Rabu, 10 April 2013

KAJIAN ETIKA, MORAL, DAN NILAI



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Etika sebagai pemikiran kritis dan mendasar mengenai pandangan dan ajaran moral agar manusia memiliki arah sekaligus aturan tentang bagaimana menjalani kehidupan sejalan dengan tujuan hidup bermasyarakat. Etika, moral dan nilai adalah tiga hal dengan segala bentuk implikasi perilaku dan aturan yang ada di sekitar kita, keberadaan ketiganya pun memunculkan hal-hal yang patut dikaji secara teori yang telah dimunculkan sebagai wujud pengembangan nilai sebagai hasil maupun tolak ukur dari etika dan moral.
Beberapa  alasan,  baik  normatif  maupun  objektif,  yang  dapat  digunakan untuk menjelaskan relevansi dan makin pentingnya etika, moral, dan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar inilah perlu adanya kajian tentang etika, moral, dan nilai berdasarkan pada teori-teori yang sudah ada.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kajian teori tentang Etika ?
2.      Bagaimana kajian teori tentang Moral ?
3.      Bagaimana kajian teori tentang Nilai ?
1.3  Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui kajian teori tentang Etika
2.    Untuk mengetahui kajian teori tentang Moral
3.    Untuk mengetahui kajian teori tentang Nilai
1.4  Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan segala bentuk sumber dan literature yang berhubungan dengan materi kemudian menyusunnya menjadi sebuah susunan secara sistematis tanpa mengurangi redaksi sedikitpun.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Teori Tentang Etika
Etika memiliki makna berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah tersebut.
1.      Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
2.      Bagi  sosiolog,  etika  adalah  adat,  kebiasaan  dan  perilaku orang-orang  dari lingkungan budaya tertentu.
3.      Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspektasi) profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional, dan terhormat.
4.      Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
5.      Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersama dan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).
1.  Meta-Etika (Studi Konsep Etika).
Meta-Etika sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa. Dalam meta-etika, tindakan atau peristiwa yang dibahas dipelajari berdasarkan hal itu sendiri dan dampak yang dibuatnya. Sebagai contoh,"Seorang anak menendang bola hingga kaca jendela pecah." Secara  meta-etis,  baik-buruknya  tindakan  tersebut  harus  dilihat  menurut  sudut pandang  yang  netral.  Pertama,  dari  sudut  pandang  si  anak,  bukanlah suatu kesalahan apabila ia menendang bola ketika sedang bermain, karena memang dunianya (dunia anak-anak) memang salah satunya adalah bermain, apalagi ia tidak sengaja melakukannya. Akan tetapi kalau dilihat dari pihak pemilik jendela, tentu ia akan mendefinisikan hal ini sebagai kesalahan yang telah dibuat oleh si anak. Si pemilik jendela berasumsi demikian karena ia merasa dirinya telah dirugikan. Bagaimanapun  juga  hal-hal  seperti  ini  tidak  akan  pernah  menemui kejelasannya hingga salah satu pihak terpaksa kalah atau mungkin masalah menjadi berlarut-larut. Mungkin juga kedua pihak dapat saling memberi maklum. Menyikapi persoalan-persoalan yang semacam inilah, maka meta-etika dijadikan bekal awal
dalam mempertimbangkan suatu masalah, sebelum penetapan hasil pertimbangan dibuat.
2.    Etika Normatif (Studi Penentuan Nilai Etika).
Etika  yang  menetapkan  berbagai  sikap  dan  perilaku  yang  ideal  dan seharusnyadimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dantindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma  yang  dapat  menuntun  agar  manusia  bertindak  secara  baik  dan menghindarkan  hal-hal  yang  buruk,  sesuai  dengan  kaidah  atau  norma  yang disepakatidan berlaku di masyarakat.
3.      Etika Terapan (Studi Penggunaan Nilai-Nilai Etika).
Etika terapan memberi pemahaman tentang spektrum bidang terapan etika
sekaligus  menunjukkan bahwa  etika  merupakan pengetahuan  praktis.  Berbagai bidang  terapan  di  antaranya  adalah  bidang  kesehatan,  tanggung-jawab  sosial perusahaan  atau  yang  biasa  dikenal  dengan  istilah  Inggris  Corporate  Social Responsibility (CSR), pengolahan tanah, dan masih banyak lainnya.[1]

Dalam referensi lain disebutkan bahwa Etika sebagai ilmu tentang moralitas, juga dapat dianggap sebagai ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral manusia. Di dalam perkembangannya etika dibedakan menjadi etika deskriptif, etika normatif dan metaetika. Dalam bagian ini akan dibahas dahulu pembagian etika dan kemudian dibahas tentang etika terapan.
a.       Etika Deskriptif
Etika deskriptif memberikan gambaran tentang tingkah laku moral dalam arti yang luas, seperti berbagai norma dan aturan yang berbeda dalam suatu masyarakat atau individu yang berada dalam kebudayaan tertentu atau yang berada dalam kurun atau periode tertentu. Norma atau aturan tersebut ditaati oleh individu atau masyarakat yang berasal dari kebudayaan atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, masayarakat Jawa mengajarkan bertatakrama terhadap orang yang lebih tua dengan menghormatinya, bahkan dengan sapaan yang halus merupakan ajaran yang harus diterima.
Apabila seseorang menolak melakukan hal itu, maka masyarakat menganggapnya aneh, ia dianggap bukan orang Jawa. Norma-norma tersebut berisi ajaran atau semacam konsep etis tentang yang baik dan tidak baik, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, etika deskriptif mengkaji berbagai bentuk ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan “yang baik” dan “yang buruk”. Ajaran tersebut lazim diajarkan oleh para pemuka masyarakat pada masyarakatnya ataupun individu tertentu dan nampaknya sering terdapat pada suatu kebudayaan manusia. Mempelajari etika orang Jawa ataupun etika orang Bugis adalah suatu contoh dari bentuk etika deskriptif.
b.      Etika Normatif
Bagian yang dianggap penting dalam studi etika adalah etika normatif. Mengapa? Karena ketika mempelajari etika normatif muncul berbagai studi atau kasus yang berkaitan dengan masalah moral. Etika normatif merupakan etika yang mengkaji tentang apa yang harus dirumuskan secara rasional dan bagaimana prinsip-prinsip etis dan bertanggung jawab itu dapat digunakan oleh manusia. Di dalam etika normatif hal yang paling menonjol adalah munculnya penilaian tentang norma-norma tersebut. Penilaian tentang norma-norma ter-sebut sangat sangat menentukan sikap manusia tentang “yang baik’ dan “yang buruk”. Dalam mempelajari etika normatif, dijumpai etika yang bersifat umum dan etika yang bersifat khusus. Etika umum memiliki landasan dasar seperti norma etis/norma moral, hak dan kewajiban, hati nurani, dan tema-tema itulah yang menjadi kajiannya. Sedang etika khusus berupaya menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas perilaku manusia yang khusus. Lama kelamaan etika khusus tersebut berkembang menjadi etika terapan (applied etics).
Etika khusus mengembangkan dirinya menjadi etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Sedang etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia atau masyarakat. Bentuk etika social yang diterapkan pada berbagai bentuk memunculkan kajian-kajian mengenai etika keluarga, etika profesi (etika biomedis, etika perbankan, etika bisnis dan sebagainya), etika politik, etika lingkungan hidup.
c.       Metaetika
Metaetika adalah kajian etika yang membahas tentang ucapan-ucapan ataupun kaidah-kaidah bahasa aspek moralitas, khususnya yang berkaitan dengan bahasa etis (yaitu bahasa yang digunakan dalam bidang moral). Kebahasaan seseorang dapat menimbulkan penilaian etis terhadap ucapan mengenai “yang baik” dan “yang buruk” dan kaidah logika. Sebagai contoh, sebuah tayangan iklan obat-obatan dengan merk tertentu pada televisi swasta sering menyesatkan banyak orang dengan slogan-slogan yang mengajurkan untuk minum obat tertentu dengan khasiat semua penyakit yang diderita akan hilang dan orang menjadi sehat kembali. Slogan-slogan tersebut sangat berlebihan dan ketika orang mulai mengkritik slogan tersebut, maka dimunculkan oleh sekelompok produsen, yaitu ucapan etis. Ucapan etis itu berbunyi: “jika sakit berlanjut maka hubungi dokter”. Ucapan etis tersebut seakan menjadi semacam perilaku moral yang baik yang dihadirkan oleh sekelompok produsen dan disampaikan agar masyarakat menjadi lebih “bijaksana” dalam meminum obat tersebut.
d.      Etika Terapan.
Etika terapan (applied ethics) adalah studi etika yang menitikberatkan pada aspek aplikatif atas dasar teori etika atau norma yang ada. Etika terapan muncul akibat perkembangan yang pesat dari etika dan kemajuan ilmu lainnya. Sejak awal Abad XX, etika terapan menjadi suatu studi yang menarik dan kontemporer, karena terlibatnya berbagai bidang ilmu lain (ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu keperawatan dan sebagainya) dalam mengkaji etika. Disebut sebagai terapan karena sifat etika yang praktis, yaitu memperlihatkan sisi kegunaannya. Sisi kegunaan itu berasal dari penerapan teori dan norma etika ketika berada pada perilaku manusia. Sebagai ilmu praktis, etika bekerja sama dengan bidang ilmu lain dalam melihat prinsip yang baik dan yang buruk. Penyelidikan atau kajian etika terapan meliputi dua wilayah besar, yaitu kajian yang menyangkut suatu profesi dan kajian yang berkaitan dengan suatu problem atau masalah. Kajian tentang profesi berarti membahas etika terapan dari sudut profesi tertentu, misalnya etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, etika keperawatan.
 Etika terapan yang menyoroti tentang berbagai masalah atau problem misalnya pencemaran lingkungan hidup menimbulkan kajian tentang etika lingkungan hidup; pembuatan, pemilikan dan penggunaan senjata nuklir menimbulkan kajian tentang etika nuklir; deskriminasi terhadap berbagai bentuk (ras, agama, gender, warna kulit, dan lain-lain) menyebabkan munculnya studi tentang hal itu (misal etika feminisme, etika multikultural). Jadi jelaslah bahwa etika terapan yang berkaitan dengan problem atau masalah tersebut sangat diminati oleh masyarakat modern saat ini karena topiknya sangat relevan dan aktual dengan kehidupan modern dan kontemporer.
Bertens merumuskan kata etika sebagai berikut:
a.       Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma- norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini bisa dirumuskan sebagai sistem nilai. Sistem nilai bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
b.      Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik.
c.       Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk.
Faktor-faktor yang melandasi etika adalah meliputi hal tersebut dibawah ini:
a.       Nilai-nilai atau value.
b.      Norma.
c.       Sosial budaya, dibangun oleh konstruksi sosial dan dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
d.      Religius
1)   Agama mempunyai hubungan erat dengan moral.
2)   Agama merupakan motivasi terkuat perilaku moral atau etik.
3)   Agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma etis yang paling penting.
4)   Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para anggotanya.
e. Kebijakan atau policy maker, siapa stake holders nya dan / bagaimanakebijakan yang dibuat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun kode etik.[2]
Teori Etika
1.      Teori Teleleologi.
Teori teleleologi disebut juga  teori konsekuensialis, menyatakan bahwa nilai moral   suatu   tindakan   ditentukan   semata-mata   oleh   konsekuensi tindakan tersebut. Benar atau salahnya tindakan ditentukan oleh hasil atau akibat dari tindakan tersebut.Teori Teleleologi yang sangat menonjol adalah utilitarianisme.Bentuk klasik utilitarianisme dinyatakan sebagai berikut: “ Suatu tindakan adalah benar jika dan hanya jika tindakan itu menghasilkan selisih terbesar kesenangan di atas kesedihan bagi setiap orang.”Utilitarianisme mencakup empat prinsip, yaitu Konsekuensialisme, Hedonisme, Maksimalisme, dan Universalisme.
2.      Teori Deontologi
Teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan  baik  jika  didasari  atas  pelaksanaan  kewajiban,  jadi  selama  melakukan kewajiban   berarti   sudah   melakukan   kebaikan. Deontologi   tidak   terpaku   pada hukuman terhadap pelaku kesalahan. Berdasarkan konsep Egalitarian (John Rawls), keadilan diartikan sebagai kewajaran (fairness). Keadilan menurut Egalitarian didasarkan pada 2 prinsip, yaitu:
a. Setiap orang memiliki kebebasan yang sama.
b. Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa.
     Kedua  prinsip di atas disusun menurut urutan prioritas artinya menjalankan  prinsip a dahulu, baru kemudian dapat menerapkan prinsip  b.
3.      Kepedulian
       Etika   Kepedulian   meliputi   jenis-jenis   kewajiban   yang   disebut   etika komunitarian.  Etika Komunitarian melihat komunitas dan hubungan komunal konkret memiliki nilai fundamental yang harus dilestarikan dan dibina.[3]
2.2 Kajian Teori Tentang Moral
Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pakar perkembangan anak mempelajari tentang bagaimana anak-anak berpikir, berperilaku dan menyadari tentang aturan-aturan tersebut. Minat terhadap bagaimana perkembangan moral yang dialami oleh anak membuat Piaget secara intensif mengobservasi dan melakukan wawancara dengan anak-anak dari usia 4-12 tahun.
Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja:
  1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
  2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka. Antara lain:
Heteronomous Morality
  1. Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
  2. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
  3. Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
  4. Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
  5. Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
  6. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
  7. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
Autonomous Morality
  1. Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya
  2. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
  3. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
  4. Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. Untuk memperjelas teori Piaget yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.[4]


Tabel Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Piaget
Umur
Tahap
Ciri Khas
4-7 tahun
7-10 tahun
11 tahun
Ke atas
Realisme moral
(pra operasional)
Masa transisi (konkret-operasional)
Otonomi moral, realisme dan resiprositas (formal operasional)
1. Memusatkan pada akibat-akibat perbuatan
2. Aturan-aturan tak berubah
3. Hukuman atas pelanggaran bersifat otomatis
Perubahan secara bertahap ke pemilikan moral tahap kedua
1.Mempertimbangkan tujuan-tujuan perilaku moral
2.Menyadari bahwa aturan moral adalah kesepakatan tradisi yang dapat berubah
Konsep moral;
  • peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan anggota kelompok atau anggota suatu budaya
  • Peraturan perilaku yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.
Pola perkembangan moral;
  • Bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral, sehingga dianggap amoral atau non-moral.
  • aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan (teori psikoanalisa dan teori belajar).
ü  Menurut Teori Psikoanalisa;
Perkembangan moral adalah proses internalisasi norma-norma masyarakat dan kematangan organic-biologik. Seseorang telah mengembangkan aspek moral bila telah menginternalisasikan aturan-aturan atau kaidah-kaidah  kehidupan di dalam masyarakat, dan dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang terus menerus, atau dengan kata lain telah menetap. Menurut teori psikoanalisa perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat.dan sebagai kematangan dari sudut organic-biologik.
ü  Menurut teori Psikologi Belajar
perkembangan moral dipandang sebagai hasil rangkaian stimulus-respons yang dipelajari oleh anak, antara lain berupa hukuman (punishment) dan pujian (reward) yang sering dialami oleh anak.
Konsep ke dua teori (psikoanalisa dan psikologi belajar), tentang proses perkembangan moral adalah bahwa seseorang telah mengalami perkembangan moral apabila ia memperlihatkan adanya perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang ada di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain perkembangan moral berkorelasi dengan kemampuan penyesuaian diri individu.
v  Menurut Piaget dan Kohlberg;
Menurut Piaget dan Kohlberg perkembangan moral berkorelasi dengan perkembangan kecerdasan individu, sehingga seharusnya bila perkembangan kecerdasan telah mencapai kematangan, maka perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangan.
1.    Teori  Piaget
Perkembangan moral berlangsung dalam 2 (dua) tahap, yaitu:
a)    Tahap Realisme Moral à Moralitas oleh pembatasan (<12thn):
-          Usia 0 – 5 tahun: pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran / penilaian. Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya.
-          Usia 7/8 – 12 tahun: pada tahap ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan. Konsep  tentang benar/salah mulai dimodifikasi (lebih luwes / fleksibel). Konsep tentang keadilan mulai berubah.
b)   Tahap Operasional Formal à Moralitas dengan analisis (> 12th):
-          Anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan masalah.
-          Anak bernalar atas dasar hipotesis dan dalil à melihat masalah dari berbagai sudut pandang
2.    Teori Lawrence Kohlberg
Menurut Kholberg Ketika dilahirkan, anak belum dan tidak membawa aspek moral. Kohlberg juga berpendapat, bahwa aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan dikembangkan
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-bangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral (moral behavior).
Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg. Tahap-tahap perkembangan moral terdiri dari 3 tingkat, yang masing-masing tingkat terdapat 2 tahap, yaitu:
a)    Tingkat Pra Konvensional (Moralitas Pra-Konvensional) à perilaku anak tunduk pada kendali eksternal:
    • Tahap 1:  Orientasi pada kepatuhan dan hukuman à anak melakukan sesuatu agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak mendapat hukuman (punishment)
    • Tahap 2:  Relativistik Hedonism à anak tidak lagi secara mutlak tergantung aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relative, dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. Menurut Mussen, dkk. Orientasi moral anak masih bersifat individualistis, egosentris dan konkrit.
b)   Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional) à fokusnya terletak pada kebutuhan social (konformitas).
    • Tahap 3: Orientasi mengenai anak yang baik à anak memperlihatkan perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.
    • Tahap 4:  Mempertahankan norma2 sosial dan otoritas à menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.
c)    Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional) à individu mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren.
    • Tahap 5: Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya à pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingk sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma social, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat.
    • Tahap  6: Prinsip Universal à pada tahap ini ada norma etik dan norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya: dalam hubungan antara seseorang dengan masyarakat ada unsure-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan/perilaku itu baik/tidak baik; bermoral/tidak bermoral. Disini dibutuhkan unsur etik/norma etik yang sifatnya universal sbg sumber utk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.[5]
Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.[6]
Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
1.      Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1, Orientasi kepatuhan dan hukuman. Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.
Tahap 2, Memperhatikan Pemuasan kebutuhan. Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
2.      Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial. Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik. Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman. Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak. Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan. Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan. Hukum harus ditaati oleh semua orang.
3.      Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi. Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan. Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial. Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu.
Tahap 6.Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika Maksudnya, Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.
2.3    Kajian Teori Tentang Nilai
Dalam membentuk tipologi dari nilai-nilai, Schwartz mengemukakan teori
bahwa nilai berasal dari tuntutan manusia yang universal sifatnya yang direfleksikan dalam kebutuhan organisme, motif sosial (interaksi), dan tuntutan institusi sosial . Ketiga hal tersebut membawa implikasi terhadap nilai sebagai sesuatu yang diinginkan. Schwartz menambahkan bahwa sesuatu yang diinginkan itu dapat timbul dari minat kolektif (tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan prioritas pribadi / individual (power,achievement,hedonism,stimulation, self-direction), atau kedua-duanya (universalism, security). Nilai individu biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh suatu kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu (misalnya pengasuhan orang tua, agama, kelompok tempat kerja) atau melalui pengalaman pribadi yang unik.
Nilai sebagai sesuatu yang lebih diinginkan harus dibedakan dengan yang hanya ‘diinginkan’, di mana ‘lebih diinginkan’ mempengaruhi seleksi berbagai modus tingkah laku yang mungkin dilakukan individu atau mempengaruhi pemilihan tujuan akhir tingkah laku. ‘Lebih diinginkan’ ini memiliki pengaruh lebih besar dalam mengarahkan tingkah laku, dan dengan demikian maka nilai menjadi tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
Sebagaimana terbentuknya, nilai juga mempunyai karakteristik tertentu untuk berubah.  Karena  nilai  diperoleh  dengan  cara  terpisah,  yaitu  dihasilkan  oleh pengalaman budaya, masyarakat dan pribadi yang tertuang dalam struktur psikologis individu, maka nilai menjadi tahan lama dan stabil. Jadi nilai memiliki kecenderungan untuk menetap, walaupun masih mungkin berubah oleh hal-hal tertentu. Salah satunya adalah bila terjadi perubahan sistem nilai budaya di mana individu tersebut menetap.


Fungsi utama dari nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.  Nilai sebagai standar), fungsinya ialah:
1)  Membimbing individu dalam mengambil posisi tertentu dalam social issues tertentu.
2)  Mempengaruhi individu untuk lebih menyukai ideologi politik tertentu dibanding ideologi politik yang lain.
3)  Mengarahkan cara menampilkan diri pada orang lain.
4)  Melakukan evaluasi dan membuat keputusan.
5)  Mengarahkan tampilan tingkah laku membujuk dan mempengaruhi orang lain, memberitahu individu akan keyakinan, sikap, nilai dan tingkah laku individu lain yang berbeda, yang bisa diprotes dan dibantah, bisa dipengaruhi dan diubah.
b. Sistim nilai sebagai rencana umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan. Situasi tertentu secara tipikal akan mengaktivasi beberapa nilai dalam sistim nilai individu. Umumnya nilai-nilai  yang  teraktivasi  adalah  nilai-nilai yang  dominan  pada  individu  yang bersangkutan.
c.   Fungsi motivasional
Fungsi langsung dari nilai adalah mengarahkan tingkah laku individu dalam situasi   sehari-hari,   sedangkan   fungsi   tidak   langsungnya   adalah   untuk mengekspresikan   kebutuhan   dasar   sehingga   nilai   dikatakan   memiliki   fungsi motivasional.  Nilai  dapat  memotivisir  individu  untuk  melakukan  suatu  tindakan tertentu, memberi arah dan intensitas emosional tertentu terhadap tingkah laku. Hal ini didasari oleh teori yang menyatakan  bahwa  nilai  juga  merepresentasikan  kebutuhan (termasuk  secara biologis) dan keinginan, selain tuntutan sosial.
d.  Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
Dari definisinya, nilai adalah keyakinan sehingga   pembahasan   nilai   sebagai   keyakinan   perlu   untuk memahami keseluruhan teori nilai, terutama keterkaitannya dengan tingkah laku. Nilai itu sendiri merupakan keyakinan yang tergolong preskriptif atau proskriptif, yaitu beberapa cara atau akhir tindakan dinilai sebagai diinginkan atau tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan definisi dari Allport bahwa nilai adalah suatu keyakinan yang melandasi  seseorang  untuk  bertindak  berdasarkan  pilihannya. Dikemukakan bahwa  keyakinan, dalam  konsep Rokeach,  bukan hanya pemahaman  dalam  suatu  skema  konseptual, tapi  juga predisposisi untuk bertingkah laku yang sesuai dengan perasaan terhadap obyek dari keyakinan tersebut.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, nilai-nilai seseorang akan tampak dalam beberapa indikator:
a. Berkaitan dengan definisi nilai sebagai cara bertingkah laku dan tujuan akhir tertentu, maka indikator pertama adalah pernyataan tentang keinginan-keinginan, prinsip hidup dan tujuan hidup seseorang.
b. Indikator berikutnya adalah tingkah laku subyek dalam kehidupannya sehari-hari. Nilai berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bertingkah laku, memberi arah pada  tingkah  laku  dan  memberi  pedoman  untuk  memilih  tingkah  laku  yang diinginkan. Jadi tingkah laku seseorang mencerminkan nilai-nilai yang dianutnya. Dari  tingkah  laku dapat dilihat apa  yang  menjadi prioritasnya,  apa  yang  lebih diinginkan oleh seseorang.
c. Fungsi  nilai  adalah  memotivasi  tingkah  laku.  Seberapa  besar  seseorang berusaha  mencapai  apa  yang  diinginkannya  dan  intensitas  emosional  yang diatribusikan terhadap usahanya tersebut, dapat menjadi ukuran tentang kekuatan nilai yang dianutnya.
d. Salah satu fungsi dari nilai adalah dalam memecahkan konflik dan mengambil keputusan. Dalam keadaan-keadaan dimana seseorang harus mengambil keputusan dari situasi yang menimbulkan konflik, nilainya yang dominan akan teraktivasi. Jadi, apa keputusan seseorang dalam situasi konflik tersebut dapat dijadikan indikator tentang nilai yang dianutnya.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
1.  Etika terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu sebagai berikut:
v  Meta-etika (studi konsep etika), sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa.
v  Etika normatif      (studi penentuan nilai etika), etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini.
v  Etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika), memberi pemahaman tentang spektrum bidang terapan etika sekaligus menunjukkan bahwa etika merupakan pengetahuan praktis.
2.  Kajian moral berkaitan dengan peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan anggota kelompok atau anggota suatu budaya serta peraturan perilaku yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok. Ketika dikhususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :
Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional. Terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 1, Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Tahap 2, Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Tingkat Dua : Moralitas Konvensional. Terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional. Terdapat 2 tahap yaitu :
Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika
3.  Nilai  adalah  sesuatu  yang  berharga,  bermutu,  menunjukkan  kualitas,  dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Fungsi utama dari nilai (1)Nilai sebagai standar (2) Sistim nilai sebagai rencana
umum dalam memecahkan konflik dan pengambilan keputusan (3) Fungsi motivasional (4) Nilai Sebagai Keyakinan (Belief)
















DAFTAR RUJUKAN

v  Lubis, satria hadi. 2011. STAN : Etika Profesi PNS
v  Muba, wang. 2009. Artikel : Teori Perkembangan Moral Piaget Zubair, charis achmad, 1987. Kuliah Etika. Jakarta : PT Raja Gravinda Prasada


[1] Lubis, satria hadi. 2011. STAN : Etika Profesi PNS hlm 32
[2] Zubair, charis achmad, 1987. Kuliah Etika. Jakarta : PT Raja Gravinda Prasada
[3] Lubis, satria hadi. 2011. STAN : Etika Profesi PNS hlm 59
[4] Muba, wang. 2009. Artikel : Teori Perkembangan Moral Piaget
[7] Lubis, satria hadi. 2011. STAN : Etika Profesi PNS hlm 74

2 komentar: