BAB II
PEMBAHASAN
Akhlak adalah perilaku lisan, perbuatan fisik,
dan bahkan perbuatan diam juga termasuk dalam kategori akhlak. Akhlak terpuji
adalah perilaku baik yang dimiliki seorang manusia. Akhlak terpuji merupakan bentuk implementasi dari
keimanan manusia. Allah sangat menyukai hamba-Nya yang mempunyai akhlak
terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah. Bentuk
dari akhlak terpuji, antara lain : Tawadhu’, Qana’ah, Taat, dan Sabar.
2.1 TAWADHU’
2.2.1
Pengertian Tawadhu’
Tawadhu’
adalah rendah hati.[1] Selain
itu, Tawadhu’ kepada Allah SWT adalah sikap
merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT. Pada diri Rasulullah
SAW banyak sekali sikap tawadhu’ sikap tawadhu’ yang beliau lakukan.[2]
Contoh:
1. Dalam suatu riwayat
dikisahkan, bahwa pada waktu Nabi Muhammad SAW menunaikan ibadah haji, beliau
menunggu seekor unta jantan yang sangat sederhana. Unta itu tidak dilengkapi
pelana yang serba mewah dan indah sebagaimana dilakukan oleh raja-raja,
melainkan hanya terhampar sehelai permadani yang tipis. Di atas unta itu beliau
berdoa,”Ya Allah jadikanlah ibadah hajiku ini suatu ibadah yang tidak
mengandung riya, takabur, dan angkuh”.[3]
2. Anas menceritakan sebagai
berikut :”Tiap orang yang membisikkan sesuatu kepadanya (Nabi), beliau selalu
merendahkan kepalanya dan mendekatkan telinganya untuk mendengarkan bisikan
orang tersebut dengan penuh perhatian. Dan setiap orang menjabat tangannya,
beliau tidak melepaskan genggaman tangannya sebelum orang itu melepaskannya.[4]
Dari contoh satu dan dua kita dapat gunakan sebagai acuan
bagaimana cara bertawadhu baik dalam ibadah maupun kegiatan social. Dari contoh
pertama hikmah yang dapat kita petik adalah bahwa dalam beribadah selayaknya
kita harus melaksanakannya dengan dilandasi sikap tawadhu’ karena hal itu
berdampak pada kesucian ibadah yang imbasnya dapat kita rasakan dengan
kenikmatan batin, sebab kenikmatan itu dapat kita rasakan jikalau hati kita
terhindar dari sikap riya atau pamer yang ingin kita tonjolkan kepada orang
lain. Dari contoh kedua, kita dapat menyimpulkan bahwa hubungan antar sesama
manusia juga harus dilandasi sifat tawadhu’ sebab dengan sifat tersebut akan
hilang rasa perbedaan yang dikarenakan jabatan atau kekayaan yang menimbulkan
kecemburuan social yang biasa terjadi.
Sikap
tawadhu’ merupakan sebuah sikap pengakuan seorang, hamba bahwa segala sesuatu
di dunia ini semuanya hanya milik Allah semata sehingga kita sebagai seorang
hamba tidak patut terlalu membangga-banggakan apa yang telah Ia titipkan, sebab
sikap jelek yang seperti inilah yang nantinya membawa kita dalam kelalaian
mengucap syukur terhadap apa yang telah di titipkan.
Untuk
memiliki dan mengembangkan sifat tawaddu' memang tidak mudah. Perlu pembiasaan
secara bertahap. Ada beberapa langkah awal yang bisa dilakukan untuk melatih
munculnya sifat tawaddu', antara lain sebagai berikut :
1.Mengenal Allah
Dengan mengenal Allah
beserta sifat-sifatnya, maka akan muncul kesadaran bahwa manusia adalah makhluk
yang sangat lemah dan kecil. Begitu kuasa, kaya, dan besamya Allah. Oleh karena
itu tidaklah pantas bagi manusia untuk menyombongkan diri.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan Kati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl : 78)
2.Mengenal diri
Dilihat dari asal
usulnya. manusia berasal dari setetes air mani yang hina. Kemudian manusia
lahir ke dunia tanpa daya dan tidak mengetahui apapun.
3. Mengenal kekurangan diri
Seseorang dapat
terjebak pada kesombongan bila ia tidak
menyadari kekurangan yang ada pada dirinya. Botch jadi seseorang mengira bahwa
dirinya telah banyak melakukan kebaikan. padahal ia justru melakukan kerusakan
dan aniaya. Oleh karena itu setiap muslim hams selalu melakukan introspeksi
diri sebelum melakukan, saat melakukan, dan sesudah melakukan sesuatu. Hal
itu dilakukan setiap muslim agar sadar
akan kekurangan dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawaddu' dan
tidak sombong kepada orang lain.
4. Merenungkan nikmat Allah
Pada hakikatnya,
seluruh nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba--Nya adalah ujian untuk
mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur. Namun banyak di antara
manusia yang tidak menyadari hal tersebut, sehingga mereka membanggakan dan
menyombongkan nikmat yang Allah berikan kepadanya.
Semua manusia pada
hakekatnya diciptakan sama. la berasal
dari bahan yang sama dan keturunan yang
satu. yaitu Adam dan Hawa. Tidak ada kelebihan antara satu dengan yang lainnya dihadapan
Allah SWT, kecuali derajat ketakwaannya. Memang benar di dunia ini manusia
terbagi alam dua golongan sifat yang saling berlawanan: ada yang kaya ada pula
yang miskin, ada yang pintar ada pula yang bodoh, ada yang normal ada pula yang
cacat. ada yang tinggi ada pula yang pendek. Hal ini tidak bisa dipungkiri,
karena memang merupakan ketentuan Allah (sunnatullah). Sikap tawadhu'-lah yang
berfungsi untuk menyamakan dua golongan sifat itu pada satu derajat dan satu
kedudukan, sehingga tidak ada lagi yang merasa lebih tinggi ataupun lebih
rendah ketimbang lainnya
2.2.2
Dalil-dalil tentang Anjuran Bersifat Tawadhu’
Sikap tawadhu’ sangat penting dalam
pergaulan sesama manusia, Islam memberikan tuntunan kepada umatnya untuk
memiliki sikap tawadhu’, dan menjauhi sikap takabur kepada siapapun. Allah
berfirman :
“Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkan pada mereka perkataan
yang baik.”(QS. An-Nisa : 8)
Bahkan dalam beramal pun kita dianjurkan
untuk berlaku tawadhu dengan memberikan bantuan sesuai kemampuan serta
membiasakan berkata yang baik kepada orang-orang di sekeliling kita.
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang
beriman.” (QS. Asy-Syura : 215)
Ayat di atas, pada dasarnya ditujukan
kepada Rasulullah SAW, agar bersikap tawadhu’ kepada umatnya, sungguhpun
demikan, perintah tersebut juga berlaku bagi seluruh umat Islam. Hendaknya kaum
muslimin selalu bersikap tawadhu’ kepada siapapun.
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda
: “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian merendahkan diri
sehingga seseorang tidak menyombongkan diri atas yang lain dan tidak berbuat
zhalim atas yang lain.” (HR. Muslim).
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengingatkan kepada kita bahwa tawadhu’ itu sebagai sebab tersebarnya
persatuan dan persamaan derajat, keadilan dan kebaikan di tengah-tengah manusia
sebagaimana sifat sombong akan melahirkan keangkuhan yang mengakibatkan
memperlakukan orang lain dengan kesombongan.
2.2.3
Keutamaan Tawadhu’
Dengan memiliki sikap tawadhu’, seseorang akan lebih
mengerti bagaimana nikmat yang sesungguhnya yang telah Ia berikan sehingga ia
akan selalu berucap syukur dan tidak menyombongkan apa yang telah diberikan. Menimbulkan
rasa simpati pihak lain sehingga suka bergaul dengan dirinya. Sehingga
dapat mempererat tali silaturrahmi dan
mengakrabkan pergaulan. Dan Allah SWT akan
menghormati orang yang tawadhu’ (rendah diri) mendapatkan kebaikan di dunia dan
akhirat.
Untuk menumbuhkan sikap tawadhu’ dalam diri kita, perhatikan hal-hal
berikut ini![5]
1.
Hendaklah kita sadar akan kejadian manusia.
2.
Kita harus sadar pula, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, hidup
yang terakhir dan kekal ada di akhirat.
3.
Kita harus berusaha memahami ajaran Islam dengan benar.
4.
Hindarilah sikap sombong, takabur, bermegah-megahan, dan iri hati.
5.
Bersyukurlah terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT.
2.2 QANA’AH
2.2.1
Pengertian Qana’ah
Dari segi
bahasa, qana’ah berarti rela atau merasa puas.[6]Qana’ah
artinya rela menerima dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta
menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Dalam
istilah bahasa Indonesia, qana’ah adalah kaya hati. Qana’ah bukan berarti hidup
bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup. Justru orang yang qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun
apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia akan tetap rela hati
menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah SWT. Sikap yang
demikian itu akan mendatangkan rasa tenteram dalam hidup dan menjauhkan diri
dari sifat serakah dan tamak.
Sebaliknya,
orang yang tidak bersifat qana’ah akan selalu diliputi oleh keserakahan.
Misalnya, seorang pejabat yang tidak qana’ah, meskipun gajinya besar namun
karena hatinya miskin, ia masih saja melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
2.2.2
Dalil-dalil tentang Anjuran Bersifat Qana’ah
Abdullah bin Amru r.a berkata, Rasulullah
SAW bersabda[7] :“Sungguh
beruntung orang yang masuk Islamdan rizkinya cukup dan merasa cukup dengan
apa-apa yang diberikan Allah SWT kepadanya (bersifat qana’ah dan tidak tamak).”
(HR. Muslim)
Abu Hurairah
r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda[8]
: “Bukankah kaya itu karena banyaknya harta dan benda, tetapi kaya yang
sebenarnya ialah kaya hati (nerimo).” (HR. Bukhari-Muslim)
2.2.3
Keutamaan Qana’ah
Orang yang qona’ah akan senantiasa merasa
tenteram dan merasa berkecukupan terhadap apa yang dimilikinya selama ini.
Karena meyakini bahwa pada hakikatnya kekayaan ataupun kemiskinan tidak diukur
dari banyak dan sedikitnya harta. Akan tetapi, terletak kepada kelapangan
hatinya untuk menerima dan mensyukuri segala karunia yang diberikan Allah SWT.
Pentingnya qana’ah dalam hidup adalah menjadikan kita
manusia yang tidak mudah berputus asa, selalu maju, dan tidak tamak. Dengan
qana’ah kita seakan-akan mempunyai filter dalam hidup kita yang bisa menjadikan
manusia yang senantiasa. Qana’ah juga berfungsi sebagai stabilisator dan
dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim
yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tentram,
merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakekatnya
kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya.
Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan
mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya
banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh
kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk
kepentingan sosial.
2.2.4 Contoh
Perilaku Qana’ah
Ketika Nabi Muhammad
shalallahu `alaihi wa sallam menikah kan Fatimah radiallahu `anha dengan Ali
bin Abi Thalib radiallahu `anhu, beliau mengundang Abu Bakar, Umar dan Usamah
untuk membawakan “persiapan” Fatimah Radiallahu ‘Anha.
Mereka bertanya-tanya, apa
gerangan yang dipersiapkan Rasulullah shalallahu `alaihi wa sallam untuk putri
terkasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata bekalnya cuma penggilingan
gandum, kulit binatang yang disamak, kendi, dan sebuah piring.
Mengetahui hal itu, Abu Bakar
menangis. “Ya Rasulullah. Inikah persiapan untuk Fatimah?” tanya Abu Bakar
terguguk. Nabi Muhammad shalallahu `alaihi wa sallam pun menenangkannya, “Wahai
Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang berada di dunia.”
Fatimah radiallahu `anha, sang
pengantin itu, kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang cukup bagus,
tapi ada 12 tambalannya. Tak ada perhiasan, apalagi pernik-pernik mahal.
Setelah menikah, Fatimah
senantiasa menggiling gandum dengan tangannya, membaca Alquran dengan lidahnya,
menafsirkan kitab suci dengan hatinya,dan menangis dengan matanya. Itulah
sebagian kemuliaaan dari Fatimah.
Ada ribuan atau jutaan Fatimah
yang telah menunjukkan kemuliaan akhlaknya. Dari mereka kelak lahir ulama-ulama
ulung yang menjadi guru dan rujukan seluruh imam, termasuk Imam Maliki, Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali.
Bagaimana gadis sekarang?
Mereka, memang tak lagi menggiling gandum, tapi menekan tuts-tuts komputer.
Tapi bagaimana lidah, hati, dan matanya? Bulan lalu, ada seorang gadis di
Bekasi, yang nyaris mati karena bunuh diri.
Rupanya ia minta dinikahkan
dengan pujaan hatinya dengan pesta meriah. Karena ayahnya tak mau, dia pun
nekat bunuh diri dengan minum Baygon. Untung jiwanya terselamatkan. Seandainya
saja tak terselamatkan, naudzubillah min dzalik! Allah mengharamkan surga untuk
orang yang mati bunuh diri.
Si gadis tadi rupanya
menjadikan kemewahan pernikahannya sebagai sebuah prinsip hidup yang tak bisa
dilanggar. Sayang, gadis malang itu mungkin belum menghayati cara Rasulullah
menikahkan putrinya.
Pesta pernikahan putri
Rasulullah itu menggambarkan kepada kita, betapa kesederhanaan telah menjadi
“darah daging” kehidupan Nabi yang mulia. Bahkan ketika “pesta pernikahan”
putrinya, yang selayaknya diadakan dengan meriah, Muhammad tetap menunjukkan
kesederhanaan.
Bagi Rasulullah, membuat pesta
besar untuk pernikahan putrinya bukanlah hal sulit. Tapi, sebagai manusia agung
yang suci, “kemegahan” pesta pernikahan putrinya, bukan ditunjukkan oleh
hal-hal yang bersifat duniawi.
Rasul justru menunjukkan
“kemegahan” kesederhanaan dan “kemegahan” sifat qanaah,yang merupakan kekayaan
hakiki. Rasululllah bersabda, “Kekayaan yang sejati adalah kekayaan iman, yang
tecermin dalam sifat qanaah”.
2.2.5 Manfaat
Qana’ah dalam Kehidupan
Sifat qana’ah merupakan
kepribadian yang patut dimiliki oleh setiap muslim. Karena dengan memilikinya,
seseorang akan merasa tenang, ridak rakus, dan akan selalu bersyukur kepada
Allah swt. Sifat qana’ah akan membimbing seseorang untuk memenuhi hal-hal yang
dianggap perlu saja. Ia tidak akan hidup
berlebihan dan menghambur-hamburkan harta untuk hal yang tidak perlu.
Manfaatnya, antara lain :
a. Penyeimbang hidup
Muslim yang qana’ah tidak akan terlalu gembira jika mendapat anugerah,
kenikmatan, kesuksesan, popularitas, atau jabatan. Ia akan menyadari bahwa
segala yang diperolehnya berasal dari Allah swt. Ia jugatidak akan putus asa
atau frustasi jika kehilangan sesuatu yang ia senangi dan banggakan.
b. Penggerak hidup
Muslim yang qana’ah akan memiliki kecerdasan
emosional yang memungkinkannya meraih cita-cita dan kemenangan baik dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Dengna melihat manfaat ini, kita memahami bahwa
qana’ah bukan berarti berdiam diri, berpangku tangan, serta malas bekerja,
melainkan sikap positif dalam menghadapi berbagai peluang dan tantangan
kehidupan. Sejak dulu, Rasulullah telah mengingatkan :
“Sesungguhnya allah menguji
hamba-Nya dengan nikmat yang diberikan kepadanya. Jika ia rela dengan pemberian
Allah Azza wa Jalla, Allah akan memberkahi dan melapangkannya, jika tidak,
Allah tidak akan memberkahinya.” (HR. Ahmad).
2.3 TAAT
2.2.1
Pengertian Taat
Taat berarti tunduk dan patuh untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Sifat taat dalam menjalankan
perintah dan menjauhi segala larangan ini sangat diperlukan dalam kehidupan beragama,
dalam keluarga, bermasayarakat, maupun bernegara. Dalam beragama
seseorang diperintahkan untuk taat kepada Allah SWT dan rasul-Nya, denganmelaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang taat akan tetap
melaksanakan shalat dalam keadaan sesibuk apapun, orang yang
taat juga tetap menjalankan puasa walaupun merasakan lapar
dan dahaga. Orang yang taat juga senang berzakat dan
berderma walaupun kalau dihitung secaramatematis hartanya berkurang, namun
dia meyakini bahwa pada hakikatnya harta itu
tidak berkurang karena Allah SWT akan memberikan balasan yang lebih
banyak.
2.2.2
Dalil-dalil tentang Anjuran Bersifat Taat
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59)
Dari Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah
SAW bersabda : “ Wajib bagi seorang muslim mendengarkan dan taat sesuai
dengan yang disukai dan apabila diperintah untuk menjalankan maksiat jangan
dengarkan dan jangan taati “. ( Hr. Muslim ).
2.2.4
Keutamaan Taat
Keutamaan taat kepada Allah ialah kemudahan atas segala apa yang ia
limpahkan kepada kita baik di akhirat maupun di dunia. Sifat taat ini juga
secara tidak langsung akan meringankan hati kita dalam menjalankan
perintah-Nya.
2.2.4 Contoh
Perilaku Taat
Di dalam berkeluarga maka seluruh
anggota keluarga harus taat kepada tatanan keluarga, suami bertanggung
jawab menafkahi dan menyayangi anak istrinya.Istri taat kepada suami dan
menjaga harta serta mendidik anak-anaknya dengan baik, anak taat dan patuh
kepada kedua orang tuanya. Sikap taat dalam kehidupan berkeluarga
juga dapat diwujudkan dengan menjalankan tugas di lingkungan keluarga
dengan baik. Jika seluruh anggota keluarga menerapkan sikap taat, maka
akan terwujud keluarga yang bahagia dan tenteram atau
sakinah.
Penerapan sifat taat dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan
mematuhi peraturan dan menjaga ketertiban di lingkungan masyarakat. Jika seluruh anggota
masyarakat menerapkan sifat taat maka akan tercipta lingkungan yang
aman, tenteram dan damai. Suasana semacam ini akan membuat seluruh anggota
masyarakat merasakannya.
Demikan juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap
warga negara harus taat kepada pemerintah dan aturan-aturan yang berlaku.
Dengan demikian tujuan utama Allah SWT memerintahkan kita
agar menjadi orang yang taat adalah agar tercipta
keidupan di dunia yang tenteram, damai, aman, dan
membahagiakan. Sebaliknya jika saja seluruh manusia tidak memiliiki
sifat taat, maka akan terjadi ketidakteraturan dan kerusakan.
2.4 SABAR
2.2.1
Pengertian Sabar
Sabar adalah
kemampuan menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan.[9]
Sabar juga diartikan sebagai sikap tabah hati baik dalam mendapatkan suatu yang
tidak disenangi atau kehilangan sesuatu yang disenangi. Sabar berbeda dengan
pasrah. Letak perbedaannya terdapat pada usaha. Pasrah ialah sikap menyerah
tanpa adanya usaha sedikitpun, sedangkan sabar diiringi adanya usaha. Kesabaran
adalah sikap tahan uji, tabah, ulet, tekun, dan tidak mudah putus asa ketika
mendapatkan ujian atau kesusahan.Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba.
Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten
menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.
2.2.2
Dalil-dalil tentang Anjuran Bersifat Sabar
“Hai orang-orang yang
beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 153).
Ayat di atas
menjelaskan bahwa kita dianjurkan untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai
penolong kita. Ada pula yang mengartikan, mintalah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat.
2.2.3
Macam-macam Sabar
Selama ini, kita memahami kesabaran
selalu identik dengan kesusahan. Padahal tidak, kesabaran tidak selalu identik
dengna kesusahan. Kesabaran harus kita miliki dalam semua aktivitas kita.
Berikut ini adalah macam-macam kesabaran dalam berbagai aktivitasnya[10]
:
a. Sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Dalam
menjalankan perintah Allah SWT, kita juga harus memiliki kesabaran. Contohnya,
sabar bangun di waktu subuh melawan rasa kantuk dan air yang dingin demi
melaksanakan shalat subuh. Selain itu, bersabar dalam menjalankan perintah
puasa Ramadhan, selama kurang lebih 30 hari seorang muslim yang telah baligh
dan berakal menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Sabar dalam menanggung beratnya melaksanakan kewajiban.
Misalnya, kewajiban menjalankan shalat lima waktu, kewajiban membayar zakat, kewajiban melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Bagi setiap orang yang sabar, seberat apapun kewajiban itu pasti dilaksanakan, meskipun dalam keadaan melarat, sakit, ataupun dalam kesibukan. Semuanya tetap dilakukan dengan patuh dan ikhlas. Dan orang yang sabar dalam melaksanakan kewajiban itu artinya mereka mendapat taufik dan hidayah Allah SWT.
Misalnya, kewajiban menjalankan shalat lima waktu, kewajiban membayar zakat, kewajiban melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Bagi setiap orang yang sabar, seberat apapun kewajiban itu pasti dilaksanakan, meskipun dalam keadaan melarat, sakit, ataupun dalam kesibukan. Semuanya tetap dilakukan dengan patuh dan ikhlas. Dan orang yang sabar dalam melaksanakan kewajiban itu artinya mereka mendapat taufik dan hidayah Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya...”(QS. Thaahaa :
132).
b. Sabar salam menghindari perbuatan dosa/maksiat (menahan hawa
nafsu)
Selain itu,
kita juga harus memiliki sifat sabar dalam menahan hawa nafsu dan menghindari
kemaksiatan. Manusia adalah makhluk yang
memiliki keinginan, yaitu keinginan baik dan keinginan buruk. Keinginan baik
terwujud dalam amal sholeh. Sedangkan
keinginan buruk terwujud dalam perbuatan dosa. Dalam kedua hal ini, manusia
harus memiliki kesabaran dalam menjalaninya.
Orang yang
menerapkan sabar dalam hal ini
diwujudkan dengan cara mempunyai prinsip dan memegang teguh pendiriannya untuk tidak goyah terhadap godaan dan rayuan
yang menyesatkan.
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami
berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak
kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan
(yang baik).” (QS. Ar Ra’d : 22).
c. Sabar ketika menghadapi musibah dan cobaan.
Hidup manusia tidak selalu bahagia. Hidup manusia juga terkadang
menderita, penuh cobaan, dan ditimpa musibah. Ketika menderita atau ditimpa
musibah, manusia seringkali frustasi dan putus asa. Dalam keadaan seperti
inilah manusia dituntut tahan uji dan tabah. Sifat tahan uji dan tabah inilah
yang disebut dengan sabar.
Sabar dalam menahan
penganiayaan dari orang lain. Di dunia ini tidak luput dari kezaliman. Banyak
sekali kasus-kasus penganiayaan yang terjadi, terutama menimpa orang-orang yang
suka menegakkan keadilan dan kebenaran. Akan tetapi bagi orang yang sabar
menahan penganiayaan demi menegakkan keadilan dan kebenaran, pasti mereka
termasuk orang-orang yang dicintai Allah SWT.
Sabar dalam menanggung
kemiskinan dan kelaparan. Pada saat ini banyak sekali orang- orang yang
hidupnya selalu dirundung kemiskinan dan akhrinya mereka berputus asa. Ada yang
menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok, pencopet, dan pembegal.
Ada lagi yang bekerja sebagai pengemis, pengamen dll. Orang-orang seperti ini tidak
memiliki sifat yang sabar. Sebaliknya, orang yang sabar menanggung kemiskinan
dan kelaparan dengan jalan mencicipi apa adanya dari pembagian Allah serta
mensyukurinya, maka di dalam hidupnya selalu dilimpahi kemuliaan dari Allah
SWT.
Sabar dalam menanggung
musibah atau cobaan. Bagi setiap orang yang sabar dalam menanggung musibah
ataupun cobaan dan disertai dengan tawakal kepada Allah, pasti kebahagiaan
terbuka lebar bagi mereka. Dan mereka pasti akan mendapatkan pahala dari Allah.
Allah SWT berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila
ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi
raaji'uun". Mereka Itulah yang
mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka
Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah : 155-157)
Kesabaran itu tidak bisa dipaksakan begitu saja dalam
pribadi seseorang, melainkan ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu sebagai
berikut:
1. Syaja’ah
atau keberanian, yaitu seseorang yang
dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima
musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Seorang pengecut sukar di
dapatkan sikap sabar dan berani.
2. Al-
Quwwah atau kekuatan, yaitu seseorang dapat bersabar terhadap
segala sesuatu jika dalam dirinya cukup tersimpan sejumlah kekuatan. Dari orang
yang lemah kepribadiannya sukar diharapkan kesabarannya menghadapi sesuatu.
3. Sadar dalam mengerjakan
sesuatu. Jika seseorang tahu dan sadar apa yang dilakukan, maka ia akan dapat
manfaatnya.
Macam-macam
sabar[11]:
·
Shiddiquun:
Ialah
orang- orang yang benar lahir dan juga batinnya. Yang termasuk tingkat ini
ialah para: Rasul, sahabat beliau, orang shaleh, yaitu orang bersikap patut dan
wajar menurut Allah SWT.
·
Muqarrabuun:
Ialah
orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan mengerjakan semua
yang diperintahkanatasnya mengenai bagian lahirnya saja terlihat patuh, tetapi
batinnya kadang-kadang tidak patuh. Untuk mendapatkan tingkat ini belum
tertutup pintu. Sehingga tiap manusia berhak mencapainya. Tetapi, untuk menjadi
Rasul pintunya sudah tertutup dengan telah diutus Nabi Muhammad SAW, karena
Beliau Rasul terakhir.
·
Mujahiduun:
Ialah
orang berjuang keras melawan hawa nafsunya dan lain-lain, sehingga ia bagaikan
orang berperang yaitu berganti-ganti antara kalah dan menang. Manusia tingkat
ini banyak dalam masyarakat.
·
Ghafiluun:
Ialah
orang yang telah banyak kali kalah dari menang-menentang melawannya, karena
akalnya mudah dikalahkan, malahan mungkin ke puncaknya, ialah tidak mau tahu
pada Allah SWT sedikitpun, sehingga yang tinggal syahadatnya saja.
2.2.5
Keutamaan Sabar
1.
orang yang sabar akan memperoleh pahala yang sangat besar.[12]
Allah berfirman:” Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas .”(QS.
Az-Zumar: 10)
2.
segala dosanya dihapuskan, sebagaimana sabda Nabi SAW:[13]
“Tidak ada seorang muslim yang terkena
suatu gangguan baik duri atau lebih dari itu, melainkan Allah akan menghapuskan
kesalahannya sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya” (HR. Bukhari)
3.
memperoleh balasan berupa surga, dalam hadist qudsi disebutkan: [14]“Apabila Aku menguji seorang hamba-Ku dengan
buta kedua matanya, tetapi ternyata ia sabar, Aku akan mengganti dua mata
hamba-Ku itu dengan surga.” (HR. Bukhari)
2.2.6
Contoh Perilaku Sabar
Contoh orang yang berperilaku sabar ialah tatkala ia menerima sebuah
cobaan yang diberikan Allah SWT ia tidak putus asa olehnya, justru sebaliknya
ia akan lebih bertawakal dan menganggap bahwa cobaan itu merupakan langkah awal
dinaikkannya derajat orang tersebut oleh Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
semua penjelasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa akhlak mahmudah
merupakan suatu kewajiban yang diturunkan oleh Allah agar dapat digunakan untuk
menata kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga dengan
akhlak mahmudah seseorang bisa menjalin hubungan langsung dengan Allah maupun
menjaga silaturahmi dengan sesama manusia agar terjalin suatu ukhuwah yang
kuat.
[1]
Didik Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Genap, Citra
Mentari Malang, p. 25.
[2] Departemen Agama RI, BUKU PELAJARAN
AQIDAH-AKHLAQ (MTS Jilid IB), Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, hal 49
[3] Ibid, hal 49-50
[4] Ibid, hal 50
[5] Ibid, hal 52-53
[6]
Didik Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Ganjil, Citra
Mentari Malang, p. 19.
[7]
Mohammad Fadloli, Keutamaan Budi dalam Islam, Al Ikhlas Surabaya,1992,
p. 124.
[9]
Didik Subroto, LKS Insan Cendekia Akhidah Akhlak VIII Ganjil, Citra
Mentari Malang, p. 16.
[10]M.
Yatimin Abdullah. Studi Akhlak dalam Perspektif al Qur’an. Amzah. Hal 41-42.
[11]H.
Kahar Masyhur. Membina moral & akhlak. Rineka cipta. Hal 387-388.
[12] Op.Cit., Departemen Agama RI, BUKU
PELAJARAN AQIDAH-AKHLAQ (MTS Jilid IB), Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama RI, hal 58
[13] Ibid. hal 58
[14] Ibid. hal 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar