Rabu, 01 Mei 2013

HUTANG PIUTANG




A.     PENDAHULUAN

Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya Negara-negara maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan, bergeser, bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri. Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka. Banyak praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang mengatasnamakan syariah (mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang (Qardh). Riba dalam perbankan pun tak terhindarkan. Padahal dalam Islam tidak membenarkan adanya Riba dalam Utang-piutang. Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar dalam islam. Bertujuan agar Umat Islam (umumnya) dan pemakalah (khususnya) terjauhkan dari konsep (Riba) tersebut. Amin.




















`
B.     SUBTANSI KAJIAN

1.     Pengertian Qordh

Qordh secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari qoradha asy-syai’-yaqridhuhu, yang, Berarti dia memutuskan. Qordh adalah bentuk mashdar yang berarti memutuskan. Dikatakan, qaradhtu asy-syai,a bil-miqradh, aku memutuskan sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qordh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[1]
Pemberian harta kepada orang lain yang ingin memenfaatkannya dan dapat diminta kembali,atau meminjamkan tanpa imbalan dengan harapan pahala dari allah pada kedua kondisi tersebut.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i),makna Al-Qordh ialah menyerakan harta (uang ) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkanya dan dia mengembalikannya( pada suatu saat ) sesuai dengan padannya.[2]
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pengertian istilah qardh menurut berbagai ulama :

v  Menurut ulama Hanafiyah :
مَاتُعْطِيْهِمِنْمَا لٍمِثْلِيْلِتَقْضَا هُمِثْلَهُ
“Sesuatu yang diberikan seseorang dari harta-harta yang memiliki perumpamaan untuk memenuhi kebutuhannya”
Qordh adalah Harta yang diberikan seorang dari maal mitsil untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
v  Menurut ulama Syafi’i :
Qardh adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang suatu saat harus di kembalikan.
v  Menurut ulama Hanbali :
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantiannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
v  Menurut Wahbah al-Zuhayliy :
Qordh adalah penyerahan suatu harta kepada orang lain yang tidak disertai dengan imbalan/ tambahan dalam pengembaliannya.[3]

Analisa Dari Kami
Dari definisi tersebut di atas,dapat diambil kesimpulan bahwa piutang adalah memberikan sesuatu barang  kepada seseorang dengan pengembalian yang sama dengan barang itu, Sedangkan hutang adalah kebalikan pengertian piutang, yaitu menerima sesuatu (uang atau barang) dengan seseorang  dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan hutang tersebut dalam jumlah yang sama.

2.     Dasar-Dasar Disyari’atkan Qordh
Hutang piutang merupakan hal yang sangat diperlukan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari atau bahkan untuk menunjang kelangsungan kehidupan di hari yang akan datang. Manusia tidak selamanya dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga dia membutuhkan bantuan dari orang lain guna memenuhi kebutuhannya, Bantuan tersebut dapat berupa pinjaman atau hutang. Oleh karena itu,Islam menganjurkan agar umatnya hidup saling tolong menolong antar sesamanya.
Sebagainama  dasar disyariatkannya oleh agama Islam tentang qordh (hutang piutang) didalam al-Qur’an,hadits,dan ijma’.
v  Dasar dari al-Qur’an
firman Allah SWT :
`¨B #sŒ Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ  
Artinya:                                                                                                   
‘’siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.’’(Surat al-baqarah ):245.
Dari ayat diatas bahwa Allah SWT menyerupakan amal shalih dan infaq (shodaqoh) fi sabilillah dengan harta yang di pinjamkan, dan menyerupakan pembalasanya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang.Pinjaman (hutang) di sebut juga amal baik karena menyuruh orang untuk berbuat baik agar orang berusaha untuk dapat menggantikanya.
Dasar hukum bolehnya transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya pada surat al-Muzammil ayat 20 :

4 (#qãKŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qàÊ̍ø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yZÏã «!$# uqèd #ZŽöyz zNsàôãr&ur #\ô_r& 4 (#rãÏÿøótGó$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî 7LìÏm§ ÇËÉÈ 
Artinya:
Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya:
''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya''.
Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar benar.dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu,baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada ALLAH dan tidak (menimbulkan) keraguanmu.(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak menulisnya.dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian),
Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

v  Dasar dari hadits

Riwayat Imam Muslim

أن النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكراً، فقدمت عليه إبل من إبل الصدقة، فأمر أبا رافع أن يقضي الرجل بكره، فقال: لا أجد إلا خياراً رباعياً، فقال: أعطه إياه، فإن خيار الناس أحسنهم قضاء

Artinya:
''Sesunggunya Rasullah SAW berhutang seekor unta muda kepada seorang laki-laki. Kemudian diberikan kepada beliau seekor unta shadaqoh. Beliau memerintahkan kepada Abu Rafi’ untuk membayarnya unta muda laki-laki itu.Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata ‘saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun.’Beliau menjawab,’berikan unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam mambayar hutang''.[4]

Dari Ibnu Mas’ud
عن ابن مسعود رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من مسلم قرضا مرتين الا كان كصدقتها مرة ( رواه ابن ماجه )
Artinya:
 ”Dari Ibnu Mas’ud:”Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”[5]
Dari Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلي بن محمد قالا: حدثنا أبو معاوية عن
الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة
Artinya:
Disampaikan oleh abu bakar ibnu abi syaibah dan ali bin Muhammad ,disampaikan dan berkata abu muawiyah dari abi sholih dari abu hurairah RA:Rosullah berkata ''Barangsiapa meringankan suatu beban daqri seorang muslim di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan hari kiamat darinya''.[6][7]
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
Artinya:Dari Tsauban (pembantu Rasulullah SAW), dari Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang ruh dan jasadnya telah terpisah (meninggal dunia) dan ia terbebas dari tiga perkara, maka ia akan masuk surga; (yakni) terbebas dari sifat takabur, sifat menipu dan utang." [8]
Analisis dari kami 
Dari dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa dianjurkan bagi seorang Muslim untuk menolong sesamanya dengan jalan memberi hutang agar bisa keluar dari segala kesusahan dan kesempitan yang dihadapinya.
Bahwa Islam mensunnahkan hutang bagi yang membutuhkan. Hal ini berarti juga diperbolehkan bagi orang yang berhutang memberi hutang kepada yang lain dan tidak menganggapnya sebagai yang makhruh karena ia mengambil harta atau menerima harta untuk dimanfaatkan dalam upaya untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dan selanjutnya ia mengembalikan harta itu
seperti sedia kala.

v  Dasar dari Ijma

Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan dalam islam. Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga ada hadits lainnya:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya :
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah bersabda, barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi (aib) nya didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya.”(H.R.Muslim).[9]

Dasar dari ijma’ adalah bahwa semua kaum muslimin telah sepakat dibolekan hutang piutang.

3.     Hukum (Ketetapan) Qardh

Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan.Dengan demikian,jika seseorang menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum misalnya,ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya.Jika muqrid tidak memintanya,muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya,walaupun Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada.Akan tetapi, menurut Abu Yusuf,muqtarid tidak memiliki Qardh selama Qardh masih ada.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan Qardh,sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan:Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan Qardh muqrid meminta zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika Qardh telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda sejenis (Mitsil) jika penukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih mendekati hak muqrid.Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian Qardh pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya,yang tidak dihitung dan ditakar,dikalangan mereka ada dua pendapat.Pertama sebagaimana pendapat jumhur ulama,yaitu membayar nilainya pada hari akad Qardh.Kedua mengembalikan benda sejenis yang mendekati Qardh pada sifatnya.

a.      Tempat Membayar Qardh

Ulama fiqih sepakat  bahwa  Qardh harus dibayar ditempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau memindahkannya, juga tidak halangan dijalan. Sebaliknya, jika terdapat halangan apabila membayar ditempat lain,  muqrid tidak perlu menyerahkannya.

b.      Jatuh Tempo Qardh

Utang  wajib dibayar  pada  waktu yang ditentukan  bila yang  berutang memang telah mampu membayarnya. Bila dia mampu membayar  tetapi  menangguhkkan  pembayarannya,  dia dinyatakan sebagai orang yang  zhalim.
 Dari Abu Huraira menurut riwayat  al-Bukhari :

أَبُو هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِىّ، عليه السَّلام: (مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ)
Artinya :
“Tindakan orang kaya yang menangguh-nangguhkan hutangnya adalah zhalim.”[10][11]

Hadits  Nabi  yang  lain dari ‘Amru bin Syarid menurut riwayat Abu Daud dan al-Nasai, sabda Nabi:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ «لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ، فَعِرْضُهُ التَّظَلُّمُ مِنْهُ بِقَوْلِ مَطَلَنِي وَظَلَمَنِي»
Artinya :
“Orang-orang yang  mempunyai  harta  tetapi mengguhkan hutangnya boleh dituntut dan disiksa.”[12]
Namun  bila  yang  berutang  tidak  mampu  membayar  utangnya pada  waktu  jatuh  tempo, orang yang mengutangi diharapkan bersabar sampai yang  berutang  mempunyai kemampuan.
 Sesuai  dengan  firman  Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280:
bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ  
Artinya:
“Jika mereka (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka hendaklah tunggu sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayar. Bila kamu sedekahkan, itu akan lebih baik; seandainya kamu mengetahui.”
Kemudian  pengutang   (muqtaridh)  wajib  berusaha  dengan sungguh-sungguh dalam melunasi utangnya, tanpa mengulur-ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:
$yJåks]÷t/ Óˆyöt/ žw Èb$uÉóö7tƒ ÇËÉÈ  
Artinya :
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(Qs.ar-Rahmaan: 60)
Sebagian  orang  menyepelekan  kewajiban  mereka,  khususnya dalam masalah utang. Dan ini adalah perilaku yang tercela, yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan member kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini merupakan salah satu faktor beralihnya orang-orang ke bank-bank yang  menerapkan  system riba dan  melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Karena ketika membutuhkan, mereka tidak menemukan orang  yang  memberi mereka pinjaman denagn baik. Sedangkan,  orang  yang mau memberikan utang tidak menemukan orang yang mau melunasi  utangnya dengan baik, sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.

c.       Jaminan (Rungguhan)

Jaminan  atau  rungguhan  ialah  suatu  barang  yang dijadikan peneguh  atau  penguat  kepercayaan  dalam  utang  piutang. Barang itu boleh dijual kalau utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah  dengan  keadilan  (dengan harga yang berlaku dibawah itu)

Firman Allah :
 bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya :
283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

Rukun Rungguhan:
1.      Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya rungguhkan ini kepada  engkau  untuk  utangku  yang sekian terhadap engkau.” Jawab  yang  berpiutang, “saya terima rungguhan ini.”
2.      Ada  yang  merungguhkan  dan  yang  menerima rungguh (yang  utang  dan  yang  berpiutang). Keduanya  hendaklah ahli tasarruf  (berhak membelanjakan hartanya).
3.      Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang bisa dijual dirungguhkan  dengan  syarat  keadaan  barang  itu  tidak  rusak sebelum sampai janji utang harus dibayar.
4.      Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.
5.      Apabila barang yang telah dirungguhkan diterima oleh yang berpiutang, tetaplah  rungguhan; dan apabila rungguhan telah tetap  yang  punya  barang tidak boleh menghilangkan miliknya  dari  barang  itu, baik dengan jalau ataupun diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau hilang ditangan orang yang memegangnya, ia tidak wajib mengganti  karena  barang rungguhan itu adalah barang amanat (percaya-mempercayai), kecuali rusak atau hilangnya itu disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan yakni: Orang yang punya barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun atas tanggungannya.Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu walaupun tidak seizing orang yang menerima rungguhan.Tetapi usaha untuk menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima rungguhan. Maka  tidaklah  sah  bila orang yang merungguhkan menjual barang yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga  menyewakannya  apabila  masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan  Orang  yang  memegang  rungguhan  boleh mengambil manfaat barang  yang  dirungguhakan dengan  sekadar  ganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
1.      Tambahan yang terpisah seperti buah, telur, atau anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak termasuk barang rungguha, tetapi tetap kepunyaan orang yang merungguhkan. Maka jika barang rungguhan itu dijual oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh ikut dijual,sebab tambahan itu tidak ikut dijual,sebab tambahan itu tidak ikut dirungguhkan.
2.      Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti tambahan gemuk, tambahan besarnya,dan anak yang masih dalam kandunga, semuanya itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan sudah watu memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya dipotong,maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan; yang punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu apabila sampai waktu memotongnya.Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seorang merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang memegang), hal itu tidak sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna utnuk menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang, bukan untuk mencari keuntungan bagi yang berpiutang.

d.      Khiyar Dan Penangguhannya
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah membatalkan akad, sedangkan dalam bab Qardh masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan saja dia mau. Jumhur ulama melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu tertentu sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma, muqrid berhak meminta penggantinya waktu itu. Selain itu, qaradpun termasuk akad yang wajib diganti dengan harta mitsil, sehingga wajib membayarnya pada waktu itu, seperti harta yang rusak. Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk menangguhkan Qardh pada empat keadaan:
1.      Wasiat, seperti mewasiatkan untuk penangguhan sejumlah harta dan ditangguhkan pembayarannya selama setahun, maka ahli waris tidak boleh mengambil penggantinya dari muqtarid sebelum habis waktu setahun.
2.      Diasingkan Qardh diasingkan kemudian pemiliknya menangguhkan sebab penangguhan pada waktu itu diharuskan.
3.      Berdasarkan keputusan hakim.
4.      Hiwalah yaitu: pemindahan utang.

Imam Malik berpendapat bahwa  Qardh ditangguhkan dengan adanya penangguhan sebab Nabi SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم﴿ رواه أبوداود وأحمد والترمذى والدارقطنى﴾
Artinya:
“Orang-orang Islam didasarkan pada (persyaratan yang mereka buat).” (H.R. abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Daruqtuni)

 Selain itu, kedua belah pihak yang melakukan akad dapat menetapkan atau membatalkan transaksi.

4.     Rukun Dan Syarat Qordh
                  
Utang-piutang itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang itu adalah akad yang bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang.
Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari memberi penjelasan bahwa rukun hutang piutang itu sama dengan jual beli yaitu:
a.       ‘Aqid ( عاقد ) yaitu yang berhutang dan yang berpiutang.
b.      Ma‘qud ‘alayh (عليه معقود) yaitu barang yang dihutangkan.
c.       Sigat ( صيغة ) yaitu ijab qabul, bentuk persetujuan antara kedua belah pihak.[13]

Demikian juga menurut Drs. Chairuman Pasaribu bahwa rukun hutang piutang ada empat macam:
ü  Orang yang memberi hutang
ü  Orang yang berhutang
ü  Barang yang dihutangkan (obyek)
ü  Ucapan ijab dan qabul (lafadz).

Dengan demikian, maka dalam hutang-piutang dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi rukun dan syarat daripada hutang-piutang itu sendiri.
Rukun adalah unsur esensial dari “sesuatu”, sedang syarat adalah prasyarat dari“sesuatu”.

a.       Aqid (orang yang berhutang dan berpiutang)
Orang yang berhutang dan yang berpiutang boleh dikatakan sebagai subyek hukum.Sebab yang menjalankan kegiatan hutang-piutang adalah orang yang berhutang dan orang yang berpiutang.Untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Seseorang mempunyai kecakapan adakalanya dapat melakukan hukum secara sempurna dan adapula yang tidak sempurna. Perbuatan hukum dipandang sebagai perbuatan hukum yang sempurna apabila dilakukan oleh orang yang menurut hukum sudah dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (baligh) di mana dia telah mempunyai pertimbangan pikiran yang sempurna dan dia melakukan perbuatan hukum tersebut tidak tergantung pada orang lain.[14]
Sedangkan bagi mereka yang belum baligh artinya masih anak-anak dipandang mempunyai kecakapan tidak sempurna untuk melakukan perbuatan hukum, di mana dalam melakukan suatu perbuatan hukum diperlukan izin.[15]

Sedangkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh kedua belahpihak (subyek hukum), yaitu orang yang memberi hutang dan yang berpiutangadalah sebagai berikut:
·         Orang tersebut telah sampai umur (dewasa).
·         Berakal sehat.
·         Orang tersebut mau dan bisa berpikir.
Seseorang dapat dipandang mempunyai kecakapan melakukan
perbuatan hukum apabila telah sampai masa tamyiz, telah mampu menggunakan pikirannya untuk membeda-bedakan hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang tidak berguna, terutama dapat membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Imam Syafi’i mengungkapkan bahwa 4 orang yang tidak sah akadnya adalah anak kecil (baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum mumayyiz) orang gila, hamba sahaya, walaupun mukallaf dan orang buta.
Sementara  dalam  Fiqh Sunnah  disebutkan bahwa akad orang gila, orang mabuk,  anak kecil yang belum mampu membedakan mana yang baikdan yang jelek (memilih) tidak sah. Dan anak kecil yang sudah mampu memilih akadnya dinyatakan sah, hanya keabsahannya tergantung pada izin walinya.
Di samping itu orang yang berpiutang hendaknya orang yang mempunyai kebebasan memilih, artinya bebas untuk melakukan perjanjian hutang piutang lepas dari paksaan dan tekanan.Sehingga dapat terpenuhi adanya prinsip saling rela.Oleh karena itu tidak sah hutang piutang yang dilakukan karena adanya unsur paksaan.[16]

b.      Ma’qud alaih Obyek Hutang
Di samping adanya ijab qabul dan pihak-pihak yang melakukan hutangpiutang, maka perjanjian hutang piutang itu dianggap terjadi apabila terdapat obyek yang menjadi tujuan diadakannya hutang piutang. Tegasnya harus ada barang yang akan dihutangkan.
Untuk itu obyek hutang piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
·         Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan danpenggunaannya mengakibatkan musnahnya benda hutang.
·          Dapat dimiliki
·         Dapat diserahkan kepada pihak yang berhutang
·         Telah ada pada waktu perjanjian dilakukan.[17]

AbuBakar Jabir al-Jaziri menjelaskan syarat-syarat obyek hutang
piutang sebagai berikut:
§  Diketahui jumlahnya, baik dengan timbangan, takaran maupun hitungan.
§  Jika hutang piutang itu berupa hewan, harus diketahui sifat-sifat umurnya.
§  Bahwa obyek hutang harus merupakan harta seseorang yang pandaimembelanjakan atau mentasyarrufkannya.[18]
Karena hutang piutang itu dilakukan adanya suatu kebutuhan yang mendesak, sudah barang tentu benda yang dijadikan obyek hutang itu adalah benda yang bernilai (bermanfaat) dan setelah dipergunakan benda itu habis,maka pengembaliannya itu bukan barang yang telah diterimanya dahulu, akan tetapi dengan benda lain yang sama.
Pengikut Mazhab Maliki berpendapat bahwa obyek hutang itu adalah benda yang sah yang dipakai obyek Salam (pesanan).Misalnya barang yang bisa ditakar, ditimbang dan dihitung, sepertiberas, gandum dan lain-lain.
Demikian juga obyek hutang harus jelas diketahui timbangan danukurannya. Hutang dalam benda-benda perniagaan dan hewan juga
diperbolehkan karena dalam salam sah juga.Mazhab Malikiyah juga
menjelaskan bahwa hutan piutang dengan memakai ukuran yang tidak dikenal(tidak berlaku) umum, adalah sah asal dikembalikan sebanyak itu pula meskipun dalam salam hal yang semacam itu tidak diperbolehkan.
Pengikut Mazhab Hanabilah juga berpendapat bahwa obyek hutang piutang harus diketahui ukurannya apabila ditakar harus diketahui ukurannya dan takarannya, dan takaran nya tersebut harus dengan takaran yang sudah berlaku umum.Demikian pula bila benda itu ditimbang harus dengan alat penimbangan yang bersifat umum.Hutang yang memakai timbangan atau takaran yang tidak berlaku umum (adalah tidak sah).Barang yang menjadi obyek hutang piutang haruslah barang yang dapat dimiliki.Tentunya ini dapat dimiliki oleh pihak yang berhutang.
Sebab dalam hutang piutang akan terjadi pemindahan milik dari yang member hutang kepada pihak yang berhutang. Demikian juga barang yang dijadikan obyek hutang-piutang harus ada pada saat terjadinya hutang piutang. Sebab kalau dilihat dari tujuan seseorang itu berhutang adalah karena adanya kebutuhan yang mendesak, sehingga kalau barang tersebut tidak dapat diserahkan atau tidak ada, maka tidak mungkin akan terjadi hutang-piutang.

c.       Shighah

Yang dimaksud dengan shighah adalah ijab dan qobul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang semua lafad yang menunjukkan maknanya, seperti kata”AKU memberimu hutang”atau ”Aku menghutangimu” dan jawaban atau qobulnya sah dengan kata yang menunjukkan kerelaan, seperti ’’Aku berhuang’’ atau Aku Ridha.dan lain sebagainya.[19]
Dalam perjanjian hutang-piutang itu disyari‘atkan secara tertulis.Hal ini untuk menjamin agar jangan sampai terjadi kekeliruan atau lupa, baik mengenai besar kecilnya hutang-piutang  waktu pembayarannya. Sebagaimana firmanAllah SWT.

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidaksecara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah: 282.
Pencatatan ini disyaratkan, supaya mereka mudah dalam menuntut pihak yang berhutang untuk melunasi hutangnya apabila sudah jatuh temponya.Di samping disyari‘atkan secara tertulis, dalam hutang-piutang itu diperlukan juga adanya saksi.Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi perselisihan di kemudian hari. Tanpa adanya saksi mungkin yang satu akan mengingkari perjanjian yang telah disepakati bersama. Saksi hutang-piutang itu disarankan 2 oranglaki-laki, baligh, muslim dan bukan budak belian. Sekiranya tidak di dapatkan 2 laki-laki yang memenuhi syarat dan dapat diangkat seorang laki-laki dan 2orang perempuan yang saling mengingatkan di antara keduanya sehingga tidak terjadi kealpaan.
Ketentuan mengenai perintah penulisan, pengadaan saksi dan barang tanggungan (Borg) adalah perintah sunnah dan isyarat, yaitu demi kebaikan,kehati-hatian dan memelihara kepentingan agama di dunia. Di sampingadanya syarat dan rukun sahnya hutang-piutang, juga terdapat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam masalah hutang-piutang, yaitu:
ü  Diwajibkan kepada orang yang berhutang mengembalikan atau membayarnya kepada orang yang menghutangi pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang samadengan barang yang seharganya.

Sabda Nabi SAW:

عَنْ اَبِيْهُرَيْرَةَرضأَنَّرَسُوْلَاللهِصمقَالَ: مُطَلُّالْغَنِيُّظَلْمٌ.

Artinya :
“Melambatkan membayar hutang pada dia mampu, maka
termasuk zalim”. (HR. Bukhari Muslim)
ü  Orang  yang  menghutangkan wajib memberi tempo, apabila yang
ü  berhutang belum mempunyai kemampuan dan disunnahkan membebaskan sebagian atau semua piutangnya, bilamana orang yang berhutang kurang mampu membayar hutangnya.
ü  Jika yang dipinjam yang dihutangkan dalam pengembaliannya tidak membutuhkan biaya, maka boleh dikembalikan di sembarang tempat yang dikehendaki oleh yang memberi hutang. Namun kalau membutuhkan biaya, maka wajib mengembalikan di tempat yang tidak membutuhkan biaya.
ü  Cara membayar harus memenuhi syarat yang telah disepakati dalam
ü  perjanjian, demikian pula tempatnya. Dan bagi yang memberi hutang
ü  boleh minta dibayar di tempat lain dengan syarat tidak merugikan yang berhutang.
ü  Menghutangkan sesuatu dengan syarat sekaligus menggadaikannya itu hukumnya sah.
ü  Haram bagi pemberi hutang mengambil keuntungan dalam bentuk apapun,baik berupa tambahan maupun manfaat yang lain. Manakalah hal itumerupakan syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak. Lain halnya jika hal tersebut yang pernah dilakukan oleh Nabi, yaitu membayar hutang dengan unta yang lebih baik dari hutang yang sebenarnya dan beliau bersabda:

فَإِنَّ مِنْ خِيَارِآُمْاَوْخَيْرُآُمْأَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Artinya :
“Maka sebaik-baiknya kamu adalah yang sebaik-baiknya pada waktu membayar hutang”. (HR. Muslim.[20]
ü  Orang yang menghutangkan berhak mengajukan urusannya kepada hakim bilamana orang yang berhutang ingkar janji tidak mau membayar hutang tersebut. Kemudian hakim berhak memaksa menyita harta benda.Kepunyaan orang yang berhutang untuk dibayarkan kepada orang yang memberinya hutang.

5.     PELAKSANAAN QARDH

Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang  yang ia berikan ketika mengembalikannya. Para ulama sepakat,  jika pemberi utang mensyaratkan kepada pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah riba. Dan yang dipraktikkan bank-bank sekarang ini,yaitu member pinjaman dengan adanya bunga, adalah jelas-jelas riba, baik berupa pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, sebagaimana yang mereka namakan. Maka pemberi utang,  baik bank, perorangan maupun perusahaan, tidak boleh menerima tambahan yang disyaratkan, apa pun nama dan bentuk tambahan tersebut. Baik dinamakan sebagai laba, bunga atau pun hadiah baik bentuknya adalah menempati sebuah rumah, mengendarai kendaraan dan sebagainya. Jadi selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka itu adalah riba. Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima dari pemiliknya; tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadits dari Ali ra. Menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang bunyi :

كل قرض جرمنفعة فهو ربا
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang
berpiutang, muqridh) adalah riba.”
Yang dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran dalam hadits tersebut diatas adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam akad utang-piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba.

Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
ü  Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan

Dari Abu Hurairah,ia berkata:“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang,(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya.(Maka)beliaupun berkata,“Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata :“Berikan kepadanya”,Dia pun menjawab,“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah SWT membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda
,“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)
ü  Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a.       Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b.      Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c.       Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d.      Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka AllahI akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)

ü  Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288.
ü  Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
ü  Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).
ü  Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.”(Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).
ü  Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi :“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”.(HR. Bukhari no. 2400,akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
ü  Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah SWT berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 280).

6.     Hikmah qordh
            Hikmah hutang piutang yaitu saling meringankan baban, manghilangkan pertengkaran, dan melahirkan kasih saying diantara manusia. Pelakunya tarmasuk orang yang berbuat baik dihadapan ALLAH, sedangkan dihadapan manusia dia dicintai.
            Intinya bahwa dalam pinjaman terdapat beberapa faedah bagi manusia yangtidak dapat terhitung.[21]


SKEMA AL-QORDH
NASABAH
Perjanjian QORDH

Bank Syari’ah ssSSyaSyari’ah
Proyek Usaha
 






100%
Keuntungan
Modal
 











·         Pinjaman qardh diakui:
        sebesar jumlah dana yang dipinjamkan pada saat terjadinya;
        Penerimaan imbalan dari peminjam diakui sebagai pendapatan pada saat terjadinya.
        Jika bank sebagai peminjam qardh:
·         pemberian imbalan kepada pemberi pinjaman qardh diakui sebagai beban.






.
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat di simpulkan bahwa :
1.Pengertian secara bahasa:memotong, secara syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.
2.Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, al-Sunnah HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.
3.Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang dan yang berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di muka.
4.Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram bila disyaratkan, hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat membayar ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo diwajibkan untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya, jaminan diperlukan guna kepercayaan yang berpiutang dan yang berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang untuk ditangguhkan pembayarannya untuk waktu tertentu.
Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama
Bahkan Islam sebenarnya mewajibkan setiap anggota masyarakatnya memiliki ilmu. Dalam satu hadith disebutkan” menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas setiap orang Muslim. Dengan demikian, untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita mestilah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yaitu berilmu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari ajaran agama islam selalu menganjurkan untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun.







Daftar Pustaka

·         Hasyiyah ibni,Abidin,juz IV,hlm.171,dan al-Bahuti:Kasysyaf al-Qona’,juz III,hlm.298.
·         Muntaha Al-Iradat (I/197).Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah,karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).
·         Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz IV, h. 2915.
·         Kitab Imam Muslim: Syarah Bulugul Maram I’tiyati salim,Bab Syarah Hadist,juz      204,hlm VIII,maktabah syamilah.
·         Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. IV (Beirut: Dar Kutb Ilmiyah, tt.), hlm 195.
·         Kitab Syarah Sunan Ibnu Majah,bab syarah hadist ,juz 15,hlm VI,Maktabah Syamilah.
·         Kitab Syarah Sunan Abu Dawud,Bab Syarah hadist,juz 185,hlm 24,Maktabah Syamilah.
·         Khasiyah Sanad Sunaan ibnu Majah, Juz 1, hlm 99. Maktabah Syamilah.
·         Syarah shahih Bukhari,Kitab Hiwalah wal Kafalah, Juz 6, hlm 415, Maktabah Syamilah.
·         Kitab Fatkhul Bari’,Bab Hiwalah, Juz 4,hlm 465, Maktabah Syamilah.
·         Syarah Kitab Muwatha’, juz 5, hlm 66, Maktabah Syamilah.
·         Ghufron A. Mas‘adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 173.
·         Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘ala Mazahibul Arba‘ah, juz 2, h. 303.
·         Rahmat Syafi‘ie, Fiqh Muamalah, h. 58.
·         Al-Kaisani:Bada’iash-Shana’I, juz IV, hlm 394, Muntahal iradat,juz II,hlm 225.
·         Al-Hafiz Zaki al-Din Abd al-Azim al-Munzii, Mukhtasir Sahih Muslim, Terj.
·         Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu(indahnya syari’at islam), Gema Insani Depok.



[1] Hasyiyah ibni,Abidin,juz IV,hlm.171,dan al-Bahuti:Kasysyaf al-Qona’,juz III,hlm.298.
[2] Muntaha Al-Iradat (I/197).Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah,karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).

[3] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz IV, h. 2915.

[4] Kitab Imam Muslim: Syarah Bulugul Maram I’tiyati salim,Bab Syarah Hadist,juz      204,hlm VIII,maktabah syamilah
[5] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. IV (Beirut: Dar Kutb Ilmiyah, tt.), hlm 195.

[6] Kitab Syarah Sunan Ibnu Majah,bab syarah hadist ,juz 15,hlm VI,Maktabah Syamilah.
[7] Kitab Syarah Sunan Abu Dawud,Bab Syarah hadist,juz 185,hlm 24,Maktabah Syamilah.
[8] Opcit hlm 76 juz II
[9] Khasiyah Sanad Sunaan ibnu Majah, Juz 1, hlm 99. Maktabah Syamilah
[10] Syarah shahih Bukhari,Kitab Hiwalah wal Kafalah, Juz 6, hlm 415, Maktabah Syamilah
[11] Kitab Fatkhul Bari’,Bab Hiwalah, Juz 4,hlm 465, Maktabah Syamilah
[12] Syarah Kitab Muwatha’, juz 5, hlm 66, Maktabah Syamilah
[13] Ghufron A. Mas‘adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 173
[14] Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, h. 106.
[15]Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘ala Mazahibul Arba‘ah, juz 2, h. 303.
[16]Rahmat Syafi‘ie, Fiqh Muamalah, h. 58.
[17]Abdurrahman al-Jaziri, Kitabul Fiqh, juz 2, hlm. 304.
[18]Ibid, h. 305.
[19] Al-Kaisani:Bada’iash-Shana’I, juz IV, hlm 394, Muntahal iradat,juz II,hlm 225
[20]Al-Hafiz Zaki al-Din Abd al-Azim al-Munzii, Mukhtasir Sahih Muslim, Terj.
Syinqity Jamaluddin dan Mochtar Zoerni, h. 522.
[21] Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu(indahnya syari’at islam), Gema Insani Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar