BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Seorang yang bijak pernah berkata :
فاقد الشيئ لا يعطي
“Seorang
yang tidak memiliki apa-apa tidak dapat memberi”
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh orang bijak ini,
karena bagaimana bisa memberi? Padahal ia tidak memiliki apa-apa.
Lantas, bagaimana halnya dengan seorang da’i yang
mengajak ke jalan Allah sedangkan ia tidak memiliki ilmu dan bekal-bekal di
dalam menempuh jalan dakwah, apa yang akan dia berikan kepada ummat? Padahal
Allah telah melarang manusia berkata-kata tanpa ilmu, apalagi berbicara di
dalam agama Allah tanpa ilmu.
Untuk itulah, selayaknya bagi seorang da’i yang
berdakwah di jalan Allah agar membekali dirinya dengan bekal-bekal dakwah.Apa
sajakah bekal-bekal dakwah yang sepatutnya seorang da’i mempersiapkannya?
Faqihuz Zaman, al-Imam al-’Allamah Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin
rahimahullah memberikan jawabannya dengan terang dan jelas.
Maka reguklah ilmu ini wahai hamba Allah dan
berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Sebagai mana yang telah di
jelaskan dalam (QSal-Baqoroh:197).
Bekal bagi setiapmuslim adalah bertakwa kepada Alloh
Azza wa Ja lla, yang mana Alloh telah berulang kali menyebutkan takwa di dalam
Al-Qur`an dan memerintahkannya, memuji orang yang melaksanakannya dan
menjelaskan pahalanya, dan selainnya,
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Da’i?
2.
Apa
Saja Bekal seorang Da’i?
1.3
Tujuan
1.
Dapat
mengetahui pengertian Da’i.
2.
Dapat
mengetahui bekal seorang Da’i.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Da’i
Kata da’i berasal dari bahasa Arab bentuk mudzakar (laki-laki)
yang berarti orang yang mengajak, kalau muanas (perempuan) disebut
da’iyah.[1]
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, da’i adalah orang yang
pekerjaannya berdakwah, pendakwah: melalui kegiatan dakwah para da’i
menyebarluaskan ajaran Islam. Dengan kata lain, da’i adalah orang yang mengajak
orang lain baik secara langsung atau tidak langsung, melalui lisan,
tulisan, atau perbuatan untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau
menyebarluaskan ajaran Islam, melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang
lebih baik menurut Islam.
Da’i dapat diibaratkan sebagai seorang guide atau pemandu
terhadap orang-orang yang ingin mendapat keselamatan hidup dunia dan akhirat.
Dalam hal ini da’i adalah seorang petunjuk jalan yang harus mengerti dan
memahami terlebih dahulu mana jalan yang boleh dilalui dan yang tidak boleh
dilalui oleh seorang muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan kepada orang
lain. Ini yang menyebabkan kedudukan seorang da’i di tengah masyarakat
menempati posisi penting, ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu
diteladani oleh masyarakat di sekitarnya.
Segala perbuatan dan tingkah laku dari seorang da’i akan dijadikan tolak
ukur oleh masyarakatnya. Da’i akan berperan sebagai seorang pemimpin di tengah
masyarakat walau tidak pernah dinobatkan secara resmi sebagai pemimpin.
Kemunculan da’i sebagai pemimpin adalah kemunculan atas pengakuan masyarakat
yang tumbuh secara bertahap. Oleh karena itu, seorang da’i harus selalu sadar
bahwa segala tingkah lakunya selalu dijadikkan tolak ukur oleh masyarakatnya
sehingga ia harus memiliki kepribadian yang baik.
2.2
Bekal
Da’i
äí÷$#4n<Î)È@Î6yy7În/uÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ÏpsàÏãöqyJø9$#urÏpuZ|¡ptø:$#(Oßgø9Ï»y_urÓÉL©9$$Î/}Ïdß`|¡ômr&4¨bÎ)y7/uuqèdÞOn=ôãr&`yJÎ/¨@|Ê`tã¾Ï&Î#Î6y(uqèdurÞOn=ôãr&tûïÏtGôgßJø9$$Î/ÇÊËÎÈ
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Menurut ayat diatas bahwa umat Islam wajib untuk melakukan dakwah
karena pada ayat di atas didahului dengan fi’il Amr.Dalam konteks ilmu,
penunaian kewajiban itu menyaratkan kesempurnaan sehingga tidak terjebak pada
asal menunaikan atau hanya mengikuti kebiasaan saja. Disinilah makna kewajiban
diperluas menjadi wajibnya umat Islam untuk mempelajari,menguasai,dan
mengembangkan ilmu dakwah, wajibnya orang untuk menjadi da’I diikutidengan
kewajiban untuk mengilmui kegiatan dakwah Islam. Kaidahnya berbunyi´sesuatu
kewajiban dipandang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu
hukumnya menjadi wajib.”[2]
Secara lebih jauh “sesuatu ”
itu maksudnya bahwa kewajiban dakwah itu akn menjadi sempurna jika ditopang
oleh sejumlah factor-faktor yang melekat pada figure da’I baik berupa penguasaan
terhadap ilmu (wawasan pengetahuan dan pengalaman), profesionalisme,serta
akhlak dan kepribadian. Maka dari itu bekal seorang da’I itu sangat penting
diantaranya bekal seorang da’I adalah :
a.
Da’I
wajib memiliki wawasan yang luas dan pemahaman agama yang mendalam
Abdullah
Nasih ‘Ulwan menyebutkan sekurang-kurangnya ada lima cakupan wawaasan yang
penting dimiliki da’I yaitu:
1.
Wawasan
Keislaman
Wawasan keislaman yang dimaksud,bahwa seorang da’I mutlak dituntut
untuk menguasai pengetahuan yang berkait dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits serta
semua ilmu yang termasuk pada rumpun ilmu agama.Adapun sebagai da’i, memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan baik
menjadi lebih penting lagi agar kita bisa menda’wahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits
dengan sebaik-baiknya. Selain itu penguasaan terhadap ilmu itu diharapkan
muncul kemampuan untuk : (1) menghindari kisah-kisah israilliyat yang sering
terdapat dalam kitab tafsir, (2) waspada terhadap riwayat-riwayat palsu dan
lemah, (3) waspada terhadap statement dan pendapat-pendapat yang merusak, (4)
waspada terhadap mereka yang menyerukan keraguan terhadap hadits-hadits shahih,
(5) waspada terhadap hadits-hadits palsu dan dhaif.
Selain itu dengan penguasaan wawasan
keislaman terutama yang menyangkut fiqih, dimungkinkan agara da’I mampu
membetulkan kesalahan-kesalahan yang dihadapi, meluruskan penyimpangan dalam
masalah hokum syari’ah.Sebab da’I yang berhasil adalah da’I yang mampu
menasihati dan memahamkan mereka, tidak mengalahkan fiqih dari nasihatnya atau
sebaliknya.
Para da’I dalam penyampaian pesan
dakwah hendaknya mampu mengaitkan hokum dengan dalil-dalil (Al-Qur’an dan
hadits), atau sekurang-kurangnya mengenal dalil madzhabnya, lebih bagus lagi
mengenal dalil madzhab lainnya, lebih jauh lagi ketika menerangkan suatu dalil
diterangkan pula hikmah dan pengaruh serta buahnya bagi diri dan kehidupan,
mengaitkan dengan kenyataan hidup yang ada
2.
Wawasan
Sejarah
Monzer Kahf pernah mengatakan, sejarah merupakan laboratorium bagi
umat Islam. Dengan menguasai sejarah berarti seorang da’I akan memahami
hikmah-hikmah dari sbagai peristiwa yang pernah ada di permukaan bumi, rahasia
kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa. Syamsudin RS pernah mengatakan
sekurang-kurangnya arti penting mempelajari sejarah dakwa dijabarkan sebagai
berikut :(1) meluaskan pandangan dan membukakan persoalan umat Islam tentang
sikap dan perilaku sejarah, serta perubahan-perubahan social yang ditiumbulkannya.
(2) sejarah dakwah merupakan saksi jujur keberadaan dakwah yang menampilkan
dinamika perkembangan dakwah dan hokum-hukum yang mengatur hubungan antara
kualitas dakwah dan kondisi masyarakat. (3) membantu memudahkan untuk memahami
sejarah masa kini.
3.
Wawasan
humaniora
Begitu
pentingnya ilmu humaniora seperti : psikologi, sosiologi, ekonomi, filsafat,
akhlaq, pendidikan, geografi, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangat membantu
dalam proses dakwah dengan cara menghubungkan ilmu-ilmu tersebut dengan
dakwah.sosiologi penting untuk dakwah, karena disiplin ilmu akan menyediakan
sarana untuk memahami masyarakat sebagai medan dakwah; psikologi penting untuk
dakwah karena untuk melihat gejala-gejala yang ada pada manusia. Demikian juga
ilmu-ilmu lainnya akan sangat dibutuhkan sekali dalam berdakwah.
4.
Wawasan
Ilmiah
Wawasan ini penting disebabkan (1) Dalam kehidupan modern sekarang
ini ilmu menjadi nadi dan motor penggerak kebanyakan urusan seperti : listri
(alat modern) yang bisa membantu seorang da’I maka harus memahaminya, (2)
banyak hal yang dikaitkan dengan ilmu juga digunakan sebagai sarana pemahaman
agama. (3)dakwah itu sendiri dituntut untuk memenuhi standar-standar ilmiah,
menimbang kausalitas (sebab-akibat) dan memanfa’atkan prediksi-prediksi yang
diberikan oleh ilmu pengetahuan.
5.
Wawasan
kontemporer
Yang dimaksud dengan Wawasan ini yaitu wawasan yang diterima da’I
darai kenyataan hidup dewasa ini. Diantaranya wawasan yang penting dimiliki
da’I ialah :(1) pengetahuan tentang dunia islam seperti; kondisi geografis,
ekonomi, politik, demografi, sebab-sebab keterbelakangan, dan lain seagainya.
(2) kondisi kekuatan-kekuatan dunia yang memusuhi islam seperti yang diperankan
tiga kekuatan yang mengerikan yaitu; Yahudi internasional, Salibi, dan
komunisme internasional dan tidak kalah pentingnya pemikiran-pemikiran orang
orientalis, (3) situasi agama-agama kontemporer, (4) situasi madzhab-madzhab kontemporer,
(5) situasi dan kondisi pergerakan-pergerakan kontemporer.Sehingga.
Dan
selain wawasan, seorang da’I juga dituntut kompetensinya untuk memiliki
pemahaman yang mendalam tentang islam ( tafaqquh fid-din). Yang dimaksud
pemahaman disini, seorang da’I bukan sekedar tahu apa itu islam secara tekstual
tetapi juga kontekstual, dan bukan disisi dhohirnya saja tetapi disisi batinnya
juga, Bukan hanya hukum-hukum dalam islam tetapi juga hikmah-hikmahnya, bukan
hanya sebagai doktrin dari yang maha kuasa tetapi juga makna kehadirannya di
tengah-tengah kehidupan masyarakat manusia.
b.
Da’I wajib memiliki Akhlakul Karimah dan berkepribadian resuli
Tiada teladan yang pantas diikuti dalam
berdakwah selain Rassulullah SAW. (QS.Al-Ahzab :21). Sejarah mencatatRasul
dikenal sebagai sosok manusia yang memiliki akhlak terpuji dan kepribadian yang
sempurna.Banyak fakta yang melukiskan bagaimana keberhasilan dakwah nabi
ditentukan oleh akhlak itu. Dengan akhlak itu dakwah Nabi SAW yang hanya 23
tahun telah mampu menciptakan perubahan kondisi masyarakat dari jahilliyah
menjadi masyarakat Islam yang beradab. Dalam konteks ini.Dalam konteks ini maka
sudah spantasnyalah da’I memilki kompetensi akhlak yang dimiliki Nabi. Sejarah
mencatat nabi SAW memiliki sifat-sifat antara lain :
siddiq,amanh,tablig,fthonah,hammiyah,rendah hati, darmawan dan lain-lain.
Buah dari akhlak yang dimilki Nabi
termanifestasikan dalm dakwah sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman Isa
As-Salim antara lain: (1) mengedepankan sikap proporsional dalam menyingkapi
kemungkaran, (2) memperhatikan akibat yang akan ditimbulkan, bagi Rasul jika
sekiranya dengan melakukan Amr Ma’ruf nahi munkar justru menimbulkan
kemudharatan, maka beliau akan menahan diri untuk tidak melakukannya terlebih
dahulu, (3) tidak bersikap kasar ataupun mencaci maki seseorang yang berbuat
salah, beliau sangat lapang dada dan selalu memberikan kesempatan untuk
memperbaiki diri. Kalaupun beliau harus mengungkapkan rasa kesalnya terhadap
sebuah kesalahan, maka beliau tuk memperbaiki diri.Kalaupun beliau harus
mengungkapkan rasa kesalnya terhadap sebuah kesalahan, maka beliau tidak
langsung menunjuk hidung si pelaku. Beliau hanya akan bersabda, bagaimana
pendapat suatu kaum terhadap kejadian itu.
Da’I sebagai penerus dan pewaris Nabi
hendaknya mampu mengiikuti akhlak Nabi dalam berdakwah , bukan hanya sebatas
kekaguman tetapi juga cermin ketaatandan keimanan kepadanya. Kemudian sebagai
pelengkap, Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam fiqih dakwah, memberikan p, Jum’ah Amin
Abdul Aziz dalam fiqih dakwah, memberikan pula wawasannya mengenai kaidah
dalam berdakwah: (1) memberikan
keteladanan sebelum berdakwah, (2) mengikat hati sebelum menjelaskan, (3)
mengenalkan sebelum memberi beban.
c.
Bertahap dalam pembebanan ( Attadarruj
Fii Taklif )
Pekerjaan paling
berat dan paling sulit diantara yang sulit adalah aktivitas pendidikan dan
pembinaan. Hal itu tidak lain karena aktivitas pendidikan ini merupakan
pekerjaan yang didalamnya terdapat interaksi dengan jiwa manusia yang berbagai
ragamnya.
Dikatakan sulit
karena jiwa-jiwa yang berseragam itu masing-masing mempunyai tabi’at yang
khusus an spesifik. Dari situlah diperlukan cara yang khusus pula untuk membina dan memperbaikinya. Oleh
karena itu, Rasululloh saw memberikan jalan keluar yang berbeda kepada setiap
orang, an mengarahkannya sesuai dengan tingkat kemampuan an kecenderungannya.
d.
Memudahkan bukan menyulitkan (
At-Taiysiru La Ta’siru )
Seorang da’i wajib
berbicara kepada manusia dengan kadar akalnya, sehingga memudahkan apa-apa yang
belum jelas bagi mereka. Seorang da’I tidak perlu menampakkan seakan-akan
berpenampilan sebagai seorang alim dan bijak, agar dikatakan oleh manusia orang
alim. Karena kalu demikian terjadi, maka amalannya akan terhapus dan sia-sia.
Sebaliknya tugas pokok baginya adalah memberikan kemudahan bagi manusia, dan diantara upaya itu adalah
menjauhi sikap sok fasih ( tafashuh ) dan berlebihan dalam berbicara. Ini
adalah suatu sikap dan perbiatan yang dituntut untuk dimiliki setiap da’i.
e.
Yang pokok sebelum yang cabang (
Al-Usl Qabla Al-Furu )
Seorang da’I wajib
memulai dari yang pokok dengan metode yang mudah di pahami oleh objek dakwah,
sehingga pesan dakwah bisa sampai kepada mereka.Da’i ibarat air yang
menyegarkan, menenangkan jiwa setelah sekian lama mereka kebingungan serta
meluruskannya setelah mengalami penyimpangan.
Oleh karena itu
setiap resul selalu memulai dakwahnya dengan inti ajaran islam yaitu hendaknya
kamu beribadah kepaa Allah, tiada tuhan melainkan Dia, baru kemudian datang
menyusul berbagai kewajiban yang mesti ditegakkan.
f.
Membesarkan hati sebelum memberi
ancaman ( At-Targhib Qabla At-Tarhib )
Seorang da’I
semestinya terlebih dahulu memberikan kabar gembira kepada objek dakwah untuk
beramal dengan ikhlas, sehingga dia memberi ancaman kepaanya tentang bahaya
riya, memberikan dorongan untuk menyebarkan ilmu sebelum memberikan peringatan
kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu an memberikan dorongan
kepaa mereka untuk melaksanakan sholat pada waktunya sebelum memberikan
peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan sholat. Demikianlah seterusnya
karena mendahulukan kabar gembira ( targhib ) itu lebih bermanfaat daripada
menahulukan ancaman ( tarhib ) dalam setiap pembicaraan.
g.
Memberikan pemahaman bukan
mendikte ( At-Tafhim La Talqin )
Semua amalan menuntut adanya
pemahaman mendalam tentang pokok-pokok ajaran islam maupun cabang-cabangnya,
dasar-dasar islam maupun detil ajarannya, sebagaimana di sampaikan oleh
Rasulullah saw bukan sekedar nash-nash yang di bicarakan saja, tetapi juga ruh
yang dihidupkan dan cahaya yang menerangi jalan. Dengan demikian, seorang da’i adaalah
orang yang hidupnya penuh kebenaran, penuh dengan aktivitas yang serba baik,
penuh kesadaran dan harapan kepada Allah swt. Dia mempunyai kepedulian dan
perhatian yang besar untuk melihat dirinya, orang lain dan kehidupan ini dengan
mata hatinya yang tajam. Begitu ia mendapatkan fenomena keputusasaan atau
keterpurukan moral pada umat, segera bangkit kepada meniupkan ruh keimanan ke
dalam jiwanya, sehingga umat kembali selamat dari berbagai penyimpangan menuju
jalan yang benar, seorang da’i di dalam masyarakat ibarat alarm tanda bahaya
yang setiap saat mengingatkan manusia setiap kali terjadi penyelewengan pada
diri mereka dari ajaran islam.
h.
Mendidik bukan menelanjangi (
At-Tarbiyah La Ta’rifah )
Adalah introspeksi untuk
mengetahui aib-aib dirinya dan dengan tujuan mengobatinya, merupakan suatu hal
yang urgen bagi da’i.seorang da’i hendaknya senantiasa melakukan introspeksi
diri guna mengetahui kesalahan atau aib dirinya. Kemudian memperbaiki diri agar
dirinya bersih dari segala kotoran. Sesuatu yang sering kita lupakan adalah
bahwa kita terlebih dahulu harus harus memperbaiki diri kita sebelum mengajak
orang lain menuju kebaikan dengan dakwah. Kelengahan ini menyebabkan kita lebih
banyak mengkritik orang dan mencari aib mereka serta menjaring kesalahannya.
Alangkah mudahnya menjaring kesalahan orang lain, karena kita semua pernah
bersalah. Sebaik-baik orang bersalah adalah yang mau bertaubat.
2.3 Da’i wajib
melaksanakan tugasnya dengan professional
Secara sederhana
kompetensi professional dipahami sebagai piawai dalam melakukan praktek dakwah
antara lain piawai melaksanakan tugas sesuai bidang keahliannya dalam dakwah (
tabligh, irsyad, tadbir, dan tahwir ), piawai merencana kegiatan dakwah, piawai
dalam memformulasikan materi dakwah dan penyampaiannya, serta piawai dalam
menggunakan metode dan media dakwah.
a.
Piawai dalam menggunakan metode
dakwah, di dasarekan sekurang-kurangnya pada pemahaman standart metode, yakni
dalam penggunaannya mempertimbangkan penggunaan metode yang tepat dan relevan.
Metode ini tentu ditetapkan sesuai dengan kondisi medan dan objek dakwah.
Misal, dalam tabligh jika objek tablighnya anak-anak, metode cerita dan
pengulangan akan sangat tepat, sedangkan jika objeknya kalangan akademis, maka
dialog merupakan metode yang sangat tepat.
b.
Piawai dalam menggunakan media
dakwah, maksudnya da’i dituntut untuk melek teknologi, tidak gaptek, memahami
karakteristik media, mampu mendesain dakwah melalui media tertentu. Selain itu
da’i juga sebaiknya mampu menjalin kerja sama dengan praktisi seni dan pecinta
musik, seniman kaligrafi, lukisan, dan ukiran.
c.
Piawai menyusun materi dakwah.
Sebelum dakwah dilangsungkan, seorang da’i terlebih dahulu membuat konsep dan
menyusun materi dakwah yang akan di laksanakannya. Konsep mengacu kepada
standart pembuatan materi dakwah antara lain : merujuk kepada Al-Qur’an dan
Hadits, memperkaya materi dengan penafsiran mufassir, kaidah-kaidah fiqh,
ungkapan-ungkapan bijak, kisah-kisah teladan, tidak menjelek-jelekkan kelompok
berbeda, tidak memicu konflik, tidak ngawur, improvisasi sesuai dengan topic
inti.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Sehingga
kami dapat menyimpulkan bahwasanya bahwasanya seorang da’I harus bisa memberi,
ilmu atau sebagainya, danDa’i akan berperan sebagai seorang pemimpin di
tengah masyarakat walau tidak pernah dinobatkan secara resmi sebagai pemimpin.
da’iseorang petunjuk jalan yang harus mengerti dan memahami terlebih
dahulu mana jalan yang boleh dilalui dan yang tidak boleh dilalui oleh seorang
muslim, sebelum ia memberi petunjuk jalan kepada orang lain. Ini yang
menyebabkan kedudukan seorang da’i di tengah masyarakat menempati posisi
penting, ia adalah seorang pemuka (pelopor) yang selalu diteladani oleh
masyarakat di sekitarnya.
Dan mempunyai bekal yang sangat banyak, Wawasan Keislaman, Sejarah,
humaniora, ilmiah, dan mengerti tentang wawasan kontemporer dan lain hal
sebagainya yang berhubungan dengan da’I. agar para masyarakat dapat mengambil
apa yang telah kita sampaikan juga menjalankannya. Maka kita akan sukses
menjadi seorang da’I, dan menjadi da’i professional yang dipahami
sebagai piawai dalam melakukan praktek dakwah antara lain piawai melaksanakan
tugas sesuai bidang keahliannya dalam dakwah ( tabligh, irsyad, tadbir, dan
tahwir ), piawai merencana kegiatan dakwah, piawai dalam memformulasikan materi
dakwah dan penyampaiannya, serta piawai dalam menggunakan metode dan media
dakwah.
Daftarpustaka
Enjang AS, danhajirtajiri.
Etikadakwah, widyapadjajaran, 2009, bandung.
Enjang AS danAliyudin, Dasar-DasarIlmuDakwah: PendekatanFilosofis Dan
Praktis, (Bandung: WidyaPadjadjaran, 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar