BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian
Transaksi
hukum gadai dalam Fiqih Islam disebut “ar-rahn”. Ar-rahn adalah suatu
jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai anggungan utang. Pengertian
ar-rahn dalam bahasa Arab adalah ats-tsubut wa ad-dawam (الثبوت والدوام), yang berarti “tetap” dan “kekal” seperti dalam
kalimat maun rahim (ماءراهن),
yang berarti air yang tenang.Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS.
Al-Muddatstsir: 38:
@ä.¤§øÿtR$yJÎ/ôMt6|¡x.îpoYÏdu
“ Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya”
Pengertian
“tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam
kata al-hasbu, yang berarti
menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materil.Kerena itu,
secara bahasa kata ar-rahn berarti “menjadikan suatu barang yang
bersifat materi sebagai pengikut hutang”.
Pengertian
gadai (rahn) secara bahasa seperti yang diungkapkan di atas adalah
tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah menyandra
sejumlah harta yang diserahkan sebagi jaminan secara hak, dan dapat diambil
kembali sejumlah harta dimaksud setelah ditebus.
Makna
gadai (rahn) dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagi barang
jaminan, agunan, dan rangguhan. Sedangkan pengertian gadai (rahn) dalam
hukum Islam (syara’) adalah:
جعل
عين لها قيمة عاليه في نظر الشرع وثيقة بدين بحيث يمكن اخذ ذلك الدين او اخد ذلك
الذين او اخذ بعضه من تلك العين
Menjadikan
suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan
hutang,yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian hutang dari
barang tersebut.
Selain pengertian gadai yang telah dikemukakan
diatas, terdapat pengertian gadai yang diberikan oleh para ahli hukum islam
sebagai berikut:
a. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai
berikut
جعل
عين يجوز بيعها وثيقة بدين يثتوفي منها عند تعذزو فانه Menjadikan
suatu arang yang biasa dijual sebagai jaminan hutang dipenuhi dari harganya,
bila yang berhutang idak sanggup membayar hutangnya.
b. Ulama
Hanabillah mengungkapkan sebagai berikut
المال
الذي يجعل وثيقة بدين يستوفي من ثمنه ان تعذراستيفائه ممن هو عليه
Suatu
benda yang dijadikan kepercayaan suatu hutang, untuk dipenuhi dari harganya,
bila yang berutang tidak sanggup membayar hutangnya.
c. Ulama
Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut
سيئ
متمول يؤخذمن مالكه توثقابه في دين لازم Sesuatu
yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atas utang yang tetap mengikat.
d. Ahmad
Azhar Basyir
Rahn
adalah pejanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang atau
menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’sebagai
taggungan marhunbih, sehingga dengan adanya dengan adanya tanggungan
utang itu seluruh atau sebagian utang dapat di terima.
e. Muhammad
Syafi’I Antonio
Gadai
Syariah (Rahn) adalah menahan salah satu hara mlik dari nasabah(rahin)
sebagai barang jaminan(marhun) atas utang/pinjaman (marhun bih) yang
diteriamanya.Danbarang jaminan tersebut memiliki nilai ekonomis.Dengan
demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh
jaminan untuk dapat megambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Jika memperatikan pengertian gadai di atas, maka tampak
bawa fungsi dari akad perjanjian antara pihak peminjam dengan pihak yang
meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan jaminan
keamanan yang dipinjamkan.Karena itu, rahn pada prinsipnya merupakan suatu
kegiatan utang piutang yang murni berfungsi social.
II.2
Dasar Hukum Gadai
Boleh
tidaknya transaksi gadai menurut islam, diatur dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma’,
dan Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.
1. Al-Quran
Ayat
Al-Quran yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai yaitu Qs. Al-Baqarah
: 282 dan 283
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu tidak bermuamalah secara tidak tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya…”
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…”
2. As-Sunnah
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda: “Rasulullah
membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi.(
HR. Bukhari dan Muslim)
“Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW
bersabda: “ tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan meanggung resikonya”.( HR. Asy-
Syafi’I, al- Daruqutni dan Ibnu Majah)
Nabi bersabda: tanggungan (kendaraan) yang digadaikan boleh
dinaiki dengan menanggung biayanya dan binaang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. ( HR.
Jamaahm kecuali Myslim dan Nasa’i)
3. Ijma’
Jumhur
ulama menyepakati kebolehan status hukum
gadai. Hal dimaksud, berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad saw, yang
menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang yahudi. Para
ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad saw. Tersebut, ketika
beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya
kepada seorang yahudi, bahwa hal itu tidak lebih sebagai sikap Nabi Muhammad
SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil
ganti atau harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka.
II.2.1 Rukun dan Syarat Gadai
Pada umumnya aspek hukum keperdataan
Islam (fiqih muamalah) dalam hal transaksi baik dalam bentuk jual beli,
sewa menyewa, gadai maupun yang semacamnya mempersyaratkan rukun dan syarat sah
termasuk dalam transaksi gadai.Demikian juga hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
yang melakukan transaksi gadai. Adapun rukun dan syarat gadai antara lain:
v Rukun Gadai
Dalam fiqih empat
mazhab (fiqh al-madzahib al-arba’ah) mengatakan rukun gadai sebagai
berikut:
Ø Aqid
Orang yang melakukan akad yang meliputi
2 arah, yaitu rahin (orang yang menggadaikan barangnya) dan murtahin (orang
yang berpiutang dan menerima barang gadai), atau penerima gadai. Hal dimaksud,
didasari oleh sighot, yaitu ucapan berupa ijab qobul (serah
terima antara pegadai dengan penerima gadai).
Ø Ma’qud ‘alaih (barang yang
diakadkan)
Ma’qud ‘alaih meliputi 2 hal yaitu marhun
(barang yang digadaikan) dan marhun
bihi (dain), atau utang yang karenanya diadakan akad rahn.
Namun demikian, ulama fiqih beda
pendapat mengenai masuknya sighat sebagai rukun dari terjadinya rahn.Ulama
Imam Hanafi berpendapat bahwa sighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, melainkan
ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai anggunan bagi pemilik
barang) dan qobul (pernyataan
kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang anggunan tersebut).
v Syarat-syarat
Gadai
Selain rukun yang harus terpenuhi dalam
transaksi gadai, maka dipersyaratkan juga syarat. Syarat-syarat gadai meliputi:
Ø Ijab
qobul (shighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam
bentuk tertulis maupun lisan, asal saja didalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai diantara dua belah pihak.
Ø Orang
yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi
orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin
(penerima gadai) ialah:
a) Telah dewasa (balig)
b) Berakal
c) Atas
keinginan sendiri.
Ø Adanya
barang yang digadaikan (marhun)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan
oleh rahin.Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaiman
apersyaratan barang dalam jual beli, sehingga barang tersebut dapat dijual
untuk memenuhi hak murtahin.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) ialah:
a) Dapat diserah terimakan
b) Bermanfaat
c) Milik
rahin (orang yang menggadaikan)
d) Jelas
e) Tidak
bersatu dengan barang lain
f) Dikuasai
oleh rahin
g) Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan
Ø Marhun
bih (utang)
Menurut ulama Hanafiah dan Syafiiyah
syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a) Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
b) Utang
harus lazim pada waktu akad
c) Utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
II.2.2
Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
v Hak
dan kewajiban penerima gadai
a) Penerima gadai berhak menjual marhun apabila
rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo. Hasil
penjualan harta benda gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi
pinjaman (marhun bih) dan sisanya dikembalikan pada rahin.
b) Penerima gadai berhak mendapatkan
penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda
gadai (marhun)
c) Selama
pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai berhak menahan harta benda
gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).
Berdasarkan
hak penerima gadai dimaksud, muncul kewajiban yang harus dilaksanakannya, yaitu
sebagai berikut:
a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang
atau merosotnya harta benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.
b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan
barang gadai untuk kepentingan pribadainya.
c) Penerima
gadai berkewajiban memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum diadakan
pelelangan harta benda gadai.
v Hak
dan kewajiban pemberi gadai (Rahin)
Hak pemberi gadai (rahin) antara
lain:
a) Pemberi gadai (rahin) berhak mendapat
pengambilan harta benda yang digadaikan sesudah ia melunasi pinjaman utangnya.
b) Pemberi
gadai berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan dan/atau hilangnya harta benda
yang digadaikan, bila hal itu disebabkan oleh kelalaian penerima gadai.
c) Pemberi
gadai berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi
biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.
d) Pemberi
gadai berhak meminta kembali harta benda gadai bila penerima gadai diketahui
menyalahgunakan harta benda gadaianya.
Berdasarkan
hak-hak pemberi gadai diatas maka muncul kewajiban yang harus dipenuhinya,
yaitu:
a) Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman
yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk
biaya-biaya yang ditentukan oleh penerima gadai.
b) Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta
benda gadaiannya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak
dapat melunasi uang pinjamannya.
II.3 Pemanfaatan dan Penjualan Barang
Gadaian
v Pemanfaatan
rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin
tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizing murtahin, begitu pula murtahin
tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin
rahin.
b) Ulama
Malikiyyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada ditangan murtahin,rahin
mempunyai hak memanfaatkannya.
c) Ulama
Safi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang
jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu memberi izin, seperti
mengendarainya, menempatinya dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang
berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus maminta izin pada murtahin.
v Pemanfaatan murtahin atas borg
a) Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murtahin tidak
boleh memanfaatkan borg sebab dia hanya berhak menguasainya dan tidak
boleh memanfaatkannya.
b) Ulama Malikiyyah membolehkan murtahin memanfaatkan
borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan
barang tersebut barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya
secara jelas. Pendapat ini hampir senada dengan ulama Safi’iyah.
c) Pendapat
Ulama Hanabillah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa
hewan, murtahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil
susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin.
Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin
rahin.
II.3.1
Berakhirnya Akad Gadai (Rahn)
Menurut
ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan untuk pembayaran
utang telah terlewati maka orang yang berhutang wajib membayar hutangnya.Namun
jika yang berhutang tidak memiliki kemauan untuk mengembalikan pinjamannya hendaklah
ia memberikan izin kepada pemegang gadai untuk menjual gadaiannya. Dan
seandainya izin ini tidak diberikan oleh si pemberi gadai maka si penerima
gadai dapat meminta pertologan hakim untuk memaksa pemberi gadai untuk melunasi
hutangnya atau memberikan izin kepada si penerima gadai untuk menjual barang
gadaian tersebut.
Apabila
pemegang gadai telah menjual barang
gadaian tersebut dan ternyata ada kelebihan dari yang seharusnya dibayar oleh
penggadai, maka kelebihan tersebut harus diberikan kepada penggadai. Sebaliknya
sekalipun barang gadaian telah dijual dan ternyata belum dapat melunasi hutang
penggadai, maka penggadai masih punya kewajiban untuk membayar kekurangannya.
Oleh
karana itu dapat disimpulkan bahwa akad rahn berakhir dengan hal-hal sebagai
berikut:
a) Barang telah diserahkan kembali kepada
pemiliknya.
b) Rahin
membayar hutangnya
c) Dijual
dengan perintah hakim atas perintah rahin
d) Pembebasan
hutang dengan cara apapun, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
II.4
Hukum samsarah / makelar
II.4.1
Pengertian makelar
Makelar dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa
arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara
antarapenjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar adalah pedagang
perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah
atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko. Dengan kata lain,
makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan
terlaksananya jual beli tersebut.
Dalam persoalan ini, kedua belah pihak
mendapat manfaat. Bagi makelar (perantara) mendapat lapangan pekerjaan dan uang
jasa dari hasil pekerjaannya itu. Demikian juga orang yang memerlukan jasa
mereka, mendapat kemudahan, karena ditangani oleh orang yang mengerti betul
dalam bidangnya. Pekerjaan semacam ini, mengandung unsur tolong menolong.
Dengan demikian pekerjaan tersebut tidak ada cacat dan celanya dan sejalan
dengan ajaran islam. Pada zaman sekarang ini,pengertian perantara sudah lebih
meluas lagi, sudah bergeser kepada jasa pengacara, jasa konsultan, tidak lagi
hanya sekedar mempertemukan orang yang menjual dengan orang yang membeli saja,
dan tidak hanya menemukan barang yang di cari dan menjualkan barang saja.
Dengan demikian imbalan jasanya juga harus di tetapkan bersama terlebih dahulu,
Apalagi nilainya dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar,
ditangani lebih dahulu perjanjiannya di hadapan notaries.
II.4.2
Hukum Makelar menurut Islam
Pekerjaan makelar menurut pandangan
islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu
barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelayan, jasa
pengacara, konsultan, dan sebagainya dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar
termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu:
1. Persetujuan
kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 29:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”
(QS. An Nisa’ : 29).
2. Obyek akad bisa
diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau
haram.
Makelar harus bersikap jujur,
ikhlas, terbuka, tidak melakukan penipuan dan bisnis yang haram maupun yang
syubhat. Imbalan berhak diterima oleh seorang makelar setelah ia memenuh
akadnya, sedang pihak yang menggunakan jasa makelar harus memberikan
imbalannya, karena upah atau imbalan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan
pekerja yang bersangkutan. Jumlah imbalan yang harus diberikan kepada makelar
adalah menurut perjanjian sebagaimana Al Qur’an surat Al Maidah ayat 1:
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs.
Al-Maidah :1)
Menurut Dr. Hamzah Ya’kub bahwa
antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu syarat tertentu mengenai
jumlah keuntungan yang di peroleh pihak makelar. Boleh dalam bentuk prosentase
dari penjualan, dan juga boleh mengambil dari kelebihan harga ysng di tentukan
oleh pemilik barang.
Adapun
sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam yaitu:
a. Jika pemakelaran
tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli
b. Jika pemakelaran tersebut memberikan
mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap penjual.
Adapun
hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak
bertentangan dengan syari’at hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa :
Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau
perantara ini tidak apa-apa. Menurut
pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku
seharga sekian, kelebihannya untukmu”. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’
tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu
tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pengertian gadai (rahn) secara bahasa
adalah tetap, kekal, dan jaminan. Sedangkan dalam pengertian istilah adalah
menyandra sejumlah harta yang diserahkan sebagi jaminan secara hak, dan dapat
diambil kembali sejumlah harta dimaksud setelah ditebus.
2. Boleh tidaknya transaksi gadai menurut islam,
diatur dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.
3. Rukun Gadai :
a. Aqid
b. Ma’qud
Syarat gadai :
a. Ijab qobul (shighat)
b. Orang
yang bertransaksi (aqid)
c. Adanya
barang yang digadaikan (marhun)
d. Marhun
bih (utang)
4. Makelar
dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli.
Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain
dengan mengambil upah atau mencari keuntungan sendiri tanpa menanggung resiko.
Dengan kata lain, makelar itu ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk
memudahkan terlaksananya jual beli tersebut.
5. Adapun
hukum makelar atau perantara menurut pandangan ahli hukum islam tidak
bertentangan dengan syari’at hukum islam. Sejalan dengan pandangan para fuqaha’
tersebut,apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu
tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofur Anshori, Abdul, 2006. Gadai
Syariah di Indonesia, Yokyakarta: Gajah Mada University Press.
Ali,
Zainudin, 2008. Hukum Gadai Syariah, Jakarta:
Sinar Grafika.
Syafei,
Rachmad, 2001. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka setia.
Al-Jaziri,
Abdurrahman, 1996. Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Jilid 2. Bairut:
Dar Al-Fikr.
Al-Husain,
Taqiyyuddin Abi Bakar Bin Muhammad.Tth. Kifayatul Al-Akhyar fi Halli Ghayat
Al-Ikhtishar.Jilid1.Jakarta: Dar Al-Ihkya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah.
Azhar Basyir, ahmad, 1998. Hukum Islam
Tentang Riba, Utang-Piutang Gadai.Bandung: Al-Maarif
Syafi’I, Rahmad, 1995. “Konsep
Gadai; Ar-Rahn dalam Konsep Islam antara Nilai Sosial Komersial” dalam
Huzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer III,Jakarta:
Lembaga Study Islam dan Kemasyarakatan.
Syafi’I Antonio, Muhammad, 2001.Bank
Syariah dari Teori ke Praktik.Jakarta:Gema Insani Press.
Zuhaily, Wahab, 2002. Al Fiq
Al-Islam Wa Adilatuhu. Jilid 4. Bairut:Dar Al Fikr
Mujtaba,
Saifuddin. 2007. Masailul Fiqhiyah. Jombang : Rousyan Fiqr
Zuhdi,
Masyfuk. 1993. Masailul Fiqhiyah. Jakarta : CV. Haji Masagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar