Kamis, 18 April 2013

PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN PADA ANAK-ANAK



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa yang dalam hal ini muncul dengan berbagai macam istilah, antara lain ruh, nafs. Manusia sebagai objek psikologi memiliki kebutuhan baik jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam tingkat urgensitas kebutuhan inilah manusia tidak akan mampu terlepas dari kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau dalam bahasa sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar kodrat inilah manusia akan memahami esensi kehidupan yang sesungguhnya tentang siapa, dari mana sekaligus untuk apa mereka diciptakan.
Agama pada dasarnya harus ditanamkan pada manusia dengan tahapan sesuai dengan usia dan kebutuhan masing-masing agar sesuai dengan kemampuan manusia untuk menerima kenyataan akan hal-hal yang tidak selamanya rasional. Untuk itu, perlu disesuaikannya dosis ajaran agama dengan pola fisik maupun psikis manusia yang dalam hal ini menunjukkan peran penting psikologi yang menjadikannya berkaitan erat dengan agama.
1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari psikologi agama ?
2.      Bagaimana tahapan perkembangan jiwa beragama ?
3.      Bagaimana agama pada masa anak-anak ?
4.      Bagaimana tahap perkembangan beragama pada masa anak-anak ?
5.      Bagaimana sifat agama pada anak ?
6.      Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama pada anak ?
1.3    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari psikologi agama
2.      Untuk mengetahui tahapan perkembangan jiwa beragama
3.      Untuk mengetahui agama pada masa anak-anak
4.      Untuk mengetahui tahap perkembangan beragama pada masa anak-anak
5.      Untuk mengetahui sifat agama pada anak
6.      Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan agama pada anak
1.4    Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu mengumpulkan segala bentuk sumber dan literature yang berhubungan dengan materi kemudian menyusunnya menjadi sebuah tulisan yang tersusunan secara sistematis tanpa mengurangi redaksi sedikitpun.






















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Psikologi Agama
Psikologi menurut George A.Miller adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan,dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku.[1]Agama menurut J.H.Leuba adalah agama sebagai cara bertingkah laku, sebagai sistem kepercayaan atau sebagai emosi yang  bercorak khusus.[2]
Psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berfikir,bersikap,berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya,karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[3]
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai teknik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan.[4]
2.2 Tahapan Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode, yaitu:
1.      Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
2.      Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
3.      Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
4.      Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
5.      Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1.      Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.      Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.      Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.      Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 – 6 tahun.
5.      Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 – 10 atau 11 tahun.
6.      Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 – 13 tahun
7.      Masa Remaja Awal, umur 13 – 17 tahun. Masa remaja akhir 17 – 21 tahun.
8.      Masa Dewasa Awal, umur 21 – 40 tahun.
9.      Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
10.  Masa Tua, umur 60 tahun keatas.[5]

2.3 Agama Pada Masa Anak-anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1.      0 – 2 tahun (masa vital)
2.      2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3.      6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh. Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.[6]
2.4 Tahap Perkembangan Beragama Pada Masa Anak-Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
 1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
 2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
 3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam terminologi islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat, berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama. Namun keberagamaan tersebut memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar.[7] Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
A.    Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
B.     Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
C.     Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
 a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya.

 b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak.Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
 c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan.Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
 d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis.Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.[8]
2.5  Sifat Agama Pada Anak
Sifat agama pada anak-anak tumbuh megikuti pola ideas konsep on outbrority. Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius maksudnya, konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa yang diajarkan oleh orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan agama. Ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua maupun guru mereka. Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.    Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekadarnya saja, dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut peneilitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Diusia ini pun anak yang kurang cerdas pun menunjukkan pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum usia 12 tahun pada anak yang mempunyai ketajaman berpikir akan menimbang pemikiran yang mereka terima dari orang lain. 
2.    Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil penelitian piaget tentang bahasa pada anak berusia 3-7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Bagi anak, bahasa tidaklah menyangkut orang lain, tetapi lebih merupakan “monolog” dan “monolog kolektif”, yaitu merupakan bahasa egosentris, bukan sebagai sarana untuk mengomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih merupakan pernyataan atau penegasan diri dihadapan orang lain.
3.     Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai “bagaimana” dan “mengapa” biasanya mencermikan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
4.    Verbalis dan ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghafal secara verbal kalimat keagamaan, selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada mereka.
5.    Imitatif
Bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan salat misalnya, mereka laksanakan berdasarkan hasil melihat perbuatan dilingkungan, dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif. Menurut penelitian Gillesfi dan young bahwa anak yang tidak dapat pendidikan agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik keagamaan yang kekal.
6.     Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[9]
2.6  Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Anak
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah dan dalam masyarakat. Lingkungan banyak membentuk pengalaman yang bersifat religius, (sesuai dengan ajaran agama) karena semakin banyak unsur agama maka sikap, tindakan dan kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajarana agama.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik yang formal maupun yang non formal. Setiap pengalaman yang dilalui anak baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun prilaku yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Masa pendidikan di SD merupakan kesempatan pertama yang sangat baik, untuk membina pribadi anak setelah orang tua, sekolah dasar merupakan dasar pembinaan pribadi dan mental anak. Apabila pembinaan pribadi dan mental anak terlaksana dengan baik, maka si anak anak memasuki masa remaja dengan mudah dan pembinaan pribadi dimasa remaja itu tidak akan mengalami kesulitan.
Pendidikan anak di sekolah dasarpun, merupakan dasar pula bagi pembinaan sikap dan jiwa agama pada anak. Apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan sikap itu pada masa remaja muda dan sianak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja. Anak-anak akan bersifat sama sopan dan hormatnya kepada orang lain seperti kita kepada mereka, jika dibesarkan dilingkungan rumah dimana mereka diperlakukan dengan penuh kewibawaan, kebaikan hati dan rasa hormat, akan besar pengaruhnya terhadap cara mereka memperlakukan orang lain. Mereka akan sampai kepada keyakinan bahwa begitulah cara mereka harus memperlakukan orang lain. Mereka juga cenderung memperlakukan kita dengan cara melihat kita memperlakukan orang lain diluar keluarga.
Pendidikan agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak kesehatan mental anak. Adapun pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain:
1. Membisikkan Kalimat Tauhid
Dalam hal ini sejak anak lahir kedunia tidak lain yang dibisikkan atau diperdengarkan setelah keluar dari rahim ibunya kecuali “Allah” dengan menggunakan azan di telinga kanan untuk anak laki-laki dan iqamat di telinga kiri untuk anak perempuan, karena pendidikan agama islam membersihkan hati dan mensucikan jiwa agar anak-anak nantinya tetap patuh perintah Allah.
2.  Mengajari Akhlak yang Mulia
Dengan mengajari anak akhlak yang mulia atau yang terpuji bukan hanya semata untuk mengetahuinya saja, melainkan untuk mempengaruhi jiwa sang anak agar supaya beraklak dengan akhlak yang terpuji. Karena pendidikan agama islam dalam rumah tangga sangat berpengaruh besar dalam rangka membentuk anak yang berbudi pekerti yang luhur dan memiliki mental yang sehat.
3.  Mengislamkannya atau mengkhitankannya
Disebutkan dalam Assahhain, dari hadits Abi Hurairah ra, berkata : “Rasululullah Saw. Bersabda : “Fitrah itu ada lima (Khitan, mencukur buku di bawah perut, mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut buku ketiak)”. Disini khitan ditempatkan ditempat sebagai ciri fitrahnya seseorang yang berdasarkan pada kelemah lembutan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, dimana ia diperintahkan untuk melakukannya pada waktu ia mencapai usia 80 tahun. Dengan demikian sebagai orang tua yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya, agar tidak menyia-nyiakan amanah tersebut, orang tualah sebagai pembina pertama dalam hidup dan kehidupan si anak, olehnya itu anak perlu berbakti dan hormat serta berakhlak mulia terhadap kedua orang tuanya.
4.        Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Dalam upaya melestarikan kesehatan mental setiap anak / orang harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan dan penyuluhan kejiwaan.Dengan demikian mereka membutuhkan sistem persekolahan yang sesuai dengan kepribadian dan perkembangan anak.Perlunya diketahui bahwa kesahatan mental dapat dicapai melalui kehidupan jadi rukun dan damai diantaran kelompok sosial dengan saling memberi dukungan fisik, material maupun moral untuk mencapai ketenangan hidup melalui agama, dapat meredam gejala jiwa, dan perlu dilakukan / dilaksanakan secara konsisten dan produktif.
Adapun cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
1.      Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt. Agar apabila suatu saat seorang anak mengalami atau mendapatkan masalah dalam hidupnya tidak timbul frustasi pada anak tersebut yang dapat menimbulkan gangguan jiwa dan kesehatan mental paa tersebut dengan pengenalan agama lebih dekat.
2.      Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam). Akan membentuk pribadi, tindakan dan kelakuan serta caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama yang kesemuanya itu mengacu pada perkembangan jiwa dan pembentukan mental yang sehat dalam diri si anak.
3.      Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
Masa kanak-kanak merupakan masa yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan psikologi dan agama si anak. Oleh karena itu pada masa ini orang tua harus ekstra ketat dalam mendidik anaknya misalnya kita membiasakan anak untuk menggunakan tangan kanan dalam mengambil, memberi, makan dan minum, menulis, menerima tamu dan mengajarkannya untuk selalu memulai pekerjaan dengan membaca Basmalah serta harus diakhiri dengan membaca Hamdalah.[10] Masa kanak-kanak merupakan masa emas dengan kapasitas pendidikan yang dapat dimaksimalkan, sehingga peran orang tua dalam menanamkan segala bentuk ajaran positif sangatlah penting untuk pedoman hidup anak.
























BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Sejalan dengan tingkat intelligensinya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
·         The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
·         The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
·         Individual Stage (Tingkat Individu)
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
·         Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik).
·         Egosentris
·         Anthromorphis
·         Verbalis dan Ritualis
·         Imitatif
·         Rasa heran
Pendidikan agama islam yang perlu di terapkan kepada anak sejak usia dini antara lain:
·         Membisikkan Kalimat Tauhid
·         Mengajari Akhlak yang Mulia
·         Mengislamkannya atau mengkhitankannya
·         Upaya Melestarikan Kesehatan Mental Anak Melalui Pendidikan Agama Islam
Cara untuk menjaga kesehatan mental anak melalui pendidikan agama islam antara lain :
·         Menanamkan Rasa Keagamaan terhadap Anak. Dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang agama, agar anak dapat mengenal lebih dekat kepada sang pemberi petunjuk yaitu Allah Swt
·         Membimbing dan Mengarahkan Perkembangan Jiwa Anak Melalui Pendidikan Agama Islam. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa anak dapat diusahakan melalui pembentukan pribadi dengan pengalaman keagamaan terhadap diri anak baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun masyarakat, lingkungan yang banyak membentuk pengajaran yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama islam).
·         Menanamkan Etika Yang Baik Terhadap Diri Anak Berdasarkan Norma-Norma Keagamaan. Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa pertumbuhan yang pertama (masa anak) dari umur 0 – 12 tahun.
      Masa kanak-kanak merupakan masa emas dengan kapasitas pendidikan yang dapat dimaksimalkan, sehingga peran orang tua dalam menanamkan segala bentuk ajaran positif sangatlah penting untuk pedoman hidup anak. Anak dengan intelligensinya mampu menerima dengan baik segala bentuk rangsangan dari lingkungan sekitarnya. Agama akan membentuk jiwa anak untuk selalu taat terhadap apa yang menjadi dasar keyakinannya, anak dengan pengetahuan agama akan hidup lebih stabil dibandingkan dengan anak tanpa pengetahuan agama.











DAFTAR PUSTAKA
v  Aliah B. Purwakanta Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
v  Aziz, Ahyadi. Psikologi Agama. Bandung : Mertiana
v  Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. 1993: Bulan Bintang, cet 14
v  Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta : PT Grafindo Persada, cet. 2009
v  Ramayulis. Psikologi Agama. 2004 : Kalam Mulia
v  Sobur, Alex. Psikologi Umum. 2009. Bandung : Pustaka Setia, cet.II
v  Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT Grafindo Jaya
v  WE Maramis. Ilmu Kedoteran Jiwa.  1980 : Airlangga University Press



[1] Sobur, Alex. Psikologi Umum. 2009. Bandung : Pustaka Setia, cet.II hlm 32
[2] Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT Grafindo Jaya hlm 4
[3] Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. 1993: Bulan Bintang, cet 14 hlm 2
[4] Aziz, Ahyadi. Psikologi Agama. Bandung : Mertiana hlm 9 - 10
[5] Aliah B. Purwakanta Hasan. Psikologi Perkembangan Islami. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada hlm 45
[6] Ramayulis. Psikologi Agama. 2004 : Kalam Mulia hlm 34
[7] Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta : PT Grafindo Persada, cet. 2009 hlm 66-69
[8]WE Maramis. Ilmu Kedoteran Jiwa.  1980 : Airlangga University Press hlm 22-23
[9] Sururin. Ilmu Jiwa Agama. 2004. Jakarta : PT Grafindo Jaya hlm 58-61
[10]Daradjat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama. 1993: Bulan Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar