Jumat, 26 April 2013

AHMADIYAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui, bahwa aliran  Ahmadiyah adalah Agama baru di luar Islam yang tumbuh dengan mengatasnamakan Islam. Dalam konstelasi Islam, Ahmadiyah memang unik. Di beberapa negara, seperti di Arab dan Pakistan, pengikut Ahmadiyah dimusuhi secara terang-terangan. Bahkan, di Pakistan, Ahmadiyah harus "keluar" dari Islam dan membentuk agama baru yang bernama Ahmadi. Dengan demikian, jika kalangan Ahmadiyah di Pakistan hendak menunaikan ibadah haji, mereka harus keluar dulu dari negara tersebut lantaran pemerintah setempat hanya memberi izin naik haji kepada yang beragama Islam sesuai yang tercantum di paspor.
Namun, lantaran "dimusuhi" itulah, Ahmadiyah justru kerap menjadi perbincangan dan nama kelompok ini pun salah satu mashab yang paling dikenal di dunia selain Suni di Irak dan Syiah di Iran. Kenapa umat Islam marah kepada Ahmadiyah? Menurut mereka yang anti-Ahmadiyah, faham Ahmadiyah telah menyimpang dari ajaran pokok Islam. Maka dari itu, dalam makalah ini akan diuraikan tentang hal-hal yang bersangkutan di atas dalam pembahasan.
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah dan perkembangan Ahmadiyah?
2.      Apa saja pembagian kumpulan dalam Ahmadiyah?
3.      Apa saja fase-fase yang terdapat daam Ahmadiyah?
4.      Bagaimana keadaan ahmadiyah di Indonesia?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah dan perkembangan Ahmadiyah
2.      Untuk menyebutkan apa saja pembagian kumpulan dalam Ahmadiyah
3.      Untuk mengetahui fase-fase yang terdapat dalam Ahmadiyah
4.      Untuk mengetahui bagaimana keadaan Ahmadiyah di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Ahmadiyah
Ahmadiyah merupakan nama suatu gerakan atau golongan dalam islam, yang mana dipelopori oleh Mirza Ghulam Ahmad. [1] Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Ia dilahirkan di Qadian tahun 1835, ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtada. Menurut riwayat, nenek moyangnya berasal dari Samarkand yang pindah ke India pada tahun 1530, yaitu sewaktu pemerintahan dinasti Mughal, mereka tinggal di Gundaspur, Punjab-India. Disitu mereka membangun kota Qadian. Menurut suatu keterangan, famili Ghulam Murtada masih keturunan Haji Barlas dari dinasti Mughal, dan oleh karenanya didepan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.[2]
Tampaknya keluarga Mirza ini, pernah menjadi pembantu setia pemerintah kolonial Inggris di India. Jauh sebelum itu, keluarga tersebut sudah menjalin kerja sama yang erat dengan pimpinan kaum Sikh, Ranjat Singh. Dengan demikian, tidak pelak lagi jika aliran Ahmadiyah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Tentunya sikap kooperatif tersebut, berbeda dengan sikap kooperatif yang dijalankan oleh Sayyid Ahmad Khan, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari umat muslim di India. Apabila Ahmad Khan menginginkan agar Umat Muslim bisa memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai oleh bangsa Eropa, dengan mendirikan Universitas Aligarh, maka Mirza Ghulam Ahmad dengan Ahmadiyahnya ingin mendapat perlindungan secaa politis, sehingga ia bebas menyebarkan ide kemahdiannya dan dapat mempertahankan aliran yang didirikannya.
Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris. Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan umat Muslim di satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan Arya Samaj dan kaum Misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pebaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al- Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinannya.
Bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah realitas Isa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan kemunculannya di akhir zaman. Keyakinan ini mereka jadikan sebagai prinsip akidah dan sekaligus merupakan ciri khas teologi aliran tersebut. Untuk menopang  kebenaran keyakinan itu, mereka menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tanda-tanda hari kiamat, dan mereka tafsirkan sesuai dengan paham mereka. Demikian pula dengan hadis-hadis Nabi, terutama hadis-hadis yang berhubungan dengan turunnya Isa al-Masih dan hadis-hadis Mahdiyah yang relevan dengan prinsip keyakinan di atas, yang mereka tafsirkan dan sesuaikan dengan peristiwa-peristiwa alamiah. Selain itu akan memperkuat signifikansi keyakinan tersebut, mereka juga menggunakan ramalan-ramalan yang mereka sebut sebagai ramalan orang suci atau wali.[3]
Gerakan ini disebut Ahmadiyah, karena mengikuti sifat Ahmad dari Qadian (Punjab) Pakistan sebelah barat laut seperti agama islam yang umum, tetapi ada perbedaan-perbedaannya sebagai berikut:
Pendapat Sunnah wal-Jamaah, Nabi Isa tidak disalib yang disalib itu orang yang rupanya seperti Nabi Isa. Beliau sendiri naik ke syurga.
Golongan Ahmadiyah berpendapat: Nabi Isa betul disalib, tetapi sesudah disalib tidak wafat. Setelah beliau sembuh dari luka-lukanya beliau pergi ke Khasmir, disanalah beliau meninggal setelah menyebarkan agamanya, sebagai makam beliau ditunjuk Sri Nagar dekat Khasmir, yang terkenal sebagai kuburan Yusasa (Yesus).[4]
Ahmadiyah berjuang hanya untuk membela dan menyiarkan Islam diakhir zaman ini melalui lima cabang kegiatan dakwah Islam yang telah digariskan oleh Mujaddid dalam kitab Fathi Islam (1893), yaitu: (1) Menyusun karangan-karangan atau buku-buku dan menerbitkannya. (2) Menyiarkan brosur-brosur dan maklumat-maklumat yang dilanjutkan dengan pembahasan dan diskusi, (3) Komunikasi langsung dengan kunjung-mengunjung, mengadakan ceramah-ceramah dan majelis taklim, (4) Korespondensi dengan mereka yang mencari atau menolak kebenaran Islam, dan (5) Beat.[5]
Setelah pendiri Gerakan Ahmadiyah wafat (26 Mei 1908), Gerakan Ahmadiyah dipimpin oleh Shadr Anjuman Ahmadiyah yang diketuai oleh Maulvi Hakim Nuruddin. Setelah beliau wafat pada tanggal 13 Maret 1914, Shadr Anjuman Ahmadiyah dipimpin oleh Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, putera pendiri Gerakan Ahmadiyah. Beberapa saat setelah ia terpilih, timbullah perbedaan pendapat yang penting dan mendasar. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad berpendapat bahwa : (1) Masih Mau’ud itu betul-betul Nabi, (2) beliau itu ialah Ahmad yang diramalkan dalam Qur’an Suci 61:6, dan (3) semua orang Islam yang tidak berbeat kepadanya, sekalipun tidak mendengar nama beliau, hukumnya tetap kafir dan keluar dari Islam (Ainai Sadaqat, hal. 35). Jadi menurut Basyruddin Mahmud Ahmad, Nabi Suci Muhammad saw. bukanlah Nabi terakhir, padahal H.M. Ghulam Ahmad mengajarkan bahwa Nabi Suci Muhammad saw adalah Nabi terakhir, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru (Ayyamus-Shulh, hlm.74). Pendapat Basyuruddin Mahmud Ahmad yang bertentangan dengan ajaran Imam Zaman tersebut yang menyebabkan terjadinya perpecahan dalam Ahmadiyah. [6]

B.   Pembagian Kumpulan dalam Ahmadiyah
Pada tahun 1908 Mirza Ghulam Ahmad wafat dan sebagai pemimpin pergerakan Ahmadiyah yang disebut Khalifah I diangkat salah seorang penganutnya yang tertua, bernama Maulvi Hakim Nuruddin (27 Mei 1908/13 Maret 1914), sesudah beliau meninggal pada tahun 1914, maka anak Mirza Ghulam Ahmad yang bernama Mirza Mahmud Khalifah II secara yang sesat, meminta kepada sekalian anggota, supaya bapaknya diakui sebagai Nabi, ada yang berkata sebagai Nabi Isa, dan ada yang mengatakan sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dan siapa yang tidak mau mengakui, dikeluarkan dari kumpulan kepercayaan ini bertentangan dengan agama islam dimana dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Oleh karena itu sebagian dari anggota perkumpulan Ahmadiyah ini keluar, diantaranya Maulana Muhammad Ali almarhum, yang kemudian mendirikan serta mengetuai sendirir perkumpulan Ahmadiyah baru di Lahore bernama Ahmadiyah Anjuman Ishaat Islam Lahore.[7]

Ø  Jadi sejak tahun 1914 terdapat dua perkumpulan Ahmadiyah:
1.     Ahmadiyah Qadian (yang asli), yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Isa al-Masih “yang telah datang dan juga telah pergi”.[8] Mereka yang setuju terhadap pendapat yang menyimpang dari ajaran Pendiri Ahmadiyah tersebut tergabung dalam Jemaat Ahmadiyah, yang dikenal sebagai Ahmadiyah Qadian, karena pusatnya di Qadian, India, tetapi setelah Pakistan dan India merdeka pindah ke Rabwah, Pakistan yang kemudian pasca 1984 Khalifahnya berada di Inggris. Pemimpin jemaat Ahmadiyah disebut Khalifah. Lengkapnya Khalifatul-Masih.[9]
2.     Ahmadiyah Lahore (berpusat di Lahore-Pakistan Barat). Hanya mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid, yaitu orang yang membaharui atau membersihkan agama islam dari hal-hal yang sesat. Jadi mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid pada permulaan abad ke-19.[10]     Sedangkan mereka yang tak setuju terhadap pendapat tersebut alias yang mempertahankan akidah Pendiri Ahmadiyah, tergabung dalam Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam yang berpusat di Lahore dan dikenal sebagai Ahmadiyah Lahore yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., sekretaris Almarhum Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Pemimpinnya disebut Amir (Presiden). Menurut Ahmadiyah Lahore, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad bukanlah Nabi, dia adalah seorang Mujaddid. Ahmad, dalam Alquran 61:6 adalah Nabi Suci Muhammad saw. dan kaum Muslimin yang tidak beat kepada beliau tidaklah kafir.[11]

C.   Fase dalam Ahmadiyah
Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase perpecaahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.
a.   Fase Kebangkitan (1880-1900)
Pada fase ini, Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam. Disamping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas.[12] Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai’at dari kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan islam ke seantero dunia. Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk maksud yang  terakhir ini, ia memerlukan bai’at atau janji setia dari para pengikutnya. Sesudah diadakan pembai’atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.[13]
Pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan Isa al-Masih yang menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya. Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan ummat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid’ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam.
Dari kenyataan diatas, aliran yang baru ini harus mengahadapi gelombng permusuhan yang dahsyat terutama dari intern ummat Muslim sendiri, disamping ia harus menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu. Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golonganMirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam. Nama “Ahmadiyah” oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.

b.   Fase Menghadapi Ujian (1900-1908)
Jemaat Ahmadiyah sebagai suatu wadah dan sarana perjuangan untuk mengembangkan ide kemahdian dan mencapai cita-citanya, mulailah para pengikut aliran ini secara terang-terangan di tahun 1900, mendakwahkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai “nabi” dan menghormatinya seperti layaknya seorang Rasul Tuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah pergeseran akidah pada diri Mirza Ghulam Ahmad sesudah tahun 1901. Sehubungan dengan masalah ini, al-Maududi menjelaskan bahwa Mirza dalam beberapa tulisannya, telah menyatakan kenabian dan kerasulannya dengan menggunakan term tersebut di atas. Selanjutnya dijelaskan bahwa seorang Qadiani bernama Jalalud-Din Syam dalam bukunya Ma’al –Munkirin-Nubuwwah, menerangkan bahwa Mirza sebelum tahun 1901, dalam berbagai tulisannya mengingkari kenabian dirinya.
Disamping keberhasilan yang dicapai juga tidak ringan tantangan yang dihadapinya dalam mewujudkan ide pembaharuannya, terutama tantangan dari intern ummat islam. Lahirnya tantangan yang sengit ini adalah disebabkan oleh pembaharuan yang dimajukan Mirza, sangat kontradiktif dengan akidah yang telah dimiliki oleh ummat Islam yaitu masih adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Apapun argumen yang dimajukannya, hal itu sulit dapat diterima oleh mayoritas ummat Islam. Akibat perbedaan yang prinsipal ini, lahirlah permusuhan dan fitnahan, sehingga terjadi saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Permusuhan ini kemudian diikuti oleh tindakan pemutusan hubungan kekeluargaan antara pengikut Ahmadiyah dengan Muslim lain yang non-Ahmadiyah.
Dalam kegiatan dakwahnya, aliran Ahmadiyah ini tampaknya cukup mendapat sambutan dikalangan masyarakat Kristen di Barat yang sedang di landa oleh krisis spiritual di satu pihak, dan di pihak lain masyarakat Barat yang telah memperoleh kemajuan berpikir dan tidak loyal lagi terhadap Gereja, karena ajarannya yang dogmatis dan sulit mereka cerna itu.[14]

c.    Fase Perpecahan dan Pengembangan (1908-1924)
Keutuhan dan kesatuan Ahmadiyah, rupanya hanya tebatas pada masa hidup pendirinya, sekalipun aliran ini harus bekerja sesuai dengan wasiatnya yang ada pada Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pimpinan Ahmadiyah yang diistilahkan dengan “khalifah” sesudah Mirza wafat, adalah di tangan Maulawi Nuruddin sampai wafatnya tahun 1914. Selama itu Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah memperoleh kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan ummat Islam secara luas. Akan tetapi, bibit perpecahan di kalangan pengikutnya pada saat itu sudah mulai tampak, yaitu munculnya dua pemikiran yang bertolak belakang. Dimana pemikiran pertama berkisar tentang masalah khalifah (pengganti pimpinan), sedangkan pemikiran kedua berkisar pada masalah pengkafiran terhadap sesama Muslim.[15]

Seorang Nabi itu, menurut Al-Quran adalah seorang yang memimpin, dan untuk itu ia dipilih oleh Tuhan dan mendapat bimbingan daripada-Nya ke jalan yang benar dan memberikan kepadanya sebuah kitab serta kewibawaan untuk mengadili dan juga diberi-Nya  mukjizat sebagai tanda kenabian (Surat Al-An’am ayat 88-90)
Seorang nabi mengakui apa-apa yang diwahyukan kepadanya sedangkan seorang mujaddid mentaati apa yang diwahyukan oleh Tuhan kepada seorang nabi, yang diikuti oleh mujaddid tadi.[16]
D.  Ahmadiyah di Indonesia
Di Indonesia gerakan Lahore ini disebut: Gerakan Ahmadiyah Indonesia Pusat Lahore. Para pemimpinnya A.L.Joyosugito, Soedewo, Buoati Wiranata Kusumah. Seolah-sekolah mereka terkenal dengan nama P.I.R.I (Perguruan Islam Republik Indonesia).[17]
Faham Ahmadiyah Anjuman Isya’ati Islam atau Ahmadiyah Lahore masuk ke Indonesia pada tahun 1924 dengan perantaraan dua mubaligh, Mirza Wali Ahmad Baig dalam Maulana Ahmad. Berkat rahmat Allah, pada tanggal 10 Desember 1928 Gerakan Ahmadiyah Indonesia (sentrum Lahore) didirikan oleh Bapak R.Ng.H. Minhajurrahman Djajasugita dkk, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930.
Sebagai Gerakan Pembaharuan Dalam Islam, Ahmadiyah (Lahore) tidak menyimpang dari Quran Suci dan Sunnah Nabi, baik dibidang akidah maupun syariah. Secara rinci Akidah Ahmadiyah telah dirumuskan oleh Maulana Muhammad Ali, M.A., LL.B., dalam bukunya Albayanu fir-ruju’ilal-qur’an (1930:33-35) sebagai berikut:
1.    Kita percaya dengan yakin akan Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Suci Muhammad saw.
2.    Kita percaya dengan yakin bahwa Nabi Muhammad saw. adalah Nabi terakhir dan yang terbesar diantara sekalian Nabi. Dengan datangnya beliau, agama telah disempurnakan oleh Allah. Oleh sebab itu sepeninggal beliau tak akan ada Nabi lagi yang diutus, akan tetapi pada tiap-tiap permulaan abad akan diutus Mujaddid (Pembaharu), untuk melayani dan menegakkan Islam.
3.    Kita percaya dengan yakin bahwa Quran Suci adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Suci Muhammad saw. Tak ada satu pun ayat yang harus dihapus (mansukh) dan ayat-ayatnya tetap murni untuk selama-lamanya. Sampai hari Qiyamat Quran menjadi pedoman petunjuk bagi kaum Muslimin.
4.    Kita mengakui bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujaddid abad 14 Hijriyah. Beliau bukan Nabi dan tak pernah mengaku Nabi.
5.    Kita percaya bahwa Allah kerap kali mewahyukan sabda-Nya kepada orang-orang suci yang dipilih oleh Allah di antara kaum Muslimin, meskipun mereka bukan Nabi. Orang-orang semacam ini disebut Mujaddid atau Muhaddats, artinya orang yang diberi sabda Allah. Anugerah semacam itu acapkali disebut Zillun-Nubuwah, artinya bayang-bayang kenabian. Sebagaimana kata Zilullah, demikian pula kata Zillun-Nabi atau bayang-bayang Nabi, ini bukan berarti Nabi yang sungguh-sungguh.
6.    Barang siapa mengucapkan kalimah syahdat, Asyhadu alla ilaha illallah, wa-asyhadu anna Muhammadarrasulullah, dan percaya akan arti dan maksudnya, maka ia adalah orang Islam, bukan orang kafir.
7.    Kita menghormati dan memuliakan para sahabat, para Wali dan para Ulama besar Islam. Kita tak membeda-bedakan penghormatan kita terhadap para sahabat, para Wali, para Muhaddats dan para Mujaddid.
8.    Bagi kita, menyebut kafir kepada orang Islam adalah perbuatan yang amat keji. Oleh sebab itu, tak akan bersalat makmum di belakang siapa saja yang menyebut kafir kepada orang Islam; hal ini untuk menunjukkan betapa tak suka kita terhadap perbuatan semacam itu; sikap demikian kita lakukan terhadap siapa saja, baik itu orang Ahmadi atau pun bukan. Sebaliknya, kita mau bersalat makmum di belakang siapa saja yang tak mengafirkan Islam.
9.    Kita mengakui akan benarnya Hadis Nuzulul-Masih atau turunnya al-Masih. Akan tetapi oleh Quran Suci sendiri dengan kata-kata yang terang telah berfirman bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat, maka kita percaya bahwa Masih yang akan turun pada akhir zaman bukanlah Nabi Isa bangsa Israel, melainkan seorang Mujaddid yang sifat-sifatnya ada persamaannya dengan Nabi Isa a.s.
10.              Kita percaya bahwa tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, dan kita percaya pula bahwa tak ada Imam Mahdi yang datang menyiarkan Islam dengan pedang. Adapun Imam Mahdi yang sesungguhnya ialah seorang Mujaddid dan dianugerahi petunjuk dan sabda Allah untuk menegakkan, menjaga dan menghayati agama Islam yang sejati.
Dengan demikian jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi (Lahore).[18]
BAB III
PENEUTUP  
KESIMPULAN

