‘ARIYAH
A.
Pendahuluan
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang
paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala
ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin
selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada
segala ketentuan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek
berislam harus kita kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam meminjam (‘Ariyah).
Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama
semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar,
yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada
aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan,
seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim
yang taat terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah
ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan
agama.
Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘Ariyah ada beberapa
hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir adalah orang
yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang
yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis
barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan,
minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan tidak musnah
contohnya buku atau barang lain yang dapat dimanfaatkan oleh peminjam.
Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai ‘Ariyah (pinjam meminjam) dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami
dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam proses pinjam meminjam.
B. Susbtansi kajian
1. DEFINISI ‘ARIYAH
Berkata
Syaikh Abu Syujak :
فصل في العا ية : وكلّ ما أمكن الانتفاع به مع بقاء عينه جازت إعارته
إذا كانت منافعه اثارًا.
Artinya :
Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal zatnya, boleh pula
dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal (tidak menjejas zatnya).
Berkata
Ibnu Rif’ah: Hakikat Ariyah
(pinjaman) yaitu memperbolehkan mengambil manfaat terhadap apa yang dibolehkan.
Syarak memanfaatkannya dengan syarat kekal zatnya untuk dikembalikan kepada
yang punya. Al-Mawardi menamakannya mendermakan manfaat dari sesuatu benda.[1]
Pinjaman
adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu yang ditentukan dan
untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa barang itu barang kemas dan
tidak akan rusak ‘ainnya (keasliannya).[2]
Lafadz
‘Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih shahih
adalah diambil dari lafadz “Aara”. Artinya “ketika sesuatu telah pergi”,
sedangkan hakekatnya menurut pengertian syara’ “Ariyah” adalah memenangkan dalam mengambil manfaat dari orang yang
ahli karena Allah dengan barang yang halal untuk mengambil manfaatnya beserta
kelangsungan keadaannya, agar orang yang meminjam mengembalikan kepada orang
yang karena Allah itu.[3]
Secara
etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi.
Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan
mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.[4]
Al Ariyah di ambil dari kata Al Uryu
yaitu terlepas dari pinjaman barang ini tidak memerlukan kompensasi
Secara terminologi Al Ariyah ialah
adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan,
untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan
ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan
berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.[5]
As-Sarkhasi
dan para ulama’ Madzhab Maliki mendefinisikan i’aarah sebagai pemberian kepemilikan terhadap manfaat tanpa
imbalan. Dinamakan I’aarah karena ia
tanpa imbalan.[6]
Adapun para
ulama’ Madzhab Syafi’i dan Hambali[7],
mereka mendefinisikan I’aarah sebagai
pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang
dimiliki tanpa adanya imbalan. Ia berbeda dengan hibah karena kad pinjam
meminjam ini berlaku pada manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada
sosok benda itu secara langsung.
Perbedaan
antara kedua definisi ‘Aariyah di
atas adalah bahwa definisi pertama menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat,
sehingga peminjam boleh meminjamkan kembali apa yang dia pinjam kepada orang
lain, sedangkan definisi kedua hanya menunjukkan adanya kebolehan mengambil
manfaat, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan apa yang dia pinjam atau
menyewakannya kepada orang lain.
Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda
pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah,
antara lain :
1) Ibnu Rif’ah berpendapat,
bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya,
supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.[8]
2) Menurut pendapat
al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-Juhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat
suatu barang tanpa adanya imbalan,. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-Hanabah
‘ariyah adalah pembolehan untuk
mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imabalan.[9]
3) Amir Syarifuddin
berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah
transaksi atas manfaat suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah
adalah menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa
adanya imbalan.[10]
Ariyah pada asal hukumnya adalah sunnah karena sangat dirasa
keperluannya. Tapi kadang-kadang hokum sunnah tersebut bisa berubah menjadi
Wajib, seperti contoh: meminjamkan pakaian yang menjadikan sahnya suatu shalat
atau meminjamkan alat penyelamat pada orang yang akan tenggelam atau juga
meminjamkan alat penyembelih binatang yang dimulyakan syara’.
Para ulama’
Fiqh membedakan pengertian ‘Ariyah
dan hibah, kendatipun keduanya mengandung pengertian kebebasan memanfaatkan
barang. Menurut mereka dalam ‘ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya,
serta dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi
barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu.
Sebagai
salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah
dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern, dan oleh sebab itu dapat
diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak
manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya.
Mengenai
definisi ‘Ariyah, para ulama’
mengemukakan pendapat mereka. Ulama’ Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh
fikih Hanafi), mengemukakan definisinya:
تمليك المنفعة بغير عوض
“Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.”
Ulama’
Syafi’iyah dan Hanbali mengemukakan definisinya :
إ باحة المنفعة بلا عو ضٍ
“Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.”[11]
‘Ariyah termasuk salah satu bentuk
transaksi tolong menolong yang murni yang terlepas dari unsur komersial.
Contoh
: “Si A telah meminjamkan
kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang pinjamannya,
yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut
hingga waktu tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar, diperbolehkan, wajib
diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah
disepakati. Mu’ir (orang yang meminjamkan) menyerahkan rumah tersebut di atas
kepada musta’ir (orang yang meminjam) dan musta’ir menerimanya dengan
penerimaan yang syar’I kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya. Dan
masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak
satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian
(disebutkan tanggalnya).[12]
‘Ariyah dinyatakan berlangsung dengan
ucapan dan perbuatan apa saja yang menunjukkan hal itu.
2.
HUKUM DAN DASAR ‘ARIYAH
‘Ariyah hukumnya sunnah yang didasarkan
dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’.
Dasar dari Al-Qur’an adalah firman
Allah :
tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd crâä!#tã ÇÏÈ tbqãèuZôJtur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya,
6. Orang-orang yang berbuat riya.
7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Dalam Surat Al-Ma’idah, Allah berfirman
:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur yôolù;$# wur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6t WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4 wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya : Dan saling tolong
menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah tolong menolong
untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. Al-Ma’idah : 2)[13]
Rasulullah SAW bersabda :
والله فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong
saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)[14]
Dasar dari hadits adalah bahwa Abu
Dawud dan at-Turmudzi meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa
Nabi Muhammad SAW bersabda dalam khutbah haji wada’:
والعا رية مؤداة
“Ariyah
(barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud
dan at-Turmudzi)[15]
Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan :
أنّ النّبيّ صلى الله عميه وسلّم
استعار منه أدراعا يوم حنين فقال: أغصبًا يا محمدُ؟ قال : بل عارية مضمو نةٌ
“Bahwasanya
Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin
Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus
dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman
yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)[16].
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى
الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya,
maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan
melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat
Al-Bukhari).
Dasar dari
ijma’ adalah bahwa Fuqaha’ sepakat di syariatkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunahkan
berdasarkan ijma’ kaum muslimin.
Ibnu
Hubairah berkata, “Ulama’ sepakat bahwa ‘ariyah hukumnya boleh sebagai ibadah
yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan mendapatkan pahala.[17]
Ada
pendapat yang menyatakan bahwa ‘ariyah
hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ‘ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki barang yang dapat
dipinjamkan, kepada seseorang yang amat membutuhkan yang bila orang itu tidak
diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang
dilarang agama, seperti ia akan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya, Akan tetapi, bila seseorang memberikan pinjaman yang dengan
meminjamkan itu ia bermaksud menganiaya peminjam atau peminjam itu akan
memanfaatkan harta yang dipinjamnya itu untuk berbuat maksiat, maka hukum
‘ariyah menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan pada kondisi-kondisi yang
amat bervariasi, hukum pinkam-meminjam pun bisa amat bervariasi pula, seperti
wajib, haram, makruh, ataupun mubah.
Madzhab
Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ‘ariyah
merupakan akad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang
dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari
pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu
kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut telah
menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam
saja atau melarangnya meminjamkannya kepada orang lain.
Madzhab
Syafi’i, Hanafi , Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al Karkhi berpendapat, bahwa
akad ‘ariyah hanya bersifat
memanfaatkan benda tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas kepada pihak
kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain, namun,
semua ulama’ sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang
lain.
Ulama’ juga
berbeda pendapat dalam menentukan hukum, berdasarkan sifat peminjam.
Jumhur
ulama’ berpendapat, bahwa pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada izin
pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya.
Ulama’
Madzhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah
yang bersifat mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain
(pihak ketiga), maka peminjam (pihak kedua), berkewajiban mengganti kerugian,
sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu
hilang.
Ulama’
Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa akad ‘ariyah sifatnya tidak mengikat kedua
belah pihak. Pihak pertama (pemilik barang) boleh membatalkan pinjaman tersebut
kapan saja dia kehendaki dan peminjam pun (pihak kedua) boleh mengembalikan
benda tersebut, bila dia kehendaki, apakah pinjaman mutlak atau terbatas.
Ulama’
Madzhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjamkan barang (pihak pertama),
tidak dapat mengambil barang ‘ariyah sebelum dimanfaatkan oleh peminjam (pihak
kedua). Demikian juga halnya, apabila dalam akad ‘ariyah itu ada disebutkan
tenggang waktu. Sebelum jatuh tempo, barang itu tidak boleh dibatalkan.
Diantaranya
hukum-hukum al-ariyah adalah sebagai
berikut :
a. Sesuatu yang dipinjamkan
harus sesuatu yang mubah.
Contoh
: seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani orang kafir.
b. Jika Mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa musta’ir
(peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka
musta’ir wajib menggantinya.
c. Musta’ir
(peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia
mengembalikanya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut
kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi.
d. Musta’ir (peminjam) tidak
boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun meminjamkannya kepada orang
lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu’ir merelakannya.
e. Jika seseorang meminjamkan
kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut
hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk
ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman
yang diatasnya di panen.
f.
Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia
disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu
peminjaman.[18]
3.
RUKUN-RUKUN ARIYAH
‘Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu
adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud
sebagai suatu hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus
dipenuhi.
Adapun rukun ‘Ariyah
menurut Jumhur Ulama’ ada empat, yaitu :
a)
Al Mu’ir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan
harta (tasarruf) dan berhak penuh
atas hartanya itu.
b) Al-Musta’ir
(Orang yang meminjam), disyaratkan jelas dan ahli mengendalikan harta.
c) Al-Mu’ar
(barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang dibolehkan kekal ‘ainnya.
Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll, yang berubah atau habis ‘ainnya.
d) Shighah,
yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.[19]
Seperti, “Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan”.
4.
SYARAT-SYARAT ‘ARIYAH
a) Al-Mu’ir
(orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan dapat (cakap) bertindak
atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai
memegang amanah. Padahal barang ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus
dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang
gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad atau transaksi ‘ariyah.
Menurut para ulama’ Madzhab Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini.
b) Barang yang dipinjam dapat
dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan bukan barang yang musnah atau habis
seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah yang apabila
dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan.
c) Barang yang dipinjamkan
harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau
transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat
dimanfaatkan secara langsung pula.[20]
d) Manfaat yang diambil adalah
mubah. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya kendaraan itu
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti
digunakan untuk silaturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya.
Apabila kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam
dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia
dicela karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan syara’ yaitu tolong menolong
dalam kebaikan.[21]
Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang
‘ariyah:
a) ‘Ariyah tidak
sah tanpa adanya izin dari Mu’ir (orang yang meminjamkan).
b) Barang yang dipinjamkan
bermanfaat bagi si peminjam.
c) Barang yang dipinjam boleh
tanpa adanya batasan waktu. Jika Mu’ir tidak memberikan batasan waktu.
d) Barang yang dipinjam oleh
Musta’ir rusak, maka Musta;ir harus bertanggung jawab terhadap barang tersebut
meskipun barang tersebut belum dipakai sama sekali.[22]
Para ulama’ telah
menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua benda yang dapat dimanfaatkan
dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan manfaatnya boleh untuk diambil,
seperti rumah, tanah, pakaian, hewan, tunggangan dan semua yang dikenali dengan
sosoknya, tetapi, tidak boleh meminjamkan para budak wanita untuk digauli. Juga
dimakruhkan meminjamkan budak wanita untuk membantu, kecuali jika untuk kerabat
dzawil arham yang merupakan
mahramnya, karena bisa jadi orang yang dipinjami itu akan berkhalwat dengan si
budak lalu menggaulinya.[23]
Dan diharamkan meminjamkan senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang
memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-Qur’an dan sejenisnya kepada orang kafir
serta binatang buruan kepada orang yang sedang berihram.[24]
5. HUKUM TRANSAKSI
‘ARIYAH
1) Mayoritas fuqaha’ dari
kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah transaksi jaiz (boleh/tidak mengikat). Oleh karena
itu, orang yang meminjamkan boleh menarik barangnya yang dipinjam kapan pun.
2) Malikiyyah berpendapat
bahwa pemilik barang tidak boleh menariknya kembali sebelum dimanfaatkan oleh
peminjam, ia wajib membiarkannya selama masa itu. Jika tidak disyaratkan masa
peminjaman, waktunya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.
3) Hanafilah berpendapat bahwa
pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam, seperti
jika seseorang meminjamkan tanah kepada orang lain agar ia menanaminya. Dalam
kasus ini, pemilik tanah boleh menarik tanahnya sebelum ditanami. Jika telah
ditanami, ia tidak boleh menarik tanahnya kecuali setelah peminjam mendapatkan
hasil dari tanaman itu.[25]
Pendapat yang rajah (valid)
adalah bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan
peminjam. Namun, jika dapat merugikannya, ia harus memberikan tenggang waktu
agar tujuan peminjaman tersebut dapat tercapai dan penarikan tersebut pada
waktu yang tidak akan merugikan peminjam. Dengan demikian, tujuan
pinjam-meminjam telah tercapai.
6.
KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA
Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia
pinjam, setelah ia mendapatkan manfaat yang ia perlukan.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 58 :
*
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
58. Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.[26]
Dari abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :
ادّالامانة الى من اءتمنك ولا تخن من خا نك
“Sampaikanlah amanat kepada
orang yang memberikan amanat kepadamu, dan janganlah kau berbuat khianat,
kendatipun kepada orang yang pernah mengkhianatimu.” (Abu Daud. Tirmidzi,
Darimiy).[27]
(Dikeluarkan oleh Abu Daud,
dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Hakim).
Orang yang meminjam dialah
yang bertanggung jawab atas barang yang dipinjamnya itu, baik berkenan dengan
penggantiannya bila rusak atau ongkos pengembaliannya.
Dalam sebuah hadis
disebutkan:
عن سمرة رضي الله عنه عن النبي صلى
الله غليه وسلم قال: على اليد ماأخذت حتى تؤدّي (رواه أبوداود والتر مدى)
“Dari
Sumurah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Wajib atas tangan menjaga apa
yang telah dipinjam sampai barang itu dikembalikan”” (H.R. Abu Dawud
dan Tirmizi)[28]
Dalam hadis lain disebutkan:
عن أبى أمامة رضي الله عنه عن النبى صلى الله
عليه وسلم قال: العا رية مؤداة والزعيم غارم والد ين مقضي. (رواهالترمدى)
“Dari abu Umamah
r.a. dari Nabi SAW beliau bersabda, “pinjaman itu mesti dikembalikan, dan orang
yang meminjam adalah orang yang berhutang, dan utang itu harus di bayar.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dan
menshahihkannya dari Abu Umamah, bahwa Rasulullah Saw bersabda :
العا رية مؤدّاةٌ
“Ariyah (barang pinjaman)
adalah barang yang wajib dikembalikan.[29]
7.
KONSEKUENSI HUKUM AKAD PINJAM MEMINJAM
1) Asal konsekuensi hukum pinjam meminjam
Konsekuensi hukumya, menurut para ulama’ Madzhab Maliki dan
jumhur ulama’ Madzhab Hanafi, adalah peminjam memiliki manfaat benda yang ia
pinjam tanpa memberi imbalan, atau dia memiliki sesuatu yang bisa dikategorikan
sebagai manfaat secara tradisi dan kebiasaan.[30]
Al- Kurkhi, para ulama’ Madzhab Syafi’I dan para ulama’
Madzhab Hanbali mengatakan bahwa konsekuensi dari akad pinjam-meminjam adalah
peminjam boleh memanfaatkan benda yang dia pinjam. Maka ‘Ariyah adalah akad ibadah.[31]
Dan ‘Ariyah menurut mereka adalah membolehkan peminjam untuk memanfaatkan benda
yang dia pinjam yang mempunyai nilai harta.
a.
Hak-hak pemanfaatan
Benda Pinjaman
Jumhur ulama, mengatakan bahwa peminjam boleh memanfaatkan
benda pinjaman sesuai dengan izin pemiliknya. Sedangkan para ulama’ Madzhab
Hanafi mengatakan bahwa hak-hak yang diberikan kepada peminjam dalam akad ini
berbeda-beda sesuai dengan bentuk akad itu, apakah ia bersifat mutlak atau
dibatasi.
b.
Akad pinjam meminjam
yang mutlak
Akad pinjam meminjam yang mutlak adalah jika seseorang
meminjam sesuatu tanpa menjelaskan apakah dia menggunakannya sendiri atau untuk
orang lain ketika akad. Misalnya : seseorang meminjamkan tunggangan kepada
orang lain tanpa menyebutkan tempat dan batas waktunya. Juga tanpa menentukan
apakah untuk ditunggangi atau untuk mengangkut barang.
Konsekuensi dari akad pinjam-meminjam yang mutlak ini adalah
menempati posisi pemilik barang sehingga semua yang dilakukan pemilik terhadap
barang itu dalam rangka mengambil manfaat darinya.
c. Akad pinjam meminjam yang dibatasi
Akad pinjam meminjam yang dibatasi adalah dibatasi waktu dan
penggunaannya secara bersamaan atau salah satunya. Konsekuensinya adalah
peminjam harus memperhatikan batasan itu semampunya. Karena pada dasarnya
sesuatu yang dibatasi harus dipertimbangkan batasannya, kecuali jika memang
tidak mampu untuk mengikuti batasan itu karena tidak adanya faedah dan
sejenisnya. Sehingga, batasan itu pun diabaikan, karena dalam kondisi ini
pembatasan itu sama saja dengan kesia-siaan.
2) Status pinjaman, harus dijamin gantinya atau
sekedar amanah
Para ulama’ Madzhab Hanafi
mengatakan bahwa pinjaman adalah amanah di tangan peminjam, baik ketika dipakai
maupun tidak. Peminjam tidak harus memberikan jaminan gantinya dalam semua
kondisi, kecuali jika kerusakan terjadi karena pelanggarannya atau
ketidakseriusan dalam menjaganya.
Para ulama’ Madzhab Maliki
mengatakan bahwa peminjam harus mengganti pinjaman yang bisa disembunyikan
seperti pakaian, perhiasan, dan perahu yang sedang berjalan diatas air, jika ia
rusak atau hilang. Hal ini jika tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
hilangnya atau rusaknya barang pinjaman itu bukan karena ulah peminjam.
Menurut pendapat yang ashah dalam Madzhab Syafi’i, pinjaman
harus di ganti nilainya oleh peminjam hari kerusakan jika ia rusak karena
pemakaian yang tidak diizinkan, walaupun pemakaian itu tidak berlebihan.
Para ulama’ Madzhab Hanbali dalam pendapatnya yang kuat
menyatakan bahwa peminjam harus mengganti barang pinjaman secara mutlak jika ia
rusak atau hilang, baik itu karena pelanggarannya atau tidak. Ganti tersebut
adalah nilainya ketika barang itu rusak atau hilang.[32]
a.
Pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan ganti
Para ulama’ Madzhab Hanafi mengatakan bahwa adanya jaminan
ganti untuk barang yang dia pinjamkan, maka persyaratan itu tidak sah.
Para ulama’Madzhab Maliki berkata bahwa jika pemilik barang
mensyaratkan adanya jaminan ganti dari peminjam dalam kondisi ketika jaminan
ganti tidak diwajibkan, maka peminjam tidak perlu memberikannya namun cukup
memberikan bayaran sewa yang umum untuk pemakaian barang itu. Karena syarat
adanya jaminan ganti itu mengeluarkan akad peminjaman dari statusnya menjadi
akad sewa menyewa tidak sah.
Para ulama’ Madzhab Syafi’i
dan Hambali mengatakan bahwa jika peminjam mensyaratkan agar peminjaman
itu sekedar amanah atau tanpa jaminan ganti, maka jaminan itu tidak gugur dan
syarat itu pun tidak berlaku ketika terjadi pelanggaran darinya. Karena semua
akad yang mengharuskan adanya jaminan ganti tidak bisa diubah oleh syarat yang
ditetapkan, seperti barang yang diterima pada jual beli yang sah atau tidak
sah.[33]
b. Perubahan status pinjaman
dari sekedar amanah menjadi harus dijamin gantinya
Menurut Madzhab Hanafi :
ü Membuatnya hilang atau
merusaknya.
ü Tidak menjaganya ketika
sedang memakainya atau menyewakannya.
ü Menggunakannya untuk
sesuatu yang tidak disepakati atau sesuatu yang tidak umum untuk benda itu.
ü Menyalahi kesepakatan dalam
menjaganya.
3. Perselisihan
antara pemilik barang dan peminjam
a. Perselisihan dalam asal
akad atau sifatnya
Jika kedua pihak mengaku bahwa dia menerima barang itu
sebagai pinjaman sedangkan pemilik barang mengatakan bahwa itu adalah akad
‘Ariyah sedangkan pemiliknya mengatakan bahwa pihak kedua ghassab, maka perkataan yang diterima adalah perkataan pemilik
barang dengan disertai sumpah. Ini berdasarkan pendapat Madzhab Syafi’i.
Jika barang yang dipinjamkan rusak, lalu peminjam mengatakan
bahwa barang itu rusak karena pemakaian yang diizinkan, sedangkan pemberi
pinjaman mengingkarinya, dan berkata “ barang itu rusak karena dipakai untuk
hal-hal yang tidak diizinkan”, maka para ulama’ sepakat yang diterima adalah
perkataan peminjam yang disertai sumpahnya.
Jika peminjam menyatakan bahwa dia telah mengembalikan
barang pinjamannya, namun pemiliknya mengingkarinya, maka pemiliknya tersebut
harus bersumpah untuk perkataannya itu.
b. Berakhirnya akad peminjaman
1. Pemberi pinjaman meminta
agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah
mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
2. Peminjam mengembalikan
barang yang dia pinjam.
3. Salah satu pihak pelaku
akad gila atau tidak sadarkan diri.
4. Kematian salah satu pihak
pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
5. Al- Hajr (pelarangan
untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karena kedunguan (safah).
6. Al- Hajr yang
disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan
kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya
dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.
8. MENANGGUNG RESIKO
Orang yang meminjam adalah orang yang
diberi amanat yang tidak ada tanggungan atasnya, kecuali karena kelalaiannya,
atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan penerima pinjaman harus bertanggung
jawab.
عن صفوا ن يعلى عن أبيه قال : قال لي
رسو الله صليالله عليه وسلم إذا أتتك رسلي فأعطهم ثلاثين درعًا وثلاثين بعيرًا قال
: فقلت يا رسو ل الله أعا رية مضمو نة, أوعارتةٌ مؤ داةٌ؟ قال : بل مؤداةٌ
Dari Shafwan bin Ya’la dari bapaknya,
ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda kepadaku, “Apabila sejumlah kurirku
datang kepadamu, maka berilah kepada mereka tiga puluh baju besi dan tiga puluh
ekor unta, “Kemudian dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini pinjaman yang
terjamin, ataukah pinjaman yang tertunaikan? “ Jawab beliau, “(Bukan), tetapi
pinjaman yang tertunaikan.” (Shahih: Shahih Abu Daud III no: 3045, ash-Shahihah
no: 630 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 479 no: 3549).[34]
9.
TANGGUNG JAWAB ‘ARIYAH
Peminjam wajib mengembalikan barang yang ia pinjam jika
masih utuh. Jika barang itu rusak, dalam kasus seperti ini terjadi kontroversi
di kalangan fuqaha’ menjadi beberapa pendapat sebagaimana berikut.
1)
Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Atha’ asy-Syafi’i, Ishaq Ahmad,
dan salah satu pendapat Malik berpendapat bahwa jika barang pinjaman rusak,
peminjam wajib menggantinya, baik kerusakan itu akibat keteledorannya atau
bukan. Mereka beragumentasi dengan hadits Shafwan :
بل عارية مضمونةٌ
“Akan tetapi pinjaman yang dijamin.”
Begitu juga hadits Samurah dari Rasulullah saw bersabda :
على اليد ما أخذت حتّى تؤديه
“Pemegang berkewajiban menjaga
apa yang diterima sampai ia mengembalikannya.”
(Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi).[35]
Selain itu, karena peminjam
mengambil barang milik orang lain untuk diambil manfaatnya saja, bukan untuk
dirusakkan sehingga ia harus menggantinya jika terjadi kerusakan.
2)
Al Hasan, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz,
ats-Tsauri, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak wajib mengganti barang
pinjaman yang rusak kecuali jika disengaja. Mereka beragumentasi dengan hadits
‘Umar ibn Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
ليس على المستعير غير المغل ضمان
“Peminjam yang tidak khianat tidak wajib mengganti.”
(Riwayat al-Baihaqi).
Al-Muhgill adalah orang
yang berkhianat. Di samping itu, karena ia telah memegang barang pinjaman
dengan seizin pemiliknya sehingga posisi barang tersebut sebagai amanat seperti
barang titipan.
3)
Imam malik dalam pendapat yang masyhur darinya, Ibnu
al-Qasim, dan mayoritas ulama yang sepaham dengannya berpendapat bahwa jika
barang pinjaman berupa sesuatu yang dapat disembunyikan, seperti baju dan
perhiasan, maka wajib diganti jika rusak. Jika barang itu berupa sesuatu yang
tidak dapat disembunyikan, seperti kebun atau hewan, tidak wajib diganti jika
rusak. Begitu juga dengan sesuatu yang ada bukti atas kerusakannya.[36]
Pendapat yang rajah (valid) adalah wajib mengganti barang
pinjaman jika rusak, baik karena kesengajaan atau tidak berdasarkan hadits di
atas. Selain itu, karena kemashlahatan barang itu diperuntukkan bagi peminjam,
bukan pemilik barang. Adanya kewajiban mengganti barang membuat peminjam
menjaga barang pinjaman dengan baik.
4)
Menurut Ulama’ Hanafiyah ‘ariyah di tangan peminjam bersifat
amanah. Oleh karena itu peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan
barang yang bukan disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam
memanfaatkan barang tersebut. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut disengaja
maka ia akan dikenakan ganti rugi.
Menurut Hanafiyah akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah
dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, dalam hal-hal sebagai
berikut :
a. Apabila barang itu secara
sengaja dimusnahkan atau dirusak.
b. Apabila barang itu tidak
dipelihara sama sekali.
c. Apabila pemanfaatan barang
pinjaman itu tidak sesuai dengan akad yang berlaku, atau tidak sesuai dengan
syarat yang disepakati bersama ketika berlangsungnya akad.
d. Apabila pihak peminjam
melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam
akad.
Ulama’ Hanabilah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah akad yang
mempunyai resiko ganti rugi, baik disebabkan oleh peminjam ayau disebabkan
hal-hal lain. Oleh sebab itu, apabila barang tersebut rusak, atau hilang, baik
disebabkan pemanfaatan barang itu oleh peminjam maupun oleh sebab-sebab lainnya
di luar jangkauan peminjam, maka menurut Hanabilah pihak peminjam wajib
membayar ganti rugi semenjak barang itu rusak atau hilang. Alasan mereka adalah
hadits Rasulullah saw. sebagai berikut :
على اليد ما أخذت حتّى تؤديه (رواه
أحمد والحاكم)
“Orang yang mengambil barang orang lain bertanggung jawab
atas resikonya sampai ia mengembalikannya.” (HR. Ahmad dan Hakim).
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, apabila kerusakan barang itu
disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam
dikenakan ganti rugi, baik pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain.
Alasan mereka adalah hadits Sofwan Ibnu Umaiyah yang mengatakan bahwa “ariyah
itu dikenakan ganti rugi” (HR. Abu dawud
dan Ahmad). Akan tetapi apabila kerusakan itu terjadi dalam batas
pemanfaatan yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam itu tidak dikenakan ganti
rugi.
Ulama’ Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang
dipinjamkan itu dapat disembunyikan seperti pakaian, cincin, kalung, dan jam
tangan, lalu peminjam mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan
ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Akan tetapi,
apabila ia dapat membuktikannya, ia tidak dikenakan ganti rugi. Selanjutnya,
apabila barang yang dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat disembunyikan
seperti rumah, tanah, dan kendaraan, kemudian barang itu rusak ketika dimanfaatkan
maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah saw. sebagai berikut :
ليس على المستعير غير المحلّ ضمانٌ (رواه
ابو داود والحاكم)
“Pihak
peminjam yang tidak bersifat khianat tidak dikenakan ganti rugi.” (HR. Abu
Dawud dan Hakim).[37]
Menurut ketentuan agama, pihak
peminjam tidak hanya sekedar wajib mengembalikan pinjamannya apa adanya, tetapi
ia juga wajib memelihara barang pinjaman itu selama dalam tanggungannya. Pihak
peminjam bertanggung jawab sepenuhnya atas barang hilang atau rusak, disebabkan
kelalaiannya atau karena pemakaian yang berlebihan. Karena itu, bila barang
yang dipinjamnya itu hilang ditangannya maka ia wajib menggantinya, serta bila
rusak maka ia wajib memperbaiki atau mengganti kerugian karena kerusakan itu.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda :
على اليد ما أخذت حتى تؤديه
“ Pemegang berkewajiban memelihara
apa yang sudah ia terima sampai benda itu dipulangkan kembali kepada
pemiliknya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,, Ahmad, dan Darimiy).[38]
Bertolak dari prinsip tidak boleh
ada pihak yang dirugikan dan merugikan dalam suatu transaksi, maka kewajiban
dari pihak peminjam untuk mengganti atau memperbaiki barang yang hilang atau
rusak di tangannya merupakan suatu yang bisa diterima akal. Karena pihak
peminjam memperoleh manfaat dan keuntungan dari benda yang dipinjamnya, yang
merupakan milik pihak lain, maka tidaklah layak bila ia berdiam diri tanpa
mengganti rugi sesuatu yang rusak ditangannya akibat kelalaiannya sendiri.
10.
MEMINJAMKAN DAN MENYEWAKAN ‘ARIYAH
1) Sebagaian fuqaha’,
diantaranya Hanafiyah, berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan barang yang
ia pinjam kepada orang lain meskipun pemilik barang itu tidak memberi izin. Hal
ini jika barang tidak berubah meskipun dipinjamkan lagi kepada orang lain.
2) Sebagian fuqaha’
diantaranya Hanabilah, berpendapat bahwa peminjam tidak boleh meminjamkan
barang yang ia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain kecuali dengan izin
pemilik barang.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak boleh meminjamkan
atau menyewakannya kepada orang lain kecuali dengan izin pemilik barang karena
pemilik barang meminjamkan kepadanya, bukan kepada orang lain. Mungkin saja
pemilik tidak menyukai tindakan peminjam.
Namun demikian, ada benarnya juga pendapat yang menyatakan
bolehnya meminjamkan barang pinjaman, khususnya jika ada pernyataan untuk
mengganti kerusakan pada barang pinjaman, baik disengaja maupun tidak. Hal ini
karena barang milik orang yang menyewakan merupakan sesuatu yang harus
ditanggung. Karena itu, tidaklah relevan pendapat yang membolehkan untuk
meminjamkannya tanpa adanya jaminan untuk mengganti jika rusak karena berarti
telah menghilangkan hak pemilik tanpa ada keinginan darinya.[39]
Syarat tidak Mengganti
Barang Pinjaman
1) Sebagian ulama’ berpendapat
bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah
dapat menggugurkan tanggungan, dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad.
Jika pemilik barang memberi izin kepada peminjam untuk merusak barang
pinjamannya, maka tidak wajib menggantinya. Begitu pula jika pemilik barang
membebaskan peminjam dari kewajiban mengganti pinjaman.
2) Sebagian ulama berpendapat
bahwa syarat tidak mengganti dalam ‘ariyah
tidak dapat diberlakukan, dan ini meripakan salah satu riwayat dari Ahmad. Ini
berdasarkan hadits (artinya), “Tidak, tetapi barang pinjaman yang dijamin.”
(Riwayat Abu Dawud dan Ahmad). Hal ini karena semua transaksi yang mempunyai
konsekuensi menjamin tidak dapat diubah oleh syarat.[40]
Pendapat yang rajih (valid) bahwa pada asalnya, ‘ariyah
wajib ditanggung (diganti). Hal ini merupakan hak pemilik barang. Namun, jika
pemilik menghapuskan kewajiban untuk menanggung karena keinginan dan
kehendaknya sendiri, dalam hal ini dibenarkan.
Cara menanggung
Fuqaha’ berpendapat bahwa wajib mengganti barang yang rusak
dengan barang sejenis. Jika tidak ada, dengan mengganti harganya saat
dirusakkan. Jika yang rusak hanya sebagaiannya, dalam hal ini dihitung bagian
yang rusak saja.[41]
C.
Kesimpulan
‘Ariyah
adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan,
untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan
ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan
berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.
‘Ariyah hukumnya sunnah/ mubah karena
dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’un 5-7 dan Surat Al-Maidah ayat 2 dianjurkan kepada
manusia agar saling tolong menolong dalam kebaikan, dan jangan tolong menolong
dalam kejelekan.
Dalam melakukan ‘Ariyah ada beberapa
syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh oleh Al-Mu’ir maupun yang
Al-Musta’ir. Rukun ‘Ariyah bagi Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir harus disyaratkan ahli
dalam mengendalikan harta, dan barang yang dipinjam diharapkan memberikan
manfaat kepada yang meminjam barang tersebut, dan barang tersebut harus kekal
dan tidak sah meminjamkan barang yang dapat habis. Dan yang terakhir harus ada
Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.
Adapun syarat dalam melakukan ‘Ariyah
yaitu Al Mu’ir harus berakal, barang yang dipinjamkan harus bermanfaat, dan
pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara
langsung pula.
Bagi Al Mu’ir kewajibannya yaitu : Memberikan wasiat kepada
Al-Musta’ir, barang yang dipinjamkan dapat bermanfaat bagi si peminjam, dan
barang yang di pinjamkan halal.
Bagi
Al-Musta’ir : Kewajiban mengembalikan barang pinjaman, Menanggung resiko
terhadap barang pinjaman, dan Al-Musta’ir harus bertanggung jawab terhadap
barang yang dipinjam.
D.
Rukun ‘Ariyah :
1.
Al-Mu’ir (orang yang
meminjamkan)
2.
Al-Musta’ir (orang yang
dipinjami)
3.
Al-Mu’ar (barang yang dipinjam)
4.
Shighah ‘ariyah
|
‘Ariyah : adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang
masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Hukum ‘Ariyah adalah
mubah (boleh).
Dasar ‘Ariyah :
Ø Q.S
Al-Ma’un : 7
Ø Q.S.
Al-ma’idah : 2
|
Tanggung jawab Al Musta’ir :
1. Kewajiban mengembalikan barang pinjaman.
2. Menanggung resiko terhadap barang
pinjaman.
3. Tanggung jawab terhadap barang yang
dipinjam.
|
‘ARIYAH
|
Syarat ‘Ariyah :
1. Al-Mu’ir adalah orang yang berakal dan
dapat bertindak atas nama hukum.
2. Barang yang dipinjam bukan jenis barang
yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah.
3. Barang yang dipinjamkan itu lansung dapat
dikuasai si peminjam.
4. Manfaat
barang yang dipinjam adalah mubah.
|
Akad ‘Ariyah
Perjanjian ‘Ariyah
Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan)
|
Al-Musta’ir (orang
yang meminjam)
|
Barang yang dipinjam
|
1. Memberikan
wasiat kepada Al-Musta’ir.
2. Barang yang
dipinjamkan dapat bermanfaat.
3. Barang yang di
pinjamkan halal.
|
1. Kewajiban
mengembalikan barang pinjaman.
2. Menanggung
resiko terhadap barang pinjaman.
3. Tanggung jawab terhadap
barang yang dipinjam.
|
DAFTAR PUSTAKA
Mas’ud, Ibnu, dan Abidin, Zainal. 2007. Fiqih Madzhab Syafi’i. Bandung: Pustaka Media.
Azhim, Abdul. 2008. Al
Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz. Jakarta: Pustaka as Sunnah.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fiqih
Sunnah. Bandung : Alma’arif.
Asy Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. Terjemah Fathul Mu’in. Surabaya :
Al-Hidayah.
Drs. H. Imron Abu Amar. Terjemah
Fathul Qarib. Kudus : Menara Kudus.
Az zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta : Gema Insani.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ihsan, Ghufron, dan Shiddiq,
Sapiudin. 2010. Fiqih Muamalat.
Jakarta : Kencana.
Karim, Helmi. 1997. Fiqih
Muamalah. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Hasan, M, Ali. 2004. Berbagai
macam transaksi dalam Islam. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini. 2007. Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil Ikhtisar.
Surabaya : CV. Bina Iman.
Abu Bakar Jabir Al Jazairi. 2000. Ensiklopedia Muslim. Jakarta : PT. Darul Falah.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2007. Terjemah Lengkap Bulughul Maram. Jakarta : Akbar Media Eka Sarana.
Abdul Qadir Syaibah al-Hamd. 2007. Syarah Bulughul Maram. Jakarta:Darul Haq.
Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Maram. Jakarta : Pustaka
Azzam.
Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, Al-Mutlaq, Abdullah bin
Muhammmad, dan Al Musa, Muhammad bin Ibrahim. 2009. Ensiklopedia Fiqih dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta :Maktabah
Al-Hanif.
[1] Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina
Iman), hal 654
[2] Drs. H. ibnu Mas’ud, Fiqih
Madzhab Syafi’i (Bandung : CV Pustaka Media), hlm 109
[3] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib (Kudus : Menara
Kudus,tt), hlm. 279
[4] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana,
2010), cet I, hlm 247
[5] Abdullah bin aburrahman abasam, syarah bulughul maram, hlm 606
[6] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema
Insani, 2011), hlm 573
[7] Ibid, hlm 573
[8] Abi Bakr Muhammad Taqiyudin, Kifayat al-Akhyar,
(Bandung:Al-Ma’arif, tt), hlm. 291.
[9] Wahbah al-Juhaili, Op, cit, hlm. 4036.
[10] Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005),
cet. II, hlm, 219.
[11] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta :
Darul Falah, 2000) hlm 239-240
[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah,
(Jakarta : Rajagrafindo persada, 2004) hlm 551
[13] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1997), cet II, hlm 38
[14] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz,
(Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet
V, hlm 707
[15] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1997), cet II, hlm 41
[16] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm
342-343
[17] Ibid, hlm 343
[18] Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah,
(Jakarta : Rajagrafindo, 2004) hlm 549- 551
[19] Drs. H. Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syai’i, (Bandung : Pustaka
Media, 2000) hlm 110
[20] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana,
2010), cet I, hlm 249-250
[21] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2004) cet II, hlm 243
[22] Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qorib , hlm 36.
[23] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011) hlm 575
[24] Ibid, hlm 576
[25] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm
345
[26] Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil ‘Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah,
2008), cet V, hlm 707
[27] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), cet I,
hlm 69
[28] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam,
(Jakarta : Akbar, 2007) cet I, hlm 399
[29] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : Alm’arif, 1987), cet I, hlm
69
[30] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih
Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011), cet I, hlm 576
[31] Ibid, 576
[32] Wahbah Az Zuhaili, Ibid, 578-586
[33] Ibid, 586
[34] ‘Abdul ‘azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil ‘Aziz (Jakarta : Pustaka As-Sunnah, 2008), cet V, hlm706
[35] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 346
[36] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 347
[37] Abdul Rahman Al Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010)
cet 1, hlm 252-253
[38] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta : Kencana, 2010) cet
I, hlm 252-253
[39] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqih Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktbah al Hanif, 2009), hlm 348-349
[40] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam pandangan 4 Madzhab (Yogyakarta : Maktabah Al Hanif, 2009) cet 1, hlm 349
[41] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar Dkk, Ibid, 350
Tidak ada komentar:
Posting Komentar