BAB I
PENDAHULUAN
Kemunduran
di bidang ekonomi umat Islam di karenakan kesalahan dalam penafsiran ajaran Islam
tentang kehidupan di dunia. Sehingga perhatian terhadap masalah-masalah
keduniaan hampir terabaikan.
Dengan
semakin canggihnya sistem informasi dan berbagai masalah yang timbul akibat sistem
perekonomian yang ada sekarang, maka akan timbul pembaharuan-pembaharuan yang
mengarah pada suatu sistem yang setidaknya sesuai dengan Islam. Karena sistem
ekonomi selain yang sesuai dengan ajaran Islam membawa dampak jangka pendek dan
atau jangka panjang. Hal ini dapat terjadi akibat keterbatasan manusia dalam
mengatisipasi dan meramalkan kejadian di masa mendatang. Dengan sistem ekonomi Islam
atau setidaknya yang sesuai dengan ajaran Islam, tidak ada lagi monopoli, tidak
ada lagi usaha yang dapat meraup keuntungan di atas normal. Jadi, pada
prinsipnya setiap transaksi didasarkan atas saling menguntungkan.
Ummat
Islam umumnya merupakan pasar yang sangat potensial bagi suatu usaha. Dengan
perbaikan taraf hidup maka umat dapat mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil’alamin melalui dominasi dalam mengambil kebijakan-kebijakan khususnya
yang berkaitan dengan perekonomian, baik regional, nasional maupun
internasional. Dengan demikian proses terjadinya sistem perekonomian Islam akan
lebih cepat.
BAB II
SUBTANSI KAJIAN
A. Pengertian Daulah Islamiyah.
Daulah Islamiyah adalah daulah berbasis
akidah dan pemikiran, daulah yang didirikan pada landasan akidah dan sistem,
bukan sekedar “perangkat proteksi” yang menjaga umat dari agresi dari dalam mau
pun infasi dari luar. Tetapi tugas daulah yang paling mendalam dan yang paling
besar adalah mengajari dan mendidik umat berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip
Islam, menciptakan iklim yang baik agar akidah Islam dapat menjadi panutan bagi
setiap orang yang mencari petunjuk dan menjadi hujjah bagi setiap orang yang
sudah berjalan di atas petunjuk.
Slogan
daulah Islamiyah adalah seperti yang dinyatakan Rab’y bin Amir di hadapan
Rustum, pemimpin Persi, “Sesungguhnya Allah mengutus kami untuk mengeluarkan
manusia dari penyembahan terhadap manusia kepada Allah semata dan kesempitan
dunia kepada keluasannya, dari kelaliman berbagai macam agama kepada keadilan Islam.”[1]
Tujuan-tujuan
yang hendak dicapai oleh Negara Islam adalah mempertahankan keselamatan dan
integritas Negara, memelihara terlaksananya undang-undang dan ketertiban serta
membangun Negara itu sehingga setiap warga negaranya menyadari kemampuan-kemampuannya
dan mau menyumbangkan kemampuan-kemampuannya itu demi kesejahteraan seluruh
warga Negara.[2]
2.1Konsep Negara Dalam Islam
Tidak dinyatakannya istilah daulah
di dalam teks al-Qur’an maupun al-Hadis bukan berarti tidak ada perintah untuk
mendirikan negara Islam. Sama halnya dengan reformasi yang kini hebat berlaku.
Begitu juga dengan istilah demokrasi, restrukturisasi, masyarakat madani, dan
lain-lain istilah yang belum popular pada saat negara ini terbangun. Jika kita perhatikan teks
al-Qur’an maupun al-Hadis secara teliti, mendalam dan dengan pemikiran yang
cemerlang (al-fikr al-mustanir), kita akan mendapatkan petunjuk-petunjuk
yang jelas tentang kewajiban
mendirikan negara Islam. Allah SWT berfirman:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan ulil amri dari kamu sekalian" (QS an-Nisaa: 59).[3]
Ulil amri di sini berarti pemimpin yang
berstatus penguasa, bukan sekadar pemimpin rumah tangga atau pemimpin kelompok.
Dalam tinjauan bahasa Arab, jika istilah ulil amri itu dicelahi idiom min
(dari/bahagian) menjadi ulil minal amri, maka artinya akan merujuk
kepada pemimpin-pemimpin dalam lingkup yang sempit (keluarga, organisasi,
pengadilan, dll).
Allah SWT
berfirman :
zNõ3ßssùr& Ïp¨Î=Îg»yfø9$# tbqäóö7t 4 ô`tBur ß`|¡ômr& z`ÏB «!$# $VJõ3ãm 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏ%qã ÇÎÉÈ
"Apakah undang-undang Jahilliyah yang mereka kehendaki, dan
(undang-undang) siapakah yang lebih
baik daripada (undang-undang) Allah bagi orang-orang yang yakin" (QS al-Maidah: 50).[4]
Abdul Qadim Zallum mengomentari
ayat di atas: "Undang-undang Jahilliyah adalah undang-undang yang tidak
dibawa oleh Rasulullah SAW dari Tuhannya. Undang-undang Jahilliyah adalah
undang-undang kufur yang dibuat oleh manusia".[5]
Pada
ayat yang lain Allah SWT berfirman:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( wur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷Å° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmÏù tbqàÿÎ=tFørB ÇÍÑÈ
"Maka putuskanlah perkara di antara manusia dengan apa yang
telah diturunkan Allah. Dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (QS al-Maidah: 48).[6]
Dari
pemahaman diatas tentang makna negara, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
negara Islam(daulah Islamiyah) diartikan sebagai sebuah sistem
organisasi(negara) yang didalamnya terdapat wilayah, penduduk, undang-undang
serta kedaulatan yang mengacu pada ajaran agama Islam.
Untuk ciri-ciri sebuah negara
sehingga bisa dikatakan sebagai negara Islam di antaranya adalah :
- Aturan dan perundang-undangan yang diterapkan di negara tersebut, berlandaskan pada hukum dan ajaran yang berlaku pada ajaran Islam.
- Islam adalah agama resmi satu-satunya dalam negara tersebut. Sedangkan agama lain yang ada pada negara tersebut, tetap diijinkan untuk hidup hanya tidak diakui oleh pemerintah.
- Pemimpin negara dan semua aparat pemerintahnya diambil dari golongan Islam.
- Pelanggaran atas undang-undang dan hukum yang berlaku, diberikan hukuman yang berlaku dalam ajaran agama Islam.[7]
2.2Negara Islam
pertama
Perbincangan tentang apakah
"Negara Madinah" itu benar-benar suatu negara atau sekadar institusi
kemasyarakatan biasa, lebih berlandaskan pada ketidak-jelasan fakta-fakta
mengenai apa yang terjadi di Madinah dan di seluruh wilayah kekuasaan Islam
pada saat itu.
Dibawah
ini akan penulis paparkan beberapa fakta
yang membuktikan bahwa yang dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah
sebuah negara Islam.[8]
1. Rasulullah saw menerima
bai’ah sebagai Ketua Negara, bukan sebagai Nabi.
Pengakuan seorang Islam kepada
kenabian Muhammad saw adalah dengan ucapan dua kalimah syahadah, bukan dengan
bai’ah. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra yang
berkata:
"Kami dahulu, ketika
membai’ah Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau, beliau
selalu mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan
kemampuanmu)"[9]
Bai’ah ini adalah pernyataan
ketaatan kepada seorang Ketua Negara, bukan sebagai seorang Islam kepada
Nabinya. Buktinya adalah penolakan Rasulullah saw terhadap bai’ah seorang anak
kecil yang belum baligh, iaitu Abdullah bin Hisyam. Imam Bukhari meriwayatkan
dari Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa saudaranya, Abdullah bin Hisyam, pernah
dibawa pergi oleh ibunya, iaitu Zainab binti Humaid, menghadap Rasulullah saw.
Ibunya berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’ahnya." Kemudian
Nabi saw menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap
kepala anak kecil itu dan mendoakannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa
Rasulullah saw memegang jabatan Ketua Negara selain kedudukannya sebagai Nabi.
2. Rasulullah saw sebagai Ketua
Negara mengirim surat kepada penguasa negara-negara besar untuk tunduk di bawah
kekuasaan Islam.
Tidak mungkin suatu masyarakat
biasa memiliki strategi politik untuk meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah
sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu negara yang memiliki kepentingan
luaran yang dirumuskan dalam strategi politik luar negerinya.
Isi surat Rasulullah saw
tersebut adalah:[10]
"Bismillahi ar-Rahman
ar-Rahim. Dari Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada Heraklius pemimpin
Romawi. Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang mengikuti
petunjuk. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya
Allah akan melimpahkan pahala kepada Anda dua kali ganda. Namun jika Anda
berpaling maka Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin."
Surat senada juga disampaikan
kepada Kisra (Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir), Najasyi (Raja Ethiopia),
al-Harith al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari (Raja Yaman). Seruan
ini bukan sekadar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik
untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan
perang. Rasulullah saw pernah mengirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:[11]
"Atas nama Tuhan Ibrahim,
Ishaq, dan Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Uskup Najran.
Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk
memuji Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.
Aku mengajak kalian untuk
menyembah Allah dan meninggalkan penyembahan kepada hamba. Aku mengajak kalian
kepada kekuasan Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian menolak
ajakanku ini, maka hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak
untuk menyerahkan jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan.
Wassalam."[12] Jizyah adalah hak yang
diberikan Allah SWT kepada kaum muslimin dari orang-orang bukan-Islam kerana
adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam .
3. Adanya undang-undang yang bersifat mengikat dan memaksa.
Syariat Islam adalah
undang-undang, bukan sekadar norma. Tindakan jenayah (jarimah) mendapat hukuman
yang dijatuhkan oleh negara walaupun dimensi transendental dalam Islam
mengaitkan penjatuhan hukuman tersebut dengan alam akhirat.
Masyarakat umum sering
membayangkan masyarakat Madinah seperti masyarakat feudal dan kasta yang dalam
proses menjatuhkan hukuman sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan
kejahatan ditentukan melalui musyawarah. Yang sering dijadikan dalil adalah
ayat al-Qur’an surat an-Nisaa: 159 dan asy-Syura: 38 yang memerintahkan Nabi
untuk bermusyawarah mengenai suatu urusan.
Untuk hal-hal yang menyangkut
wahyu dan ketetapan undang-undang, Rasulullah saw tidak meminta pendapat
siapapun selain mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.
( þÎoTÎ) ß$%s{r& ÷bÎ) àMø|Átã În1u z>#xtã BQöqt 5OÏàtã ÇÊÎÈ
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku" (QS Yunus: 15).[13]
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
"(Dan) tidaklah ia mengucapkan sesuatu berasal dari hawa
nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan" (QS
an-Najm: 3-4)
Sebagaimana yang
didefinisikan oleh Harold Laski bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa,
jelaslah bahwa Rasulullah saw menjalankan fungsi sebagai Ketua Negara.
2.3Sistem Ekonomi dalam Daulah
Islamiyah
Asas yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam
negara Islam berdiri di atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah),
pengelolaan (tasharruf), serta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat.
Adapun yang terkait dengan politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya
pemuasan semua kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah)
sesuai kadar kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan
demikian, politik ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam
sebuah negara semata yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional,
lebih dari itu dasar penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian
kekayaan agar terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat,
baik Muslim maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing
individu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada
pertumbuhan kekayaan.
Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu.Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya.Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah SWT semata.Hanya masalahnya, Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan.Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'.Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).
Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu.Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya.Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah SWT semata.Hanya masalahnya, Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan.Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'.Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).
Syara' telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah)
terbagi tiga: pertama, kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku
bagi zat atau kegunaan (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang
mendapatkannya untuk dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut.Dan ini bisa
diperoleh melalui bekerja, warisan, hibah dan sebagainya.Kedua, kepemilikan
umum yaitu izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan
benda tersebut. Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak
terbatas, dan sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan
negara yaitu harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam
(selanjutnya khalifah).Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah, usyur,
khumus dan sebagainya.
Adapun pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang
sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi
pemiliknya untuk memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya
pemanfaatan tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga
mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda
tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena
hubungan seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti
ayah terhadap anaknya.
Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah
politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan
terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi
kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah SWT berfirman:
ös1wtbqä3tP's!rßtû÷üt/Ïä!$uÏYøîF{$#öNä3ZÏB4
"supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (QS. Al-Hasyr: 7).
Karena itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi
tersebut dengan menyuplai rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari
baitul mal (kas Negara).Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan
keseimbangan ekonomi dan kemaslahatan umum.[14]
Bahwa fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara
individu dengan jelas dan gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta
yang terjadi, yang kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari
yang tidak perlu lagi banyak argumentasi.Begitu pula kesenjangan yang lebar,
yang dialami oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu
lagi dijelaskan kerawanan dan absurditasnya.
Orang-orang Kapitalis telah berusaha memecahkan problem
tersebut, tetapi tidak berhasil.Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas
teori tentang distribusi pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi
pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan
tanpa memberikan solusi yang mendalam.Begitu pula dengan orang-orang Sosialis.
Mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu,
selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik itu.
Sehingga, orang-orang Sosialis akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak
milik itu.
Sementara Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut
dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola
kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi
kebutuhan-kebutuhannya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding
dengan sesamanya dalam komunitas masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan
keseimbangan dalam memenuhi kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya.Dengan
demikian, Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.
Oleh karena
itu, hanya negara Islam yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah secara
kaaffah.Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem ekonomi
syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu tentu akan
menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang ingin
dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap faktor-faktor
produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi Islam hanya
akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang menerapkan Islam
secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling
melengkapi.
2.4Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam
memiliki beberapa prinsip dasar:
a.
Berbagai sumber daya dipandang
sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT kepada manusia.
b.
Islam mengakui pemilikan pribadi
dalam batas-batas tertentu.
c.
Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam
adalah kerja sama.
d.
Ekonomi Islam menolak terjadinya
akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.
e.
Ekonomi Islam menjamin pemilikan
masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
f.
Seorang mulsim harus takut kepada
Allah SWT dan hari penentuan di akhirat nanti.
g.
Zakat harus dibayarkan atas
kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h.
Islam melarang riba dalam segala
bentuk.[15]
2.5Ciri-Ciri Ekonomi Islam[16]
Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip
tersebut menimbulkan hal-hal sebagai berikut, yang kemudian menjadi cirri-ciri
perekonomian Islam:
1. Pemilikan. Karena manusia
sebagai khalifah yang berkewajiban mengelola alam untuk kepentingan ummat
manusia maka ia bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya alam.
2. Dijadikan modal untuk suatu
perusahaan swasta atau ikut ambil bagian dari modal yang ditawarkan untuk
investasi.
3. Pelaksanaan perintah untuk
berlomba-lomba berbuat baik. Pertama, berbuat baik atau amal soleh dan kedua,
perbaikan mutu atau kualitas.
4. Thaharah, atau sesuci,
kebersihan. Karena setiap gerakan memerlukan energy, maka sewaktu bergerak juga
perlu malakukan pengeluaran yang harus dibuang.
5. Produk barang dan jasa
harus halal. Baik cara memperoleh input, pengolahannya dan outputnya harus
dapat dibuktikan kehalalannya.
6. Keseimbangan. Dalam
beribadah pada Allah SWT harus diimbangi juga dengan mengusahakan kehidupannya
di dunia.
7. Upah tenaga kerja,
keuntungan dn bunga. Upah tenaga kerja diupayakan sesuai dengan prestasi dan
kebutuhan hidupnya.
8. Upah harus dibayar tanpa
menunggu keringat pekerja mongering.
9. Bekerja dengan baik dalam
ibadah dan juga dalam pekerjaan untuk diri sendiri dan keluarga, disertai
dengan rasa syukur.
10. Kejujuran dan tepat janji.
11. Kelancaran pembangunan.
Pembangunan wajib dijalankan untuk mencapai negeri yang indah. Manusia dilarang
berkeliaran dimuka bumi untuk membuat kejahatan dan kerusakan dimana-mana.
2.6Sumber Penerimaan Negara[17]
1. Zakat. Merupakan pajak
(pembayaran) bercorak khusus yang dipungut dari harta bersih seseorang, yang
harus dikumpulkan oleh Negara dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan khusus,
terutama berbagai corak jaminan sosial.
2. Kharaj. Atau biasa disebut
pajk bumi atau tana. Adalah jenis pajak yang dikenakan pada tanah terutama yang
ditaklukkan oleh kekuatan senjata, terlepas dari si pemilik adalah seorang
dibawah umur, orang dewasa, orang bebas, budak, muslim ataupun non-muslim.
3. Ghanimah. Merupakan jenis
barang bergerak, yang bisa dipindahkan, diperoleh dalam peperangan melawan
musuh.
4. Jizyah. Merupakan pajak
yang dikenakan pada kalangan non-muslim sebagai jaminan yang diberikan oleh
suatu Negara Islam pada mereka guna melindungi kehidupannya.
5. Fa’i. Pembagian fa’i
berlainan dengan ghanimah. Fa’I merupakan penerimaan dari Negara Islam dan
sumber pembiayaan Negara. Sebagai harta Negara dan dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat umum.
6. Pajak atas pertambangan dan
harta karun.
7. Bea cukai dan pungutan
menurut mannnan.
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa
Negara Islam (daulah Islamiyah) diatrikan sebagai sebuah sistem organisasi
(negara) yang didalamnya terdapat wilayah, penduduk, undang-undnag serta
kedaulatan yang mengacu pada ajaran agama Islam.
Sistem
ekonomi dalam Negara Islam berdiri diatas 3 kaidah yaitu kepemilikan (al
milkiyah), pengelolaan (tasharruf). Distribusi kebanyakan ditengah-tengah
masyarakat.
Yang berkaitan dlam politik
ekonomi Islam ialah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer
tiap-tiap individu. Kebutuhan sekunder dan luksnya sesuai kadar kemampuannya
sebagai individu rakyat di Negara Islam. Dengan demikian melainkan dasar
penentuan politik ekonomi Islam adalah mendistribusikan kekayaan agar
terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat baik muslim
maupun non muslim.
SKEMATIKA
DAFTAR PUSTAKA
Qardawi
yusuf, 1997 fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah. Jakarta.
Pustaka al kausar.
John
Esposito, john Donohue. Islam dan pembaharuan;Ensiklopedia Masalah-masalah. Jakarta.
PT. Rajagrafindo persada.
An Nisa’; 59 hal 128. Kitab suci Al Quran
dan terjemahan . Republik Indonesia.
jakarta
Al
maidah; 50 hal 168. Kitab suci Al Quran dan Terjemahan. Republik
Indonesia. Jakarata
Al
Maidah, 48 hal. 168. Kitab suci Al Quran dan Terjemahan. Departemen
Agama Republik Indonesia. Jakarta
Suprayitno
, Eko,2005, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi macro Islam
dan konvensinal. Graha Ilmu .Yogyakarta.
[1]Dr. Yusuf Qardawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 1997), hal, 30.
[2] John
Donohue, john Esposito, Islam dan Pembaharuan:Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada), hal, 486.
[3] Departemen Agama
Republik Indonesia Jkt, kitab suci Al-Qur’an dan Terjemahan, An-Nisa’:
59.Hal.128
[4] Departemen Agama
Republik Indonesia Jkt, kitab suci Al-Qur’an dan Terjemahan, Al-maidah :
50 . hal 168
[5] . Abdul Qadim Zallum,
Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 48
[6] Departemen Agama
Republik Indonesia Jkt, kitab suci Al-Qur’an dan Terjemahan, Al-maidah :
48. hal 168
[7].www.Google.com
(devisi dan ciri negara Islam) , jum’at 30-03-2012, pukul 17.00 wib
[8] Taqiuddin an-Nabhani,Nizham
al-Iqtishadi fi al-Islam, 1953.Hal 26
[9] (H.R.Bukhari dalam
Shahih Bukhari, juga al-Bidayah IV/185)
[10] Ibid.Hal 233
[11] Ibid 120
[12] Tafsir Ibnu Katsir
I/139, al-Bidayah V/55
[13] Departemen Agama
Republik Indonesia Jkt, kitab suci Al-Qur’an dan terjemahnya, yunus:15.
Hal: 307
[14]Imam
Mawardi, Al-Ahkam As-Aulthaniyah, Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam,
(Jakarta: Darul Falah, 2000), hal. 267
[15]Eko
Suprayitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi macro Islam
dan konvensinal(Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2005), hal. 2
Daulah Islamiyah, Baqiyah, Bi'idznillah.
BalasHapusTanah Daulah Islamiyah akan segar dan subur karena darah para syuhada.
salam transparan.org
Daulah Islamiyah, Baqiyah, Bi'idznillah.
BalasHapusTanah Daulah Islamiyah akan segar dan subur karena darah para syuhada dan singa-singa Allah.
salam transparan.org
Mantap smoga beemanfaat
BalasHapus