Ahmadiyah merupakan nama suatu gerakan atau golongan dalam islam, yang mana dipelopori oleh Mirza Ghulam Ahmad. Sejarah berdirinya Ahmadiyah, tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendiri aliran ini. Disamping itu, pendiri Ahmadiyah juga ingin melestarikan tradisi keluarganya yang telah lama menjalin hubungan mereka dengan pemerintah Inggris. Semangat pembaharuan al-Mahdi Ahmadiyah ini, muncul setelah ia melihat kemunduran Islam dan umat Muslim di satu pihak, dan gencarnya serangan-serangan Arya Samaj dan kaum Misionaris Kristen terhadap Islam di pihak lain. Karenanya ia merasa terpanggil untuk mengadakan pebaharuan dalam masyarakat. Pada awal kegiatannya, ia diterima oleh masyarakat luas termasuk dari kalangan masyarakat Islam ortodoks. Akan tetapi, sesudah Mirza menyatakan menerima wahyu dan telah diangkat oleh Tuhan sebagai al-Masih dan al- Mahdi, masyarakat berbalik memusuhi dan menghinannya.
sejak tahun 1914 terdapat dua perkumpulan Ahmadiyah. Yaitu, Ahmadiyah Qadian (yang asli), yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi dan Isa al-Masih “yang telah datang dan juga telah pergi”. Dan Ahmadiyah Lahore (berpusat di Lahore-Pakistan Barat). Hanya mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid.
Selain itu dalam aliran ini juga terdapat fase-fase dalam Ahmadiyah, Pertumbuhan dan perkembangan Ahmadiyah pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase kebangkitan, fase perpecaahan, dan fase perluasan daerah pengaruhnya.
Dengan demikian jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi (Lahore). Dengan demikian jelaslah bahwa Ahmadiyah Lahore adalah penjaga akidah yang ditegakkan oleh H.M. Ghulam Ahmad, bahwa Nabi Suci Muhammad saw. Sebagai Khatamun Nabiyyin dalam arti segel (penutup) para Nabi, sesudah beliau tak ada Nabi lagi, baik Nabi lama ataupun Nabi baru. Akidah yang menjadi landasan persatuan kesatuan umat manusia setelah Keesaan Ilahi ini yang dipegang teguh oleh kaum Ahmadi (Lahore).

















DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Fathoni, Muslih, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Rifai, Moh, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1980.



[1] Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994. Cet 3. Hlm. 89

[2] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 54

[3] Ibid. Hlm. 56-57
[4] http://www.ahmadiyah.org/
[5] http://www.ahmadiyah.org/
[6] Ibid

[7] Drs. Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1980. Cet 5. Hlm. 158
[8] Ibid.
[9] http://www.ahmadiyah.org/
[10] Drs. Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1980. Cet 5. Hlm. 158

[11] http://www.ahmadiyah.org/
[12] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 59
[13] Ibid. Hlm. 60
[14] Drs. Muslih Fathoni, M.A, Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994. Cet 1. Hlm. 62-65
[15] Ibid. Hlm. 66
[16] Drs. Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1980. Cet 5. Hlm. 158
[17] Drs. Moh. Rifai, Perbandingan Agama, Semarang: Wicaksana, 1980. Cet 5. Hlm. 159

[18] http://www.ahmadiyah.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar