BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang eksploratif
dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan
untuk mengembangkan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut
sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah
kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. Manusia juga disebut sebagai makhluk
yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara
normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan
pengarahan dalam dirinya.
Sedangkan pengertian agama merupakan
sebagai pengakuan terhadap adanya hubungan manusia terhadap kekuatan ghaib yang
harus dipatuhi, kekuatan ghaib itu menguasai manusia, dan mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia. Agama dapat pula berarti ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rosul.
Perbedaan usia manusia akan
mempengaruhi bagaimana manusia dalam meyakini sebuah agama. Dari usia yang dini
manusia belum mengenal agama, sedangkan masa dewasa manusia telah menemukan
kebenaran sebuah agama, dan pada usia lanjut usia manusia juga akan mengalami
perubahan dalam meyakini agama. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang
perkembangan agama pada masa usia lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian masa usia lanjut ?
2.
Bagaimana perlakuan terhadap usia lanjut menurut islam ?
3.
Bagaimana perkembangan agama pada masa
usia lanjut ?
1.3 Tujuan Masalah
1.
Untuk dapat mengerti dan memahami
pengertian masa usia lanjut
2.
Untuk dapat mengerti dan memahami
perlakuan terhadap usia lanjut menurut
islam
3.
Untuk mengetahui dan memahami perkembangan
agama pada masa usia lanjut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian Masa Usia Lanjut
Pada
perkembangan usia remaja Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi
tiga,yaitu: masa dewasa awal, masa dewasa madya, masa usia lanjut. Klasifikasi
yang senada juga diyngkap oleh Lewis Sherril yang membagi masa remaja
sebagai berikut: pertama, masa dewasa
awal, masa ini remaja ada kecenderungan memilih arah hidup dengan menghadapi
godaan berbagai kemungkinan pilihan. Kedua,
masa dewasa tengah, pada masa ini sudah mulai menghadapin tantangan hidup. Pada
masa ini adalah masa dimana sudah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh
yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan yang konsisten. Ketiga, masa dewasa akhir yang
ciri utamanya adalah pasrah.[1]
Para ahli psikologi perkembangan
membagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau
periode perkembangan. Sacara garis besarnya
terbagi menjadi : 1). Masa pernatal. 2). Masa bayi, 3). Masa kanak-kanak,
4).Masa prapubertas. 5). Masa pubertas (remaja), 6). Masa dewasa, dan 7). Masa
usia lanjut. Setipa masa perkembangan memiliki ciri-ciri sendiri, terutama
perkembangan jiwa keagamaan.
Usia lanjut juga disebut
periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam
puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan dan bersifat
fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan
dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut: perubahan yang
menyangkut kemampuan motorik, perubahan kekuatan fisik, perubahan dan fungsi
psikologis, perubahan dalam sistem syaraf, perubahan penampilan. Ciri-ciri usia
lanjut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk daripada yang
baik dan kepada kesengsaraan daripada kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa usia
lanjut lebih ditakuti daripada usia madya dalam kebudayaan Amerika.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan
tersebut, maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat
bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan
jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia lanjut.[2]
2.1.1
Macam-Macam
Kebutuhan Yang
Dialami Manusia
Dalam bukunya pengantar
psikologi kriminil Drs.
Gerson W. Bawengan , S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan manusia berdasarkan
pembagian yang dikemukakan oleh J.P Guilford sebagai berikut :
a. Kebutuhan Individual
1. Homeostatis, yaitu kebutuhan yang di tuntut tubuh dalam proses
penyesuaian diri dengan lingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh
akan tetap berada dalam keadaan mantap, stabil, dan harmonis. Kebutuhan ini
meliputi kebutuhan tubuh akan zat, protein, air, garam, mineral, vitamin,
oksigen, dll.
2. Regulasi
temperature adalah penyesuaian tubuh dalam usaha mengatasi
kebutuhan akan perubahan temperature badan. Pusat pengaturannya berada di
bagian otak yang disebut bypothalmus.
3. Tidur,
merupakan kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar
terhindar dari gangguan halusinasi.
4. Lapar
adalah kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk
membangkitkan energy tubuh sebagai organis.
5. Seks,
sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari dorongan
mempertahankan jenis.
6. Melarikan
diri, yaitu kebutuhan manusia akan perlindungan keselamatan
jasmani dan rohani.
7. Pencegahan, yaitu kebutuhan menusia untuk mencagah terjadinya reaksi
melarikan diri.
8. Ingin
tahu ( curiocity ), kebutuhan rohani menusia
untuk ingin selalu mengetahui latar belakang kehiudupannya.
9. Humor,
yaitu kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban kejiwaan
yang dialami nya dalam bentuk verbal dan perbuatan.[3]
b.
Kebutuhan
social
Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari :
1. Pujian dan binaan
Kedua unsur ini merupakan factor yang menentukan dalam
pembentukan system moral manusia.
2.
Kekuasaan
dan mengalah
Kebutuhan ini tercermin dari adanya perjuangan manusia yang
tek henti-henttinya dalam kehidupan.
3. Pergaulan
Kebutuhan yang mendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai
makhluk bermasyarakat ( homo socius ) dan makhluk yang berorganisasi ( zon
politicon ).
4. Imitasi dan simpati
Kebutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam
bentuk maniru dan mengadakan respon emosinil.
5. Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan
social yang terdapat pada setiap individu.[4]
6. Kebutuhan manusia akan agama
Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama.
Dalam sejarah agama islam, bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan
manusia selaku makhluk Tuhan yang dibekali dengan berbagai potensi ( fitrah )
yang di bawa sejak lahir. Salah satu fitrah etrsebut adalah kecenderungan
terhadap agama.
Karena adanya fitrah ini, maka manusia
selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama.Manusia merasa bahwa dalam
jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Yang Maha Kuasa tempat mereka
berlindung dan memohon pertolongan.Hal semacam ini terjadi pada seluruh lapisan
masyarakat, baik masyarakat modern, pramodern, maupun masyarakat primitif.
2.1.2 Sikap Keberagamaan Pada Orang
Dewasa
Dengan berakhirnya masa remaja, maka
berakhir pulalah kegoncangan-kegoncangan jiwa yang menyertainya pertumbuhan
remaja itu. Yang berarti bahwa orang yang telah
melewati usia remaja, mempunyai ketenteraman jiwa, ketetapan hati, dan kepercayaan
yang tegas, baik dalam bentuk positif, maupun negative.[5]
Charlotte buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada
periode prapubertas, periode pubertas, dan periode adolesen dengan semboyan
yang merupakan batin mereka.
Kemantapan jiwa orang dewasa setidaknya
memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang
dewasa.Mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap system nilai yang
dipilihnya, baik system nilai yang bersumber dari ajaran agama maupun yang
bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan. Pemilihan nilai-nilai tersebut
telah didasarkan atas pertimbangan pemikiran yang matang. Berdasarkan hal ini,
maka sikap keberagamaan sorang di usia dewasa sulit untuk di ubah. Jikapun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah
di dasarkan pertimbangan yang matang.
Sebaliknya, jika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber
dari nilai-nilai non-agama, itupun akan di pertahankannya sebagai pandangan
hidupnya. Kemungkianan ini memberi peluang bagi munculnya kecenderungan sikap
yang anti-agama. Bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan
tertentu dalam ajaran agama yang dipahaminya. Bahkan tak jarang sikap
anti-agama seperti itu di perlihatkannya dalam bentuk sikap menolak hingga ke
tindakan memusuhi agama yang di nilainya mengikat dan bersifat dogmatis.
Sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang mereka pilih di
jadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola
kehidupan mereka. Sikap keberagaan ini akan di pertahankan sebagai identitas
dan kepribadian mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan ajaran
agama yang mereka anut. Sehingga, tak jarang sikap keberagamaan ini dapat
menimbulkan ketaatan yang berlebihan dan menjurus ke sikap fanatisme. Karena
itu, sikap keberagamaan seorang dewasa cenderung di dasarkan atas pemilihan
terhadap ajaran agama yang dapat memberikan kepuasan batin atas dasar
pertimbangan akal sehat.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap
keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran
yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih
banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersifat positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan
berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama di dasarkan atas pertimbangan dan
tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap
hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadap meteri ajaran agama sehingga
kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di
dasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada
tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh
kepribadian dalam menerima, mamahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di
yakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan
kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social
keagamaan sudah berkembang.
2.2Perlakuan Terhadap Usia Lanjut Menurut
Islam
Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah
manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun,
sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk
menggerogoti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul
semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa-sisa unur menunggu datangnya kematian.
Gejala psikologis yang ditampilkan manusia usia senja ini
adalah berupa pernyataan-pernyataan kontraversial dan kritik terhadap hasil
kerja generasi muda. Mereka seakan sulit untuk mengemukakan pujian terhadap
sukses maupun prestasi yang dicapai oleh generasi muda ini dalam berbagai
bidang. Oleh karena itu, kelompok usia ini sulit hidup akur dan berdampingan
dengan generasi muda. Ada semacam kecenderungan dalam diri mereka untuk
senantiasa dipuji dan dibanggakan.
Di lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan
manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka
di panti
jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang
intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena disibukan, tak
jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan
perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua
mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada
orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di
lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya. Sebab, umumnya
para orang tua yang tinggal di lingkungan keluarga berada dalam kesendirian. Sedangkan
di lingkungan panti jompo mereka selain dirawat juga dapat berkumpul dengan
teman-teman sebaya, sesama manusia berusia lanjut. Dan dengan pernyataan adanya
ikatan anak dan bapak, biasanya anak-anak mereka berkunjung pada kesempatan
yang memungkinkan, seperti ketika hari libur.
Lain halnya dengan konsep yang dianjurkan oleh Islam.
Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten
mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut dibebankan kepada
anak-anak mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo.
Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntutan Islam berawal dari rumah tangga.
Allah menyebutkan pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia
dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang
tua mereka dengan kasih sayang.
Dalam konsep islam, perlakuan terhadap menusia usia lanjut
dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang
berusia lanjut di bebankan kepada anak-anak mereka, bahkan kepada badan atau
panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut
tuntutan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan secara
khusus orang tua yamg sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka
untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih sayang.
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan
yang baik kepada kedua orang tua, Allah berfirman : “Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekal-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.” (
QS.17:23). Dan firman Allah yang lain, yaitu: “Kasihilah
keduanya sebagaimana mereka mengasihiku waktu kecil.”
Pada penjelasan di atas tergambar bagaiman perlakuan
terhadap manusia usia lanjut menurut islam. Manusia usia lanjut di pandang tak
ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharan dan perawatan serta perhatian
khusu dengan penuh kasih sayang.perlakuan yang demikian itu tidak dapat di
wakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran serta kasih sayang di nilai sebagai
kebaktian.Sebaliknya, perlakuan yang tercela di nilai sebagai kedurhakaan.[6]
2.3Perkembangan
Agama Pada Masa Usia Lanjut
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut ini menurut hasil
penelitian psikologi agama ternyata meningkat. M. argyle mengutip sejumlah
penelitian yang di lakukan oleh cavan yang mempelajari 1.200 orang sampel
berusia antara 60-100 tahun.Temuan menunjukkan secara jelas kecenderungan untuk
menerima pendapat keagaan yang semakin meningkat pada umur-umur ini. Sedangkan
pengakuan terhadap realitas terhadap kehidupan akhirat baru muncul sampai 100
persen setelah usia 90 tahun.
Menganalisis hasil penelitian M. Argyle dan Elie A. Cohen,
Robert H.Thouless cenderung berkesimpulan bahwa yang menetukan berbagai sikap
keagamaan di umur tua diantaranya adalah depersonalisasi. Kecenderungan
hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga cepatnya akan datang kematian
merupakan salah satu factor yang menetukan berbagai sikap keagamaan di usia
lanjut.
Berbagai latar belakang yang menjadi penyebab kecenderungan
sikap keagamaan pada manusia usia lanjut, seperti dikemukakan di atas bagaimanapun
turut memberi gambaran tentang ciri-ciri keberagamaan mereka. Secara garis
besarnya ciri-ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
1.
Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.
Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.
Mulai
muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4.
Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesame
manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.
Timbul
rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia
lanjutnya.
6.
Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi ( akhirat ).
2.4 Kematangan Beragama Pada Usia
Lanjut
Kematangan
beragama merupakan sebuah proses panjang yang dilalui seseorang dalam menemukan
hakikat kebenaran yang ia yakini, yaitu melalui proses konversi agama pada diri
seseorang. Sehingga dalam beragama mereka menemukan kematangan dan kemantapan
dalam beragama. Kematangan atau kedewasaan dalam beragama biasanya ditunjukkan
dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan agama
yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Dengan demikian mereka
yang sudah menemukan kemantapan beragama, mereka menjalankan penuh kesadaran
diri dan bukan sekedar ikut-ikutan.
Dalam proses menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan,
diantaranya terdapat dua factor yaitu:
1. Faktor diri sendiri
Factor dari dalam diri sendiri dibagi menjadi dua
macam, yaitu: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini berupa kemampuan
ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara
seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mempunyai
kemampuan_menerima dengan rasionya_ maka akan menghayati dan kemudian
mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, penuh keyakinan dan argumentatif, dan
lain lain.
Berbeda halnya dengan orang yang kurang mampu menerima
dengan rasionya, ia akan lebih banyak tergantungpada masyarakat yang ada,
meskipun pada dirinya sering timbul tanda tanya. Mereka menjalankan
dengan penuh keraguan dan bimbang. Sehingga apabila terjadi proses
perubahan-perubahan, maka orang tersebut menanggapinya dengan ketetapan-ketetapan
yang sesuai dengan tradisi yang ada, dan ada kemungkinan orang semacam ini
tidak mempunyai ketetapan hati
Sedangkan ditinjau dari segi pengalaman, makin luas
pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan maka akan lebih mantap dan stabil
dalam menjalankan aktivitas keagamaan, begitu juga sebaliknya.
2. Factor dari luar
Yang disebut factor dari luar yaitu kondisi dan
situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang.
Factor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima.
Kultur masyarakat yang sudah dikuasai oleh tradisi ini akan berjalan secara
turun temurun, dan sering kali tradisi itu tidak diketahui dari mana asal- usul
dan sebab musababnya.
Berkaitan dengan sikap keberagaman william starbuck[7]
mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
a.
Faktor intern, terdiri dari:
1.
Tempramen yaitu tingkah laku yang
di dasarkan pada tempramen tertentu memegang peranan penting dalam sikap
beragama seseorang.
2.
Gangguan jiwa yaitu orang yang
mengalami gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
3.
Konflik dan keraguan yaitu,
konflik dan keraguan mempengaruhi sikap seseorang terhadap beragama.
4.
Jauh dari Tuhan yaitu orang yang
merasa jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah, dan kehilangan pegangan hidup
terutama saat menghadapi musibah. Adapun ciri-ciri orang yang mengalami
kelainan jiwa adalah
·
Pesimis, dalam mengamalkan ajaran
agama mereka cenderung untuk berpasrah kepada nasib yang mereka terima.
·
Introvert, sifat pesimis membawa
mereka untuk bersikap objektif segala mara bahaya dan penderitaan selalu
dihubungkan dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuatnya.
·
Menyenangi paham yang ortodoks,
sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif.
Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih
konservatif dan ortodoks.
·
Mengalami proses keagamaan secara
nongraduasi, proses timbulnya keyakinan terhadap agaman umumnya tidak
berlangsung melalui prosedur biasa yaitu dari tidak tahu kemudian
mengamalkannya dalam bentuk perbuatan rutin
b.
Faktor ektern, faktor yang mempengaruhi
sikap keagamaan secara mendadak, yaitu:
1.
Musibah, seringkali musibah yang sangat
serius dapat mengguncangkan seseorang, kegoncangan tersebut menimbulkan kesadaran,
mereka merasa mendapat peringatan dari Tuhan.
2.
Kejahatan, mereka yang hidup dalam
lembah hitam umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan itu
mereka tutupi dengan perasaan kompensatif, seperti melupakan sejenak dengan
berfoya-foya dsb. Da sering kali perasaan fitrah mengguncang jiwanya hingga
akhirnya mereka bertaubat.
berikut ciri-ciri orang yang sehat
jiwanya dalam menjalankan agama:
a.
Optimisme dan gembira
b.
Ektrovert dan tidak mendalam.
c.
Menyenangi ajaran ketauhidan yzng
liberal.
Pengaruh kepribadian yang ekrovert,
maka mereka cenderug:
a.
Menyenangi teologi yang luwes dan tidak
kaku
b.
Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang
leih bebas
c.
Menekankan ajaran cinta kasih dari pada
kemurkaan dan dosa.
d.
Mempelopori pembelaan terhadap
kepentingan agama secara sosial
e.
Tidak menyenagi implikasi penebusan
dosa dan kehidupan kebiaraan
f.
Berdifat liberal dalam menafsirkan
pengertian ajaran agama
g.
Selalu berpandangan positif
h.
Bekembang secara graduasi.
BAB III
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
1.
Manusia adalah makhluk sosial, yang
selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Begitu juga
dengan kebutuhan manusia terhadap agama. Terlebih pada mereka yang sudah
memasuki masa usia dewasa atau usia lanjut.
2.
kebutuhan
terhadap agama disebabkan manusia selaku makhluk Tuhan yang dibekali dengan
berbagai potensi ( fitrah ) yang di bawa sejak lahir. Salah satu fitrah
etrsebut adalah kecenderungan terhadap agama. Karena adanya fitrah ini, maka manusia
selalu membutuhkan pegangan hidup yang disebut agama.
3.
Perkembangan agama pada usia
dewasa/ lanjut sudah mencapai kemantapan beragama, mereka menjalankan penuh
kesadaran diri dan bukan sekedar ikut-ikutan.
4.
Dalam menuju kematangan dalam beragama
ada dua hambatan yaitu pertama, hambatan yang berasal dari diri sendiri
meliputi kapasitas diri dan pengalaman. Kedua, dari lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiyah. 2003, Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Bulan Bintang.
Jalaluddin, Psikologi Agama .Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.
Sururin, 2004. Ilmu JIwa Agama. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar