BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa yang dalam hal ini muncul dengan
berbagai macam istilah, antara lain ruh, nafs. Manusia sebagai objek psikologi
memiliki kebutuhan baik jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi untuk
mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam
tingkat urgensitas kebutuhan inilah manusia tidak akan mampu terlepas dari
kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau dalam bahasa
sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang dijadikan pedoman
dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar kodrat inilah manusia akan
memahami esensi kehidupan yang sesungguhnya tentang siapa, dari mana sekaligus
untuk apa mereka diciptakan.
Agama
pada dasarnya harus ditanamkan pada manusia dengan tahapan sesuai dengan usia
dan kebutuhan masing-masing agar sesuai dengan kemampuan manusia untuk menerima
kenyataan akan hal-hal yang tidak selamanya rasional. Untuk itu, perlu
disesuaikannya dosis ajaran agama dengan pola fisik maupun psikis manusia yang
dalam hal ini menunjukkan peran penting psikologi yang menjadikannya berkaitan
erat dengan agama.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari
psikologi agama ?
2.
Bagaimana tahapan
perkembangan jiwa beragama ?
3.
Bagaimana agama pada
masa anak-anak ?
4.
Bagaimana tahap
perkembangan beragama pada masa anak-anak ?
5.
Bagaimana sifat agama
pada anak ?
6.
Apakah faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan agama pada anak ?
1.3
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari psikologi agama
2.
Untuk mengetahui
tahapan perkembangan jiwa beragama
3.
Untuk mengetahui agama
pada masa anak-anak
4.
Untuk mengetahui tahap
perkembangan beragama pada masa anak-anak
5.
Untuk mengetahui sifat
agama pada anak
6.
Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama pada anak
1.4
Metode Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu
mengumpulkan segala bentuk sumber dan literature yang berhubungan dengan materi
kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan yang tersusunan secara sistematis
tanpa mengurangi redaksi sedikitpun.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikologi Agama
Psikologi
menurut George A.Miller adalah ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan,dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku.[1]Agama
menurut J.H.Leuba adalah agama sebagai cara bertingkah laku, sebagai sistem
kepercayaan atau sebagai emosi yang bercorak
khusus.[2]
Psikologi
agama adalah cabang dari psikologi
yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari
seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta
keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain psikologi agama adalah ilmu
yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau
mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang
berfikir,bersikap,berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan
dari keyakinannya,karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[3]
Psikologi
agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu
pengetahuan tidak mempunyai teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti
itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan
ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya
gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu
pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi
dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah
laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman
individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan
, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan,
hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran
beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi
manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya
hidup keagamaan.[4]
2.2 Tahapan Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap
perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi
menjadi lima periode, yaitu:
1.
Umur 0 –
3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2.
Umur 3 –
6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3.
Umur 6 –
12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4.
Umur 12
– 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5.
Umur 21
tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap
perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1.
Masa
Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.
Masa
Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.
Masa
Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.
Masa
Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5.
Masa Kanak-
Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6.
Masa
Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7.
Masa
Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8.
Masa
Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9.
Masa
Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10. Masa Tua, umur 60 tahun keatas.[5]
2.3 Agama
Pada Masa Anak-anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud
dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti
periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari
tiga tahapan:
1.
0 – 2
tahun (masa vital)
2.
2 – 6
tahun (masa kanak- kanak)
3.
6 – 12
tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa
dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima
secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing
dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian
terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman
yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya
yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas,
maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap
orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam-
macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu
umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan
bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu
menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung
rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun
perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima
pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang
Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan,
tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh
perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak
supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27
tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan
hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.[6]
2.4 Tahap
Perkembangan Beragama Pada Masa Anak-Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa
beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The
Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun,
konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga
dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi
oleh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan
seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju
pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik
jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-
kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya,
pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional
dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The
Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan
sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang
pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan
pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris
bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan
logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan
melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The
Individual Stage (Tingkat Individu)
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya
potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini
berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam terminologi islam,
dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat, berupa benih-benih keberagamaan yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia
pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Namun keberagamaan tersebut memerlukan
bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar.[7] Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan
emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan
yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
A.
Konsep
ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil
fantasi.
B.
Konsep
ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal
(perorangan).
C.
Konsep
ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis
dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini,
imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat
bagian, yaitu:
a. Fase
dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini
sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian
perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada
bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya.
b. Fase
bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui
perkembangan agama pada seorang anak.Namun isyarat pengenalan ajaran agama
banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat
kelahiran anak.
c. Fase
kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat
untuk menanamkan nilai keagamaan.Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan
dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang
orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan-
ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa
kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman
dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam
memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama
sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa
anak sekolah
Seiring dengan perkembangan
aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan
yang semakin realistis.Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya
yang semakin berkembang.[8]
2.5 Sifat Agama
Pada Anak
Sifat agama pada
anak-anak tumbuh megikuti pola ideas konsep on outbrority. Ide keagamaan pada
anak hampir sepenuhnya autoritarius maksudnya, konsep keagamaan pada diri
mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan
mengikuti apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang
sesuatu yang berhubungan dengan agama. Ketaatan pada ajaran agama merupakan
kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua
maupun guru mereka. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri
anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective
(kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka
terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya saja, dan mereka merasa puas
dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut peneilitian,
pikiran kritis baru muncul pada anak
berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Diusia ini pun anak yang
kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum
usia 12 tahun pada anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang
pemikiran yang mereka terima dari orang lain.
2. Egosentris
Sifat egosentris ini
berdasarkan hasil penelitian piaget tentang bahasa pada anak berusia 3-7 tahun.
Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang
dewasa. Bagi anak, bahasa tidaklah menyangkut orang lain, tetapi lebih
merupakan “monolog” dan “monolog kolektif”, yaitu merupakan bahasa egosentris,
bukan sebagai sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih
merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang lain.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai
ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan
orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya
mencermikan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak
dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4. Verbalis
dan ritualis
Kehidupan agama pada
anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal
secara verbal kalimat keagamaan, selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka.
5. Imitatif
Bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan
salat misalnya, mereka laksanakan berdasarkan hasil melihat perbuatan
dilingkungan, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru
ini merupakan modal yang positif. Menurut penelitian Gillesfi dan young bahwa
anak yang tidak dapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat
diharapkan menjadi pemilik keagamaan yang kekal.
6. Rasa
heran
Rasa heran dan kagum
merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Maka rasa kagum
pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada
keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui
cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[9]
2.6 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Agama Pada Anak
Perkembangan agama pada masa anak terjadi
melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam
masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius,
(sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap,
tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana
agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina
anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap
mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui
pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang
dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang
diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan
pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah
dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan
pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa
remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan
mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan
dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di
SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk
pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja
muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai
goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja. Anak-anak akan bersifat sama
sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika
dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh
kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara
mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa
begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung
memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar
keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan
mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan
yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia.
Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus
dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah
kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan
agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain:
1.
Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak
lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya
kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki
dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam
membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh
perintah Allah.
2.
Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau
yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk
mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji.
Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam
rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang
sehat.
3.
Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi
Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima
(Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan
mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri
fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa
oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia
mencapai usia 80 tahun. Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai
tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan
amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan
si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia
terhadap kedua orang tuanya.
4.
Upaya
Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam
upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan
pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan.Dengan demikian mereka
membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan
anak.Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan
jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan
fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama,
dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten
dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak
melalui pendidikan agama islam antara lain :
1.
Menanamkan
Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi
petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau
mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut
yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan
pengenalan agama lebih dekat.
2.
Membimbing
dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam.
Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui
pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang
banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama
islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi
hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada
perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
3.
Menanamkan
Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman
yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari
umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan
masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak.
Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik
anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil,
memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk
selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiri dengan
membaca Hamdalah.[10]
Masa kanak-kanak merupakan masa emas dengan kapasitas
pendidikan yang dapat dimaksimalkan, sehingga peran orang tua dalam menanamkan
segala bentuk ajaran positif sangatlah penting untuk pedoman hidup anak.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sejalan
dengan tingkat intelligensinya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat
dibagi menjadi tiga bagian:
·
The Fairly Tale
Stage (Tingkat Dongeng).
·
The Realistic Stage
(Tingkat Kepercayaan)
·
Individual Stage
(Tingkat Individu)
Sifat keagamaan pada
anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
·
Unreflective (kurang
mendalam/ tanpa kritik).
·
Egosentris
·
Anthromorphis
·
Verbalis dan
Ritualis
·
Imitatif
·
Rasa heran
Pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia
dini antara lain:
·
Membisikkan
Kalimat Tauhid
·
Mengajari
Akhlak yang Mulia
·
Mengislamkannya
atau mengkhitankannya
·
Upaya
Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Cara
untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain
:
·
Menanamkan
Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi
petunjuk yaitu Allah Swt
·
Membimbing
dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam.
Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui
pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang
banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama
islam).
·
Menanamkan
Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman
yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari
umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa emas
dengan kapasitas pendidikan yang dapat dimaksimalkan, sehingga peran orang tua
dalam menanamkan segala bentuk ajaran positif sangatlah penting untuk pedoman
hidup anak. Anak dengan intelligensinya mampu menerima dengan baik segala
bentuk rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Agama akan membentuk jiwa anak
untuk selalu taat terhadap apa yang menjadi dasar keyakinannya, anak dengan
pengetahuan agama akan hidup lebih stabil dibandingkan dengan anak tanpa
pengetahuan agama.
DAFTAR
PUSTAKA
v Aliah
B. Purwakanta Hasan. Psikologi Perkembangan Islami.
2002. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
v Aziz, Ahyadi. Psikologi
Agama. Bandung : Mertiana
v Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. 1993: Bulan Bintang, cet 14
v Jalaludin. Psikologi
Agama. Jakarta :
PT Grafindo Persada, cet. 2009
v Ramayulis. Psikologi
Agama.
2004
: Kalam
Mulia
v Sobur, Alex. Psikologi
Umum. 2009. Bandung : Pustaka Setia, cet.II
v Sururin. Ilmu Jiwa
Agama. 2004. Jakarta : PT Grafindo Jaya
v WE
Maramis. Ilmu
Kedoteran Jiwa.
1980 : Airlangga University Press
[5] Aliah B. Purwakanta Hasan. Psikologi
Perkembangan Islami. 2002. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada hlm 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar