
1) Pendidik
Setelah terwujudnya pembangunan kampus
ISTAC, maka arah dan tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam menjadi
terlihat dengan jelas dan nyatalah apa yang diasumsikan Al-Attas semulanya.
Salah satu unsur terpenting dalam suatu proses pendidikan adalah tenaga
pendidik. Melalui tangan tenaga pendidik inilah yang mampu membawa peserta
didik pada tujuan yang hendak dicapai (Insan Khamil).
Adapun sifat utama yang harus ada pada
diri pendidik adalah niat yang lurus. Naiat yang lurus disini adalah
menjalankan tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah dan perbuatan
yang sangat terpuji dimata peserta didik. Sehingga setiap gerak-gerik seorang
pendidik selalu mendatangkan asumsi positif bagi peserta didik, singkatnya
pendidik yang berwibawah dimata peserta didiknya.
Pendidikan Islam ditempuh dengan
landasan dan sumber yang jelas dan telah mapan, yang pemahaman dan penafsiran
serta penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif
(kuat). Al-Qur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah kepada
yang otoritatif dibidangnya (ahl al-zikri) jika tidak mengetahui tentang
sesuatu. Oleh karena itu, peran seorang guru dianggap sangat penting dalam
membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.
Pendidik harus berpegang pada asas
utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak
dicapai dalam arti yang ideal (sesuai harapan). Sesuai dengan tujuan pendidikan
yang diformulasikan Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik
harus terlebi dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada
perintah Allah SWt. Dalam pernyataan diatas, perlu kita kaitkan dengan
pernyataan Al-Ghazali: “Makhluk yang paling sempurna dimuka bumi ini adalah
manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya,. Guru atau
pengajar selalu menyempurnahkan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta
menuntunnya untuk dekat kapada Allah…” dan dia juga berkata: “Seorang yang
berilmu dan bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar
dibawah lolong langit ini. Ia bagai mata hari yang mencahayai orang lain,
sedang ia sendiripun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati
orang lain, ia sendiripun harum…”
Dari pernyataan diatas, dapat dipahami
bahwa profesi keguruan merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung
disbanding denga profesi yang lain. Dengan profesi itu seorang guru menjadi
prantara antara manusia dalam hal ini murud dengan Penciptanya, Allah SWT.
Kalau direnungkan tugas guru adalah seperti tugas para utusan Allah.
Selain keharusan adanya sifat diatas,
Al-Attas menekankan pendidik untuk menjalankan fungsinya dengan landasan rasa
yang ikhlas. Dengan menyerahkan setiap aktivitas mengajarnya sebagai ibadah
yang ditangguhkan nanti oleh Allah ganjaranya. Menyikapi adanya tuntutan
kesejahtraan yang diinginkan, selayaknya sama seperti manusia yang lain
(honor), harus diperhatikan dengan tidak berlebihan dari hak seorang Pendidik.
2) Peserta Didik
Peserta didik juga hendaklah untuk
tidak tergesa-gesa dalam mempelajari dan tidak belajar pada sembarang guru,
namun perlu adanya menyiapkan waktu untuk mencari siapa guru yang terbaik pada
bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu untuk mencari
guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk memperoleh gelar tertentu.
Al-Ghazali mengingatkan agar peserta
didik untuk tidak merasa sombong, namun belajar menghargai mereka yang telah
membantu dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan dan kebahagiaan dan tidak
hanya memandang mereka yang termasyur atau terkenal.
Jadi, peserta didik bebas untuk
menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya,
namun perlu diperhatikan juga kualitas/mutu seorang guru atau lembaga
pendidikan yang akan mengantarkanya untuk mencapai tujuan tersebut agar tidak
lari dari hakikat utama pembelajaran tersebut, yakni mencapai derajat Insan
Khamil. Disini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik
merupakan motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor
(pelatih) yang mengarahkan peserta didik, sebagimana diketahui manusia dibekali
potensi untuk mencapai ilmu, namun semua tidak akan tercapai dengan sendirinya
tanpa bantuan dari pihak lain (pendidik).
5) Kurikulum
Membahas tentang kurikulum, tentu akan mengajak untuk melihat bagaimana
parangkat lunak pada lembaga pendidikan, kalau ditelusuri secara seksama
kurikulum yang dirumuskan oleh Syekh Muhammad Naquib Al-Attas ini digolongkan
pada keutamaan pengauasaan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya.
Karena tujuan pendidikan Islam menurut Al-Attas untuk mewujudkan Insan khamil,
maka pembelajarannya pun ada yang bersifat fardu ain dan fardu kifayah.
Dalam pandangan Al-Attas sturuktur dan kurikulum pendidikan Islam harus
menggambarkan manusia dan hahekatnya, hakikat manusia bersifat ganda (dual
nature) yaitu aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuanya mengenai
ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan keadaan
spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan
aql lebih tepat berhubungan dengan ilmu inti atau pardu ain.
1. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama)
Adapun ilmu-ilmu inti atau fardu ain yang dimaksud adalah:
ü Kitab suci Al-Qur’an
ü Sunnah
ü Syariat
ü Teologi
ü Metafisika Islam
ü Ilmu Bahasa
2. Fardu kifayah
Adapun yang tergolong dalam Ilmu fardu kifayah:
ü Ilmu Kemanusiaan
ü Ilmu Alam
ü Ilmu Terapan
ü Ilmu Teknologi
ü Perbandingan Agama
ü Ilmu Linguistik; Bahasa Islam
ü Sejarah Islam
6)
Metode Pendidikan Islam
Sebelum
mengkaji lebih jauh, perlu adanya kehati-hatian, karena dalam kontek filsafat
pendidikan Islam Al-Attas memiliki metode khusus karena relitas tujuan dan
makna “adab” pada pendidikan Islam adalah penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan
bukan juga ta’lim. Aspek yang akan kita sentuh disini yang akan menjadi bahasan
disini adalah: persiapan spiritual, pendidik dan peserta didik, fungsi bahasa,
metode tauhid, fungsi panca indra serta metafora dan cerita.
a.
Persiapan Spiritual
Persiapan spitual
yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana kita kenal dalam Islam setiap
tindakan harus didahului oleh niat, dalam pernyataan hadist yang cukup terkenal
dinyatakan bahwa: “perbuatan seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan Allah
akan memberikan pahalah sesuai dengan niat hamba-Nya”. Al-Attas mengakui adanya
sifat spiritual yang mendasar dalam praktik pendidikan, prinsip ini sudah tidak
asing lagi, tapi sudah didengungkan oleh pemikir-pemikir muslim terdahulu dalam
semangat yang sama, termasuk Al-Ghazali yang menekankan ikhlas sebagai
kewajiban kedua setelah membimbing peserta didik dengan penuh rasa simpati
seakan-akan anak sendiri. Al-Thusi juga mementingkan bagi penuntut ilmu untuk
mencari ridha Allah SWT semata. Dengan kata lain peserta didik wajib
mengembangkan adab yang sempurnah dalam proses menuntut ilmu.
Pendapat Al-Attas
ini menghendaki adanya niat yang lurus untuk mempelajari ilmu. Pentingnya niat
ini sangat jelas diperlukan, mengingat sebuah hadistt Nabi : “perbuatan
seseorang itu berdasarkan niat (niyyah) dan Allah akan memberikan pahalah
sesuai dengan niat hamba-Nya”. Dari hadistt itu sangat dituntut bagi pencari
ilmu untuk kembali memperhatikan niat yang ingin dicapai dalam mempelajari
sebuah disiplin ilmu, agar apa yang diharapkan akan tercapai dan proses pencapaiannya
pun senantiasa dalam ridha Allah SWT. dan nantinya akan berbuah manfaat.
b.
Bahasa
Pada kalangan
pemikir muslim kontemporer hanya Al-Attas yang baru menyadari pentingnya
peranan bahasa sebagai alat dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama dan
kebudayaan dan peradapan. Al-Attas selalu menganalisis bahasa dan menjelaskan
bahasa secara benar, khususnya dalam bahasa “rumpun Islam” sehingga makna yang
benar mengenai istilah dan konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak
berubah atau dikacaukan. Singkatnya perananan bahasa ini, Al-Attas mengharapkan
kaum terpelajar muslim untuk memusatkan perhatian pada misteri bahasa arab dan
bahasa asing lainnya. Begitu juga dalam proses pencarian ilmu pengetahuan,
kedudukan bahasa sebagai alat dan sarana komunikasi yang sungguh tidak dapat
dinafikan.
c.
Metode Tauhid
Salah satu
karakteristik dan efistimologis Islam yang dijelaskan secara inklusif dan telah
dipraktikkan oleh Al-Attas adalah metode tauhid dalam pencapaian ilmu
pengetahuan. Metode ini terkadang sangat menjengkelkan ketika seseorang telah
memahami agama Islam, konsep-konsep dan prinsip-prinsip etikanya banyak yang
bertanya mengenai cara mengimplikasikannya dalam kehidupan profesi pribadi
mereka. Dalam hal ini Al-Attas hanya menggaris bawahi bahwa jika seseorang
telah benar-benar memahami ini semua, pertanyaan seperti ini tidak semestinya
diutarakan, karena tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dengan
praktik, kecuali kalau terhalang oleh faktor eksternal.
d.
Metafora dan Cerita
Salah
satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas adalah pada metode pendidikan
Islam yaitu penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang
disamapaikan secara lisan (ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang juga banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits. Efektivitas penggunaan metode ini sudah
tidak diragukan lagi, begitu juga dalam sejarah pendidikan di Barat yang tidak
lepas menggunakan metode ini. Al-Attas pada karyanya Rangkaian Ruba’at, telah
menggunakan metafora cermin yang biasa dipakai oleh para sufi pada masa lampau,
untuk menyimbolkan dunia yang diciptakan ini sebagai cerminan dari realitas
Absolut.
e.
Media
ü
Panca indera
Realitas tunggal
pada diri manusia adalah kemampuan-kemampuan setiap unsur indera yang saling
berhubungan yang dimanifestasikan kedalam proses persepsi yang mengeluarkan
aktivitas. Pada diri manusia terdapat lima alat penginderaan eksternal yang
diantaranya adalah perasaan untuk meraba, merasa, mencium, melihat serta indera
untuk mendengar.
Disini,
memanfaatkan indera secara maksimal akan menjadi upaya yang efektif untuk
menangkap pembelajaran yang ada disekitar tempat tinggal peserta didik, hal ini
sebangai mana perintah pertama yang turun kapada Nabi yakni iqra’ (bacalah).
Dari perintah tersebut maka manusia harus membaca keadaan sekitarnya baik yang
tersurat maupun yang tersirat agar mengambil hikmah dibalik pencipataanya.
ü
Ruang belajar
Salah satu faktor penunjang
yang sangat penting dalam proses pembelajaran adalah ruang belajar yang
memenuhi standar kelayakan selama proses pembelajaran berlangsung, keadaan yang
nyaman dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar yang dilakukan. Selain itu
penempatan (sturuktur) letak yang strategis dan lingkungan yang ikut mendukung
proses pencapaian hasil dari pembelajaran, dan ide desain semacam ini telah
diterapkan Al-Attas pada kampus ISTAC sejak awal berdirinya.
ü
Perpustakaan
Perpustakaan
merupakan unsur atau kebutuhan yang sangat penting dalam pengembangan ilmu,
dengan bersandar pada pustaka/literatur yang lengkap maka penguasaan terhadap
keilmuan yang luas dan mampu menjawab segala persoalan yang dihadapi oleh
kalangan pendidik maupun menumbuhkan keaktifan peserta didik dalam memperkaya
wawasan sendiri secara mandiri dengan melacak informasi yang terkandung luas
dalam perpustakaan.
ü
Labolatorium
Labolatorium
(lab.) praktik merupakan sarana yang efektif dalam meningkatkan keterampilan
peserta didik dalam merealisasikan secara profesional setiap bidang keilmuan
yang memerlukan praktik sacara berkala untuk menunjang skill yang diharapkan
setelah menyelesaikan proses pembelajaran. Seperti labolaturium bahasa,
biologi, fisika, dan lain-lain.
C.
Paradigma Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas
Sebagaimana telah
penulis paparkan diatas bahwa konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Syekh
Muhammad Naquib Al-Attas memiliki perbedaan antara pendapat/gagasan yang telah
dilontarkan oleh tokoh pendidikan Islam yang lainnya. Perbedaan ini terlihat
sangat tajam karena konsep pendidikan Al-Attas menggunakan terma ta’dib,
sehingga banyak unsur lain seperti orientasi (tujuan) dan metode juga ikut
mewarnai perbedaan tersebut, perbedaan seperti ini sepatutnya dipandang sebagai
hikmah akan keluasan khazanah (wawasan) yang tersimpan dalam kajian Islam.
Perkembangan
pendidikan Islam secara terus-menerus mengalami adaptif dengan tuntutan
moderenisasi yang juga memperkenalkan ide-ide Nasionalisme yang terinspirasi
dari ideologi Barat, sampai pada penerapan teknologi dan perkenalan pada sistim
pendidikan ala Barat di negara-negara Islam.
Contoh sederhana
mengenai adab ini, berkaitan dengan Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan
yang benar, yang tidak boleh disentuh oleh orang yang tidak memenuhi
persyaratan adab (membaca Al-Qur’an), yaitu mengambil air wudhu. Berangkat dari
pernyataan diatas, artinya penekanan Al-Attas terhadap adab yang harus dimiliki
seorang peserta didik adalah mutlak harus memiliki adab sebelum terjun atau
melangkah dalam arus keilmuan. Keharusan ini menjadi sangat mutlak karena
setiap ilmu itu asalnya satu, yakni dari Allah SWT., dan untuk mencapainya
tentu melalui perantara (otoritas) yang dapat dipercaya. Dan dari gambar diatas
dapat disimpulkan bahwa Al-Attas menekankan ta’dib adalah pra syarat untuk
memperoleh pengetahuan.
Melihat kondisi
kemunduran pendidikan Islam yang telah kehilangan identitas (image)
sesungguhnya (inklusif) itulah, Al-Attas secara teliti dan juga didukung dengan
kapasitas memadai yang dimilikinya dan berawal dari rasa kekhawatiran terhadap
keterpurukan pendidikan Islam, Al-Attas mulai mendiognosa serta merumuskan
terminologi yang ideal serta tepat untuk pendidikan Islam dalam mencapai tujuan
yang diamanahkan Allah SWT. kepada diri setiap manusia.
Sama halnya dengan
pemikir Muslim lainnya, Al-Attas juga mengedepankan adanya perencanaan yang
bagus/mapan sebelum menjalankan proses pendidikan. Perencanaan ini dituntut
pada diri pendidik maupun pada diri peserta didik. Pendidik hendaknya memiliki
pemahaman terhadap disiplin ilmu yang diajarkan mamupun sifat keutamaan yang
harus dimiliki pendidik (ahlak al-karimah) yang pantas sebagai teladan bagi
peserta didik.
Selanjutnya
kandungan (content) pada visi pendidikan Islam juga ikut mempengaruhi seperti
apa menusia yang akan dibentuk (out put) setelah proses pendidikan berahir.
Pendidikan yang diidamkan Al-Attas adalah pendidikan yang menelurkan alumnus
yang memiliki out put yang berwawasan luas serta mampu memfilter antara kepentingan
dunia dan keharusan memperhatikan bekal untuk alam akhirat. Singkatnya
pendidikan yang dilontarkan Al-Attas tidak menutup diri terhadap kemajuan
zaman, namun tetap berpegang pada dasar-dasar yang dimiliki pada prinsip Islam.
D.
Relevansi Konsep Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas Pada Era
Sekarang
Patut dibenarkan
apa yang dilontarkan oleh Ismail Raji al-Farruqi bahwa inti dari persoalan yang
dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah pendidikan. Dan tugas terberatnya
adalah memecahkan masalah tersebut. Hal ini dapat difahami dari satu segi
tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah fil ardi. Dalam diri
manusia terdapat berbagai potensi sebagai modal kekhalifaannya. Potensi-potensi
tersebut ibarat mutiara yang tersimpan yang akan bermanfaat jika digali melalui
pendidikan.
Berawal dari
munculnya filsafat pragmatisme yang mendapat inspirasi dari John Dewey, telah
mengubah arah orientasi pendidikan. filsafat pragmatisme telah mengabaikan
konsep-konsep kebenaran dan menggantikannya dengan kegunaan, pengaruh tersebut
selalu terus berjalan yang akhirnya terwujudlah manusia-manusia yang
menghancurkan konsep keagungan dan kemuliaan manusia dengan Tuhannya dan alam.
Konsep pendidikan
tersebut selayaknya untuk kembali dikaji ulang, dan berupaya pada penggantian
konsep pada sistim pendidikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sejati.
Memang, sistim pendidikan sekuler di Barat telah mampu untuk menjawab tantangan-tantangan
yang bersifat kebutuhan manusia dibidang materi, yang diawali pengembangan
pengetahuan untuk mencapai keunggulan sains dan teknologi. Tetapi keadaan
tersebut sebenarnya telah membawa krisis kepribadian, dan kehancuran
nilai-nilai pada diri manusia.
Tidak ada jalan
lain untuk dapat merubah keadaan tersebut, kecuali kembali kepada pembenahan
sistim pendidikan yang lebih memperhatikan esensi (hakikat) penciptaan manusia
di bumi sebagai khalifah Allah. Oleh karena itu dalam pendidikan Islam tidak dikenal
adanya istilah akliyah tanpa mengikut sertakan syar’iyah. Tidak hanya
mengembangkan aspek kognitif kecuali afektif dan psikomotorik juga diikut
sertakan.
Usaha perpaduan
sistim yang secara integral itulah yang mengantarkan manusia pada penguasaan
ilmu-ilmu agama serta juga ilmu umum, tanpa menjadi tenggelam pada arus sekuler
Barat yang dapat membunuh aqidah umat Islam, dalam hal ini Al-Furuqi
menjelaskan: “Perpaduan kedua sistim ini haruslah merupakan kesempatan yang
tepat untuk menghilangkan keburukan masing-masing sistim yang antara lain tidak
menandainya buku-buku pegangan yang telah usang dan guru-guru yang tak
berpengalaman didalam sistim yang tradisional, dan peniruan metode-metode dan
ideal-ideal Barat sekuler didalam sistim yang sekuler.”
Terhadap
tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam dewasa ini,
ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk
menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman
modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan
tersentuh oleh teknologi dan sains.
Melalui padangan
filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat
Islam di zaman ini. Persfektif yang menyatakan bahwa hancurnya umat Islam bukan
disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi, politik dan sebagainya. Namun
persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran pada tingkatan metafisis,
dimana umat Islam telah mengalami yang namanya corruption of knowledge (
koropsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang menyebabkan umat Islam
kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang gemilang tersimpan.
Sehingga nilai adab dalam diri umat Islam dan jatuh pada kemerosotan yang
sangat dalam.
Perlu kembali
ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada puncaknya adalah untuk
menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi seorang warga negara yang
baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan negara. Menurut Islam,
manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan pada diri Nabi
Muhammad.
Rumusan tujuan
pendidikan Islam dewasa ini yang merupakan hasil tiruan dari Barat, ternyata
tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan Islam.
Menurut Al-Attas cara seperti itu tidak akan pernah berhasil mengingat tidak
adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang yang lebih tinggi
untuk dijadikan kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungannya, dan
pada pendidikan sekuler gambaran mengenai manusia yang utuh memang tidak
dimilikinya. Karena tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembentukan
manusia yang baik (insan khamil), maka puncak perwujudan dan kesempurnaan dalam
pendidikan Islam adalah universitas.
Upaya yang
dilakukan Al-Attas ini merupakan kelanjutan dari upaya yang telah dilakukan
Al-Ghazali dalam konsep “Ihya Ulum Ad-Din” yang memulihkan kembali nilai adab,
dan Al-Attas ini mengemukakannya kembali konsep tersebut pada zaman yang sudah
modern ini. Zaman yang telah penuh dengan kontaminasi unsur sekuler dari Barat,
dan upaya yang dilakukan pun tidak lain adalah upaya penanaman nilai-nilai
Islam dengan ta’dib. Indikasi sederhananya berusaha bertindak dan bertingkah
laku secara Islami. Oleh karena itu, wajar kalau pendidikan juga dapat
diartikan sebagai upaya bimbingan atau tuntutan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya
kepribadian utama.
E.
Dewesternisasi Dan Islamisasi
1.
Westernisasi
Pemikiran
Westernisasi adl sebuah arus besar yg mempunyai jangkauan politik sosial
kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa
terutama kaum muslimin dgn gaya Barat. Dengan cara menggusur kepribadian Muslim
yg merdeka dan karakteristiknya yg unik.
Kemudian kaum
muslimin dijadikan tawanan budaya yg meniru secara total peradaban Barat.
Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah meniru kebarat-baratan. Usaha mereka
telah berhasil. Apalagi ditunjang dgn tampilnya acara-acara TV yg terlalu
berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati diri kepribadian Muslim hanya tampak pada
sebagian kecil ummat. Bangga dgn kebiasaan dan adat orang-orang kafir sementara
dgn adatnya sendiri merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian
kalangan ummat Islam.
ü PEMIKIRAN DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
·
Indikasi adanya ide westernisasi
Rasulullah
SAW bersabda “Kamu pasti akan mengikuti tradisi orang sebelum kamu sejengkal
demi sejengkal atau sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke lubang
biawak sekalipun kamu akan ikut masuk pula.” Ibnu Khaldun berkata “Orang kalah
selalu erkeinginan mengikuti yg menang dalam segala hal; dalam berpakaian
berperilaku dan adat kebiasaannya.”
Seorang orientalis
Inggris H.A.R.Gibb dalam bukunya Wither Islam berkata “Di antara fenomena
penting politik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya perhatian
membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik.” Dalam pembahasannya itu ia
berterus terang menyatakan bahwa sasaran pembahasan ialah utk mengetahui
“Sejauh mana gerakan westernisasi ini mencapai Timur dan faktor apa saja yg
menjadi penghambatnya.”
Ketika Lord
Allenby memasuki Al-Quds tahun 1918 ia berteriak “Sekarang tamatlah perang.” Lawrence
Brown berkata “Ancaman hakiki terhadap peradaban Barat terkandung di dalam
sistem Islam dan kemampuan expansinya ketundukan dan dinamika ajarannya. Islam
adl satu-satunya tembok penghalang bagi kolonialisme Barat.” Munculnya berbagai
imbauan yg menyerukan dunia Islam supaya mengikuti pola peradaban Barat.
Adanya penggalakan
ide pembentukan pemikiran Islam yg maju yg menjustifikasi model Barat.
Tujuannya ialah menghapus keunikan karakteristik kepribadian Islam agar
kemantapan hubungan antara Barat dan dunia Islam terwujud dan mengabdi kepada
kepentingan Barat. Bermunculannya seruan yg bersifat nasionalistik dan
pengkajian sejarah kuno serta ajakan kebebasan yg dipandang sebagai asas
kemajuan bangsa. Berbarengan dgn itu ditonjolkannya sistem ekonomi Barat dgn
penuh pesona dan kekagumana serta diulang-ulanginya pembicaraan mengenai
poligami dalam Islam pembatasan thalaq dan ikhtilath antara pria dan wanita.
Tersebarnya ide
internasionalisme dan humanisme yg oleh pendukungnya dianggap sebagai jalan
menuju kesatuan idiologi bagi seluruh ummat manusia yg mampu mengikis segala
perbedaan agama dan etnis dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia. Agar bumi
ini menjadi satu negara yg beragama dan berbahasa satu serta budaya sama.
Tipu daya tersebut
merupakan upaya pengebiran pemikiran Islam dan mengeliminasinya dari kenyataan
hidup serta menempatkannya pada salon-salon yg dikuasai para pendukung idiologi
dunia yg sedang berkuasa. Tersebarnya idiologi nasionalisme merupakan langkah
menuju westernisasi pada abad ke-19. Idiologi ini di transfer dari Eropa ke
Arab Iran Turki Indonesia dan India. Tujuannya utk merobek-robek kesatuan dunia
Islam dan mencingcangnya menjadi bagian-bagian kecil berdasarkan ikatan
geografis. Akibatnya bermunculan negara-negara nasional berdasarkan asal-usul
ras darah dan keturunan yg sama.
Meningkatnya
perhatian orang dalam membangkitkan peradaban klasik H.A.R.Gibb berkata “Di
antara fenomena penting polotik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya
perhatian utk membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik yg berkembang
pesat di berbagai negara yg dewasa ini cukup meyibukan kaum muslimin. Perhatian
dunia Islam sekarang inimasih terbatas pada kuatnya permusuhan terhadap Eropa.
Tetapi di masa mendatang tidak mustahil hal itu akan memegang peranan penting
di dalam memperkuat nasionalisme-nasionalisme lokal dan memperkokoh
sendi-sendinya.”
Rockefeller Yahudi
fanatik ini pernah mengeluarkan dana 10 juta dolar Amerika utk pembangunan
musium peninggalan fir’aun di Mesir dan mendirikan sebuah akademi arkeologi di
negeri itu. Munculnya perhatian orang utk mengkaji tokoh misterius di dalam
sejarah Islam seperti Sukhrowardi Ibnu Rowandi dan Abu Nawas.
Louis Massignon
seorang orientalis terkenal telah melakukan penelitian terhadap Al-Hallaj. Pada
tahun 1912 hasil penelitiannya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Al-Hallaj
al-Shufi al-Syahid fi al-Islam . Kitab-kitab Al-Hallaj kemudian ditahqiq dan diedarkan
secara meluas. Demikian juga kumpulan puisinya. Munculnya perhatian di dunia
Islam utk menyebarkan dan mendukung gerakan-gerakan sesat seperti Qadianisme
Bahaisme Chauvinisme Fir’aunisme Finiqisme dan Barbarisme.
Kemudian muncul
pula kecenderungan utk menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Qaramithah
dan Gerakan Negro dengan dalih bahwa semua itu merupakan gerakan kemerdekaan
revolusioner di dunia Islam. Selain itu disanjung-sanjung pula pribadi-pribadi
yg berbahaya seperti Sir Sayyid Ahmad Khan Amir Ali Namiq Kamal Abdul Haq Hamid
Taufiq Fikrat dan Sanggulaji .
Kolonialisme
Orientalisme Komunisme Free Massonry dgn seluruh cabang-cabangnya Zionisme dan
para propagandis penyatuan agama semuanya bersatu mendukung gerakan
westernisasi. Tujuannya adalah utk menghancurkan dunia Islam menjadi
berkeping-keping menundukkannya hingga menjadi makanan yg empuk bagi mereka.
Fenomena lain
ialah tersebarnya aliran-aliran yg merusak Islam seperti Freudisme Darwinisme
Marxisme slogan pengembangan moral dan pengembangan masyarakat . Juga
berkembangnya perhatian terhadap existensialisme sekularisme liberalisme
pengkajian tentang tashawuf Islam seruan nasionalisme sukuisme dan kebangsaan.
Selain itu tumbuh kecenderungan berkembangnya ide pemisahan antara agama dan negara
upaya pendangkalan agama penyerangan terhadap Islamwahyu Rasul dan sejarah
Islam. Kemudian lahir pula sikap ragu terhadap nilai-nilai Islam dan seruan
membebaskan orisinalitas dan keunikan Islam serta menumbuhkan takut mati dan
kemiskinan. Semua itu bertujuan mencabut fikrah jihad dari akal dan kalbu kaum
Muslimin. Berbarengan dgn itu disebarkan pula isu bahwa penyebab kemunduran
bangsa Arab dan ummat Islam adl Islam.
Munculnya anggapan
bahwa Al-Qur’an merupakan luapan akal budi disertai dgn sanjungan terhadap
kejeniusan Muhammad SAW kecemerlangan dan kebersihan jiwanya. Ini merupakan
langkah awal utk menghapus sifat kenabian yg ada pada diri Muhammad.
·
Konferensi-konferensi
tentang westernisasi
Konferensi
Baltimore tahun 1942. Dalam konferensi ini direkomendasikan supaya digalakkan
pengkajian Islam dan mengintodusir gerakan-gerakan rahasia ke dalam tubuh
ummat.
Tahun 1947 di
Universitas Princeton Amerika Serikat diadakan konferensi yg bertujuan
melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah kultural dan sosial di Timur
Dekat. Hasil konferensi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan ini
menduduki urutan ke 116 dari proyek pengadaan 1000 buah buku di Mesir. Dalam
konferensi ini hadir antara lain T. Cuyler Young Habib Kurani Abdul Haq Edward
dan Louis Thomas.
Konferensi tentang
kebudayaan Islam dan kehidupan modern di universitas Princeton pada musim panas
tahun 1953 M. hadir dalam konferensi ini para pemikir seperti Mill Broze Harold
Smith Raphael Patai Harrold Allen John Croswell Syaikh Mushthafa Zarqa Kenneth
Cragg Isytiyaq Hussein dan Fazlur Rahman dari India.
Konferensi ke III
direncanakan di Lahore Pakistan tahun 1955 tetapi gagal. Rencananya akan
mengikutsertakan pakar-pakar dan peneliti Muslim serta para orientalis dalam
mengarahkan kajian-kajian tentang Islam.
Tahun 1953
diselenggarakan konferensi gabungan Islam - Kristen di Beirut Lebanon. Kemudian
di Iskandariyah lalu berturut-turut diselenggarakan di Roma dan negara-negara
lain berupa pertemuan dan seminar-seminar dgn maksud yg sama.
·
Buku-buku
tentang westernisasi yg berbahaya
Islam Modern
History karangan W.C. Smith derektur Institute of Islamic Studies dan guru
besar ilmu perbandingan agama pada Mc. Gill Unversity Kanada. Ia meraih gelar
doktor dari Princeton University tahun 1948 di bawah bimbingan orientalis
terkenal H.A.R. Gibb. Ia pernah menjadi mahasiswanya ketika Smith belajar di
Cambridge University. Buku ini menyerukan liberalisme sekulerisme dan pemisahan
antara agama dan negara.
Wither Islam
karangan H.A.R. Gibb yg diterbitkan di Libanon pada tahun 1932. Buku ini
disusun bersama sejumlah orang-orang orientalis. Isinya berupa kajian penting
tentang sebab-sebab terhambatnya proses westernisasi cara mengembangkan dan
mamajukannya.
Protokolat
hakim-hakim zionisme yg muncul di seluruh dunia tahun 1902 M. buku ini pernah
dilarang masuk ke Timur Tengah dan dunia Islam sampai kira-kira tahun 1952 M
yakni beberapa tahun setelah berdirinya negara Israel di jantung dunia Arab dan
Islam. Dapat dipastikan pelarangannya itu berkaitan erat dgn pengkhidmatan
Yahudi terhadap gerakan westernisasi secara umum.
Buku-buku yg
berisi gambaran tentang figur-figur sebagai tokoh Islam dalam bentuk usang
cabul dan palsu seperti gambaran dalam buku Seribu Satu Malam Harun al-Rasyid
kisah yg ditulis Jurji Zaidan. Demikian pula buku-buku yg bersandar pada
mithologi klasik yg diramu ke dalam sejarah Islam seperti buku ‘Ala Hamisi
al-Sirah oleh Thaha Husein dan buku buku yg mengingkari kenabian dan wahyu
seperti buku Muhammad Rasulu al-Hurriyah oleh Syarqawi.
ü AKAR PEMIKIRAN DAN SIFAT IDIOLOGINYA
Pasukan
salib telah menderita kekalahan berulang kali setelah perang Hiththin.
Orang-orang Turki Osmani menaklukan ibukota Bizantium dan pusat gereja mereka
pada tahun 1453 M. kemudian kota tersebut dijadikan ibu kota Turki dan namanya
diubah menjadi Istambul yakni Dar al-Islam .
Selain itu pasukan
Islam Turki dapat sampai ke Eropa dan menggempur Wina pada tahun 1529 M.
penggempuran ini berlangsung sampai tahun 1683 M. semua itu diawali dgn
jatuhnya Andalusia yg dijadikan pusat pemerintahan dinasti Umawiyah.
Peristiwa-peristiwa
tersebut mendorong munculnya westernisasi sebagai upaya menebus kekalahan yg
mereka derita selama itu. Sedangkan kristenisasi menjadi bagian tak terpisahkan
dari westernisasi. Tujuan utamanya tidak lain yaitu utk menghancurkan dunia
Islam dari dalam.
Westernisasi pada
hakikatnya merupakan perwujudan dari konspirasi Kristen-Zionis-Kolonialis
terhadap ummat Islam. Mereka bersatu utk mencapai tujuan bersama yaitu
membaratkan dunia Islam agar kepribadian Islam yg unik terhapus dari muka bumi
ini.
2.
Dewesternisasi
Istilah
dewestenisasi adalah proses pembersihan dari westernisasi, jika westernisasi di
fahami sebagai pembaratan atau mengadopsi, mengambil alih gaya hidup barat,
maka dewesternisasi dapat di fahami sebagai upaya pelepasan sesuatu dari proses
pembaratan, atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh barat.
Dengan dukungan islamisasi. Menurut al attas islamisasi adalah prosess
pembebasan manusia dari tradisi magis, mitodologis, animis, tradisi nasionalis
dan cultural secara sekulerisme.
3.
Islamisasi ilmu
Islamisasi
merupakan sebuah karkter dan identitas Islam sebagai pandangan hidup
(worldview) yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu
(epistemology) dan konsep Tuhan (theology). Bahkan bukan hanya itu, Islam
adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan,
manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama
sekaligus peradaban.
Secara historis,
ide atau gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada saat diselenggarakan
konferensi dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun
1977. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz University ini berhasil
membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara, dan
merumuskan rekomendasi untuk pembenahan serta penyempurnaan sistem pendidikan
Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia.
Secara umum,
istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan
menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal,
tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari
nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran
universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan
kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam.
Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk
dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai
Islamisasi.
Bagi al-Attas,
pendefinisian Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi sacara mum.
Yaitu Islamisasi, menurut al-Attas secara umum adalah pembebasan manusia dari tradisi
magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism).
Al-Attas juga
memaknai Islamisasi sebagai suatu proses. Meskipun manusia mempunyai komponen
jasmani dan rohani sekaligus, namun pembebasan itu lebih menunjuk pada
rohaninya, sebab manusia yang demikianlah manusia yang sejati yang semua
tindakannya dilakukan dengan sadar penuh makna. Al-Attas men-sifatkan
Islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan sebab ia melibatkan
pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaniyahnya dan proses
ini menimbulkan keharmonian dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya
(original nature).
Dari uraian di
atas, maka, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran
yang didasarkan pada ideologi sekuler, dan dari makna-makna serta ungkapan manusia-manusia
sekuler. Dan dalam pandangan al-Attas, setidaknya terdapat dua makna Islamisasi
yaitu Islamisasi pikiran dari pengaruh ekternal dan kedua Islamisasi pikiran
dari dorongan internal. Yang pertama pembebasan pikiran dari pengaruh magis
(magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural
(national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan yang
kedua adalah pembebasan jiwa manusia dari sikap tunduk kepada keperluan
jasmaninya yang condong mendzalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniahnya
lebih condong untuk lalai terhadap fitrahnya sehingga mengganggu keharmonian
dan kedamaian dalam dirinya yang pada gilirannya menjadi jahil tentang tujuan
asalnya. Jadi Islamisasi bukanlah satu proses evolusi (a process of evolution)
tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah (original nature).
F.
Metafisika Epistimologi
Pemikiran
metafisika al attas berangkat dari faham teologisnya. Dalam tradisi islam di
kenal istilah tasawuf . al attas memberikan batasan yang jelas mengenai
berbagai tingkatan orang yang melakukan olah spiritual tasawuf(salik) dalam
dunia kesufian. Dan setidaknya ada tiga tingkatan yang ketiganya merupakan
sebuah peringkat yang bersifat hirarkis(bertingkat-tingkat). pertama: mubtadi’
ini adalah tingkatan yang awal dalam tingktan ini si salik hanya terbatas
melkukan amalan-amalan yang yang berkisar pada masalah moral dan adab. kedua:
mutawasith, dalam tingkatan yang kedua ini si salik sudah mulai melakukan
wirid dan zikir yang mengenai kualitas, kuantitas, dan frekuensinya di tentukan
sang mursyid(mursyid). dan ini harus dilkukan secara kontinu.ketiga:muntahiy,
pada tingkata ini si salik memasuki dunia filsafat dan metafisika.dalam
tingkatan ini sisalik di wajibkan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
ketiga jenis pengetahuan(‘ilm), yaitu ilmu kebijaksanaan ketuhanan(al hikmah al
ilahiyah), ilmu syari’ah atau ilmu naqliyyah(al’ulum al syri’ah)al ‘ulum al
aqliyyah(rasional).
G.
Inti Asumsi Dan Metode Epistimologi Modern
Peradaban
Barat dengan sains modern sebagai pendukungnya telah menyisakan problema yang
serius berkaitan dengan hakikat asal usul serta tujuan ilmu. Sains modern
cenderung mengabaikan intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber
ilmu. Dalam sains modern, otoritas hanya merujuk kepada persepsi inderawi dan
rasio yang spekulatif. Realitas telah dibatasi pada alam dunia. Ini adalah
konsekwensi logis dari sumber ilmu sains modern Barat yang hanya terbatas
kepada panca-indera dan rasio.
Selain
itu, sains modern telah menjadikan keraguan sebagai sebuah metode yang benar.
Perspektif rasionalisme dan empirisisme yang menjadi jiwa sains modern tidak
banyak disadari oleh kalangan Muslim. Padahal, paradigm antroposentris tidaklah
sesuai dengan pandangan-hidup Islam. Bagi seorang Muslim, realitas mencakup
bukan saja yang kasat mata, tetapi juga yang tidak kasat mata. Alam nyata yang
menjadi objek kajian dalam sains bukanlah satu-satunya alam. Alam nyata ini
adalah relatif yang wujudnya bergantung kepada Tuhan. Jadi, untuk mengetahui
hakekat realitas, tidak cukup hanya dengan panca-indera dan rasio. Perbedaan
ontologis tentang realitas melahirkan perbedaan epistemologis. Wahyu dalam
Islam bisa menjadi sumber ilmu.
dari
sekelumit gambaran di ataas, maka metode utam a yang di kembangkan tidak luput
dari tiga metode yaitu :pertama ,
nasionalisme tang cenderung pada indrawi. kedua, menolak bahwa
wahyu dan agama adalah sebagai sumber ilmu. ketiga, menyandarkan semua
pengetahuan pada fakta yang dapat di amati.
H.
Sumber Dan Metode Epistimologi Islam
Sumber
dan metode ilmu al attas mengatakan bahwa ilmu datang dari tuhan dan di perolah
melalui sejumlah saluran indara yang sehat, laporan yang benar yang di
sandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
1)
Indra-indra lahir batin
Dengan
menyebutbistilah indra yang sehat maka yang di maksud adalah indra lahiriyah
yang meliputi indra perasa, indra pencium, penglihat dll.dan terkait dengan panca
indra yang bersifat lahiriyah di atas indra batin yang secara batiniyah
mempersepsi citra-citra indrawi dan maknanya, menyerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan,
mnyimpan hasil-hasil penyerapan. Dan indra batiniyah itu diantaranya adalah
indra umum, pengitan kembali, Dll.
2)
Akal dan intuisi
Akal adalah suatu
substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ ruhaniyah pemahaman yang di sebut
hati atau qolbu yang menjadi tempat terjadinya intuisi.intregitas antar akal
dan intuisi dalam epistimologi islam merupakan sebuah keharusan. Sebab diantara
dua unsur di atas walaupun mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu bila
akal itu mengarah kepada hal-hal intelligible (suatu yang dapat dicerna akal)
yang di upayakan, sedangkan intuyisi mengarah pada hal-hal sensible (dapat di
cerna oleh akal) yang dianugrahkan, akan tetapi merupakan unsure yang sama.
Maksudnya bila akal merupakan salah satu sarana aktivitas jiwa yang tentunya
berkaitan dengan ruh dan qolbu, maka intuisi juga nerupakan hal yang sama.
3)
Proses epistimologis pencapaian makna
Istilah
“makna” difahami al attas sebagai pengenalan masing-masing tempat yang tepat
dari segala sesuatu dalam suatu system yang terjadi. Ketika hubungan antara
sesuatu itu dengan lainnya dengan system menjadi jelas dan mudah difahami.
Makna adalah suatu bentuk citra aqliah (intelligible) yang ditunjukkkan oleh
suatu kata, ungkapan, atau lambang.
Selanjutnya
berhubungan dengan pencapaian suatu makna, unsure manusia adalah elemen yang
menjadi titik sentral di dalamnya. Karena itu manusia di definisikan sebagai
hewan rasio (hayawan al nathiq). Dan rasio adalah di ambi dari kata nathiq,
yang mengacu pada sebuah pengetahuan bawaan yang mampu memahami sebuah makna. Sebenarnya
kajian tentang definisi manusia sebagai hayawan yang berbicara, untuk pertama
kalinya diperkenalkan oleh Socrates(469-399SM).
Eksistensi
manusia mempunyai tingkat tingkat berbeda tergantung pada jangkauan operasi
indra lahir bdan batin, tingkat eksistensi tersebut adalah: pertama,
eksistensi yang real atau nyata, yang merupakan eksistensi pada tingkatan
objektif seperti dunia lahir. Kedua, eksistensi yang dapat di inderadan
terbatas pada komponene-komponen indera serta pengalaman indrawi, termasuk
mimpi, penglihatan batin dan ilusi merupakan pengalaman inderawi dalam
imajinasi ketika objek-objek itu tidak ada dalam persepsi manusia. Ketiga, eksistensi intelektual yang
terdiri atas konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia. Keempat,
eksistensi analog, yang dibentuk oleh hal-hal yang tidak wujud pada tingkat-tingkat
yang telah di sebut diatas, akan tetapi wujud seperti hal yang lain yang
menyerupai hal-hal tertentu atau analog dengannya.
Selain dari
tingkatan yang telah disebutkan diatas, al attas juga mengakui adanya tingkatan
yang lain selain tingkat eksistensi pada tingkat kebenaran yang rasional yakni tingkatan suprarasional atau
transcendental yang dialami oleh para nabi, wali Allah, dan orang-orang bijak
yang amat dalam ilmunya. Tingkatan ini adalah tingkatan eksistensi suci, dimana
semua difahami dengan dengan adanya.
I.
Moralitas dan pendidikan
Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari emikiran manusia
tantang konsep agamanya. Dalam islam dikenal ada istilah din(agama), maka dalam
hal ini yang menjadi kajianpertama adlah konse din itu sendiri sebelum membahas
hal-hal yang lainnya.dan menurut al attas salah satu terminology yang menjadi
sorotan utama adalah yang berkaitan dengan moralitas dan pendidikan yang
menjadi istilah dalam agama.
Dalam konsep agam
setidaknya ada beberapa konsep yang terkandung di dalamnya yaitu:iman(keyaqinan),
islam(kepatuhan) dan ihsan(keterpaduan antara hati dan pikiran dalm perbuatan
yang baik). dan semua ini penggeraknya adalah ilmu.
Dari gambaran yang telah
di sebut diatas, terlihat bahwa penggambaran intelektual Muhammad naquib al
attas merupan sebuah fenomena yang berangkat dari duia metafisis menuju kepada
dunia empiris, dan ini kebalikan dari penggambaran al ghozali. Perbedaan alur
penggambaran ini sangat di pengarui oleh situasi dan kondisi yang di alami dan
di hadapi . bila al attas berada dalam gemerlapan dunia modern yang penuh
dengan kepalsuan, maka al ghozali berada dalam dunia yang dalam kondisi politik
yang tak menentu, dan timbul aliran-aliran yang sesat yang tidak sesui dengan
islam dan agama yang lain.
Pemikiran al attas bila
dilihat secar subtantif termasuk katagori tradisional, jika dianalisis secara
metodologis dia termasuk skripturalis, dan jika di tinjau secara historis maka
tercakaup dalam tipologi modernis. Maka dari itu sangat sulut bagi kita untuk
menentukan tipologi pemikirannya. Akan tetapi menurit penulis, al attas
merupakan ilmuan yang termasuk tipologi reformis skriptualis. Meskipun
pemikiran al attas mendasar pada tek-tek klasik, namun ia telah melakukan
aktualisasi dan reformasi agar sesua dengan konteks era kontemporer (kekinian).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Muhammad.
Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir 5 Juli 1931 di Bogor,
Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak hingga ribuan tahun kebelakang
melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah
yang sampai kepada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad Saw.
Diantara
leluhurnya menjadi wali dan ulama. Salah seorang diantaranya adalah Syekh
Muhammad Al-‘Aydarus (dari pihak ibu), guru dan pembimbing ruhani Syekh Abu
Hafs ‘Umar ba Syaiban dari Hadramaut, yang mengantarkan Nur Al-din Al-Raniri,
salah seorang Alim ulama terkemuka di dunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyyah.
Ibunda Syekh M. Naquib, yaitu Syarifah Raquan Al-‘aydarus, yang bersal dari
Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan ningrat Sunda di Sukapura.
dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang
dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia
universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang
bercirikan: manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi
kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada
Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi
keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam
kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang
bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam
mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Konsep pendidikan Al-Attas tidak
memungkiri adanya perencanaan yang mapan dalam memulai proses pendidikan Islam,
karena dengan perencanaan inilah akan tergambar suatu hasil yang akan dicapai
oleh pendidikan. Selain itu, setiap unsur yang terlibat dalam pendidikan harus
saling melengkapi dan bersifat kooparations.
Perbedaan konsep pendidikan yang
digunakan Al-Attas dengan tokoh pendidikan Islam yang lainya adalah ta’dib
dalam terminologi pendidikan. Ta’dib, yaitu rangkaian pendidikan untuk
membentuk manusia menjadi manusia universal (insan khamil). Tujuan ini sesuai
dengan proto tipe penciptaan manusia untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT.,
dan menjadi khalifah Allah di bumi yang mampu menjalankan fungsinya dengan
memanfaatkan segenap potensiyang ada pada diri manusia. Tujuan ini akan
tercapai dengan mudah apabila manusia mengetahui hakikat diri manusia itu
sendiri.
Relevansi konsep pendidikan yang
digagaskan oleh Al-Attas ini sangat relevan (up to date) untuk mengantisipasi
tantangan internal dan eksternal. Dalam kondisi kemerosotan identitas (citra)
pendidikan Islam yang telah terkontaminasi oleh paham sekuler dari Barat yang
menghilangkan keterlibatan unsur ketuhanan (religius) dalam proses pendidikan
yang sesungguhnya. Keadaan seperti ini, kalau tidak ditindak lanjuti sedini
mungkin akan dapat membawa bahaya kehancuran aspek aqidah (kepercayaan) umat
Islam sendiri.
Realisasi konsep pendidikan Al-Attas
yang berdasarkan ta’dib, mengikut sertakan niat yang utama sebagai ibadah
kepada Allah semata, bukan tujuan yang lain seperti motivasi keduniawian.
Pendidikan merupakan proses yang harus dijalan secara dinamis dan update
seiring perkembangan zaman “life long education” (pendidikan sepanjang hayat)
yang tidak ada batasan untuk mempelajarinya, baik yang tersurat maupun yang
tersirat. Untuk mencapai tujuan pendidikan seperti itu, maka sangat penting
peran literaur (perpustakaan) sebagai sandaran keabsahan setiap bidang keilmuan
(ilmu agama/umum).
DAFTAR PUSTAKA
·
Syamsul
Hady, Pemikiran Pendidikan Islam, 2011
·
Saiful
Muzani. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib
Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, 1991.
·
Ismail
Raji Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyuddin, Bandung:
Pustaka. 1984.
·
Naquib
Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan
Islam, terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan. 1994.
·
Naquib
Al Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Alih bahasa: Haidar Bagir,
disunting oleh Jalaludi Rahmad, Penerbit Mizan. Bandung. Cet. 1. 1984.
·
Hamid
Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Islamia,
majalah pemikiran dan peradaban Islam Thn II No 5, April-Juni 2005, p. 11-12
·
Muhaimin,
Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, Pengembangan
kurikulum, hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung : Nuansa,
2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar