BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dakwah adalah
bagian penting dalam agama islam, sehingga sering dikatakan bahwa agama islam
adalah agama dakwah. Melalui dakwah itulah ajaran islam bisa tersebar luas ke
seluruh penjuru dunia. Melalui dakwah pula, ajaran islam diamalkan para
pemeluknya sehingga tercemin dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat .
Itulah kenapa, di dalam al-Qur’an sendiri banyak rujukan dalil-dalil yang
berbicara dan mengatur tentang apa dan bagaimana dalam berdakwah.
Proses dakwah
sulit berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran dakwahnya terlebih dahulu.
Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati yang dapat diatur dan
dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia adalah makhluk hidup
dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan, juga memiliki
kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang baik dan harus
diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua potensi ini
merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga da’wah harus
mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan permasalahan yang
dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Keberhasilan
dakwah akan sangat bergantung kepada bagaimana da’i tersebut berdakwah. Tidak
hanya penguasaan materi yang diluar kepala, kemampuan dai dalam mengenal dan
memahami ilmu dakwah pun sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dakwah itu
sendiri. Salah satu anasir ilmu dakwah tersebut ialah membahas tentang strata
Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran-nya.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang strata Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran dalam berdakwah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang strata Mad’u, tipologi Mad’u dan Sasaran dalam berdakwah.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari Strata Mad’u ?
2.
Bagaimana Rumpun dan Tipologi Mad’u ?
3.
Siapa Sasaran dalam Berdakwah ?
1.3
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Strata Mad’u
2.
Untuk mengetahui dan memahami Rumpun dan Tipologi Mad’u
3.
Untuk mengetahui dan memahami Siapa Sasaran dalam Berdakwah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Dari Strata Mad’u
Mad’u adalah manusia
yang menjadi mitra dakwah atau menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima
dakwah, baik secara individu, kelompok, baik yang beragama islam maupun tidak,
dengan kata lain manusia secara keseluruhan. Muhammad Abduh memebagi mad’u mejadi tiga golongan yaitu:
1.
Golongan cerdik cemdekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berfikir secara
kritis, cepat menangkap persoalan.
2.
Golongan awam, yaitu kebanyakan orang yang belum dapat berfikir secara
kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.
3.
Golongan yang berbeda dengan golongan diatas adalah mereka yang senang
membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tak sanggup mendalami
benar.[1]
Salah satu tanda
kebesaran Allah di alam ini adalah keragaman makhluk yang bernama manusia.
Allah SWT. berfirman :“ Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.”
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa keragaman jenis kelamin, suku, bangsa dan warna kulit dan
bahasa sebagai tanda kebesaran Allah yang perlu diteliti dengan seksama untuk
mengenal lebih dekat tipologi manusia untuk selanjutnya menetukan pola
interaksi untu masing-masing kelompok yang berbeda. Mengemal tipologi manusia
adalah salah satu factor penentu suksesnya dakwah, dan merupakan salah satu
fenomena alam yang hanya bias ditangkap oleh orang alim.
Diantara
cara-cara untuk mengenal tipologi manusia, dapat dilakukan dengan beberapa cara
dibawah ini :
·
Mengenal Strata Mad’u Sebagai
Landasan Normatif.
Salah satu makna hikmah dalam dakwah adalah menempatkan manusia sesuai dengan
kadar yang telah ditetapkan Allah. Si saat terjun di sebuah komunitas, atau
melakukan kontak dengan seorang mad;u, da;I yang baik harus mempelajari
terlebih dahulu data yang riel tentang komunitas atau pribadi yang
bersangkutan.
Berikut ini adalah
landasan normative tentang pola komunikasi dan interaksi dengan beragan
manusia, Allah berfirman : “ Maka
mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung
saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung
saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. tiadalah patut
Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah
menghendaki-Nya. kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas
tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui.
Hasan al Bashri berkata
: “Tidak ada seorang alim pun kecuali di atasnya ada orang alim lagi sampai
berakhir kepada Allah”. Ayat ini memberikan informasi kepada kita bahwa kadar
ilmu pengetahuan manusia bertingkat. Informasi ini sekaligus isyarat
kepada kita bagaimana membangun komunikasi dengan berbagai level manusia
tersebut.
2.2 Mengenal Rumpun Mad’u.
Banyak pendapat tentang
tata cara dan bagaimana rumpun mad’u itu, akan tetapi yang sangat mendekati
dengan kultur adalah pengelompokan yang dikemukakan dalam literatur ini
didasarkan kepada tipologi dan klasifikasi masyarakat yaitu berdasarkan
tipologi, masyarakat dibagi dalam lima tipe, yaitu :
a) Tipe innovator, yaitu
masyarakat yang memilki keinginan keras pada setiap fenomena sosial yang
bersifat membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan
antisipatif dalam setiap langkah.
b) Tipe pelopor, yaitu
masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dengan pertimbangan tidak
semua pembaharuan membawa perubahan yang positif.
c) Tipe pengikut dini,
yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kuran siap dengan resiko dan
umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya kelompok kelas dua di
dalam masyarakat.
d) Tipe pengikut akhir, yaitu masyarakat yang
ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada anggota masyarakat yang skeptis
terhadap sikap pembaharuan, sehingga gerakan pembaharuan memerlukan waktu dan
pendekatan yang sesuai untuk masuk.
e) Tipe kolot,
cirri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-benar
terdesak oleh lingkungannya.
Berdasarkan
data-data rumpun mad’u diatas, dapat dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu
:
a. Mad’u
ditinjau dari segi penerimaan dan penolakan ajaran islam. Terbagi dua, yaitu muslim dan non-muslim.
b. Mad’u ditinjau dari
segi pengamalan ajaran agamanya, yaitu dzalim linafsih, muqtashid dan sabiqun
bilkhairat.
c. Mad’u ditinjau dari
segi tingkat pengetahuan agamanya, terbagi, ulama pembelajar dan awam.
d. Mad’u ditinjau dari
struktur sosialnya, terbagi, pemerintah, masyarakat maju dan masyarakat
terbelakang.
e. Mad’u ditinjau dari prioritas dakwah, dimulai
dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, dst.
2.3
Sasaran Dakwah
Mengenal mad’u
(objek dakwah) merupakan salah satu prinsip utama yang harus dimiliki oleh
seorang da’i karena merupakan tuntutan logis dalam menjalankan aktifitas
da’wah. Dengan mengenal mad’u berdasarkan situasi dan kondisinya, dakwah pun
dapat diaplikasikan secara efektif. Kegiata dakwah dalam prinsip ini sering
diibaratkan dengan kegiatan dokter yang mengobati orang sakit, dimana dokter
harus mengetahui jenis penyakit pasien sebelum dia mengobatinya.
Begitu juga
dakwah, proses dakwah sulit berhasil tanpa adanya analisa terhadap sasaran
dakwahnya terlebih dahulu. Sebagaimana diketahui, manusia bukanlah benda mati
yang dapat diatur dan dibentuk tanpa mengadakan respons balik. Tetapi manusia
adalah makhluk hidup dengan segala esensinya, memiliki akal, hati dan perasaan,
juga memiliki kehendak dan cita-cita, selain akal yang dapat menilai mana yang
baik dan harus diikuti dan mana yang tidak baik yang harus dijauhkan. Semua
potensi ini merupakan realitas manusia yang dihadapi oleh da’wah sehingga
da’wah harus mempertimbangkan siapa mad’unya, apa kecenderungan dan
permasalahan yang dialami. Semuanya dikenal dengan analisis sosial.
Lebih mudahnya
untuk memahami pentingnya pengetahuan tentang mad’u, dapat berangkat dari
memahami da’i ibarat seseorang yang menawarkan sesuatu kepada orang lain yang
dida’wahkannya. Agar yang ditawarkan dapat diterima oleh sasaran da’wahnya,
da’i harus mengemas da’wahnya sesuai dengan keinginan dan minat mad’u.
Berdasarkan
deskripsi analog diatas, mengenal mad’u berarti melakukan analisis terhadap
kondisi mad’u, yang dikenalnya dengan analisis sosial. Analisis ini menjadi
alat untuk mengetahui reaitas objektif mad’u, baik faktor geografis,
antropologis, psikologis dan agama, karena berbagai faktor tersebut akan
memengaruhi cara pandang, sikap dan tingkah laku seseorang. Kenyataan ini
menunjukkan adanya perbedaan budaya, ideologi dan hubungan sosial antar manusia
atau dengan lainnya.
Berbeda dengan
manusia, sebagai alam realitas yang selalu berada dalam eksistensi perubahan,
agama adalah alam ideal yang akan menjadi tuntunan hidup manusia. Dua kutub
alam ini adalah dimensi da’wah dianggap sebagai dua kutub yang harus
diseimbangkan. Karena itu adalah aplikasinya dakwah berhubungan dengan dua alam
tersebut sekaligus dan berperan sebagai penyeimbang ataupun poros pertemuan
antara keduanya. Dengan demikian tanpa da’wah kehidupa manusia akan timpang.
Mungkin manusia hanya akan mengenal kehidupan naturalnya saja, tanpa mampu
memperkaya kualitas dirinya untuk menjadi manusia sempurna.
Berkaitan
dengan pandangan ini, aktualisasi praktis da’wah bagi ikhwan al-Safa, diawali
dengan upaya selektivitas dan upaya obserfasi terhadap mad’u. Upaya
selektivitas bertujuan menggali kader-kader da’i, sedangkan upaya observasi
terhadap mad’u bertujuan untuk mencari acuan tindakan dakwah. Da’wah pada pradigma
selektivitas dan observasi dipahami sebagai upaya yang bertujuan mencari
strategi untuk mengajak dan membina mad’u agar mampu mengikuti ajaran dan
memilki loyalitas serta semangat dalam melakukan perjuangan dakwah
bersama-sama. Langkah ini menurut ikhwan al-Safa dipahami sebagai prinsip
da’wah yang melekat dengan fungsi da’i.
Alasan lain
yang menjadi sebab pentingnya mengenal mad’u, adalah karena aktifitas da’wah
bukanlah aktifitas pemaksaan. Tetapi sebaliknya, da’wah adalah aktifitas yang
harus dilakukan dengan cara bujukan yang memikat atau persuasif. Rosulullah
mencontohkan cara ini melalui akhlak al-karimahnya sehingga orang lain percaya
akan kebenaran yang disampaikan dan merasa tertarik untuk mengikuti ajarannya.[2]
Secara garis besar
sasaran mad’u dibagi kepada tiga bagian yaitu : diri sendiri para nabi,
keluarga dan masyarakat luas.
1.
Untuk sasaran pertama yaitu diri para nabi, maka jelas kita mengatakan
bahwa mereka semua soléh, manusia pilihan dan dijamin kebenaran dan
kejujurannya. Ketika ada yang berani membeda-bedakannya, maka ia bukan orang
beriman dan otomatis menjadi musuh Allah.
2.
Untuk sasaran kedua, Dakwah
keluarga merupakan istilah yang belum banyak dikenal dikalangan masyarakat
dibandingkan dengan istilah pendidikan dalam keluarga.[3]
Dan keluarga juga merupakan unit terkecil yang ada di masyarakat. Didalamnya
paling tidak ada seorang ibu, ayah dan anak. Dari jumlah yang sedikit itu, maka
pendekatan dakwah yang pas adalah pendekatan dakwah yang bersifat fardiyah.
Artinya da’wah yang dilakukan secara perorangan ciri khas yang melekat dalam
dakwah fardiyah adalah
·
Adanya hubungan langsung antara seorang da’i dengan mad’u yang
bersifat face to face. Dari hubungan langsung ini akan menjadi feedback,
perilaku spontan, dan senantiasa dinamis.
·
Bisa dilakukan dengan menggunakan perilaku yang bersifat verbal
maupun non verbal, artinya dalam dakwah antar individu boleh dilakukan dengan
isyarat, memberikan contoh, dan membimbing serta konseling.
·
Dakwah antar individu dapat dilakukan dengan persuasif.
Dalam literatur
memperkenalkan dan menggunakan istilah dakwah keluarga bertitik tolak dari
pemahaman bahwa dalam dakwah itu ada yang namanya proses pendidikan. Pendidikan
merupakan tindak lanjut dari proses kegiatan dakwah. Kita akan menemukan keberagaman mad’u para nabi; dan secara garis besar
terbagi kepada dua: ada yang beriman dan mendukung dakwah para rasul, dan ada
yang tidak menerima dan otomatis menjadi penghalang. Di bawah ini kita akan
melihat bahwa lingkungan orang terdekat para rasul, seperti ayah, saudara,
istri dan anak ada yang tidak beriman dan menjadi batu sandungan dalam dakwah
para rasul. Diantaranya adalah dari kalangan:
a.
Ayah. Al-Qur`an mencatat bahwa rasul yang mempunyai mad’u dan tidak mau
beriman dari kalangan ayahnya adalah Nabi Ibrahim ‘alaihi al-saläm.
b.
Saudara. Mad’u dari saudara yang cukup menjadi ujian bagi seorang Nabi
adalah apa yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihi al-saläm.
c.
Istri. Dari kalangan istri para rasul, kita menemukan dua orang yang dicatatkan
dalam al-Qur`an tentang pembangkangan mereka. Allah membuat isteri Nuh dan
isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di
bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami; lalu
kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu
tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang
masuk (jahannam)".
d. Anak. Dalam terjemah
al-Qur`an disebutkan bahwa nama anak Nabi Nuh ‘alaihi al-saläm yang kafir itu
adalah Qanaan. Di samping itu, Nabi Nuh ‘alaihi al-saläm mempunyai putra
lainnya dan mereka beriman yaitu: Sam, Ham dan Jafits.
3.
Kerabat
pemberian nasihat yang paling penting
dan tolong menolong yang paling wajib. Apabila orang tua
atau saudara atau selain keduanya dari penghuni rumah melakukan
sesuatu kemungkaran, wajib saling memberi nasihat,
tolongan menolong dan saling memberi wasiat dengan kebenaran
sebatas kemampuan, dengan cara yang sopan dan mencari
waktu yang tepat sehingga hilang kemungkaran.
4.
Teman
Dalam
berdakwah kepada teman ada beberapa cara yang bisa kita lakukan diantara :
1. Gunakan
kebijaksanaan yang ada untuk menegur pelaku bahawa perbuatannya itu salah dan
melanggar peraturan Islam. Boleh gunakan TV atau Radio untuk memasang CD atau
kased ceramah yang berkaitan dengan pemakaian tudung atau tutup aurat apabila
dia datang ke rumah. Dalam cara tidak langsung, pelaku tersebut dengar dan dia
akan rasa sendiri akan perbuatannya itu. Cara ini tanpa perlu ditegur, dan
tidak memerlukan modal percakapan dan hanya bermodalkan bil elektrik dan modal
CD atau kased ceramah sahaja.
2. Gunakan
perkataan-perkataan hikmah dan tidak sesekali menggunakan perkataan yang
menguris hati pelaku,, seperti bawa dia berbincang baik-baik di tempat yang
tiada orang, kerana bila melakukan teguran dihadapan orang ramai, maka secara
tidak langsung kita telah menjatuhkan air mukanya dihadapan orang.
3. Gunakan
perkataan-perkataan sindiran yang tidak menyinggungnya atau tidak
mengaibkannya, seperti contoh saya berikan cucu Nabi Muhammad saw iaitu Hasan
dan Hussin menegur seorang tua yang mengambil air sembahyang secara cincai dan
sekadar melepaskan kewajipan berwuduk sahaja dengan cara : “Assalamualaikum
pakcik, maaf ganggu, boleh pakcik lihat kami mengambil air sembahyang, jika
salah pak cik tegur kami” (Teks ini digambarkan dari saya sahaja untuk
menyedapkan lagi cerita ).
4. Tegur dengan
menggunakan orang tengah yang dekat dengannya, supaya segala teguran yang
disampaikan melalui orang tengah dapat diterimanya dengan baik dan hati yang
terbuka.
5. Tegur dengan
menggunakan surat, SMS atau sebagainya. Teks mestilah didahulukan dengan
perkataan maaf,perkataan-perkataan yang lembut dan menyatakan apa tujuan kita
menulis surat atau SMS ini, supaya tidak berlakunya salah faham antara pelaku
dan kita.
5.
Masyarakat
Sehubungan dengan kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat, bila dilihat dari aspek kehidupan psikologis, maka
dalam pelaksanaan program kegiatan dakwah, berbagai permaslahan yang menyangkut
sasaran bimbingan atau dakwah mendapatkan konsiderasi yang tepat yaitu meliputi
hal-hal sebagai berikut :
1.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
sosiologis.
2.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
struktur kelembagaan.
3.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
sosial kultural.
4.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
tingkat usia.
5.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
okupasionil (profesi atau pekerjaan).
6.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi tingkat
hidup social-ekonomis.
7.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis
kelamin.
8.
Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi
khusus.
Bila dilihat dari
kehidupan psikologis masing-masing golongan masyarakat tersebut di atas,
memiliki ciri-ciri khusus yang menuntut kepada sistem dan metode dakwah yang di
dasari dengan prinsip-prinsip psikologi yang berbeda-beda, yang merupakan suatu
keharusan jika kita menghendaki efektivitas dan efisiensi dalam program
kegiatan dakwah di kalangan mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
· Strata mad’u
adalah adalah tingkatan dari mad’u atau objek dari dakwah. Sedangkan strata
dakwah yaitu tingkat cendekiawan, tingkat awan, dan tingkatan selain keduanya.
Dengan kita melihat strata ini kita akan bisa meberikan dakwah yang sesuai dengan
tingkatanya.
· Rumpun dan
Tipologi Mad’u adalah pengelompokan mad’u. dalam hal ini Berdasarkan data-data rumpun mad’u diatas, dapat
dikelompokkan dengan lima tinjauan, yaitu :
1.
Mad’u ditinjau dari segi penerimaan dan penolakan
ajaran islam. Terbagi dua, yaitu
muslim dan non-muslim.
2.
Mad’u ditinjau dari segi pengamalan ajaran agamanya, yaitu dzalim linafsih,
muqtashid dan sabiqun bilkhairat.
3.
Mad’u ditinjau dari segi tingkat pengetahuan agamanya, terbagi, ulama
pembelajar dan awam.
4.
Mad’u ditinjau dari struktur sosialnya, terbagi, pemerintah, masyarakat
maju dan masyarakat terbelakang.
5.
Mad’u ditinjau dari prioritas dakwah, dimulai dari
diri sendiri, keluarga, masyarakat, dst.
· Sasaran Dakwah
adalah objek atau sasaran dari dakwah yang di
sampaikan dalam hal ini secara garis besar adalah :
ü Para nabi
ü Keluarga
ü Kerabat
ü Teman
ü Masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Ilaihi Wahyu,
M.A., 2010, “
Komunikasi Dakwah”, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Syabibi Ridho, S.Ag .2008. Metodologi Ilmu Dakwah.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Cet 1.
Basit Abdul . 2008. Dakwah Antar Individu. Yogyakarta :
Grafindo Litera Media. Cet 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar