Kamis, 18 April 2013

KEBERAGAMAAN ORANG LANJUT USIA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dalam dirinya.
Sedangkan pengertian agama merupakan sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang harus dipatuhi, kekuatan ghaib itu menguasai manusia, dan mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia. Agama dapat pula berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.
Perbedaan usia manusia akan mempengaruhi bagaimana manusia dalam meyakini sebuah agama. Dari usia yang dini manusia belum mengenal agama, sedangkan masa dewasa manusia telah menemukan kebenaran sebuah agama, dan pada usia lanjut usia manusia juga akan mengalami perubahan dalam meyakini agama. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang perkembangan agama pada masa usia lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
1.          Bagaimana Pengertian masa usia lanjut ?
2.          Bagaimana perlakuan terhadap  usia lanjut menurut islam ?
3.          Bagaimana perkembangan agama pada masa usia lanjut ?
1.3  Tujuan Masalah
1.         Untuk dapat mengerti dan memahami pengertian masa usia lanjut
2.         Untuk dapat mengerti dan memahami perlakuan terhadap  usia lanjut menurut islam
3.         Untuk mengetahui dan memahami perkembangan agama pada masa usia lanjut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian Masa Usia Lanjut
            Pada perkembangan usia remaja Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga,yaitu: masa dewasa awal, masa dewasa madya, masa usia lanjut. Klasifikasi yang senada juga  diyngkap oleh Lewis Sherril yang membagi masa remaja sebagai berikut: pertama, masa dewasa awal, masa ini remaja ada kecenderungan memilih arah hidup dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan. Kedua, masa dewasa tengah, pada masa ini sudah mulai menghadapin tantangan hidup. Pada masa ini adalah masa dimana sudah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi  dasar dalam membuat keputusan yang konsisten. Ketiga, masa dewasa akhir yang ciri  utamanya adalah pasrah.[1]
            Para ahli psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Sacara garis besarnya terbagi menjadi : 1). Masa pernatal. 2). Masa bayi, 3). Masa kanak-kanak, 4).Masa prapubertas. 5). Masa pubertas (remaja), 6). Masa dewasa, dan 7). Masa usia lanjut. Setipa masa perkembangan memiliki ciri-ciri sendiri, terutama perkembangan jiwa keagamaan.
            Usia lanjut juga disebut periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan dan bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut: perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dan fungsi psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan. Ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk daripada yang baik dan kepada kesengsaraan daripada kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih ditakuti daripada usia madya dalam kebudayaan Amerika.
            Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tersebut, maka dalam  kaitannya dengan  perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.[2]
2.1.1        Macam-Macam Kebutuhan Yang Dialami Manusia
Dalam bukunya pengantar psikologi kriminil Drs. Gerson W. Bawengan , S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan pembagian yang dikemukakan oleh J.P Guilford sebagai berikut :
a.       Kebutuhan Individual
1.      Homeostatis, yaitu kebutuhan yang di tuntut tubuh dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil, dan harmonis. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan tubuh akan zat, protein, air, garam, mineral, vitamin, oksigen, dll.
2.      Regulasi temperature adalah  penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi kebutuhan akan perubahan temperature badan. Pusat pengaturannya berada di bagian otak yang disebut bypothalmus.
3.      Tidur, merupakan kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gangguan halusinasi.
4.      Lapar adalah kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan energy tubuh sebagai organis.
5.      Seks, sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan mempertahankan jenis.
6.      Melarikan diri, yaitu kebutuhan manusia akan perlindungan keselamatan jasmani dan rohani.
7.      Pencegahan, yaitu kebutuhan menusia untuk mencagah terjadinya reaksi melarikan diri.
8.      Ingin tahu ( curiocity ), kebutuhan rohani menusia untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehiudupannya.
9.      Humor, yaitu kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban kejiwaan yang dialami nya dalam bentuk verbal dan perbuatan.[3]
b.      Kebutuhan social
                            Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari :
1.      Pujian dan binaan
Kedua unsur ini merupakan factor yang menentukan dalam pembentukan system moral manusia.
2.      Kekuasaan dan mengalah
Kebutuhan ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tek henti-henttinya dalam kehidupan.
3.      Pergaulan
Kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai makhluk bermasyarakat ( homo socius ) dan makhluk yang berorganisasi ( zon politicon ).
4.      Imitasi dan simpati
Kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk maniru dan mengadakan respon emosinil.
5.      Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan social yang terdapat pada setiap individu.[4]
6.      Kebutuhan manusia akan agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama. Dalam sejarah agama islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi ( fitrah ) yang di bawa sejak lahir. Salah satu fitrah etrsebut adalah kecenderungan terhadap agama.
Karena adanya fitrah ini, maka manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama.Manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan.Hal semacam ini terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, baik masyarakat modern, pramodern, maupun masyarakat primitif.
2.1.2 Sikap Keberagamaan Pada Orang Dewasa
Dengan berakhirnya masa remaja, maka berakhir pulalah kegoncangan-kegoncangan jiwa yang menyertainya pertumbuhan remaja itu. Yang berarti bahwa orang yang telah melewati usia remaja, mempunyai ketenteraman jiwa, ketetapan hati, dan kepercayaan yang tegas, baik dalam bentuk positif, maupun negative.[5]
Charlotte buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode prapubertas, periode pubertas, dan periode adolesen dengan semboyan yang merupakan batin mereka.
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang dewasa.Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap system nilai yang dipilihnya, baik system nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan sorang di usia dewasa sulit untuk di ubah. Jikapun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah di dasarkan pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, jika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-nilai non-agama, itupun akan di pertahankannya sebagai pandangan hidupnya. Kemungkianan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang anti-agama. Bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap anti-agama seperti itu di perlihatkannya dalam bentuk sikap menolak hingga ke tindakan memusuhi agama yang di nilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang mereka pilih di jadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka. Sikap keberagaan ini akan di pertahankan sebagai identitas dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut. Sehingga, tak jarang sikap keberagamaan ini dapat menimbulkan ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena itu, sikap keberagamaan seorang dewasa cenderung di dasarkan atas pemilihan terhadap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas dasar pertimbangan akal sehat.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2.      Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3.      Bersifat positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4.      Tingkat ketaatan beragama di dasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
5.      Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6.      Bersikap lebih kritis terhadap meteri ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7.      Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, mamahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya.
8.      Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social keagamaan sudah berkembang.

2.2Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
            Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa unur menunggu datangnya kematian.
Gejala psikologis yang ditampilkan manusia usia senja ini adalah berupa pernyataan-pernyataan kontraversial dan kritik terhadap hasil kerja generasi muda. Mereka seakan sulit untuk mengemukakan pujian terhadap sukses maupun prestasi yang dicapai oleh generasi muda ini dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, kelompok usia ini sulit hidup akur dan berdampingan dengan generasi muda. Ada semacam kecenderungan dalam diri mereka untuk senantiasa dipuji dan dibanggakan.
Di lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka di panti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena disibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab, umumnya para orang tua yang tinggal di lingkungan keluarga berada dalam kesendirian. Sedangkan di lingkungan panti jompo mereka selain dirawat juga dapat berkumpul dengan teman-teman sebaya, sesama manusia berusia lanjut. Dan dengan pernyataan adanya ikatan anak dan bapak, biasanya anak-anak mereka berkunjung pada kesempatan yang memungkinkan, seperti ketika hari libur.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Dalam konsep islam, perlakuan terhadap menusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut di bebankan kepada anak-anak mereka, bahkan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yamg sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang tua, Allah berfirman : “Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekal-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” ( QS.17:23). Dan firman Allah yang lain, yaitu:Kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku waktu kecil.”
Pada penjelasan di atas tergambar bagaiman perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam. Manusia usia lanjut di pandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharan dan perawatan serta perhatian khusu dengan penuh kasih sayang.perlakuan yang demikian itu tidak dapat di wakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang di nilai sebagai kebaktian.Sebaliknya, perlakuan yang tercela di nilai sebagai kedurhakaan.[6]
2.3Perkembangan Agama Pada Masa Usia Lanjut
            Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M. argyle mengutip sejumlah penelitian yang di lakukan oleh cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel berusia antara 60-100 tahun.Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk menerima pendapat keagaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan pengakuan terhadap realitas terhadap kehidupan akhirat baru muncul sampai 100 persen setelah usia 90 tahun.
            Menganalisis hasil penelitian M. Argyle dan Elie A. Cohen, Robert H.Thouless cenderung berkesimpulan bahwa yang menetukan berbagai sikap keagamaan di umur tua diantaranya adalah depersonalisasi. Kecenderungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya akan datang kematian merupakan salah satu factor yang menetukan berbagai sikap keagamaan di usia lanjut.
            Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis besarnya ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesame manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi ( akhirat ).
2.4 Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
            Kematangan beragama merupakan sebuah proses panjang yang dilalui seseorang dalam menemukan hakikat kebenaran yang ia yakini, yaitu melalui proses konversi agama pada diri seseorang. Sehingga dalam beragama mereka menemukan kematangan dan kemantapan dalam beragama. Kematangan atau kedewasaan dalam beragama biasanya ditunjukkan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Dengan demikian mereka yang sudah menemukan kemantapan beragama, mereka menjalankan penuh kesadaran diri dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Dalam proses menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan, diantaranya terdapat dua factor yaitu:
1.      Faktor diri sendiri
Factor dari dalam diri sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mempunyai kemampuan_menerima dengan rasionya_ maka akan menghayati  dan kemudian mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, dan lain lain.
Berbeda halnya dengan orang yang kurang mampu menerima dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantungpada masyarakat yang ada, meskipun pada dirinya sering timbul tanda tanya. Mereka menjalankan  dengan penuh keraguan dan bimbang. Sehingga apabila terjadi proses perubahan-perubahan, maka orang tersebut menanggapinya dengan ketetapan-ketetapan yang sesuai dengan tradisi yang ada, dan ada kemungkinan orang semacam ini tidak mempunyai ketetapan hati
Sedangkan ditinjau dari segi pengalaman, makin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan lebih mantap dan stabil dalam menjalankan aktivitas keagamaan, begitu juga sebaliknya.
2.      Factor dari luar
Yang disebut factor dari luar yaitu kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang. Factor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang sudah dikuasai oleh tradisi ini akan berjalan secara turun temurun, dan sering kali tradisi itu tidak diketahui dari mana asal- usul dan sebab musababnya.
Berkaitan dengan sikap keberagaman william starbuck[7] mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
a.       Faktor intern, terdiri dari:
1.      Tempramen yaitu tingkah laku yang di dasarkan pada tempramen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang.
2.      Gangguan jiwa yaitu orang yang mengalami gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
3.      Konflik dan keraguan yaitu, konflik dan keraguan mempengaruhi sikap seseorang terhadap beragama.
4.      Jauh dari Tuhan yaitu orang yang merasa jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah, dan kehilangan pegangan hidup terutama saat menghadapi musibah. Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan jiwa adalah
·         Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk berpasrah kepada nasib yang mereka terima.
·         Introvert, sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif segala mara bahaya dan penderitaan selalu dihubungkan dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuatnya.
·         Menyenangi paham yang ortodoks, sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
·         Mengalami proses keagamaan secara nongraduasi, proses timbulnya keyakinan terhadap agaman umumnya tidak berlangsung melalui prosedur biasa yaitu dari tidak tahu kemudian mengamalkannya dalam bentuk perbuatan rutin
b.      Faktor ektern, faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak, yaitu:
1.      Musibah, seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang, kegoncangan tersebut menimbulkan kesadaran, mereka merasa mendapat peringatan dari Tuhan.
2.      Kejahatan, mereka yang hidup dalam lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan itu mereka tutupi dengan perasaan kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan berfoya-foya dsb. Da sering kali perasaan fitrah mengguncang jiwanya hingga akhirnya mereka bertaubat.
berikut ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama:
a.       Optimisme dan gembira
b.      Ektrovert dan tidak mendalam.
c.       Menyenangi ajaran ketauhidan yzng liberal.
Pengaruh kepribadian yang ekrovert, maka mereka cenderug:
a.       Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku
b.      Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang leih bebas
c.       Menekankan ajaran cinta kasih dari pada kemurkaan dan dosa.
d.      Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial
e.       Tidak menyenagi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan
f.        Berdifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran agama
g.       Selalu berpandangan positif
h.      Bekembang secara graduasi.


















BAB III
PENUTUP
2.5  Kesimpulan
1.      Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Begitu juga dengan kebutuhan manusia terhadap agama. Terlebih pada mereka yang sudah memasuki masa usia dewasa atau usia lanjut.
2.      kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi ( fitrah ) yang di bawa sejak lahir. Salah satu fitrah etrsebut adalah kecenderungan terhadap agama. Karena adanya fitrah ini, maka manusia selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama.
3.      Perkembangan agama pada usia dewasa/ lanjut sudah mencapai kemantapan beragama, mereka menjalankan penuh kesadaran diri dan bukan sekedar ikut-ikutan.
4.      Dalam menuju kematangan dalam beragama ada dua hambatan yaitu pertama, hambatan yang berasal dari diri sendiri meliputi kapasitas diri dan pengalaman. Kedua, dari lingkungan.

                                                                 











DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiyah. 2003, Ilmu Jiwa  Agama. Jakarta : PT Bulan Bintang.
Jalaluddin, Psikologi Agama .Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sururin, 2004. Ilmu JIwa Agama.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.  


[1] Sururin, Ilmu JIwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal 83-84
[2]Jalaluddin, Psikologi Agam  .Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hlm : 85-86
[3] Ibid, hlm 86-97
[4] Ibid, hlm 98-99
[5]Zakiyah Daradjat, 2003, llmu Jiwa  Agama. Jakarta : PT Bulan Bintang, hlm :136
[6] Ibid, 101-121
[7] Op.cit. suririn, hlm.95-97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar