Kamis, 18 April 2013

PSIKOLOGI HUKUM PERKEMBANGAN II



BAB II
HUKUM PERKEMBANGAN II

A.       Pendahuluan
1.               Latar Belakang
Psikologi perkembangan merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari tentang pertumbuhan dan perkembangan baik dari aspek fisik, kognitif maupun psikososial manusia dari mulai lahir sampai kematiannya. Selama rentang kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai meninggal dunia. Tetapi kebanyakan orang tidak mengetahui serta memahami pola umum perkembangan dan pertumbuhan anak pada tiap-tiap fasenya, Di dalam aspek psikologi perkembangan terdapat hukum perkembangan yang membahas tentang prinsip-prinsip yang mendasari perkembangan fisik maupun psikis individu. Untuk itu dalam mempelajari psikologi perkembangan harus mengetahui prinsip apa saja yang akan mendasari dalam perkembangan serta pertumbuhan individu tersebut. Maka dari itu penting bagi seorang pendidik untuk mengetahui psikologi perkembangan yang didalamnya terdapat materi hukum perkembangan khususnya bagi pendidik yang nantinya dapat memahami dan memberikan bimbingan terhadap anak, sesuai dengan taraf perkembangan anak didiknya, sehingga proses pendidikan akan berjalan dengan sukses dalam mencapai tujuannya.

2.               Rumusan Masalah
a.    Jelaskan apa pengertian yang dimaksud dengan hukum perkembangan?
b.    Sebutkan apa saja macam-macam hukum perkembangan II ? jelaskan!

3.               Tujuan
a.    Untuk mengetahui pengertian dari hukum perkembangan.
b.    Untuk mengetahui macam-macam hukum perkembangan beserta penjelasannya.


B.       Pembahasan
1.               Pengertian Hukum Perkembangan
Perkembangan merupakan perubahan yang terus-menerus dialami, tetapi ia tetap menjadi kesatuan. Perkembangan berlangsung dengan perlahan-tahan. melalui masa demi masa. Kadang-kadang seseorang mengalami masa krisis pada masa kanak-kanak dan masa pubertas. Menurut hasil penelitian para ahli ternyata bahwa perkembangan jasmani dan rohani berlangsung menu­rut hukum-hukum perkembangan tertentu.[1] Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi.[2]
Setelah membaca pendapat para ahli dapat kita simpulkan bahwa perkembangan memang dialami setiap orang semenjak ia dilahirkan, untuk melihat perkembangan itu cepat atau lambat setiap orang tidaklah sama.
Pengertian "hukum", dalam ilmu jiwa perkembangan, tidaklah sama dengan yang biasa dikenal dalam dunia perundang-undangan peradilan. Dalam ilmu jiwa perkembangan, istilah hukum tidak dapat diasosiasikan misalnya, dengan hukum perdata atau hukum pidana. Melainkan, yang dimaksud "hu­kum perkembangan" adalah: kaidah fundamental tentang realitas kehidupan anak-anak (manusia), yang telah disepakati kebenarannya berdasarkan hasil pemikiran dan penelitian yang seksama. Misalnya: seorang anak baru bisa berkembang, apabila ia dalam keadaan hidup. Ini merupakan hukum yang sudah pasti, sehingga tak mungkin dibantah kebenarannya oleh siapapun juga. Jadi, hidup adalah syarat mutlak bagi terjadinya proses per­kembangan. Karena sudah pasti dan mutlak kebenarannya, ma­ka dalam ilmu jiwa perkembangan, susunan kalimat pernyataan seperti itu disebut hukum.
Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa istilah lain yang dipergunakan orang dalam kaitan ini, ternyata banyak sekali. Hukum perkembangan, kadang-kadang disebut teori perkembang­an, kaidah perkembangan, prinsip perkembangan, asas perkem­bangan, sifat dasar perkembangan, dan sebagainya. Ada pula yang mempergunakan dalam  bentuk gabungan, misalnya:hu­kum dan teori perkembangan. Sementara yang lain, menulisnya dengan tanda strip, seperti:hukum/teori/kaidah perkembangan. Baiklah, secara teoritis keilmuan, memang semuanya itu mungkin-mungkin saja dilakukan. Katakanlah: disebut teori, karena ia merupakan hasil penelitian yang sudah baku. Disebut kaidah, karena berguna sebagai pedoman bagi para pendidik atau siapa saja yang memerlukannya. Akan tetapi, dalam tulisan ini sengaja dipergunakan satu istilah saja, hukum perkembangan.[3]

2.               Macam-macam Hukum Perkembangan II
a.    Hukum Kesatuan Organis
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap diri manusia terdiri dari organ-organ yang berhubungan satu dengan lainnya, dari keselruhan organ tersebut merupakan satu kesatuan organism yang tak dapat dipisah-pisahkan. Apabila diperhatikan perkembangannya, maka organ satu akan selalu berhubungan dan diikuti oleh organ lainnya yang disebut kesatuan organ.[4]
Menurut hukum ini anak adalah satu kesatuan organis, bukan suatu penjumlahan atau suatu kumpulan unsur yang berdiri sendiri. Pernyataan-pernyataan psikis satu sama lain saling bersangkul-paut, pengaruh-mempengaruhi dan merupakan suatu keseluruhan. Pertumbuhan dan perkembangan adalah diferensiasi atau pengkhususan dari totalitas pada unsur-unsur atau bagian-bagian baru, bukan kombinasi dari unsur-unsur atau bukan suatu kumpulan dari bagian-bagian. Daya dan fungsi jiwa tidaklah berkembang satu demi satu atau terlepas satu sama lain, melainkan saling bersangkut paut. Misalnya, ingatan tidak berkembang dan maju sendiri tanpa hubungan dan sangkut paut dengan pengamatan dan perhatian.[5] Dalam garis besarnya dalam diri manusia terdapat dua jenis organ: pisik dan psikis, raga dan jiwa, atau jasmani dan rohani. Fisik, mempunyai banyak bagian, seperti: kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, tangan, badan, kaki. dan Iain-lain. Sedang organ psikis, bisa disebutkan seperti: pengamatan, tanggapan, ingatan, fantasi, inteligensi, dan Iain-Iain. Menurut hukum kesatuan organis, dalam proses perkembangan seseorang, setiap organ tersebut mempunyai jalinan sedemikian erat, se­hingga satu dengan yang lain saling pengaruh mempengaruhi. Perkembangan organ yang satu, secara otomatis akan berpengaruh terhadap keadaan organ yang lain. Ini berlaku secara umum, baik intra maupun antar organ pisik dan psikis. Sebagai contoh, bisa dianalisis keterkaitan perkembangan organ-organ psikis. Taruhlah misalnya, tentang perkembangan fungsi pengamatan. Ketika seseorang mengamati sesuatu, katakanlah sebuah pemandangan alam yang indah, maka fungsi pi­kiran, perasaan, kemauan, fantasi, dan sebagainya, akan ikut pula bekerja. Mungkin ia akan berpikir, merenungkan keagunggan dzat penciptanya. Ia juga akan merasai, menikmati, dan menghayati keindahan alam tersebut. Mungkin juga, akhirnya limbul kemauan untuk melukisnya setelah tiba di rumah untuk menghasilkan lukisan yang baik, perlu didukung oleh ketajaman fantasi. Begitulah kenyataannya, keterlibatan satu organ dalam proses perkembangan, akan mempengaruhi organ yang lain.
Jika demikian, menurut kita kesatuan organ dalam diri seseorang itu memang sangatlah penting, karena jika setiap organ tidak menyatu maka pasti terjadi masalah pada diri seseorang tersebut.

b.    Hukum Perbandingan
Adalah kenyataan, bahwa seluruh bagian tubuh manusia ini saling berkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan tersebut, satu segi telah mengakibatkan misalnya, jika ada bagian jasmani yang sakit, maka fungsi rohani - terutama perasaan - niscaya ikut merasakannya. Tetapi karena keterkaitan seperti itu pulalah, dari segi yang lain, bisa menimbulkan "persaingan" atau dalam ilmu jiwa perkembangan disebut "perbandingau". Maksudnya, perkembangan suatu fungsi, kadang-kadang bisa mengakibatkan kurang berkembangnya fungsi yang lain. Ini berlaku menurut hukum perbandingan. Yakni, semakin pesat suatu fungsi berkembang, walau tak selalu, akan semakin tampak terjadinya kemunduran pada fungsi yang lain.
Contoh yang paling gampang, adalah perbandingan antara perkembangan jasmani dan rohani. Seringkali terjadi, anak atau orang dewasa yang jasmaninya tumbuh besar, kekar, kuat, dan gagah; tetapi di bidang rohani, misalnya dalam hal kemampuan berpikir, ia tergolong mundur dibanding rata-rata yang lain. Umum mengatakan: "besar badan kurang pikiran". Sementara, ada pula mereka yang berbadan kecil, kurus, ceking; tetapi memiliki daya pikir yang kuat dan lancar sekali. Mereka digelari: "lebih besar pikiran, daripada badan". Ini bukan berarti, menolak sebuah ungkapan: "pada badan yang kuat terletak akal yang sehat". Akan tetapi, biasanya masyarakat umum justru lebih tertarik untuk memperbincangkan keanehan-keanehan yang memang juga terjadi di kalangan mereka. Perkem­bangan jasmani dan rohani yang tidak seimbang, adalah satu contoh terjadinya hukum perbandingan.[6]
Hukum perbandingan tidak dapat dipungkiri adanya, karena setiap manusia mempunyai rasa itu. Baik membandingkan hal-hal yang kecil ataupun hal-hal yang besar sekalipun.

c.     Hukum Penjelajahan
Sesuai dengan istilahnya yaitu eksploratif yang berarti penjelajahan, hukum masa eksploratif yang di pelopori oleh seorang ahli dari belanda yang bernama langeveld berpandangan bahwa perkembangan individu itu merupakan suatu proses yang berlangsung sebagai suatu penjelajahan dan penemuan dari individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, dia perlu mengenal dan mempelajari segala sesuatu yang ada di dunia sekelilingnya pada saat kehadirannya. Untuk dapat mengenali dunia sekelilingnya, dia perlu melakukan penjelajahan agar kemudian menemukan bermacam-macam kehidupan duniawi dan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui proses penjelajahan dan penemuan-penemuan dunianya itulah individu mengalami perkembangannya.[7]
Selain pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tiap manusia mengalami penjelajahan dalam kehidupannya.
 Perkembangan seorang anak, menurut Langeveld, mengikuti apa yang disebutnya "hukum penjelajahan". Ia berpendapat, bahwa setiap anak lahir dan memasuki dunia ini sebagai warga yang baru. Maka wajarlah, ia belum banyak mengetahui perihal kehidupan dunia yang masih "baru" baginya itu. Untuk mengetahuinya, perlu ada semacam kegiatan "orientasi dan penyelidikan", tetapi ini berjalan terus-menerus. Kegiatan tersebut, menurut Langeveld, dilakukan oleh setiap manusia dalam proses perkembangannya, walau boleh jadi dalam volume dan variasi yang berbeda-beda. Si kecil yang masih dalam ayunan itu, siuJah melakukan penjelajahan, sekurangnya dengan jalan mengamat-amati  keadaan di sekitarnya.
Tetapi yang lebih nyata, kegiatan "menjelajah" ini, dilaku­kan oleh anak-anak usia sekolah dasar, di samping para remaja yang obyeknya sudah semakin luas lagi. Sering dijumpai, anak-anak bcrusia 8-10 tahun, begitu pulang dari sekolah, bukunya ditaruh sembarangan saja. Lalu cepat-cepat makan, ini pun kadang-kadang lupa, terus "amblas" keluar rumah, dan baru kembali menjelang matahari terbenam. Secara bergerombol, mereka" pergi "menjelajah": dari kebun ke kebun, menelusuri anak sungai, ke ladang dan ke sawah, mencari burung, jangkrik, katak dan benda-benda yang dirasanya aneh. Mereka lihat dan selidiki keadaan benda-benda itu, kemudian dibawanya pulang untuk disimpan.
Dari hasil kegiatan "menjelajah" yang dilakukan kelompok semacam ini, J. Wullur menceriterakan sebuah kasus yang aneh, tetapi lucu. Seorang ibu jadi terkejut dan pucat mukanya, ketika menghidangkan makanan ringan dalam sebuah to­ples untuk tamunya. Semula, toples itu benar-benar berisi kue. Akan tetapi anehnya, begitu dibuka dan sang tamu dipersilahkan mengambil kue, tiba-tiba dari dalam toples itu berloncatan binatang kecil-kecil seperti belalang dan jangkrik. "Astaga," kata ibu itu, sambil menahan rasa malu di hadapan tamunya. Ternyata, anak laki-lakinya, si Sunaryo, yang telah menyimpan barang-barang hasil penjelajahannya itu, tanpa memberitahu ibunya lebih dahulu. Hukum penjelajahan, begitulah yang dipopulerkan oleh Langeveld.[8]

d.    Hukum Konvergensi
 Perkembangan manusia pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembawaan sejak lahir, tetapi juga oleh lingkungan pendidikan. Hal ini berarti masa depan kehidupan manusia, tak terkecuali para siswa, bergantung pada potensi pembawaan yang mereka warisi dari orangtua pada proses pematangan, dan pada proses pendidikan yang mereka alami. Seberapa jauh perbedaan pengaruh antara pembawaan dengan lingkungan, bergantung pada besar kecilnya efek lingkungan yang dialami siswa.
Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan siswa, maka hasil pendidikan yang didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam arti tidak ada satu faktor pun yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila pengaruh lingkungan lebih besar dan lebih kuat dari pada pembawaan, hasil pendidikan siswa hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan, dan pembawaan (watak dan bakat) siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika pembawaan siswa lebih besar dan lebih kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan siswa tersebut hanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh, karena ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh lingkungan pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan merugikan para siswa yang membawa potensi dan bakal yang baik.[9]

e.    Hukum Rekapitulasi
Hukum ini mejelaskan, Perkembangan psikis anak adalah ulangan secara singkat perkembangan umat manusia. Seluruh perkembangan umat manusia terulang dalam waktu beberapa tahun saja secara singkat dalam perkembangan anak.
Asal mula hukum rekapitulasi ini diperkenlkan oleh Hackel seorang ahli biologi, memperkenalkan hukum biogenetis. Sebagaimana dikutip Zulkifli (2002) Dalam hukum itu dikatakan" Oniogenese adalah rekapitalasi dari phylogenese adalah kehidupan nenek moyang suatu bangsa. Teori rekapitulasi mengatakan bahwa perkembangan yang dialami seorang anak merupakan ulangan secara cepat sejarah kehidupan suatu bang­sa yang berlangsung dengan lambat selama berabad-abad.[10] Jika pengertian rekapitulasi ini dialihkan (ditransfer) ke psikologi perkembangan, dapat dikatakan bahwa perkembangan jiwa anak mengalami ulangan ringkas dari sejarah kehidupan manu­sia mulai dari bangsa-bangsa primitif sampai kepada kehidupan kebudayaan bangsa yang ada dewasa ini. Mereka membagi-bagi kehidupan anak sebagi berikut:[11]
1.         Masa memburu dan menyamun
Masa berburu dan menyamun yang berlangsung sampai kira-kira 8 tahun, pada masa ini anak-anak didalam permainan mereka terutama menunjukkan kesenangan dan kegemaran mereka dalam hal menangkap binatang-binatang, berburu binatang, bermain dengan panah-panahan, membuat rumah-rumahan dsb.[12]
2.         Masa menggembala
Masa ini dialami ketika anak berusia sekitar 10 tahun, tanda-tandanya, misainya anak senang memelihara binatang seperti ayam, kambing, kelinci, merpati, itik, angsa.
3.         Masa bercocok tanam
Masa ini dialami anak ketiak ia berusia sekitar 12 tahun, tandanya senang berkebun, menyiram bunga, koleksi tanaman hias.
4.         Masa berdagang
Masa ini dialami anak ketika ia berusia sekitar 14 tahun, tanda-tandanya anak senang tukar rnenukar koleksi perangko, kirim foto ke sahahat pena, dsb.[13]

f.      Hukum Kematangan
Pangkal tolak hukum kematangan, seperti halnya hukum perkembangan yang lain, ialah: bahwa setiap anak itu pada dasarnya memiliki potensi naluriah untuk berkembang, asal tersedia lingkungan yang memadai untuk keperluan tersebut. Tetapi kenyataannya. kemampuan yang dibawa sejak lahir dan lingkungan yang melatihnya, tak akan bisa berbuat apa-apa, kecuali jika sang anak memang telah "matang" untuk melakukan sesuatu tugas perkembangan.
Ini terbukti, anak yang masih berumur 5 atau 6 bulan, tak mungkin bisa berjalan; sekalipun oleh pengasuhnya diusahakan mati-matian. Sebabnya sederhana: "ia memang belum matang untuk itu". Dan jika telah "matang", sekedar dilatih ala-kadarnya saja, niscaya anak tersebut akan segera pahdai berjalan. Maka jelaslah, kematangan itu merupakan sesuatu yang mesti ada, dan karenanya ia termasuk salah satu hukum perkembangan.

g.    Hukum Ketidakberdayaaan 
Ketika dilahirkan, anak manusia berada dalam keadaan amat tidak berdaya. Tetapi, ini bukan berarti suatu kekurangan, melainkan justru mengandung segi-segi kelebihan. Pertama, dalam ketidakberdayaan itulah, anak yang baru lahir berhasil memikat orang dewasa, terutama ibu dan ayahnya, untuk mengasuh dan memperlakukannya dengan hati-hati serta penuh kasih sayang. Kedua, dalam ketidakberdayaan itu tersimpan makna, bahwa ia memerlukan tahap-tahap perkembangan yang panjang. Semakin panjang jalan perkembangan yang mesti ditempuh, satu segi bisa berarti semakin banyak pula hasil yang sempat diperoleh.
Para ahli, tampaknya cenderung membandingkan ketidak­berdayaan anak manusia ini dengan anak binatang, terutama ketika sama-sama baru lahir. Ketika baru lahir, anak binatang jauh lebih mampu dan cekatan dari seorang bayi. Begitu menetas, anak ayam sudah bisa berjalan, bahkan mencari makanan. Anak itik, malah terus bisa berenang. Tetapi anak manusia? Belum mampu berbuat apa-apa. Hanya, ini adalah ketidakber­dayaan pada masa permulaan saja. Oleh karena, kelak anak manusia itu bisa menjadi makhluk yang berkebudayaan tinggi, jauh di atas cara hidup anak binatang yang dulu pernah meng-unggulinya. Meskipun demikian, ketidakberdayaan anak manu­sia di awal kehidupannya, adalah kenyataan yang dipandang penting dalam studi ilmu jiwa perkembangan.

h.    Hukum Perlindungan
Karena awal kehidupannya yang sangat tidak berdaya, ma­ka adalah merupakan keharusan yang hakiki bahwa anak manu­sia itu membutuhkan perlindungan atau pertolongan dari orang dewasa, terutama ayah ibu dan anggota keluarganya yang lain. Tanpa ada perlindungan atau pertolongan sebagai dimaksud, si anak tidak mungkin dapat berkembang dengan normal dan sempurna. Perlindungan dan pertolongan untuk anak seperti terpenuhinya kebutuhan: makan, minum, tempat tinggal, pakaian, dan perawatan lahiriah lainnya. Sedang perlindungan psi­kis, misalnya dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan: kasih sayang, rasa aman, tenteram, gembira, dan bahagia.
Tetapi perlu diingat, bahwa perlindungan dan pertolongan yang diberikan kepada seorang anak, hendaknya dalam batas kewajaran. Artinya tidak terlalu kurang, dan tidak pula berlebihan. Oleh karena, telah dibuktikan melalui sejumlah penelitian, bahwa pertolongan yang kurang dan berlebih-lebihan, keduanya sama saja, dapat menghambat perkembangan anak. Anak yang kurang terawat, akan menjadi lemah badan dan minder perasaan. Sebaliknya, anak yang terlalu dimanja, mung­kin jasmaninya tampak sehat, tetapi rohaninya menyandang cacat, misalnya tak berani menanggung resiko kehidupannya ke­lak di kemudian hari. Meskipun demikian, yang paling pokok, untuk setiap anak mestilah ada jaminan perlindungan dan pertolongan. Karenanya, perlindungan bisa dimasukkan ke dalam kategori hukum perkembangan.[14]
Menurut pendapat kami, meskipun perlindungan dan pertolongan dibutuhkan oleh setiap individu, akan tetapi semua itu harus seimbang dan dalam waktu yang sewajarnya saja. Jikalau itu berlebihan, maka akan menimbulkan akibat yang buruk pula.













