BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui, bahwa aliran Ahmadiyah adalah Agama baru di luar Islam yang
tumbuh dengan mengatasnamakan Islam. Dalam konstelasi Islam, Ahmadiyah memang
unik. Di beberapa negara, seperti di Arab dan Pakistan, pengikut Ahmadiyah
dimusuhi secara terang-terangan. Bahkan, di Pakistan, Ahmadiyah harus
"keluar" dari Islam dan membentuk agama baru yang bernama Ahmadi.
Dengan demikian, jika kalangan Ahmadiyah di Pakistan hendak menunaikan ibadah
haji, mereka harus keluar dulu dari negara tersebut lantaran pemerintah
setempat hanya memberi izin naik haji kepada yang beragama Islam sesuai yang
tercantum di paspor.
Namun, lantaran "dimusuhi" itulah, Ahmadiyah
justru kerap menjadi perbincangan dan nama kelompok ini pun salah satu mashab
yang paling dikenal di dunia selain Suni di Irak dan Syiah di Iran. Kenapa umat
Islam marah kepada Ahmadiyah? Menurut mereka yang anti-Ahmadiyah, faham
Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran pokok Islam. Maka dari itu, dalam
makalah ini akan diuraikan tentang hal-hal yang bersangkutan di atas dalam
pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah dan perkembangan Ahmadiyah?
2.
Apa saja pembagian kumpulan dalam Ahmadiyah?
3.
Apa saja fase-fase yang terdapat daam Ahmadiyah?
4.
Bagaimana keadaan ahmadiyah di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Ahmadiyah
2.
Untuk menyebutkan apa saja pembagian kumpulan dalam
Ahmadiyah
3.
Untuk mengetahui fase-fase yang terdapat dalam
Ahmadiyah
4.
Untuk mengetahui bagaimana keadaan Ahmadiyah di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan nama
suatu gerakan atau golongan dalam islam, yang mana dipelopori oleh Mirza Ghulam
Ahmad. [1] Sejarah
berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri
sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama
Mirza Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand
yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti
Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab-India. Disitu mereka membangun kota
Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji
Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga
ini terdapat sebutan Mirza.[2]
Tampaknya keluarga Mirza ini,
pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh
sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan
pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran
Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap
kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh
Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari umat
muslim di India. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar Umat Muslim bisa
memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa,
dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan
Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secaa politis, sehingga ia bebas
menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.
Disamping itu, pendiri
Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin
hubungan mereka dengan pemerintah Inggris. Semangat pembaharuan al-Mahdi
Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan umat Muslim di
satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan Arya Samaj dan kaum Misionaris
Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk
mengadakan pebaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh
masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi,
sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai
al-Masih dan al- Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinannya.
Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad adalah realitas Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan
kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip
akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk
menopang kebenaran keyakinan itu, mereka
menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat,
dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan
hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya Isa
al-Masih dan hadis-hadis Mahdiyah yang relevan dengan prinsip keyakinan di
atas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan peristiwa-peristiwa alamiah. Selain
itu akan memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan
ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.[3]
Gerakan ini disebut
Ahmadiyah, karena mengikuti sifat Ahmad dari Qadian (Punjab) Pakistan sebelah
barat laut seperti agama islam yang umum, tetapi ada perbedaan-perbedaannya
sebagai berikut:
Pendapat Sunnah wal-Jamaah, Nabi Isa tidak disalib
yang disalib itu orang yang rupanya seperti Nabi Isa. Beliau sendiri naik ke
syurga.
Golongan Ahmadiyah berpendapat: Nabi Isa betul
disalib, tetapi sesudah disalib tidak wafat. Setelah beliau sembuh dari
luka-lukanya beliau pergi ke Khasmir, disanalah beliau meninggal setelah
menyebarkan agamanya, sebagai makam beliau ditunjuk Sri Nagar dekat Khasmir,
yang terkenal sebagai kuburan Yusasa (Yesus).[4]
Ahmadiyah berjuang
hanya untuk membela dan menyiarkan Islam diakhir zaman ini melalui lima cabang
kegiatan dakwah Islam yang telah digariskan oleh Mujaddid dalam kitab Fathi
Islam (1893), yaitu: (1) Menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan
menerbitkannya. (2) Menyiarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat yang
dilanjutkan dengan pembahasan dan diskusi, (3) Komunikasi langsung dengan
kunjung-mengunjung, mengadakan ceramah-ceramah dan majelis taklim, (4)
Korespondensi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran Islam, dan (5)
Beat.[5]
Setelah pendiri Gerakan
Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman
Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada
tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin
Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia
terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza
Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa : (1) Masih Mau’ud itu betul-betul
Nabi, (2) beliau itu ialah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6, dan
(3) semua orang Islam yang tidak berbeat kepadanya, sekalipun tidak mendengar
nama beliau, hukumnya tetap kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, hal.
35). Jadi menurut Basyruddin Mahmud Ahmad, Nabi Suci Muhammad saw. bukanlah
Nabi terakhir, padahal H.M. Ghulam Ahmad mengajarkan bahwa Nabi Suci Muhammad
saw adalah Nabi terakhir, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama
ataupun Nabi baru (Ayyamus-Shulh, hlm.74). Pendapat Basyuruddin Mahmud
Ahmad yang bertentangan dengan ajaran Imam Zaman tersebut yang menyebabkan
terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. [6]
B. Pembagian
Kumpulan dalam Ahmadiyah
Pada tahun 1908 Mirza Ghulam
Ahmad wafat dan sebagai pemimpin pergerakan Ahmadiyah yang disebut Khalifah I
diangkat salah seorang penganutnya yang tertua, bernama Maulvi Hakim Nuruddin
(27 Mei 1908/13 Maret 1914), sesudah beliau meninggal pada tahun 1914, maka
anak Mirza Ghulam Ahmad yang bernama Mirza Mahmud Khalifah II secara yang
sesat, meminta kepada sekalian anggota, supaya bapaknya diakui sebagai Nabi,
ada yang berkata sebagai Nabi Isa, dan ada yang mengatakan sebagai Imam Mahdi
yang dijanjikan dan siapa yang tidak mau mengakui, dikeluarkan dari kumpulan
kepercayaan ini bertentangan dengan agama islam dimana dikatakan bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Oleh karena itu sebagian dari anggota
perkumpulan Ahmadiyah ini keluar, diantaranya Maulana Muhammad Ali almarhum,
yang kemudian mendirikan serta mengetuai sendirir perkumpulan Ahmadiyah baru di
Lahore bernama Ahmadiyah Anjuman Ishaat Islam Lahore.[7]
Ø
Jadi
sejak tahun 1914 terdapat dua perkumpulan Ahmadiyah:
1.
Ahmadiyah
Qadian (yang asli), yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai
Imam Mahdi dan Isa al-Masih “yang telah datang dan juga telah pergi”.[8] Mereka yang setuju
terhadap pendapat yang menyimpang dari ajaran Pendiri Ahmadiyah tersebut
tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah, yang dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena
pusatnya di Qadian, India, tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke
Rabwah, Pakistan yang kemudian pasca 1984 Khalifahnya berada di Inggris.
Pemimpin jemaat Ahmadiyah disebut Khalifah. Lengkapnya Khalifatul-Masih.[9]
2.
Ahmadiyah
Lahore (berpusat di Lahore-Pakistan Barat). Hanya mengakui
Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, yaitu orang yang membaharui atau
membersihkan agama islam dari hal-hal yang sesat. Jadi mereka mengakui Mirza
Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid pada permulaan abad ke-19.[10]
Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut alias yang
mempertahankan akidah Pendiri Ahmadiyah, tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman
Isya’ati Islam yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore
yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris
Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pemimpinnya disebut Amir (Presiden).
Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah
seorang Mujaddid. Ahmad, dalam Alquran 61:6 adalah Nabi Suci Muhammad saw. dan
kaum Muslimin yang tidak beat kepada beliau tidaklah kafir.[11]
C. Fase
dalam Ahmadiyah
Pertumbuhan dan perkembangan
Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan,
fase perpecaahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.
a. Fase
Kebangkitan
(1880-1900)
Pada fase ini, Mirza Ghulam
Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan
kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping
itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan
di kalangan masyarakat luas.[12] Dalam
merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara
terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk
menerima bai’at dari kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita
kemahdiannya guna menyerukan islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya,
mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu
organisasi yang kuat. Untuk maksud yang
terakhir ini, ia memerlukan bai’at atau janji setia dari para
pengikutnya. Sesudah diadakan pembai’atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi
suatu aliran baru dalam islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.[13]
Pengakuan sebagai al-Mahdi
dan sekaligus merupakan penjelmaan Isa al-Masih yang menerima wahyu secara
berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan
pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan
tersebut menggelisahkan ummat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh
sebagai pembawa bid’ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim
dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.
Dari kenyataan diatas, aliran
yang baru ini harus mengahadapi gelombng permusuhan yang dahsyat terutama dari
intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum
misionaris Kristen dan para propagandis Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari
komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para
pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golonganMirzais atau Qadianis,
dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru
dalam Islam. Nama “Ahmadiyah” oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi
pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam
catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.
b. Fase
Menghadapi Ujian (1900-1908)
Jemaat Ahmadiyah sebagai
suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan
mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan
di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai “nabi” dan
menghormatinya seperti layaknya seorang Rasul Tuhan. Dalam perkembangan
selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah
tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza
dalam beberapa tulisannya, telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan
menggunakan term tersebut di atas. Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani
bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma’al
–Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam
berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya.
Disamping keberhasilan yang
dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide
pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat islam. Lahirnya tantangan
yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat
kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih
adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal
itu sulit dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam. Akibat perbedaan yang
prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling
mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti
oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan
Muslim lain yang non-Ahmadiyah.
Dalam kegiatan dakwahnya,
aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan dikalangan masyarakat
Kristen di Barat yang sedang di landa oleh krisis spiritual di satu pihak, dan
di pihak lain masyarakat Barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan
tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit
mereka cerna itu.[14]
c. Fase
Perpecahan dan Pengembangan (1908-1924)
Keutuhan dan kesatuan
Ahmadiyah, rupanya hanya tebatas pada masa hidup pendirinya, sekalipun aliran
ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan
“khalifah” sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai
wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah
memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara
luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah
mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana
pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah
(pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.[15]
Seorang Nabi itu, menurut
Al-Quran adalah seorang yang memimpin, dan untuk itu ia dipilih oleh Tuhan dan
mendapat bimbingan daripada-Nya ke jalan yang benar dan memberikan kepadanya
sebuah kitab serta kewibawaan untuk mengadili dan juga diberi-Nya mukjizat sebagai tanda kenabian (Surat
Al-An’am ayat 88-90)
Seorang nabi mengakui apa-apa
yang diwahyukan kepadanya sedangkan seorang mujaddid mentaati apa yang
diwahyukan oleh Tuhan kepada seorang nabi, yang diikuti oleh mujaddid tadi.[16]
D. Ahmadiyah
di Indonesia
Di
Indonesia gerakan Lahore ini disebut: Gerakan Ahmadiyah Indonesia Pusat Lahore.
Para pemimpinnya A.L.Joyosugito,
Soedewo, Buoati Wiranata Kusumah. Seolah-sekolah mereka terkenal dengan nama
P.I.R.I (Perguruan Islam Republik Indonesia).[17]
Faham Ahmadiyah Anjuman
Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan
perantaraan dua mubaligh, Mirza Wali Ahmad Baig dalam Maulana Ahmad. Berkat
rahmat Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia
(sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk,
yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.
Sebagai Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Ahmadiyah
(Lahore) tidak menyimpang dari Quran Suci dan Sunnah Nabi, baik dibidang akidah
maupun syariah. Secara rinci Akidah Ahmadiyah telah dirumuskan oleh Maulana
Muhammad Ali, M.A., LL.B., dalam bukunya Albayanu fir-ruju’ilal-qur’an
(1930:33-35) sebagai berikut:
1. Kita percaya dengan
yakin akan Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Suci Muhammad saw.
2. Kita percaya dengan
yakin bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara
sekalian Nabi. Dengan datangnya beliau, agama telah disempurnakan oleh Allah.
Oleh sebab itu sepeninggal beliau tak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi
pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani
dan menegakkan Islam.
3. Kita percaya dengan
yakin bahwa Quran Suci adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Suci
Muhammad saw. Tak ada satu pun ayat yang harus dihapus (mansukh) dan
ayat-ayatnya tetap murni untuk selama-lamanya. Sampai hari Qiyamat Quran
menjadi pedoman petunjuk bagi kaum Muslimin.
4. Kita mengakui bahwa
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 Hijriyah. Beliau bukan Nabi
dan tak pernah mengaku Nabi.
5. Kita percaya bahwa
Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang dipilih oleh
Allah di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam
ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, artinya orang yang diberi sabda Allah.
Anugerah semacam itu acapkali disebut Zillun-Nubuwah, artinya
bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata Zilullah, demikian pula kata Zillun-Nabi
atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi yang sungguh-sungguh.
6. Barang siapa
mengucapkan kalimah syahdat, Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna
Muhammadarrasulullah, dan percaya akan arti dan maksudnya, maka ia adalah
orang Islam, bukan orang kafir.
7. Kita menghormati dan
memuliakan para sahabat, para Wali dan para Ulama besar Islam. Kita tak
membeda-bedakan penghormatan kita terhadap para sahabat, para Wali, para
Muhaddats dan para Mujaddid.
8. Bagi kita, menyebut
kafir kepada orang Islam adalah perbuatan yang amat keji. Oleh sebab itu, tak
akan bersalat makmum di belakang siapa saja yang menyebut kafir kepada orang
Islam; hal ini untuk menunjukkan betapa tak suka kita terhadap perbuatan
semacam itu; sikap demikian kita lakukan terhadap siapa saja, baik itu orang
Ahmadi atau pun bukan. Sebaliknya, kita mau bersalat makmum di belakang siapa
saja yang tak mengafirkan Islam.
9. Kita mengakui akan
benarnya Hadis Nuzulul-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi oleh Quran
Suci sendiri dengan kata-kata yang terang telah berfirman bahwa Nabi Isa a.s.
telah wafat, maka kita percaya bahwa Masih yang akan turun pada akhir zaman
bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya
ada persamaannya dengan Nabi Isa a.s.
10.
Kita percaya bahwa tak ada paksaan untuk memeluk agama
Islam, dan kita percaya pula bahwa tak ada Imam Mahdi yang datang menyiarkan
Islam dengan pedang. Adapun Imam Mahdi yang sesungguhnya ialah seorang Mujaddid
dan dianugerahi petunjuk dan sabda Allah untuk menegakkan, menjaga dan menghayati
agama Islam yang sejati.
Dengan demikian jelaslah
bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam
Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin dalam
arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi
lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat
manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi
(Lahore).[18]
BAB III
PENEUTUP
KESIMPULAN
Ahmadiyah merupakan nama
suatu gerakan atau golongan dalam islam, yang mana dipelopori oleh Mirza Ghulam
Ahmad. Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam
Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga
ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka
dengan pemerintah Inggris. Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul
setelah ia melihat kemunduran Islam dan umat Muslim di satu pihak, dan
gencarnya serangan-serangan Arya Samaj dan kaum Misionaris Kristen terhadap
Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pebaharuan
dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas
termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza
menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al-
Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinannya.
sejak
tahun 1914 terdapat dua perkumpulan Ahmadiyah. Yaitu, Ahmadiyah Qadian (yang asli), yang
mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Isa al-Masih “yang telah
datang dan juga telah pergi”. Dan Ahmadiyah Lahore
(berpusat di Lahore-Pakistan Barat). Hanya mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai
Mujaddid.
Selain itu dalam aliran ini
juga terdapat fase-fase dalam Ahmadiyah, Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah
pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase
perpecaahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.
Dengan demikian
jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M.
Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin
dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik
Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan
umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi
(Lahore). Dengan demikian jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah
yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun
Nabiyyin dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi
lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan
kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum
Ahmadi (Lahore).
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi
Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Fathoni, Muslih, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam
Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Rifai, Moh, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana,
1980.
[2] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham
Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 54
[3] Ibid. Hlm. 56-57
[8] Ibid.
[12] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham
Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 59
[13] Ibid. Hlm. 60
[14] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham
Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 62-65
[15] Ibid. Hlm. 66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar