Senin, 29 April 2013

FIQH GADAI




BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Pengertian
Transaksi hukum gadai dalam Fiqih Islam disebut “ar-rahn”. Ar-rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai anggungan utang. Pengertian ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (الثبوت والدوام), yang berarti “tetap” dan “kekal” seperti dalam kalimat maun rahim (ماءراهن), yang berarti air yang tenang.Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir: 38:
@ä.¤§øÿtR$yJÎ/ôMt6|¡x.îpoY‹Ïdu
“ Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya”
Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-hasbu, yang berarti  menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materil.Kerena itu, secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan suatu barang yang bersifat materi sebagai pengikut hutang”.
Pengertian gadai (rahn) secara bahasa seperti yang diungkapkan di atas adalah tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagi jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud setelah ditebus.
Makna gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagi barang jaminan, agunan, dan rangguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam hukum Islam (syara’) adalah:
جعل عين لها قيمة عاليه في نظر الشرع وثيقة بدين بحيث يمكن اخذ ذلك الدين او اخد ذلك الذين او اخذ بعضه من تلك العين
Menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang,yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian hutang dari barang tersebut.
Selain pengertian gadai yang telah dikemukakan diatas, terdapat pengertian gadai yang diberikan oleh para ahli hukum islam sebagai  berikut:
a.  Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut
جعل عين يجوز بيعها وثيقة بدين يثتوفي منها عند تعذزو فانه                            Menjadikan suatu arang yang biasa dijual sebagai jaminan hutang dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang idak sanggup membayar hutangnya.
b. Ulama Hanabillah mengungkapkan sebagai berikut
المال الذي يجعل وثيقة بدين يستوفي من ثمنه ان تعذراستيفائه ممن هو عليه
Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu hutang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar hutangnya.
c.  Ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut
سيئ متمول يؤخذمن مالكه توثقابه في دين لازم                                             Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap mengikat.
d. Ahmad Azhar Basyir
Rahn adalah pejanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’sebagai taggungan marhunbih, sehingga dengan adanya dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat di terima.
e.  Muhammad Syafi’I Antonio
Gadai Syariah (Rahn) adalah menahan salah satu hara mlik dari nasabah(rahin) sebagai barang jaminan(marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang diteriamanya.Danbarang jaminan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat megambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Jika memperatikan pengertian gadai di atas, maka tampak bawa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan jaminan keamanan yang dipinjamkan.Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi social.

II.2 Dasar Hukum Gadai
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.
1.  Al-Quran
Ayat Al-Quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai yaitu Qs. Al-Baqarah : 282 dan 283
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu tidak bermuamalah secara tidak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya…”


* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Öyd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B (

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…”
2.  As-Sunnah
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: “Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.( HR. Bukhari dan Muslim)
“Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: “ tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan meanggung resikonya”.( HR. Asy- Syafi’I, al- Daruqutni dan Ibnu Majah)
            Nabi bersabda:  tanggungan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binaang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. ( HR. Jamaahm kecuali Myslim dan Nasa’i)
3.  Ijma’
                        Jumhur  ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. Tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti atau harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka.
II.2.1 Rukun dan Syarat Gadai
            Pada umumnya aspek hukum keperdataan Islam (fiqih muamalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli, sewa menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah termasuk dalam transaksi gadai.Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi gadai. Adapun rukun dan syarat gadai antara lain:

v Rukun Gadai
Dalam fiqih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) mengatakan rukun gadai sebagai berikut:
Ø Aqid
Orang yang melakukan akad yang meliputi 2 arah, yaitu rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksud, didasari oleh sighot, yaitu ucapan berupa ijab qobul (serah terima antara pegadai dengan penerima gadai).
Ø Ma’qudalaih (barang yang diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 hal yaitu marhun (barang yang digadaikan) dan  marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya diadakan akad rahn.
Namun demikian, ulama fiqih beda pendapat mengenai masuknya sighat sebagai rukun dari terjadinya rahn.Ulama Imam Hanafi berpendapat bahwa sighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai anggunan bagi pemilik barang) dan  qobul (pernyataan kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang anggunan tersebut).
v Syarat-syarat Gadai
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat. Syarat-syarat gadai meliputi:
Ø Ijab qobul (shighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asal saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara dua belah pihak.
Ø Orang yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) ialah:
a)    Telah dewasa (balig)
b)    Berakal
c)    Atas keinginan sendiri.
Ø Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin.Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaiman apersyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) ialah:
a)    Dapat diserah terimakan
b)    Bermanfaat
c)    Milik rahin (orang yang menggadaikan)
d)    Jelas
e)    Tidak bersatu dengan barang lain
f)    Dikuasai oleh rahin
g)    Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
Ø Marhun bih (utang)
Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a)    Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
b)    Utang harus lazim pada waktu akad
c)    Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

II.2.2 Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
v Hak dan kewajiban penerima gadai
a)    Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan pada rahin.
b)    Penerima gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun)
c)    Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
            Berdasarkan hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakannya, yaitu sebagai berikut:
a)    Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b)    Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadainya.
c)    Penerima gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan harta benda gadai.

v Hak dan kewajiban pemberi gadai (Rahin)
Hak pemberi gadai (rahin) antara lain:
a)    Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat pengambilan harta benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b)    Pemberi gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c)    Pemberi gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d)    Pemberi gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui menyalahgunakan harta benda gadaianya.
            Berdasarkan hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus dipenuhinya, yaitu:
a)   Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b)   Pemberi  gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda gadaiannya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi uang pinjamannya.

II.3 Pemanfaatan dan Penjualan Barang Gadaian
v Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a)   Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizing murtahin, begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin  rahin.
b)   Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin,rahin mempunyai hak memanfaatkannya.
c)   Ulama Safi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu memberi izin, seperti mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus maminta izin pada murtahin.

v Pemanfaatan murtahin atas borg
a)  Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
b)  Ulama Malikiyyah membolehkan murtahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan ulama Safi’iyah.
c)  Pendapat Ulama Hanabillah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
II.3.1  Berakhirnya Akad Gadai (Rahn)
            Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran utang telah terlewati maka orang yang berhutang wajib membayar hutangnya.Namun jika yang berhutang tidak memiliki kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual gadaiannya. Dan seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima gadai dapat meminta pertologan hakim untuk memaksa pemberi gadai untuk melunasi hutangnya atau memberikan izin kepada si penerima gadai untuk menjual barang gadaian tersebut.
            Apabila pemegang gadai  telah menjual barang gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh penggadai, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada penggadai. Sebaliknya sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang penggadai, maka penggadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.
            Oleh karana itu dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai berikut:
a)    Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya.
b)    Rahin membayar hutangnya
c)    Dijual dengan perintah hakim atas perintah rahin
d)    Pembebasan hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
II.4 Hukum samsarah / makelar
II.4.1 Pengertian makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
          Dalam persoalan ini, kedua belah pihak mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong. Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja. Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu, Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaries.


II.4.2 Hukum Makelar menurut Islam
Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1.   Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’ : 29).
2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3.    Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram.
            Makelar harus bersikap jujur, ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja yang bersangkutan. Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. Al-Maidah :1)
            Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga ysng di tentukan oleh pemilik barang.
Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
a.    Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
b.    Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.
     Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa : Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa.  Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.   Pengertian gadai (rahn) secara bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagi jaminan secara hak, dan dapat diambil kembali sejumlah harta dimaksud setelah ditebus.
2.   Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.
3.   Rukun Gadai :
a.   Aqid
b.   Ma’qud
Syarat gadai :
a.   Ijab qobul (shighat)
b.   Orang yang bertransaksi (aqid)
c.   Adanya barang yang digadaikan (marhun)
d.   Marhun bih (utang)
4.   Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
5.   Adapun hukum makelar atau perantara menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syari’at hukum islam. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.


DAFTAR PUSTAKA

         Ghofur Anshori, Abdul, 2006. Gadai Syariah di Indonesia, Yokyakarta: Gajah Mada University Press.
            Ali, Zainudin, 2008.  Hukum Gadai Syariah, Jakarta: Sinar Grafika.
            Syafei, Rachmad, 2001. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka setia.
            Al-Jaziri, Abdurrahman, 1996. Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Jilid 2. Bairut: Dar Al-Fikr.
            Al-Husain, Taqiyyuddin Abi Bakar Bin Muhammad.Tth. Kifayatul Al-Akhyar fi Halli Ghayat Al-Ikhtishar.Jilid1.Jakarta: Dar Al-Ihkya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah.
             Azhar Basyir, ahmad, 1998. Hukum Islam Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai.Bandung: Al-Maarif
            Syafi’I, Rahmad, 1995. “Konsep Gadai; Ar-Rahn dalam Konsep Islam antara Nilai Sosial Komersial” dalam Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,Jakarta: Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan.
            Syafi’I Antonio, Muhammad, 2001.Bank Syariah dari Teori ke Praktik.Jakarta:Gema Insani Press.
            Zuhaily, Wahab, 2002. Al Fiq Al-Islam Wa Adilatuhu. Jilid 4. Bairut:Dar Al Fikr
Mujtaba, Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Jombang : Rousyan Fiqr
Zuhdi, Masyfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. Jakarta : CV. Haji Masagung






Tidak ada komentar:

Posting Komentar