C.        Kesimpulan
1.    Hu­kum perkembangan adalah kaidah fundamental tentang realitas kehidupan anak-anak (manusia), yang telah disepakati kebenarannya berdasarkan hasil pemikiran dan penelitian yang seksama.
2.    Hukum Kesatuan Organis, Menurut hukum ini anak adalah satu kesatuan organis, bukan suatu penjumlahan atau suatu kumpulan unsur yang berdiri sendiri.
Hukum Perbandingan adalah kenyataan, bahwa seluruh bagian tubuh manusia ini saling berkaitan satu dengan yang lain.
Hukum Penjelajahan : Perkembangan seorang anak, menurut Langeveld, mengikuti apa yang disebutnya "hukum penjelajahan". Ia berpendapat, bahwa setiap anak lahir dan memasuki dunia ini sebagai warga yang baru.
Hukum Konvergensi : Perkembangan manusia pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembawaan sejak lahir, tetapi juga oleh lingkungan pendidikan.
Hukum Rekapitulasi : Hukum ini mejelaskan, Perkembangan psikis anak adalah ulangan secara singkat perkembangan umat manusia. Seluruh perkembangan umat manusia terulang dalam waktu beberapa tahun saja secara singkat dalam perkembangan anak.
Hukum Kematangan : Pangkal tolak hukum kematangan, seperti halnya hukum perkembangan yang lain, ialah: bahwa setiap anak itu pada dasarnya memiliki potensi naluriah untuk berkembang, asal tersedia lingkungan yang memadai untuk keperluan tersebut.
Hukum Ketidakberdayaaan  : Ketika dilahirkan, anak manusia berada dalam keadaan amat tidak berdaya. Tetapi, ini bukan berarti suatu kekurangan, melainkan justru mengandung segi-segi kelebihan.
Hukum Perlindungan : Karena awal kehidupannya yang sangat tidak berdaya, maka adalah merupakan keharusan yang hakiki bahwa anak manu­sia itu membutuhkan perlindungan atau pertolongan dari orang dewasa, terutama ayah ibu dan anggota keluarganya yang lain.


DAFTAR RUJUKAN


Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Rineka Cipta.
Bawani, Imam. 1985. Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan. Surabaya : Bina Ilmu.
Desmita. 2007.  Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Hidayati, Wiji. 2008. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Teras.
Ali, Muhammad dan Muhammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Romlah. 2010.  Psikologi Pendidikan. Malang : UMM Press.
Soerjabrata, Soemadi. 1975. Psychologi Perkembangan. Yogyakarta : Rake Press.
Syah, Muhibbin. 2007. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Zulkifli. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.















[1] Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 13
[2] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 4
[3] Imam Bawani, Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1985), hlm. 102-103
[4] Romlah, Psikologi Pendidikan, (Malang : UMM Press, 2010), hlm. 97
[5] Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 15-16

[6] Imam Bawani, Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1985), hlm. 109-112
[7] Muhammad ali,Muhammad asrori, psikologi remaja perkembangan peserta didik, (Jakarta: PT Bumi Aksara.2006) hlm.13

[8] Imam Bawani, Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1985), hlm. 109-112
[9] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 55
[10] Wiji Hidayati, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Teras, 2008), hlm. 42-43
[11] Abu Ahmadi & Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hlm. 27
[12] Soemadi Soerjabrata, Psychologi Perkembangan, (Yogyakarta : Rake Press, 1975), hlm. 126
[13] Wiji Hidayati, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta : Teras, 2008), hlm. 43-44
[14] Imam Bawani, Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan, (Surabaya : Bina Ilmu, 1985), hlm. 113-115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar