Kamis, 18 April 2013

PERAN IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM INDONESIA PADA PENDIDIKAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan di masyarakat, baik menyangkut ekonomi, sosial maupun budaya. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, sebenarnya merupakan tantangan bagi institusi pendidikan untuk memberikan jawaban atau solusi terhadap perubahan-perubahan  yang terjadi di masyarakat.

      Atas dasar itu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan termasuk yang diselenggarakan oleh madrasah mesti dilakukan secara konprehensip yaitu mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, terkait dengan aspek moral, akhlak, budi pekerti, perilaku, pengetahuan, kesehatan, ketrampilan dan seni, dijelaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari system pendidikan nasional yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yaitu; dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuainnya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian.
B.      RUMUSAN MASALAH
·         apakah yang dilakukan ikatan cendekiawan muslaim Indonesia pada pendidikan ?
·         Bagaimana pandangan kurkulum 1994 pada madrasah ?
·         Apakah langkah pemerintah pada pendidikan ?
·         Bagaimana pandangan masyarakat tentang pesantren dan bagaimana tanggapan ?
·         Bagaimana langkah pesantren untuk mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman ?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peran ICMI dalam pendidikan
A.         Ikatan cendikiawan muslim indonesia
a)     Sejarah
Kelahiran ICMI berawal dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama  berserakannya keadaan cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.
Dari forum itu kemudian muncul gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional.
Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Waktu itu B.J. Habibie menjawab, sebagai pribadi beliau bersedia tapi sebagai menteri harus meminta izin dari Presiden Soeharto. Beliau juga meminta agar pencalonannya dinyatakan secara resmi melalui surat dan diperkuat dengan dukungan secara tertulis dari kalangan cendekiawan muslim. Sebanyak 49 orang cendekiawan muslim menyetujui pencalonan B.J. Habibie untuk memimpin wadah cendekiawan muslim tersebut.
Pada tanggal 27 September 1990, dalam sebuah pertemuan di rumahnya, B.J. Habibie memberitahukan bahwa usulan sebagai pimpinan wadah cendekiawan muslim itu disetujui Presiden Soeharto. Beliau juga mengusulkan agar wadah cendekiawan muslim itu diberi nama “Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia”, disingkat ICMI.
b)     Peran ICMI dalam pendidikan
Mutu pendidikan di Indonesia saat ini sangatlah memprihatinkan, baik dari sisi pengelolaan maupun dari sisi materi (substansi pendidikan). Oleh karena itu, untuk mencapai  visi  dan  misi ICMI, pemberdayaan pendidikan merupakan kunci penting yang harus dilakukan. Sejalan dengan Program Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat, yang memberikan fokus perhatian pada peningkatan Indek Pembangunan Manusia yaitu meningkatkan pendidikan Sumber Daya Manusia, meningkatkan Kesehatan dan meningkatkan Daya Beli, maka ICMI Orwil Jawa Barat beserta Orda dan Orsat-orsatnya akan mendukung sepenuhnya program peningkatan IPM Jawa Barat ini dengan antara lain :
a.  Community Base Education
Pengelolaan pendidikan yang berpusat kepada negara, sedikit banyak telah mengikis prakarsa dan tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan. Hal ini terlihat dari lebih  populernya sekolah yang berstatus  “negeri” (yang nota bene pengelolaannya sangat menyita subsidi) dari pada swasta yang sebagian  besar sumber dana berasal dari masyarakat.
Penyerahan pengelolaan (deregulasi) pendidikan kepada masyarakat di samping  akan memperingan beban negara juga akan menumbuhkan kemandirian  dan tanggujang jawab   masyarakat terhadap pendidikan. Untuk hal ini penting dikaji tentang sistem  Pesantren yang hampir seluruhnya dirancang dan dikelola oleh masyarakat, untuk kemudian sistem tersebut disempurnakan dan ditranformasikan ke dalam sistem pendidikan yang sesuai dengan semangat perkembangan zamam.
Hasil  dari pengkajin tersebut merupakan modal ICMI untak menjadikan  community base education sebagai sebuah gerakan yang dimulai dengan pengembangan  model-model lembaga-lembaga pendidikan yang memenuhi standar kualifikasi yang unggul.
b.   Pengembangan Model Pendidikan Kesalehan Sosial.
Tendesi sistem pendidikan yang sekuler tidak memberikan dampak kepada pembangunan manusia yang seutuhnya. Sekolah-sekolah formal mengejar IP anak didiknya terfokus pada nilai IQ yang tinggi sering meninggalkan waktu belajar untuk meningkatkan EQ maupun SQ. Padahal masyarakat yang maju ternyata tidak hanya ditunjang oleh keunggulan Iqnya saja tetapi kepada kedisiplinan mereka dalam menjaga etika, moral dan budayanya yang tinggi. ICMI yang menyadari adanya tendensi sistem pendidikan yang sekuler ini, perlu berupaya membangun model-model pendidikan yang integral seperti pengembangan training/pelatihan-pelatihan peningkatan EQ yang sekarang sudah mulai marak dan mengembangkankan kepada model-model pelatihan SQ sepeti yang dilakukan oleh Agym dengan model Management Qolbu-nya (MQ). Hasil dari model-model pelatihan tersebut dapat menumbuhkan kesalehan sosial masyarakat Jawa Barat yang lebih baik.
Dilain fihak pengembangan kurikulum pada pendidikan formal mulai pada tingkat Dasar, Menegah sampai Tinggi perlu menekankan pada pelajaran ahlaq, budi-pekerti dan penanaman moral-etika yang lebih jelas dalam setiap kurikulum dan silabusnya. Gagasan-gasan anggota ICMI kearah ini harus digalakkan.
c.   Peningkatan Mutu Sistem Pembelajaran Berbasis Imtaq
Sementara dari sisi sistem pembelajaran, ada beberapa hal yang harus dikoreksi dan dikembangkan khususnya pada muatan peningkatan iman dan taqwa peserta didik:
Pertama, materi pendidikan yang selama ini  bersifat dikotomis harus segera dirubah menjadi bersifat integral, dengan memperhatikan potensi-potensi yang ada pada lingkungan  dan masyarakat. untuk itu  hal ini ICMI akan membantu membuat standardisasi mutu pendidikan yang mengacu kepada pencapaian 5-K secara holistis.
Kedua, pelaku-pelaku pendidikan, terutama guru harus ditingkatkan profesionalitasnya  (kompetensi, komunikasi, etos, dedikasi, ketauladanan, dst),. Sedemilkian rupa mereka memiliki posisi tawar untuk meningkatkan  kesejahteraan.
Untuk hal ini ICMI perlu berperan, baik dalam tataran strategis (sebagai konsultan) maupun dalam tataran aplikatif (sebagai pengelola) dengan mengembangkan model-model pendidikan yang sesuai dengan  peluang dan potensi wilayah:
ü  pendidikan formal, dengan berperan sebagai  konsulatan dan  pengembang  pendidikan, mulai dari tingkat pradasar dan hingga perguruan tinggi.
ü  pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan dan pengkaderan yang menunjang pengembangan  usaha sektor riil masyarakat, seperti: pelatihan/kursus otomotif, agribisnis, jasa dan telekomunikasi.


B.      PROSEDUR PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS MADRASAH
Pada dasarnya prosedur Pengembangan Kurikulum yang Berbasis Madrasah sama dengan prosedur Pengembangan Kurikulum Berbasis Sekolah (School Based Curriculum Development) mengingat term madrasah dengan sekolah memiliki substansi yang sama yaitu keduanya merupakan tempat belajar secara formal. Secara sederhana prosedur pengembangannya adalah sebagai berikut :

Pemilihan Model Pengembangan
Dalam Pengembangan Kurikulum Berbasis Madrasah, para pengembang kurikulum dapat memulai dengan memilih model konsep pengembangan yang ditawarkan oleh para ahli kurikulum. Pemilihan model ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lokalitas atau kebutuahan masyarakat di mana madrasah itu berada. Beberapa model pengembangan berikut ini dapat dipilih oleh para pengembang kurikulum madrasah dengan mempertimbangkan hubungan antara elemen kurikulum dan urutan penyusunannya sebagai berikut :
1) Model Rasional atau Tujuan
Model ini menekankan pada urutan elemen kurikulum, yang dimulai dengan tujuan, kemudian materi, metode dan diakhiri dengan evaluasi. Tujuan merupakan elemen yang sangat penting karena menjadi dasar penyusunan elemen berikutnya.
Merumuskan Isi Kurikulum
Isi Kurikulum adalah bahan ajar dalam proses belajar mengajar yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan nilai(values) yang terkait dengan bahan ajar yang disampaikan tersebut. Agar menjadi guru yang efektif, penulis menyebutkan isi kurikulum sebagai berikut: 1) Pengetahuan yang berisi fakta, prinsip, dan generalisasi yang ada dalam bahan ajar. 2) Pengetahuan pendidikan meliputi metode yang digunakan guru dalam mengajar agar siswanya benar-benar memahami materi ajar. 3) Pengetahuan Kurikulum, yakni pemahaman terhadap kontek kurikulum untuk mengajarkan pengetahuan tentang materi ajar. Kriteria Pemilihan Isi Kurikulum. Penulis mengemukakan 6 kriteria pemilihan isi kurikulum, yaitu:
1) Signifikan; dengan pengetahuan dan disiplin ilmu, keseimbangan antara konsep, ide dan fakta.
2) Validitas; konten harus otentik, benar dan akurat.
3) Relevansi sosial; berhubungan dengan nilai moral, ideal, masalah sosial, isu-isu kontroversi.
4) Utility (berguna); menyiapkan siswa agar hidup lebih ”dewasa”.
5) Learnability (dapat dipelajari); dapat digunakan siswa dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda.
6) Interest; didasarkan pada minat (interest) anak didik Sementara ruang lingkup isi kurikulum mengacu pada keluasan dan kedalaman kurikulum pada satu kurun waktu.
Dalam menentukan ruang lingkup isi kurikulum, penulis menyarankan beberapa konsep yaitu Time Constraint (hambatan waktu), A common core (Konsep inti), Special needs of Content (kebutuhan khusus dari Isi), Integration of Content (keterpaduan isi) dan A total Penyusunan materi juga harus mempertimbangkan keruntutan (sequence).
Keruntutan adalah susunan dari isi kurikulum yang disampaikan pada peserta didik. Ada enam kriteria untuk mengurutkan isi kurikulum sebagaimana yang disarankan oleh Robert Zais, yaitu: dari yang sederhana menuju yang ruwet/sulit (simple to complex), pelajaran bersyarat (prerequisite learnings), kronologis (chronology), dari keseluruhan ke bagian-bagian (whole-to-part learning), dari konkrit ke yang abstrak (increasing abstraction) dan pengurutan secara Spiral (Spiral Sequencing).

C.      Lahirnya kurikulum 1994 bagi madrasah
Salah satu persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam adalah permasalahan dikotomi. Dikotomi dimaksud, baik dalam bentuk dikotomi ilmu pengetahuan maupun dikotomi kelembagaan yang membedakan keduanya.
Upaya untuk penyelesaian permasalahan fondamental tersebut telah dilakukan sejak awal abad ke 20 atau awal masa pembaharuan pendidikan Islam hingga sekarang. Upaya penyelesaian yang dilakukan utamanya melalui pembaharuan kurikulum dan pembelajaran. Secara umum pembaharuan dalam bidang kurikulum adalah dalam upaya memasukkan ilmu pengetahuan umum bagi siswanya sehingga dapat menyamai kualitas pendidikan dan pengetahuan umum sebagaimana yang dilakukan dan dicapai oleh sekolah umum. Sebaliknya pada kurikulum sekolah umum dimasukkan mata pelajaran pendidikan Agama Islam.
Upaya penyelesaian masalah dikotomi telah dilakukan secara intens. Pada madrasah/sekolah  diawali pertama kali oleh tokoh-tokoh pendidikan Sumatera Thawalib di Padang dan kemudian berlanjut oleh berbagai pihak penanggung jawab pendidikan hingga sekarang. Pembaharuan kurikulum yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia secara formal dimulai  oleh Departemen Agama yang terbentuk sejak tanggal 03 Januari 1946, yang salah satu tugas utamanya ialah mengurusi lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan Islam yang banyak mendapatkan perhatian pemerintah (Departemen Agama) tersebut adalah madrasah.
Menurut Steenbrink (1994:97), madrasah yang banyak mendapat perhatian ialah madrasah yang memperhatikan pendidikan umum, bahkan dapat dikatakan hampir semua bantuan merupakan bantuan untuk mata pelajaran umum. Sejalan dengan itu, Departemen Agama juga menganjurkan supaya pesantren yang tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, dengan memakai kurikulum yang tetap dan memasukkan mata pelajaran umum di samping mata pelajaran agama.
Upaya pemerintah yang lebih intensif untuk pengembangan madrasah, khususnya dibidang kurikulum yang memperhatikan keterintegrasian pengetahuan umum dan agama, dilakukan sejak pertengahan tahun 70-an.  Upaya ini dimulai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama pada tahun 1975, yakni tentang “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah”. Peningkatan tersebut dilakukan melalui pembenahan terhadap kurikulum madrasah, khususnya pada bidang mata pelajaran umum agar setara dengan sekolah umum (Jurnal Madrasah, 1997: 36-41).  Tindak lanjut dari SKB 3 Menteri tersebut, Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Keputusan tahun 1975, tentang “Kurikulum Madrasah”, yang memasukkan mata pelajaran umum yang sama dengan yang diberikan di sekolah umum.
      Untuk memantapkan  upaya peningkatan mutu pendidikan pada madrasah tersebut pemerintah menganggap perlu menegaskan persamaan kurikulum antara madrasah dengan sekolah umum. Untuk itu, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tahun 1983 tentang “Persamaan Kurikulum Madrasah dan Sekolah Umum”.  Inti dari SKB 2 Menteri 1984 itu ialah persamaan mata pelajaran umum yang diberikan di sekolah umum dengan yang diberikan di madrasah.  Tindak lanjut dari SKB 2 Menteri 1983 itu ialah dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Agama RI tahun 1984 tentang kurikulum madrasah, yang disebut dengan kurikulum madrasah 1984. Kurikulum ini memuat mata pelajaran yang sama dengan mata pelajaran yang diberikan di sekolah umum, di samping memasukkan pula kurang lebih 20 % mata pelajaran keagamaan (keislaman).
Ketika Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN  Nomor 2 Tahun 1989) diundangkan, madrasah mengalami perubahan status menjadi seko-lah umum yang berciri khas Islam. Konsekuensi dari perubahan status madrasah tersebut, disamping merubah status madrasah, juga mengandung pesan keharusan melaksanakan kurikulum yang sama dengan sekolah umum di samping kuriku-lum yang merupakan ciri khas madrasah (pendidikan keislaman).
Tindak lanjut dari penyesuaian status dan keharusan di atas, pada tahun 1994 dikeluarkan Kurikulum Madrasah Tahun 1994, yang pada intinya memuat sepenuhnya (100 %) materi pelajaran umum sebagaimana diberikan pada sekolah umum ditambah dengan ciri khas madrasah (keislaman).  Ciri khas agama Islam tersebut meliputi:
1.    Pemberian mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yang meliputi:   Qur`an-hadist;  Fiqih;  Aqidah-Akhlak; dan  Sejarah Kebudayaan Islam.
2.    Penciptaan suasana kegamaan, antara lain melalui: menciptakan suasana kehidupan madrasah yang agamis;  adanya sarana ibadah; dan penggunaan pendekatan yang agamis dalam penyajian mata pelajaran yang memungkinkan.
3.    Pengadaan guru yang memiliki kualifikasi, antara lain guru yang beragama Islam dan berakhlak mulia (Kep. Menag RI, Nomor 302 tahun 1993, h. 12).

D.     beasiswa bagi siswa sokolah dan madrasah
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan bahwa pendidikan  mengemban tugas untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat , sehingga diharapkan dapat berperan dalam mewujudkan peningkatan taraf kehidupan masyarakat dan keberhasilan pembangunan nasional. Mahasiswa sebagai aset bangsa merupakan sumberdaya manusia yang produktif dan potensial serta akan tumbuh dan berkembang sebagai calon-calon pemimpin di masa mendatang, sehingga kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan aset bangsa tersebut.
Memperhatikan perkembangan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih lemah dan ditambah lagi dengan pengaruh ekonomi yang telah mendorong semakin rendahnya nilai pendapatan masyarakat. Hal ini akan sangat berpengaruh pula terhadap proses pendidikan di perguruan tinggi, dan bahkan dalam keadaan sangat terpaksa telah menyebabkan terputusnya atau tertundanya penyelesaian pendidikan mahasiswa, sangat disayangkan apabila menimpa mahasiswa yang secara potensial memiliki prestasi akademik yang tinggi.
Diharapkan pemberian Beasiswan akan dapat memacu prestasi, sehingga para siswa dapat menyelesaikan sekolahnya tepat waktu.
E.      Pelatihan teknologi dan sains di pesantren
Internet ibarat pisau bermata ganda, bisa digunakan untuk hal-hal yang positif, konstruktif, namun juga bisa untuk hal yang negatif. “Kehadiran Internet tidak untuk ditolak dan dijauhi. Kita justru harus mendekati, mempelajari dan memanfaatkan Internet untuk hal-hal positif.
Dalam pelatihan ini para santri diberi motivasi dan pengetahuan tentang manfaat Internet untuk berdakwah, belajar cara akses Internet, belajar bagaimana menggunakan Internet, belajar membuat web blog di Internet yang pada target akhir akan digunakan untuk berdakwah di dunia cyber. Para peserta dan alumni kegiatan tersebut diberi sebutan Santri Indigo, yaitu santri yang berkarya dan berbudaya digital, mengedepankan mentalitas positif dalam mencipta dan berkarya, dan membina silaturahim dengan membentuk Indonesia Digital Community (Indigo).
Pondok Pesantren merupakan sekolah plus, selain pendidikan umum para santri juga mendapat pendidikan keagamaan, artinya para santri memiliki ilmu yang lebih dibanding sekolah umum. Di samping itu para santri telah dibekali dengan ilmu keagamaan dan akhlak yang cukup sehingga ketika diberi 'pisau Internet' para santri dapat memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan yang mudharat. Masuknya Internet di pondok pesantren untuk menunjukkan bahwa santri mampu berkarya dan menerima modernisasi untuk kegiatan dakwah yang mendunia.
Pelatihan yang bertajuk Internet Pesantren Wahana Syiar Digital ini telah menghasilkan alumni sebanyak 1.150 santri Indigo yang terbagi dalam sebelas angkatan. Setiap angkatan diikuti oleh 75 sampai 100 peserta terdiri dari 60 santri dan sisanya ustadz sebagai pembimbing yang berasal dari 30 pesantren dan sekolah Aliyah di kota-kota yang terpilih menjadi tuan rumah.
Pelatihan yang mengusung slogan Bangun Kecerdasan Bangsa ini selalu diawali dengan motivasi yang diberikan oleh para pejabat dan atau tokoh yang bisa memberi semangat dan wawasan teknologi kepada santri tentang pentingnya Internet untuk dakwah yang global.
Di Depok misalnya, walikota Depok H Nurmahmudi Ismail memberi motivasi kepada para santri untuk berdakwah di dunia Internet. Di Ciamis, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mendorong agar santri tidak gagap teknologi dan dapat mengikuti teknologi mutahir Internet. Di Pesantren Kempek - Palimanan Cirebon, Prof Jimly Assidiqi disamping memberi wawasan tentang teknologi cyber juga memamerkan bagaimana kepiawaiannya dengan teknologi Internet, bahkan secara rutin mantan ketua Mahkaman Konstitusi ini memberi kuliah kepada mahasiswanya yang ada di seluruh indonesia secara online melalui jalur Internet.
F.      Madrasah Insan Cendekiawan Serpong
Untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam penguasaan IPTEK yang didasari nilai keimanan dan ketakwaan, pada tahun 1996 BPPT mendirikan SMU Insan Cendekia di Serpong dan di Gorontalo melalui program penyetaraan IPTEK STEP (Science and Technology Equity Program) bagi sekolah-sekolah yang berada di lingkungan pondok pesantren.
Pada tahun pelajaran pertama (1996/1997), penerimaan siswa SMU Insan Cendekia diprioritaskan bagi siswa-siswi SMU/MA kelas satu dan siswa-siswi lulusan SMP/MTs berprestasi yang berasal dari pondok pesantren dan sekolah islam lainnya. Akan tetapi, mulai tahun pelajaran kedua (1997/1998) SMU Insan Cendekia memberi kesempatan pula kepada siswa-siswi SLTP umum dan MTs baik negeri maupun swasta.
Sejak tahun pelajaran 2000/2001 SMU Insan Cendekia baik yang berada di Serpong maupun di Gorontalo dilimpahkan pengelolaannya oleh BPPT kepada Departemen Agama RI. Untuk tetap mempertahankan ciri khas penguasaan IPTEK dan IMTAK, maka dalam pengelolaan dan pembinaannya Departemen Agama dan BPPT terus melakukan kerjasama. Selanjutnya nama SMU Insan Cendekia ditransformasikan menjadi Madrasah Aliyah Insan Cendekia dengan tanpa mengurangi dan mengubah sistem pengajaran secara keseluruhan yang telah berjalan selama ini.
Pada tahun 2001, dengan SK Menteri Agama RI, Nomor 490 Tahun 2001 MA Insan Cendekia Serpong berubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Serpong. MAN Insan Cendekia Serpong setiap tahun meluluskan siswanya dengan rata-rata nilai yang diraih dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan grade A. Disamping itu MAN Insan Cendekia Serpong aktif mengikuti kegiatan lomba, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan internasional.

2.2Peran PKS Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam
A.     Menjamurnya Ta’lim Liqo’
Istilah halaqah ini sangat umum di timur tengah dan biasa dilakukan di banyak masjid. Materinya bisa berkaitan dengan kitab tertentu seperti qidah, fikih, hadits, sirah dan seterusnya. Contoh yang paling mudah bisa kita dapati di dua masjid Al-Haram, Mekkah dan Madinah. Setiap hari selalu dipenuhi dengan halaqah yang diisi oleh para masyaikh / ustaz yang merupakan akar di bidangnya.Sedangkan isitlah liqo` lebih umum dari halaqah, karena isinya bisa saja bukan merupakan kajian ilmiyah, tetapi bisa diisi dengan rapat, pertemuan, musyawarah dan seterusnya.
Istilah halaqah dan liqo di Indonesia umumnya sering dikaitkan dengan pengajian dalam format kelompok kecil antar 5 s/d 10 orang, dimana ada satu orang yang bertindak sebagai nara sumber yang sering diistilahkan dengan murabbi / pembina. Secara umum, format halaqah dengan jumlah terbatas ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya adalah bahwa anggota dari halaqah itu biasanya adalah orang-orang yang sudah terpilih melalui semacam seleksi. Sehingga lebih mudah untuk penanganannya ketimbang bila jumlahnya terlalu banyak. Sehingga kontroling dari murabbi bisa lebih sempurna.
Kekurangannya adalah apabila kemampuan sang murabbi ini terbatas baik dari sisi waktu, ilmu dan kemampuan dalam membina, sehingga menimbulkan kebosanan dan kejenuhan. Dari sisi ilmu dan wawasan, halaqah kecil ini akan sangat tergantung dari wawasan sang murabbi. Bila kemampuannya baik, maka umumnya anggotanya pun punya wawasan yang baik. Sehingga meski pada beberapa sisi ada kelebihannya, tapi halaqah kecil ini perlu juga dilengkapi dengan penambahan ilmu-ilmu ke-islaman secara lebih lanjut dan lebih luas, bila ingin mencetak orang-orang yang ahli dalam bidang syariah Islam. Sekedar ikut halaqah yang jam pertemuannya hanya 2-3 jam sepekan tentu sangat kurang bila tujuannya adalah mendalami ilmu-ilmu keislaman. Apalagi bila sang murabbi terbatas ilmu dan kemampuan bahasa arabnya.
Tapi umumnya, halaqah yang banyak diselenggarakan itu memang tidak bertujuan mencetak ahli syariah, tetapi lebih kepada membentuk wawasan dan kepribadian yang Islami. Untuk bisa menelurkan ahli syariah, yang dibutuhkan adalah kuliah di fakultas syariah. Dan untuk melahirkan aktifis yang memiliki wawaan fikrah Islam serta memiliki kepribadian yang islami, sarana halaqah umumnya lumayan bermanfaat. Namun semua itu tidak lain hanyalah wasilah (sarana) yang bisa dimanfaatkan dalam rangka dakwah kepada Allah dan melahirkan generasi yang islami.
Liqo’, dalam bahasa diartikan sebagai Pertemuan dan dalam salah satu organisasi mereka maknai sebagai Pengajian. Isi pertemuan tersebut sangat bervariasi tergantung jenjang atau tingkat keaktifan peserta dalam organisasi tersebut. Jika peserta masih dalam tahap pemula, pertemuan itu hanya membahas masalah tauhid. Disinilah makna Liqo disamarkan menjadi Pengajian bernafaskan Islam. Jenjang selanjutnya, ketika Liqo pemula telah membentuk pola pikir dipesertanya untuk terus aktif diorganisasi tersebut, atau dalam kata lain, telah dicuci otaknya agar tetap terikat, lalu mulailah visi misi dan target organisasi disampaikan dengan samar-samar didalam Liqo tersebut. Penyampaian visi, misi ini masih berupa pengertian awal dan dihubung-hubungkan dengan materi pertemuan pemula, agar peserta masih merasa berada disuasana pengajian bernafaskan Islam. Semakin lama dan semakin dekat peserta kepada organisasi tersebut, dan itu butuh 3 sampai 5 bulan proses pencucian otak, maka akan semakin sedikit materi pengajian bernafaskan Islam diberikan kedalam pertemuan tersebut.
 Karena telah sampai pada tujuan awal pertemuan tersebut diadakan yaitu bagaimana caranya memenangkan pemilu bagi caleg yang berada dinomor jadi, ini yang tidak diketahui oleh para awam dan pemula, dan disembunyikan oleh mereka yang telah paham walau harus berbohong karena kebohongan menurut mereka bisa dilakukan untuk kepentingan organisasi, doktrin berbohong tersebut sudah lama disebarkan oleh ajaran sesat Syiah. Apakah Syiah memiliki hubungan dengan organisasi yang menyelenggarakan Liqo tersebut? atau hanya sekedar mengambil sebagian doktrin Syiah untuk kepentingan caleg nomor jadi agar terpilih duduk dikursi empuk DPR atau DPRD? saya rasa anda bisa membuktikan sendiri Liqo sebenarnya dan seharusnya tidak bisa dikatakan sebuah Pengajian bernafaskan Islam, memaknainya saja dengan Pengajian sudah tidak masuk akal dan tidak pantas.
Tujuan antara Pengajian dan Liqo sudah sangat tidak sejalan dimana tujuan Pengajian adalah untuk menciptakan manusia-manusia yang taat kepada tuhan, sedangkan Liqo adalah proses pencucian otak agar nantinya bekerja keras memenangkan caleg nomor jadi dalam pemilu dan hanya itu tujuannya.
Liqo tidak pernah menjadikan manusia-manusia yang taat kepada Tuhan karna hasil dari Liqo sendiri justru mewujudkan manusia-manusia yang hobi berbohong, korupsi, maksiat dan penghancuran manusia-manusia lainnya. Sebuah konsep gerakan yang juga diterapkan oleh Dajjal.
B.     Berkembangnya Sekolah Islam Terpadu (TKIT, SDIT, dll.)
Adanya kombinasi yang seimbang dalam pembelajaran pendidikan formal dan nonformal, khususnya pada aspek religius yang diterapkan dalam sekolah Islam terpadu telah memberikan warna baru bagi insititusi pendidikan anak di Indonesia.
Hal itu disampaikan mahasiswa Hubungan Internasional – Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HI-UMY), Mahreta Adi Kuncoro saat mengungkapkan hasil presentasinya yang dipaparkannya dalam Islam, Childhoods, and Building Cultures of Peace in Southeast Asia Conference, University of Philippines, 29-30 September silam.
Menurutnya, kemunculan Sekolah Islam Terpadu ini berkembang pesat sekitar tahun 1993 dalam mengkombinasikan pendidikan formal dan nonformal, terutama pada aspek religius. Perkembangan pesat ini merupakan ide bagaimana pendidikan menciptakan generasi yang memiliki Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), serta Spiritual Quotient (SQ) yang seimbang dan baik. “Sistem pendidikan sekolah Islam terpadu yang tidak hanya memprioritaskan pendidikan formal dan mengembangkan pendidikan moral akan menjadi peran signifikan dalam pembentukan karakter mulia bagi individu,” jelasnya di Kampus Terpadu UMY, Rabu (6/10).
Lebih lanjut, Mahreta mengatakan anak mengalami usia emas (golden age) yang perlu disadari para orang tua dalam membentuk kepribadian baik bagi anak. “Pada usia emas tersebut, anak mengalami masa perkembangan sehingga apa yang mereka lihat, rasa, dan dengar akan mempengaruhi masa depannya. Instistusi pendidikan sebagai fasilitator, dalam hal ini, berperan penting dalam memahami perkembangan mereka,” terangnya.
Institusi pendidikan, dituturkan Mahreta, harus memahami perkembangan karakter muridnya dan bisa menentukan tujuan dari pembelajaran dan aktivitas yang dikenakan bagi mereka. “Selain itu, para pendidik juga perlu memahami psikologi pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam menciptakan generasi cerdas secara intelektual serta memiliki karakter dan moral yang baik sehingga murid tak hanya fokus pada nilai dan hasil akhir, ” tuturnya.
Mahreta menambahkan, pendidik juga perlu menyadari beberapa hal dalam mendidik anak pada usia emas karena mereka memiliki karakateristik, diantaranya yaitu memiliki rasa keingintahuan besar terhadap lingkungan sekitarnya, menyukai permainan, mengatur diri mereka sendiri dengan mencoba beberapa hal baru, serta mempelajari sesuatu dengan melakukan, mengamati, memulai dan mengajarkannya kepada teman sebayanya. “Dengan diajarkan pendidikan formal dan nonformal pada sekolah Islam terpadu, mereka akan memiliki kepribadian antara yang seimbang pula antara IQ, EQ, dan SQ,” jelasnya.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, perkembangan sekolah Islam terpadu, kondisi ini turut andil dalam meningkatkan pemikiran para orang tua dalam memasukkan anaknya kedalam sekolah Islam terpadu.


BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang menjadi fokus perhatian ICMI diwujudkan dalam berbagai aktivitas, mulai dari pengembangan model pendidikan secara nyata hingga pengembangan intelektualitas.
Pertama, materi pendidikan yang selama ini  bersifat dikotomis harus segera dirubah menjadi bersifat integral, dengan memperhatikan potensi-potensi yang ada pada lingkungan  dan masyarakat. untuk itu  hal ini ICMI akan membantu membuat standardisasi mutu pendidikan.
Kedua, pelaku-pelaku pendidikan, terutama guru harus ditingkatkan profesionalitasnya  (kompetensi, komunikasi, etos, dedikasi, ketauladanan, dst),. Sedemilkian rupa mereka memiliki posisi tawar untuk meningkatkan  kesejahteraan.
Pondok Pesantren merupakan sekolah plus, selain pendidikan umum para santri juga mendapat pendidikan keagamaan, artinya para santri memiliki ilmu yang lebih dibanding sekolah umum. Di samping itu para santri telah dibekali dengan ilmu keagamaan dan akhlak yang cukup sehingga ketika diberi 'pisau Internet' para santri dapat memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan yang mudharat. Masuknya Internet di pondok pesantren untuk menunjukkan bahwa santri mampu berkarya dan menerima modernisasi untuk kegiatan dakwah yang mendunia.





DAFTAR PUSTAKA

·         Rosihan Anwar, Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan . Jakarta : PT. Pringgondani berseri, 2003.
·         Ruchman Basori, Pesantren Modern Indonesia. Jakarta : PT Inceis cetakan ke dua, 2008.
·         http://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/evaluasi-kurikulum-pengertian    kepentingan-dan-masalah-yang-dihadapi/di akses pada tanggal 10 April 2008.
·         Nata Abudin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta.2001.
·         Dawam Ainurrafiq. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Lastafarista Putra. Jakarta.2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar