Jumat, 26 April 2013

'ARIYAH



‘ARIYAH

A.     Pendahuluan

Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam meminjam (‘Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama. 
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘Ariyah ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan tidak musnah contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh peminjam.
Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai ‘Ariyah (pinjam meminjam) dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam proses pinjam meminjam.



B.      Susbtansi kajian

1.  DEFINISI ‘ARIYAH
            Berkata Syaikh Abu Syujak :
فصل في العا ية : وكلّ ما أمكن الانتفاع به مع بقاء عينه جازت إعارته إذا كانت منافعه اثارًا.
            Artinya : Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal zatnya, boleh pula dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal (tidak menjejas zatnya).
            Berkata Ibnu Rif’ah: Hakikat Ariyah (pinjaman) yaitu memperbolehkan mengambil manfaat terhadap apa yang dibolehkan. Syarak memanfaatkannya dengan syarat kekal zatnya untuk dikembalikan kepada yang punya. Al-Mawardi menamakannya mendermakan manfaat dari sesuatu benda.[1]
            Pinjaman adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu yang ditentukan dan untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa barang itu barang kemas dan tidak akan rusak ‘ainnya (keasliannya).[2]
            Lafadz ‘Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih shahih adalah diambil dari lafadz “Aara”. Artinya “ketika sesuatu telah pergi”, sedangkan hakekatnya menurut pengertian syara’ “Ariyah” adalah memenangkan dalam mengambil manfaat dari orang yang ahli karena Allah dengan barang yang halal untuk mengambil manfaatnya beserta kelangsungan keadaannya, agar orang yang meminjam mengembalikan kepada orang yang karena Allah itu.[3]
            Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.[4]
Al Ariyah di ambil dari kata Al Uryu yaitu terlepas dari pinjaman barang ini tidak memerlukan kompensasi
Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.[5]
            As-Sarkhasi dan para ulama’ Madzhab Maliki mendefinisikan i’aarah sebagai pemberian kepemilikan terhadap manfaat tanpa imbalan. Dinamakan I’aarah karena ia tanpa imbalan.[6]
            Adapun para ulama’ Madzhab Syafi’i dan Hambali[7], mereka mendefinisikan I’aarah sebagai pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan. Ia berbeda dengan hibah karena kad pinjam meminjam ini berlaku pada manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada sosok benda itu secara langsung.
            Perbedaan antara kedua definisi ‘Aariyah di atas adalah bahwa definisi pertama menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat, sehingga peminjam boleh meminjamkan kembali apa yang dia pinjam kepada orang lain, sedangkan definisi kedua hanya menunjukkan adanya kebolehan mengambil manfaat, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan apa yang dia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain.
           

Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain :
1)     Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.[8]
2)     Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-Juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan,. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-Hanabah ‘ariyah adalah pembolehan untuk mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imabalan.[9]
3)     Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.[10] 

Ariyah pada asal hukumnya adalah sunnah karena sangat dirasa keperluannya. Tapi kadang-kadang hokum sunnah tersebut bisa berubah menjadi Wajib, seperti contoh: meminjamkan pakaian yang menjadikan sahnya suatu shalat atau meminjamkan alat penyelamat pada orang yang akan tenggelam atau juga meminjamkan alat penyembelih binatang yang dimulyakan syara’.
            Para ulama’ Fiqh membedakan pengertian ‘Ariyah dan hibah, kendatipun keduanya mengandung pengertian kebebasan memanfaatkan barang. Menurut mereka dalam ‘ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
            Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
            Mengenai definisi ‘Ariyah, para ulama’ mengemukakan pendapat mereka. Ulama’ Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi), mengemukakan definisinya:
تمليك المنفعة بغير عوض
“Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.”
            Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbali mengemukakan definisinya :
إ باحة المنفعة بلا عو ضٍ
“Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.”[11]
            ‘Ariyah termasuk salah satu bentuk transaksi tolong menolong yang murni yang terlepas dari unsur komersial.
Contoh : “Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut hingga waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir (orang yang meminjamkan) menyerahkan rumah tersebut di atas kepada musta’ir (orang yang meminjam) dan musta’ir menerimanya dengan penerimaan yang syar’I kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya. Dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian (disebutkan tanggalnya).[12]
            ‘Ariyah dinyatakan berlangsung dengan ucapan dan perbuatan apa saja yang menunjukkan hal itu.


2.     HUKUM DAN DASAR ‘ARIYAH
      ‘Ariyah hukumnya sunnah yang didasarkan dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’.
Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ  tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ  tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ 
5.  (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
6.  Orang-orang yang berbuat riya.
7.  Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam Surat Al-Ma’idah, Allah berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ 
Artinya : Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. Al-Ma’idah : 2)[13] 

Rasulullah SAW bersabda :
والله فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)[14]
Dasar dari hadits adalah bahwa Abu Dawud dan at-Turmudzi meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam khutbah haji wada’:
والعا رية مؤداة
Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)[15]
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
أنّ النّبيّ صلى الله عميه وسلّم استعار منه أدراعا يوم حنين فقال: أغصبًا يا محمدُ؟ قال : بل عارية مضمو نةٌ
            “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)[16].
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).
            Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqaha’ sepakat di syariatkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
            Ibnu Hubairah berkata, “Ulama’ sepakat bahwa ‘ariyah hukumnya boleh sebagai ibadah yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan mendapatkan pahala.[17]
            Ada pendapat yang menyatakan bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ‘ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki barang yang dapat dipinjamkan, kepada seseorang yang amat membutuhkan yang bila orang itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama, seperti ia akan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Akan tetapi, bila seseorang memberikan pinjaman yang dengan meminjamkan itu ia bermaksud menganiaya peminjam atau peminjam itu akan memanfaatkan harta yang dipinjamnya itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ‘ariyah menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan pada kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum pinkam-meminjam pun bisa amat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
            Madzhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkannya kepada orang lain.
            Madzhab Syafi’i, Hanafi , Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al Karkhi berpendapat, bahwa akad ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas kepada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain, namun, semua ulama’ sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain.
            Ulama’ juga berbeda pendapat dalam menentukan hukum, berdasarkan sifat peminjam.
            Jumhur ulama’ berpendapat, bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
            Ulama’ Madzhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga), maka peminjam (pihak kedua), berkewajiban mengganti kerugian, sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu hilang.
            Ulama’ Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa akad ‘ariyah sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak. Pihak pertama (pemilik barang) boleh membatalkan pinjaman tersebut kapan saja dia kehendaki dan peminjam pun (pihak kedua) boleh mengembalikan benda tersebut, bila dia kehendaki, apakah pinjaman mutlak atau terbatas.
            Ulama’ Madzhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjamkan barang (pihak pertama), tidak dapat mengambil barang ‘ariyah sebelum dimanfaatkan oleh peminjam (pihak kedua). Demikian juga halnya, apabila dalam akad ‘ariyah itu ada disebutkan tenggang waktu. Sebelum jatuh tempo, barang itu tidak boleh dibatalkan.    
            Diantaranya hukum-hukum al-ariyah adalah sebagai berikut :
a.       Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah.
Contoh : seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani orang kafir.
b.      Jika Mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya.
c.       Musta’ir (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikanya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
d.      Musta’ir (peminjam) tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu’ir merelakannya.
e.       Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang diatasnya di panen.
f.        Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.[18]

3.     RUKUN-RUKUN ARIYAH

‘Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus dipenuhi.
Adapun rukun ‘Ariyah menurut Jumhur Ulama’ ada empat, yaitu :
a)     Al Mu’ir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan harta (tasarruf) dan berhak penuh atas hartanya itu.
b)     Al-Musta’ir (Orang yang meminjam), disyaratkan jelas dan ahli mengendalikan harta.
c)      Al-Mu’ar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang dibolehkan kekal ‘ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll, yang berubah atau habis ‘ainnya.
d)     Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.[19] Seperti, “Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan”.


4.     SYARAT-SYARAT ‘ARIYAH

a)     Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah. Padahal barang ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad atau transaksi ‘ariyah. Menurut para ulama’ Madzhab Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini.
b)     Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan bukan barang yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan.
c)      Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.[20]
d)     Manfaat yang diambil adalah mubah. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya kendaraan itu digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk silaturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya. Apabila kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan syara’ yaitu tolong menolong dalam kebaikan.[21]

Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang ‘ariyah:
a)     ‘Ariyah tidak sah tanpa adanya izin dari Mu’ir (orang yang meminjamkan).
b)     Barang yang dipinjamkan bermanfaat bagi si peminjam.
c)      Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Mu’ir tidak memberikan batasan waktu.
d)     Barang yang dipinjam oleh Musta’ir rusak, maka Musta;ir harus bertanggung jawab terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut belum dipakai sama sekali.[22]
Para ulama’ telah menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua benda yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan manfaatnya boleh untuk diambil, seperti rumah, tanah, pakaian, hewan, tunggangan dan semua yang dikenali dengan sosoknya, tetapi, tidak boleh meminjamkan para budak wanita untuk digauli. Juga dimakruhkan meminjamkan budak wanita untuk membantu, kecuali jika untuk kerabat dzawil arham yang merupakan mahramnya, karena bisa jadi orang yang dipinjami itu akan berkhalwat dengan si budak lalu menggaulinya.[23] Dan diharamkan meminjamkan senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-Qur’an dan sejenisnya kepada orang kafir serta binatang buruan kepada orang yang sedang berihram.[24]

5.   HUKUM TRANSAKSI ‘ARIYAH

1)     Mayoritas fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah transaksi jaiz (boleh/tidak mengikat). Oleh karena itu, orang yang meminjamkan boleh menarik barangnya yang dipinjam kapan pun.
2)     Malikiyyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh menariknya kembali sebelum dimanfaatkan oleh peminjam, ia wajib membiarkannya selama masa itu. Jika tidak disyaratkan masa peminjaman, waktunya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
3)     Hanafilah berpendapat bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam, seperti jika seseorang meminjamkan tanah kepada orang lain agar ia menanaminya. Dalam kasus ini, pemilik tanah boleh menarik tanahnya sebelum ditanami. Jika telah ditanami, ia tidak boleh menarik tanahnya kecuali setelah peminjam mendapatkan hasil dari tanaman itu.[25]
Pendapat yang rajah (valid) adalah bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam. Namun, jika dapat merugikannya, ia harus memberikan tenggang waktu agar tujuan peminjaman tersebut dapat tercapai dan penarikan tersebut pada waktu yang tidak akan merugikan peminjam. Dengan demikian, tujuan pinjam-meminjam telah tercapai.

6.     KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA

Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia pinjam, setelah ia mendapatkan manfaat yang ia perlukan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 58 :

* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ 
58.  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.[26]

Dari abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

ادّالامانة الى من اءتمنك ولا تخن من خا نك

“Sampaikanlah amanat kepada orang yang memberikan amanat kepadamu, dan janganlah kau berbuat khianat, kendatipun kepada orang yang pernah mengkhianatimu.” (Abu Daud. Tirmidzi, Darimiy).[27]
(Dikeluarkan oleh Abu Daud, dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Hakim).
Orang yang meminjam dialah yang bertanggung jawab atas barang yang dipinjamnya itu, baik berkenan dengan penggantiannya bila rusak atau ongkos pengembaliannya.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

عن سمرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله غليه وسلم قال: على اليد ماأخذت حتى تؤدّي (رواه أبوداود والتر مدى)

Dari Sumurah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Wajib atas tangan menjaga apa yang telah dipinjam sampai barang itu dikembalikan”” (H.R. Abu Dawud dan Tirmizi)[28]
Dalam hadis lain disebutkan:

عن أبى أمامة رضي الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: العا رية مؤداة والزعيم غارم والد ين مقضي. (رواهالترمدى)

“Dari abu Umamah r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “pinjaman itu mesti dikembalikan, dan orang yang meminjam adalah orang yang berhutang, dan utang itu harus di bayar.”
  Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan menshahihkannya dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :


العا رية مؤدّاةٌ

“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.[29]
7.     KONSEKUENSI HUKUM AKAD PINJAM MEMINJAM

1)      Asal konsekuensi hukum pinjam meminjam

Konsekuensi hukumya, menurut para ulama’ Madzhab Maliki dan jumhur ulama’ Madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang ia pinjam tanpa memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai manfaat secara tradisi dan kebiasaan.[30] 
Al- Kurkhi, para ulama’ Madzhab Syafi’I dan para ulama’ Madzhab Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah peminjam boleh memanfaatkan benda yang dia pinjam. Maka ‘Ariyah adalah akad ibadah.[31] Dan ‘Ariyah menurut mereka adalah membolehkan peminjam untuk memanfaatkan benda yang dia pinjam yang mempunyai nilai harta.

a.                         Hak-hak pemanfaatan Benda Pinjaman
Jumhur ulama, mengatakan bahwa peminjam boleh memanfaatkan benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Sedangkan para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini berbeda-beda sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau dibatasi.

b.                          Akad pinjam meminjam yang mutlak
Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk orang lain ketika akad. Misalnya : seseorang meminjamkan tunggangan kepada orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan apakah untuk ditunggangi atau untuk mengangkut barang.
Konsekuensi dari akad pinjam-meminjam yang mutlak ini adalah menempati posisi pemilik barang sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap barang itu dalam rangka mengambil manfaat darinya.

c.  Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Akad pinjam meminjam yang dibatasi adalah dibatasi waktu dan penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah peminjam harus memperhatikan batasan itu semampunya. Karena pada dasarnya sesuatu yang dibatasi harus dipertimbangkan batasannya, kecuali jika memang tidak mampu untuk mengikuti batasan itu karena tidak adanya faedah dan sejenisnya. Sehingga, batasan itu pun diabaikan, karena dalam kondisi ini pembatasan itu sama saja dengan kesia-siaan.

2)   Status pinjaman, harus dijamin gantinya atau sekedar amanah
Para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa pinjaman adalah amanah di tangan peminjam, baik ketika dipakai maupun tidak. Peminjam tidak harus memberikan jaminan gantinya dalam semua kondisi, kecuali jika kerusakan terjadi karena pelanggarannya atau ketidakseriusan dalam menjaganya.
Para ulama’ Madzhab Maliki mengatakan bahwa peminjam harus mengganti pinjaman yang bisa disembunyikan seperti pakaian, perhiasan, dan perahu yang sedang berjalan diatas air, jika ia rusak atau hilang. Hal ini jika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hilangnya atau rusaknya barang pinjaman itu bukan karena ulah peminjam.
Menurut pendapat yang ashah dalam Madzhab Syafi’i, pinjaman harus di ganti nilainya oleh peminjam hari kerusakan jika ia rusak karena pemakaian yang tidak diizinkan, walaupun pemakaian itu tidak berlebihan.
Para ulama’ Madzhab Hanbali dalam pendapatnya yang kuat menyatakan bahwa peminjam harus mengganti barang pinjaman secara mutlak jika ia rusak atau hilang, baik itu karena pelanggarannya atau tidak. Ganti tersebut adalah nilainya ketika barang itu rusak atau hilang.[32]
a.      Pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan ganti
Para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa adanya jaminan ganti untuk barang yang dia pinjamkan, maka persyaratan itu tidak sah.
Para ulama’Madzhab Maliki berkata bahwa jika pemilik barang mensyaratkan adanya jaminan ganti dari peminjam dalam kondisi ketika jaminan ganti tidak diwajibkan, maka peminjam tidak perlu memberikannya namun cukup memberikan bayaran sewa yang umum untuk pemakaian barang itu. Karena syarat adanya jaminan ganti itu mengeluarkan akad peminjaman dari statusnya menjadi akad sewa menyewa tidak sah.
Para ulama’ Madzhab Syafi’i  dan Hambali mengatakan bahwa jika peminjam mensyaratkan agar peminjaman itu sekedar amanah atau tanpa jaminan ganti, maka jaminan itu tidak gugur dan syarat itu pun tidak berlaku ketika terjadi pelanggaran darinya. Karena semua akad yang mengharuskan adanya jaminan ganti tidak bisa diubah oleh syarat yang ditetapkan, seperti barang yang diterima pada jual beli yang sah atau tidak sah.[33] 

b.   Perubahan status pinjaman dari sekedar amanah menjadi harus dijamin gantinya
Menurut Madzhab Hanafi :
ü  Membuatnya hilang atau merusaknya.
ü  Tidak menjaganya ketika sedang memakainya atau menyewakannya.
ü  Menggunakannya untuk sesuatu yang tidak disepakati atau sesuatu yang tidak umum untuk benda itu.
ü  Menyalahi kesepakatan dalam menjaganya.


3.  Perselisihan antara pemilik barang dan peminjam

a.  Perselisihan dalam asal akad atau sifatnya
Jika kedua pihak mengaku bahwa dia menerima barang itu sebagai pinjaman sedangkan pemilik barang mengatakan bahwa itu adalah akad ‘Ariyah sedangkan pemiliknya mengatakan bahwa pihak kedua ghassab, maka perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik barang dengan disertai sumpah. Ini berdasarkan pendapat Madzhab Syafi’i.
Jika barang yang dipinjamkan rusak, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu rusak karena pemakaian yang diizinkan, sedangkan pemberi pinjaman mengingkarinya, dan berkata “ barang itu rusak karena dipakai untuk hal-hal yang tidak diizinkan”, maka para ulama’ sepakat yang diterima adalah perkataan peminjam yang disertai sumpahnya.
Jika peminjam menyatakan bahwa dia telah mengembalikan barang pinjamannya, namun pemiliknya mengingkarinya, maka pemiliknya tersebut harus bersumpah untuk perkataannya itu.

b.   Berakhirnya akad peminjaman

1.      Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
2.      Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
3.      Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
4.      Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
5.      Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karena kedunguan (safah).
6.      Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.  






8.   MENANGGUNG RESIKO
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung jawab.
عن صفوا ن يعلى عن أبيه قال : قال لي رسو الله صليالله عليه وسلم إذا أتتك رسلي فأعطهم ثلاثين درعًا وثلاثين بعيرًا قال : فقلت يا رسو ل الله أعا رية مضمو نة, أوعارتةٌ مؤ داةٌ؟ قال : بل مؤداةٌ
Dari Shafwan bin Ya’la dari bapaknya, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku, “Apabila sejumlah kurirku datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh ekor unta, “Kemudian dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan? “ Jawab beliau, “(Bukan), tetapi pinjaman yang tertunaikan.” (Shahih: Shahih Abu Daud III no: 3045, ash-Shahihah no: 630 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 479 no: 3549).[34]

9.     TANGGUNG JAWAB ‘ARIYAH

Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika masih utuh. Jika barang itu rusak, dalam kasus seperti ini terjadi kontroversi di kalangan fuqaha’ menjadi beberapa pendapat sebagaimana berikut.

1)                 Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Atha’ asy-Syafi’i, Ishaq Ahmad, dan salah satu pendapat Malik berpendapat bahwa jika barang pinjaman rusak, peminjam wajib menggantinya, baik kerusakan itu akibat keteledorannya atau bukan. Mereka beragumentasi dengan hadits Shafwan :

بل عارية مضمونةٌ

“Akan tetapi pinjaman yang dijamin.”  
Begitu juga hadits Samurah dari Rasulullah saw bersabda :

على اليد ما أخذت حتّى تؤديه


“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang diterima sampai ia mengembalikannya.”
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi).[35]

Selain itu, karena peminjam mengambil barang milik orang lain untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk dirusakkan sehingga ia harus menggantinya jika terjadi kerusakan.

2)              Al Hasan, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, ats-Tsauri, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak kecuali jika disengaja. Mereka beragumentasi dengan hadits ‘Umar ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ليس على المستعير غير المغل ضمان

“Peminjam yang tidak khianat tidak wajib mengganti.” (Riwayat al-Baihaqi).  

Al-Muhgill adalah orang yang berkhianat. Di samping itu, karena ia telah memegang barang pinjaman dengan seizin pemiliknya sehingga posisi barang tersebut sebagai amanat seperti barang titipan.

3)              Imam malik dalam pendapat yang masyhur darinya, Ibnu al-Qasim, dan mayoritas ulama yang sepaham dengannya berpendapat bahwa jika barang pinjaman berupa sesuatu yang dapat disembunyikan, seperti baju dan perhiasan, maka wajib diganti jika rusak. Jika barang itu berupa sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, seperti kebun atau hewan, tidak wajib diganti jika rusak. Begitu juga dengan sesuatu yang ada bukti atas kerusakannya.[36]
Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib mengganti barang pinjaman jika rusak, baik karena kesengajaan atau tidak berdasarkan hadits di atas. Selain itu, karena kemashlahatan barang itu diperuntukkan bagi peminjam, bukan pemilik barang. Adanya kewajiban mengganti barang membuat peminjam menjaga barang pinjaman dengan baik.

4)              Menurut Ulama’ Hanafiyah ‘ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut disengaja maka ia akan dikenakan ganti rugi.

Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai berikut :
a.       Apabila barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b.      Apabila barang itu tidak dipelihara sama sekali.
c.       Apabila pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan akad yang berlaku, atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d.      Apabila pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.

Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah akad yang mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam ayau disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab itu, apabila barang tersebut rusak, atau hilang, baik disebabkan pemanfaatan barang itu oleh peminjam maupun oleh sebab-sebab lainnya di luar jangkauan peminjam, maka menurut Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi semenjak barang itu rusak atau hilang. Alasan mereka adalah hadits Rasulullah saw. sebagai berikut :


على اليد ما أخذت حتّى تؤديه (رواه أحمد والحاكم)

“Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab atas resikonya sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad dan Hakim).

Menurut Ulama’ Syafi’iyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain. Alasan mereka adalah hadits Sofwan Ibnu Umaiyah yang mengatakan bahwa “ariyah itu dikenakan ganti rugi” (HR. Abu dawud  dan Ahmad). Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas pemanfaatan yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama’ Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin, kalung, dan jam tangan, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi, apabila ia dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat disembunyikan seperti rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang itu rusak ketika dimanfaatkan maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut :

ليس على المستعير غير المحلّ ضمانٌ (رواه ابو داود والحاكم)

“Pihak peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Abu Dawud dan Hakim).[37]
            Menurut ketentuan agama, pihak peminjam tidak hanya sekedar wajib mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi ia juga wajib memelihara barang pinjaman itu selama dalam tanggungannya. Pihak peminjam bertanggung jawab sepenuhnya atas barang hilang atau rusak, disebabkan kelalaiannya atau karena pemakaian yang berlebihan. Karena itu, bila barang yang dipinjamnya itu hilang ditangannya maka ia wajib menggantinya, serta bila rusak maka ia wajib memperbaiki atau mengganti kerugian karena kerusakan itu. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :

على اليد ما أخذت حتى تؤديه

            “ Pemegang berkewajiban memelihara apa yang sudah ia terima sampai benda itu dipulangkan kembali kepada pemiliknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,, Ahmad, dan Darimiy).[38]

            Bertolak dari prinsip tidak boleh ada pihak yang dirugikan dan merugikan dalam suatu transaksi, maka kewajiban dari pihak peminjam untuk mengganti atau memperbaiki barang yang hilang atau rusak di tangannya merupakan suatu yang bisa diterima akal. Karena pihak peminjam memperoleh manfaat dan keuntungan dari benda yang dipinjamnya, yang merupakan milik pihak lain, maka tidaklah layak bila ia berdiam diri tanpa mengganti rugi sesuatu yang rusak ditangannya akibat kelalaiannya sendiri.

10.   MEMINJAMKAN DAN MENYEWAKAN ‘ARIYAH

1)     Sebagaian fuqaha’, diantaranya Hanafiyah, berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang yang ia pinjam kepada orang lain meskipun pemilik barang itu tidak memberi izin. Hal ini jika barang tidak berubah meskipun dipinjamkan lagi kepada orang lain.
2)     Sebagian fuqaha’ diantaranya Hanabilah, berpendapat bahwa peminjam tidak boleh meminjamkan barang yang ia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang.

Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak boleh meminjamkan atau menyewakannya kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang karena pemilik barang meminjamkan kepadanya, bukan kepada orang lain. Mungkin saja pemilik tidak menyukai tindakan peminjam.
Namun demikian, ada benarnya juga pendapat yang menyatakan bolehnya meminjamkan barang pinjaman, khususnya jika ada pernyataan untuk mengganti kerusakan pada barang pinjaman, baik disengaja maupun tidak. Hal ini karena barang milik orang yang menyewakan merupakan sesuatu yang harus ditanggung. Karena itu, tidaklah relevan pendapat yang membolehkan untuk meminjamkannya tanpa adanya jaminan untuk mengganti jika rusak karena berarti telah menghilangkan hak pemilik tanpa ada keinginan darinya.[39]

*      Syarat tidak Mengganti Barang Pinjaman 

1)     Sebagian ulama’ berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah dapat menggugurkan tanggungan, dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad. Jika pemilik barang memberi izin kepada peminjam untuk merusak barang pinjamannya, maka tidak wajib menggantinya. Begitu pula jika pemilik barang membebaskan peminjam dari kewajiban mengganti pinjaman.
2)     Sebagian ulama berpendapat bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah tidak dapat diberlakukan, dan ini meripakan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini berdasarkan hadits (artinya), “Tidak, tetapi barang pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad). Hal ini karena semua transaksi yang mempunyai konsekuensi menjamin tidak dapat diubah oleh syarat.[40]
Pendapat yang rajih (valid) bahwa pada asalnya, ‘ariyah wajib ditanggung (diganti). Hal ini merupakan hak pemilik barang. Namun, jika pemilik menghapuskan kewajiban untuk menanggung karena keinginan dan kehendaknya sendiri, dalam hal ini dibenarkan.

*      Cara menanggung

Fuqaha’ berpendapat bahwa wajib mengganti barang yang rusak dengan barang sejenis. Jika tidak ada, dengan mengganti harganya saat dirusakkan. Jika yang rusak hanya sebagaiannya, dalam hal ini dihitung bagian yang rusak saja.[41]


C.    Kesimpulan
     ‘Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.
‘Ariyah hukumnya sunnah/ mubah karena dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’un 5-7 dan Surat Al-Maidah ayat 2 dianjurkan kepada manusia agar saling tolong menolong dalam kebaikan, dan jangan tolong menolong dalam kejelekan.
Dalam melakukan ‘Ariyah ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh oleh Al-Mu’ir maupun yang Al-Musta’ir. Rukun ‘Ariyah bagi Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir harus disyaratkan ahli dalam mengendalikan harta, dan barang yang dipinjam diharapkan memberikan manfaat kepada yang meminjam barang tersebut, dan barang tersebut harus kekal dan tidak sah meminjamkan barang yang dapat habis. Dan yang terakhir harus ada Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.
Adapun syarat dalam melakukan ‘Ariyah yaitu Al Mu’ir harus berakal, barang yang dipinjamkan harus bermanfaat, dan pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.
Bagi Al Mu’ir kewajibannya yaitu : Memberikan wasiat kepada Al-Musta’ir, barang yang dipinjamkan dapat bermanfaat bagi si peminjam, dan barang yang di pinjamkan halal.
Bagi Al-Musta’ir : Kewajiban mengembalikan barang pinjaman, Menanggung resiko terhadap barang pinjaman, dan Al-Musta’ir harus bertanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.




D.    
Rukun ‘Ariyah :
1.   Al-Mu’ir  (orang yang meminjamkan)
2.   Al-Musta’ir  (orang yang dipinjami)
3.   Al-Mu’ar  (barang yang dipinjam)
4.   Shighah ‘ariyah
‘Ariyah : adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Hukum ‘Ariyah adalah mubah (boleh).
Dasar ‘Ariyah :
Ø  Q.S Al-Ma’un : 7
Ø  Q.S. Al-ma’idah : 2

Skematika








Tanggung jawab Al Musta’ir :
1.      Kewajiban mengembalikan barang pinjaman.
2.      Menanggung resiko terhadap barang pinjaman.
3.      Tanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.

‘ARIYAH
Syarat ‘Ariyah :
1.    Al-Mu’ir adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum.
2.    Barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah.
3.    Barang yang dipinjamkan itu lansung dapat dikuasai si peminjam.
4.      Manfaat barang yang dipinjam adalah mubah.
 















Akad ‘Ariyah



Perjanjian ‘Ariyah




Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Al-Musta’ir (orang yang meminjam)
Barang yang dipinjam
 






                                                                       

1.      Memberikan wasiat kepada Al-Musta’ir.
2.      Barang yang dipinjamkan  dapat bermanfaat.
3.      Barang yang di pinjamkan halal.
1.      Kewajiban mengembalikan barang pinjaman.
2.      Menanggung resiko terhadap barang pinjaman.
3.      Tanggung jawab terhadap barang yang dipinjam.
 
                                                                             























DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Ibnu, dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Media. 
Azhim, Abdul. 2008. Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz. Jakarta: Pustaka as Sunnah.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih Sunnah. Bandung : Alma’arif.
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. Terjemah Fathul Mu’in. Surabaya : Al-Hidayah.
Drs. H. Imron Abu Amar. Terjemah Fathul Qarib. Kudus : Menara Kudus.   
Az zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ihsan, Ghufron, dan Shiddiq, Sapiudin. 2010. Fiqih Muamalat. Jakarta : Kencana.  
Karim, Helmi. 1997. Fiqih Muamalah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 
Hasan, M, Ali. 2004. Berbagai macam transaksi dalam Islam. Jakarta:  PT. RajaGrafindo Persada. 
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini. 2007. Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar. Surabaya : CV. Bina Iman.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 2000. Ensiklopedia Muslim. Jakarta : PT. Darul Falah.   
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemah Lengkap Bulughul Maram. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2007. Syarah Bulughul Maram. Jakarta:Darul Haq.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Pustaka Azzam.
Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Al-Mutlaq, Abdullah bin Muhammmad, dan Al Musa, Muhammad bin Ibrahim. 2009. Ensiklopedia Fiqih dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta :Maktabah Al-Hanif.


[1] Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654
[2]  Drs. H. ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i (Bandung : CV Pustaka Media), hlm 109
[3] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib (Kudus : Menara Kudus,tt), hlm. 279
[4] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I, hlm 247
[5] Abdullah bin aburrahman abasam, syarah bulughul maram, hlm 606
[6] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hlm 573
[7]  Ibid, hlm 573
[8] Abi Bakr Muhammad Taqiyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-Ma’arif, tt), hlm. 291.
[9] Wahbah al-Juhaili, Op, cit, hlm. 4036.
[10] Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, hlm, 219.
[11] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta : Darul Falah, 2000) hlm 239-240
[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta : Rajagrafindo persada, 2004) hlm 551
[13] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), cet II, hlm 38

[14] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,  Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah,  2008), cet V, hlm 707
[15] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), cet II, hlm 41
[16] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 342-343
[17] Ibid, hlm 343
[18] Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta : Rajagrafindo, 2004) hlm 549- 551
[19] Drs. H. Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syai’i, (Bandung : Pustaka Media, 2000) hlm 110
[20] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I, hlm 249-250
[21] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004) cet II, hlm 243
[22] Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qorib , hlm 36.
[23]  Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011) hlm 575
[24] Ibid, hlm 576
[25] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 345

[26] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,  Al Wajiz Fi Fiqhis  Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah,  2008), cet V, hlm 707
[27] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), cet I, hlm 69
[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta : Akbar, 2007) cet I, hlm 399
[29] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Alm’arif, 1987), cet I, hlm 69
[30]  Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011), cet I, hlm 576
[31] Ibid, 576
[32] Wahbah Az Zuhaili, Ibid, 578-586
[33]  Ibid, 586
[34] ‘Abdul ‘azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz (Jakarta : Pustaka As-Sunnah, 2008), cet V, hlm706
[35] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 346
[36] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 347
[37] Abdul Rahman Al Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010) cet 1, hlm 252-253
[38] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010) cet I, hlm 252-253
[39] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349
[40] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 349
[41] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 350

Tidak ada komentar:

Posting Komentar