Senin, 29 April 2013

HAJJI DAN UMROH



BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Haji sebagai rukun Islam kelima, adalah sebuah perjalanan suci dalam memenuhi panggilan Ilahi. Walau namanya rukun, tetapi rukun Islam yang satu ini, tidaklah wajib bagi setiap umat Islam, hanya terbatas kepada orang-orang yang mampu untuk melakukan perjalanan ke Masjidil Haram, yaitu orang-orang yang mempunyai biaya cukup untuk bisa sampai ke Baitullah di Makkah.
Agama Islam bertugas mendidik manusia, menyucikan jiwa dan membebaskan diri dari hawa nafsu. Untuk ini dibuatlah satu pendidikan yang merupakan ibadah bagi kita. Cara itu ialah aqidah yang murni, ibadah yang tulus ikhlas serta sesuai dengan kehendak Allah dan sunnah rasul.
Segala ibadah dalam Islam walaupun bermacam rupa bentuknya, namun menuju ke satu arah, yaitu yang mendatangkan kebahagiaan. Maka kumpulan dari bermacam cara-cara ibadah, baik yang mempergunakan tenaga, semangat, harta, menahan nafsu, terlihat jelas dalam ibadah haji.
Dalam melaksanakan ibadah haji tidaklah serta merta hanya melaksanakan saja tetapi harus mengikuti ketentuan dan tata cara pelaksanaan ibadah haji. Hal pokok yang sering menimbulkan masalah dalam menunaikan ibadah haji adalah kurangnya pemahaman tentang ilmu dan pelaksanaan ibadah haji tersebut, terutama tentang mana rukun, wajib dan sunat, sehingga banyak di antara kita kurang dapat mencari kesempatan yang baik (aman, tertib,khusyu’) dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu pemahaman tentang ilmu dan pelaksanaan ibadah haji harus diketahui dan di pelajari bagi umat Islam terutama bagi orang yang hendak menunaikan ibadah haji.


1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian haji dalam perspektif etimologi dan perspektif terminologi?
2.      Sebutkan macam-macam haji?
3.      Apa saja syarat-syarat wajib haji dan tata cara pelaksanaannya?
4.      Apa pengertian umroh dalam prespektif etimologi dan prespektif terminologi?
5.      Bagaimana tata cara pelaksanaan umroh?

1.3  Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui dan memahami haji secara etimologi dan terminologi.
2.      Untuk mengetahui dan memahami macam-macam haji.
3.      Untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat wajib haji dan tata cara pelaksanaannya.
4.      Untuk mengetahui definisi umroh secara etimologi dan terminologi
5.      Untuk mengetahui dan memahami tata cara pelaksanaan umroh .










BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Haji
Haji dalam perspektif etimologi yang dalam bahasa arab berarti menyengaja, ziarah. Kata hajja al-ka’bata menurut Mahmud Yunus mengartikan “menyengaja, ziarah ke Ka’bah”, sedang menurut Hasbi ash-Shiddiqy haji adalah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan. Oleh karena itu, umat  muslim yang  mengunjungi Baitullah Al-Haram berulang kali pada tiap tahun dinamakan dengan ibadah haji, atau nusk (ibadah). Karena Baitullah merupakan tempat yang dibesarkan, maka pekerjaan mengunjunginya dinamakan dengan haji.
Allah Swt telah menjadikan Baitullah suatu tempat yang dituju manusia pada setiap tahun. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا
dan ketika Kami jadikan Al-Baitul Haram tempat perkunjungan manusia dan tempat yang aman….”(Q.S; Al-Baqarah:125)
¬!ur n?tã Ĩ$¨Z9$# kÏm ÏMøt7ø9$# Ç`tB tí$sÜtGó$# Ïmøs9Î) WxÎ6y 4 `tBur txÿx. ¨bÎ*sù ©!$# ;ÓÍ_xî Ç`tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÒÐÈ  
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. 3:97).
Baitullah adalah suatu tempat yang didatangi manusia pada setiap tahun. Lazimnya bagi mereka yang sudah pernah mengunjungi Baitullah, timbullah keinginan kedua kalinya untuk kembali ke tanah suci.
Haji dalam perspektif terminologi adalah mengunjungi Baitullah dengan sifat yang tertentu disertai oleh perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.[1] Sedangkan menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut, haji adalah ibadah yang sudah terkenal, dilaksanakan manusia sebagai ibadah ruhiah, jasmaniah, dan amaliyah; sedangkan ibadah lainnya tidak demikian. Haji dilaksanakan oleh umat Islam yang mampu, didalam waktu tertentu, dan pada tempat tertentu pula. karena memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Ibadah itu dimulai dengan niat haji karena Allah semata, melepaskan segala pakaian biasa (berjahit), tanpa memakai berbagai perhiasan dan alat kosmetik sehingga berakhir dengan thawaf di sekitar Baitullah al-haram.[2]
2.2  Macam-Macam Haji
Cara pelaksanaan ibadah haji dapat dibagi dalam tiga macam, yaitu:
1)     Haji Ifrad.
Haji ifrad, yaitu melaksanakan haji (ihrom haji) dari miqat terlebih dahulu sampai selesai semua rukun dan wajib haji, sesudah itu baru melaksanakan umroh (ihrom umroh) dengan kembali ke miqat untuk niat ihrom umroh (miqat umroh boleh tidak sama dengan miqat haji), sehingga selesai pula pelaksanaan rukun dan wajib umroh secara sempurna. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Shahih Muslim yang berbunyi sebagai berikut:
عن ابن عمر في رواية يحي قال اهللنا مع رسول الله ص.م بالحج مفرد ا
Dari Ibnu ‘Umar ra katanya: “Kami pernah ihram bersama sama Rasulullah saw untuk haji ifrad.
Apabila telah selesai rukun dan wajib haji serta rukun dan wajib umroh , maka jama’ah haji dan umroh dapat melaksanakan sunat haji lainnya, yaitu, sunat yang tidak terkait di dalam pelaksanaan rukun dan wajib haji serta umroh.
Maka pada Haji Ifrad pelaksanaan niat ihram atau miqat dilakukan dua kali.
2)     Haji Tamattu
Haji Tamattu, yaitu melaksanakan umroh (ihram umroh) dari miqat terlebih dahulu sampai selesai semua rukun dan wajib umroh, sesudah itu baru melaksanakan haji dengan niat ihram haji dari miqat kembali (miqat haji boleh tidak sama dengan miqat umroh), sehingga selesai pula rukun dan wajib haji secara sempurna. Sebagaimana dijelaskan hadis shahih Muslim yang berbunyi sebagai berikut:

عن قتا دة قال قال عبد الله بن شقيق كا ن عثمان ينهى عن المتعة وكان علي يأ مر بها فقال عثمان لعلي كلمة ثم قال علي لقد علمت انا قد تمتعنا مع رسول الله ص.م فقال اجل ولكنا كنا خائفين                                                                     
Dari Qatadah ra. katanya: Abdullah bin Syaqiq bercerita: “ Usman bin Affan pernah melarang mengerjakan haji tamattu’(umroh sebelum haji), sedangkan Ali menyuruh melakukannya. Karena itu Usman menegur Ali. Jawab Ali: bukankah anda tahu, bahwa kita pernah mengerjakan haji tamattu bersama-sama dengan Rasulullah saw ?”kata Usman; “benar! Tetapi ketika itu kita dalam keadaan tidak aman.
Setelah selesai rukun dan wajib umroh serta rukun dan wajib haji , maka jama’ah haji dan umroh dapat melaksanakan sunat haji yang lainnya yaitu sunat yang tidak terkait didalam pelaksanaan rukun dan wajib umroh serta haji secara bebas tanpa ada resiko akan terganggu ibadah haji dan umrohnya.
Jadi pada haji tamattu’ pelaksanaan niat ihram dari miqat adalah dua kali pula.

3)     Haji Qiran
Haji Qiran, yaitu haji dengan niat ihramnya satu kali saja sekaligus, dimana melaksanakan ihram haji dan ihram umroh dilaksanakan secara bersamaan (serentak) dari satu miqat saja, jadi miqatnya tidak perlu kembali lagi, dimana setiap pelaksanaan rukun dan wajib adalah merupakan rukun dan wajib umroh sekaligus. Sebagaimana diriwayatkan oleh Tarmidzi yang berbunyi sebagai berikut:
قال النبي ص.م. من احرم بالحج والعمرة اجزاه طواف واحد وسعي واحد حتى يخلمنهما جمعا                                
“barang siapa mengerjakan ihram untuk haji dan umroh cukuplah ia melakukan thawaf dan sa’i satu kali, sehingga ia mengerjakan penghalal keduanya”.
Bagi haji qiran diharuskan sudah membawa (menyediakan) hewan qurban (hadiyah) dan apabila selesai semua rukun dan wajib haji, maka dengan bebas dapat melaksanakan sunat lain yang tidak terkait dengan pelaksanaan rukun dan wajib haji dan umroh.[3]
3.1Syarat-syarat wajib haji
Yang dimaksud dengan syarat wajib haji ialah kondisi yang apabilaterdapat dengan sempurna seluruhnya bagi seorang berarti ia wajib pergi menunaikan haji. Tetapi jika tidak terdapat seluruhnya atau sebagiannya, walaupun satu diantaranya, maka ia tidak wajib menunaikan haji.
Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.      Islam
Ibadah haji dan umroh adalah ibadah Islam, maka tidak ada wajib bagi orang yang tidak beragama Islam dan orang murtad. Orang-orang non muslim tidak sah mengerjakan haji.
2.      Baligh
Anak-anak yang belum sampai umur taklifi, tidak wajib haji, namun jika ia mengerjakan haji, maka hajinya itu sah. Akan tetapi tidak gugurkewajiban haji baginya, setelah ia baligh, sebagai syarat wajib haji.
3.      Berakal sehat
4.      Merdeka
Orang yang masih berstatus budak, tidak wajib haji, namun jika ia melakukan haji, sah hajinya. Akan tetapi kalau ia telah merdeka, dan mampu, ia wajib menunaikan ibadah haji itu.
5.      Kemampuan (istitha’ah) atau kesanggupan melakukannya
Kemampuan yang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.       Yang menghadapi perintah haji itu seorang yang mukallaf yang sehat badan.maka jika dia tidak sanggup melaksanakan ibadah haji karena telah sangat tua, atau sakit yang tidak dapat bergerak dan tidak dapat diharap sembuh lagi, wajiblah atasnya menurut pendapat sebagai ulama, menyuruh orang lain melakukan hajinya jika dia mempunyai harta.
b.      Perjalanan yang ditempuh aman dari segala bahaya,baik terhadap jiwa maupun harta.
c.       Ada alat angkutan pulang pergi, baik darat, laut maupun udara. Ini bagi orang yang tidak dapat melakukan ibadah haji dengan jalan kaki, karena berjauhan tempatnya dengan kota mekkah. Adapun orang yang dapat berjalan kaki ke Mekah karena tempatnya berdekatan dengannya, maka faktor kendaraan ini, tidak menjadi syarat baginya.
d.      Adanya kelebihan nafkahnya dari kebutuhan pokoknya yang cukup untuk dirinya sendiri, dan untuk keluarganya, hingga ia kembali dari haji.
e.       Tidak terdapat suatu halangan untuk pergi haji, misalnya:tahanan (penjara), hukuman dan ancaman dari penguasa yang kejam.
f.        Bagi wanita harus ditemani suami atau mahramnya.[4]

3.2Tata cara Pelaksanaan Haji
a.       Pada tanggal 8 Dzulhijjah, pelaku haji mandi dan meniatkan haji dalam hatinya, lalu mengucapkan, (labbaikallahumma labbaik, labbaikka hajjan). Kemudian berangkat ke sebuah tempat yang disebut Mina, lalu shalat di sana dengan cara meng-qashar shalat yang jumlah rakaatnya empat. Selanjutnya ketika berada di Mina, habiskan malam tersebut dengan berdzikir dan bertasbih serta shalat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.
b.      Pada tanggal 9 Dzulhijjah, setelah matahari terbit, pelaku haji berangkat menuju Arafah.
c.       Setelah tiba di Arafah, tinggallah beberapa saat di sana hingga matahari terbenam. Selama berada di sana lakukan shalat dhuhur dan ashar dengan cara jamak taqdim dan qashar. Selain itu perbanyaklah istighfar, tobat, doa, dzikir dan tasbih.
d.      Setelah matahari terbenam pada hari Arafah, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan menggunakan kendaraan atau dengan berjalan kaki. Setelah tiba di Muzdalifah, lakukan shalat maghrib dan isya secara jamak dan qashar. Jangan lupa untuk bermalam di Muzdalifah hingga tiba waktu shalat subuh.
e.       Setelah shalat subuh, pungutlah tujuh buah batu kerikil saat balik menuju Mina.
f.        Sesampainya di Mina, yakni pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya pertama idul Adha, lakukan pelemparan jumrah (dengan kerikil-kerikil tersebut) di sebuah tempat yang bernama jumrah Al-Aqabah Al-Kubrah, sambil bertakbir pada setiap lemparan.
Pada hari yang sama, disunahkan menyembelih hewan qurban setelah melempar jumrah Al-Aqabah, dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
g.         Memotong beberapa helai rambut seukuran ujung jari. Ritual ini disebut Tahallul Ashghar.
h.         Berangkat menuju Makkah dan ber-thawaf sebanyak tujuh kali. Thawaf  ini disebut thawaf ‘ifadhah.
i.           Shalat di belakang maqam Ibrahim. Bila tidak memungkinkan maka shalatlah di bagian lain masjidil Haram.
j.           Melakukan Sa’I (berjalan dengan langkah cepat) antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
k.         Dengan demikian, tahallul Akbar telah selesai dilakukan. Kemudian kembalilah ke Mina sekali lagi untuk menginap di sana selama tiga malam, yakni selama Ayyamut Tasyriq (tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah).
l.           Setelah melakukan Sa’I pada malam 11 Dzulhijjah, bermalam di Mina. Kemudian jika matahari telah tergelincir (yakni ketika waktu shalat zhuhur telah tiba) pada hari pertama Ayyamut Tasyriq, lakukan pelemparan jumrah dimulai dari jumrah Sugrah, kemudian Wustha, lalu Kubra. Dalam setiap jumrah, gunakan tujuh buah kerikil untuk melempar, sambil bertakbir pada setiap lemparan.
m.       Pada tanggal 12 Dzulhijjah, setelah matahari tergelincir, lakukan pelemparan jumrah seperti hari sebelumnya.
n.         Pelaku haji tidak boleh kembali ke tempat tinggalnya setelah selesai melakukan pelemparan pada hari kedua Ayyamut Tasyriq, yakni tanggal 12 Dzulhijjah, sebelum matahari terbenam. Apabila matahari telah terbenam sedangkan pelaku haji masih berada di Mina, maka ia harus menginap di sana untuk melempar jumrah pada hari ke tiga Ayyamut Tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Setelah hari Tasyriq berakhir, pelaku haji dianjurkan bermukim di Makkah guna memperbanyak thawaf, membaca al-quran, shalat, dan bertasbih. Kemudian melakukan thawaf  Wada’ (thawaf perpisahan), lalu kembali ke negerinya sambil memuji dan bersyukur kepada Allah SWT.[5]


4.1Pengertian Umroh
Umroh dalam perspektif etimologi bermakna ziarah. Sedangkan dalam perspektif terminologi ialah menziarahi Ka’bah, melakukan thawaf di sekililingnya, bersa’yu (Sa’i) antara shafa dan marwah dan mencukur atau menggunting rambut.[6]
Rukun Umroh hampir sama dengan rukun haji, tetapi pada rukun umroh tidak ada wukuf, tidak ada melontar jumroh dan dapat dilaksanakan setiap saat, yaitu:
1.      Niat ihrom umroh dari miqat
2.      Thawaf (berkeliling ka’bah)
3.      Sa’i diantara Shafa dan Marwah
4.      Bercukur (memotong rambut) sekurang-kurangnya tiga helai
5.      Menertibkan antara empat rukun di atas
Dalam pelaksanaan umroh semua rukun umroh sama dengan pelaksanaan rukun haji, tanpa ada perbedaan, kecuali perbedaan pada niat ihramnya, yaitu niat ihram umroh saja serta tidak terikat dengan waktu (zulhijjah).
Wajib Umroh telah ditetapkan sebagai berikut:
1)     Ihrom dari miqat yang telah ditentukan seperti miqat haji.
2)     Menjauhkan diri dari segala yang diharamkan atau larangan umroh yang banyaknya sama dengan muharamat atau larangan haji.
Ketentuan miqat (lokasi untuk mengenakan kain ihram), yaitu:
1.      Miqat Zamani (ketentuan waktu) adalah dapat dilaksanakan setiap saat (sepanjang tahun) kecuali hari-hari tertentu, yaitu hari Arafah, hari Naher dan hari-hari Tasyriq.
2.      Miqat Makani (ketentuan tempat), yaitu seperti miqat haji, khusus bagi penduduk Makkah atau bagi orang yang berada di dalam Makkah (tanah haram), maka ia harus keluar terlebih dahulu ke tanah halal. [7]

5.1  Tata cara Pelaksanaan Umroh
Setelah perilaku ibadah mengenakan pakaian ihram, melafazhkan niat serta telah sampai di depan ka’bah, maka kerjakanlah ritual umroh berikut ini:
a.       Thawaf di Ka’bah (thawaf qudum)
Ketika thawaf keadaan tubuh harus suci  dari hadast besar dan kecil. Pelaku haji mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dan pada setiap putaran dimulai dengan takbir dari rukun Hajar Aswad. Thawaf berakhir di rukun Hajar Aswad. Setiap akhir putaran antara rukun Yamani dengan Hajar Aswad, pelaku ibadah haji atau umroh membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”(Q.s. Al-Baqarah(2): 201)
b.      Sholat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim
Apabila ia tidak bisa shalat di belakang maqam Ibrahim karena terlalu banyak orang, maka ia boleh shalat di mana saja, tetapi harus tetap di dalam lokasi masjid.

c.       Menuju sumur Zamzam
Ketika telah sampai, minumlah air zamzam dengan niat amal shalih dan ilmu yang bermanfaat, memohon kebaikan dunia dan akhirat, serta ampunan kepada orang yang masih hidup atau yang sudah mati.
d.      Sa’I (berjalan dengan langkah cepat) antara shafa dan marwah sebanyak tujuh kali.
Sa’I dimulai dari Shafa dan Marwah, karena Allah SWT berfirman:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
“sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya….” (Q.s. Al-Baqarah[2]: 158)
Disunahkan pula untuk berdoa saat berada di Shafa sambil menghadap ke ka’bah, memuji Allah SWT, membaca takbir tiga kali sambil mengangkat tangan, kemudian memanjatkan doa,

لا إله إلا الله وحده لا شريك له, له الملك وله الحمد, وهو على كل شيء قدير                                          
“Tiada Tuhan selain Allah, Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kekuasaan, bagi-Nya segala puji dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Hal yang serupa juga dilakukan ketika berada di Marwah.


e.       Tahallul
Yaitu memotong sebagian rambut bagi wanita dari kepangnya seukuran ujung jari, dengan berakhirnya thawaf dan sa’I, maka berakhir pula manasik umroh.[8]

















BAB 111
PENUTUP
KESIMPULAN
Haji dalam perspektif etimologi yang dalam bahasa arab berarti menyengaja, ziarah. Kata hajja al-ka’bata menurut Mahmud Yunus mengartikan “menyengaja, ziarah ke Ka’bah”, sedang menurut Hasbi ash-Shiddiqy haji adalah menuju ke suatu tempat berulang kali atau menuju kepada sesuatu yang dibesarkan.
Haji dalam perspektif terminologi adalah mengunjungi Baitullah dengan sifat yang tertentu disertai oleh perbuatan-perbuatan yang tertentu pula.
Macam-macam haji ada tiga, yaitu
1.      Haji Ifrod
2.      Haji Tamatu’
3.      Haji Qiran
Syarat-syarat wajib haji adalah sebagai berikut:
a.       Islam
b.      Baligh
c.       Berakal sehat
d.      Merdeka
e.       Kemampuan (istitha’ah) atau kesanggupan melakukannya
Tata cara Pelaksanaan Haji adalah sebagai berikut:
a.       Pada tanggal 8 Dzulhijjah, pelaku haji mandi dan meniatkan haji dalam hatinya, lalu mengucapkan, (labbaikallahumma labbaik, labbaikka hajjan). Kemudian berangkat ke sebuah tempat yang disebut Mina, lalu shalat di sana dengan cara meng-qashar shalat yang jumlah rakaatnya empat. Selanjutnya ketika berada di Mina, habiskan malam tersebut dengan berdzikir dan bertasbih serta shalat subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah.
b.      Pada tanggal 9 Dzulhijjah, setelah matahari terbit, pelaku haji berangkat menuju Arafah.
c.       Setelah tiba di Arafah, tinggallah beberapa saat di sana hingga matahari terbenam. Selama berada di sana lakukan shalat dhuhur dan ashar dengan cara jamak taqdim dan qashar. Selain itu perbanyaklah istighfar, tobat, doa, dzikir dan tasbih.
d.      Setelah matahari terbenam pada hari Arafah, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan menggunakan kendaraan atau dengan berjalan kaki. Setelah tiba di Muzdalifah, lakukan shalat maghrib dan isya secara jamak dan qashar. Jangan lupa untuk bermalam di Muzdalifah hingga tiba waktu shalat subuh.
e.       Setelah shalat subuh, pungutlah tujuh buah batu kerikil saat balik menuju Mina.
f.        Sesampainya di Mina, yakni pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah atau hari raya pertama idul Adha, lakukan pelemparan jumrah (dengan kerikil-kerikil tersebut) di sebuah tempat yang bernama jumrah Al-Aqabah Al-Kubrah, sambil bertakbir pada setiap lemparan.
Pada hari yang sama, disunahkan menyembelih hewan qurban setelah melempar jumrah Al-Aqabah, dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
g.         Memotong beberapa helai rambut seukuran ujung jari. Ritual ini disebut Tahallul Ashghar.
h.         Berangkat menuju Makkah dan ber-thawaf sebanyak tujuh kali. Thawaf  ini disebut thawaf ‘ifadhah.
i.           Shalat di belakang maqam Ibrahim. Bila tidak memungkinkan maka shalatlah di bagian lain masjidil Haram.
j.           Melakukan Sa’I (berjalan dengan langkah cepat) antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
k.         Dengan demikian, tahallul Akbar telah selesai dilakukan. Kemudian kembalilah ke Mina sekali lagi untuk menginap di sana selama tiga malam, yakni selama Ayyamut Tasyriq (tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah).
l.           Setelah melakukan Sa’I pada malam 11 Dzulhijjah, bermalam di Mina. Kemudian jika matahari telah tergelincir (yakni ketika waktu shalat zhuhur telah tiba) pada hari pertama Ayyamut Tasyriq, lakukan pelemparan jumrah dimulai dari jumrah Sugrah, kemudian Wustha, lalu Kubra. Dalam setiap jumrah, gunakan tujuh buah kerikil untuk melempar, sambil bertakbir pada setiap lemparan.
m.       Pada tanggal 12 Dzulhijjah, setelah matahari tergelincir, lakukan pelemparan jumrah seperti hari sebelumnya.
n.         Pelaku haji tidak boleh kembali ke tempat tinggalnya setelah selesai melakukan pelemparan pada hari kedua Ayyamut Tasyriq, yakni tanggal 12 Dzulhijjah, sebelum matahari terbenam. Apabila matahari telah terbenam sedangkan pelaku haji masih berada di Mina, maka ia harus menginap di sana untuk melempar jumrah pada hari ke tiga Ayyamut Tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Setelah hari Tasyriq berakhir, pelaku haji dianjurkan bermukim di Makkah guna memperbanyak thawaf, membaca al-quran, shalat, dan bertasbih. Kemudian melakukan thawaf  Wada’ (thawaf perpisahan), lalu kembali ke negerinya sambil memuji dan bersyukur kepada Allah SWT.
Umroh dalam perspektif etimologi bermakna ziarah. Sedangkan dalam perspektif terminologi ialah menziarahi Ka’bah, melakukan thawaf di sekililingnya, bersa’yu (Sa’i) antara shafa dan marwah dan mencukur atau menggunting rambut.
Tata cara Pelaksanaan Umroh adalah sebagai berikut:
a.       Thawaf di Ka’bah (thawaf qudum)
b.      Shalat dua rakaat di belakang makam Ibrahim
c.       Menuju sumur zam-zam
d.      Sa’I (berjalan dengan langkah cepat) antara shafa dan marwah sebanyak tujuh kali.
e.       Tahallul




















DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Haji, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999
Ja’far Muhammad, Tuntunan Praktis Ibadat Zakat Puasa dan Haji, Jakarta: Kalam Mulia, 1989
Widjanarko Arizal bin Marah Ali, Tuntunan Praktis Haji dan Umroh, Jakarta: Palinggam, 1995
Lamadhoh ‘Athif, Fikih Sunnah untuk Remaja, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2007
Farid Ishak, Ibadah Haji Dalam Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1999



[1] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku, pedoman haji,(semarang: pusaka rizki putra, 1999),h.2
[2] Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidatun wa Syari’ah, Kairo, Darul Qalam, tahun 1996,hk. 120.
[3] Widjanarko Arizal bin Marah Ali, Tuntunan praktis Haji dan ‘Umroh, (Jakarta: Palinggam, 1995),h. 22-28
[4] Ja’far Muhamadiyah, Tuntunan Praktis Ibadat Zakat puasa dan Haji, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), h. 173-175
[5] Lamadhoh ‘Athif, Fikih Sunnah untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia,2007),h. 123-125
[6] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku, pedoman haji,(semarang: pusaka rizki putra, 1999),h.13
[7] Widjanarko Arizal bin Marah Ali, Tuntunan praktis Haji dan ‘Umroh, (Jakarta: Palinggam, 1995),h.135-136
[8] Lamadhoh ‘Athif, Fikih Sunnah untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia,2007),h.121-123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar