A.
PENDAHULUAN
Konsep Muamalah yang kafah dewasa ini telah
bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar islam, khususnya
Negara-negara maju dan berkembang. Sedikit demi sedikit telah tersisihkan,
bergeser, bahkan menghilang dari kancah masyarakat islam itu sendiri. Tak heran
jika banyak pihak yang melakukan konfrontasi ke inernal islam itu sendiri.
Kondisi ini merupakan suatu keuntugan tersendiri bagi mereka. Banyak
praktek-praktek perbankan Negara Kapitalis yang mengatasnamakan syariah
(mumalah) Islam. Khususnya Utang-piutang (Qardh). Riba dalam perbankan pun tak
terhindarkan. Padahal dalam Islam tidak membenarkan adanya Riba dalam
Utang-piutang. Bertolak dari problematika itulah, pemakalah mencoba untuk
menguraikan secara terperinci tentang konsep Utang-piutang yang benar dalam
islam. Bertujuan agar Umat Islam (umumnya) dan pemakalah (khususnya) terjauhkan
dari konsep (Riba) tersebut. Amin.
`
B. SUBTANSI KAJIAN
1.
Pengertian
Qordh
Qordh secara
etimologis merupakan bentuk mashdar dari qoradha asy-syai’-yaqridhuhu, yang, Berarti
dia memutuskan. Qordh adalah bentuk mashdar yang berarti memutuskan. Dikatakan,
qaradhtu asy-syai,a bil-miqradh, aku memutuskan sesuatu yang diberikan oleh
pemilik untuk dibayar.
Adapun qordh secara
terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan gantinya dikemudian hari.[1]
Pemberian harta kepada orang lain yang ingin memenfaatkannya dan dapat
diminta kembali,atau meminjamkan tanpa imbalan dengan harapan pahala dari allah
pada kedua kondisi tersebut.
Sedangkan secara terminologis (istilah
syar’i),makna Al-Qordh ialah
menyerakan harta (uang ) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang
akan memanfaatkanya dan dia mengembalikannya( pada suatu saat ) sesuai dengan
padannya.[2]
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang
menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di
kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi
pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
Pengertian istilah qardh
menurut berbagai ulama :
v Menurut
ulama Hanafiyah :
مَاتُعْطِيْهِمِنْمَا لٍمِثْلِيْلِتَقْضَا هُمِثْلَهُ
“Sesuatu
yang diberikan seseorang dari harta-harta yang memiliki perumpamaan untuk
memenuhi kebutuhannya”
Qordh adalah Harta yang diberikan seorang dari maal
mitsil untuk kemudian dibayar atau dikembalikan.
v
Menurut ulama Syafi’i :
Qardh
adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang suatu saat harus di
kembalikan.
v
Menurut ulama Hanbali :
Qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantiannya. Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah
memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam
dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama.
Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa
depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.
v
Menurut Wahbah
al-Zuhayliy :
Qordh adalah penyerahan suatu harta kepada orang lain yang tidak disertai
dengan imbalan/ tambahan dalam pengembaliannya.[3]
Analisa Dari Kami
Dari definisi tersebut di
atas,dapat diambil kesimpulan bahwa piutang adalah memberikan sesuatu barang kepada seseorang dengan pengembalian yang sama
dengan barang itu, Sedangkan hutang adalah kebalikan pengertian piutang, yaitu
menerima sesuatu (uang atau barang) dengan seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan
hutang tersebut dalam jumlah yang sama.
2.
Dasar-Dasar Disyari’atkan Qordh
Hutang piutang merupakan hal yang sangat diperlukan dalam hidup dan
kehidupan sehari-hari atau bahkan untuk menunjang kelangsungan kehidupan di
hari yang akan datang. Manusia tidak selamanya dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
sehingga dia membutuhkan bantuan dari orang lain guna memenuhi kebutuhannya, Bantuan
tersebut dapat berupa pinjaman atau hutang. Oleh karena itu,Islam menganjurkan
agar umatnya hidup saling tolong menolong antar sesamanya.
Sebagainama dasar disyariatkannya oleh agama Islam
tentang qordh (hutang piutang) didalam al-Qur’an,hadits,dan ijma’.
v Dasar dari al-Qur’an
firman Allah SWT :
`¨B #sŒ “Ï%©!$# ÞÚÌø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¼çmxÿÏ軟ÒãŠsù ÿ¼ã&s! $]ù$yèôÊr& ZouŽÏWŸ2 4 ª!$#ur âÙÎ6ø)tƒ äÝ+Áö6tƒur ÏmøŠs9Î)ur šcqãèy_öè? ÇËÍÎÈ
Artinya:
‘’siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.’’(Surat al-baqarah ):245.
Dari ayat diatas bahwa Allah SWT menyerupakan amal shalih dan infaq
(shodaqoh) fi sabilillah dengan harta yang di pinjamkan, dan menyerupakan
pembalasanya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang.Pinjaman (hutang) di
sebut juga amal baik karena menyuruh orang untuk berbuat baik agar orang
berusaha untuk dapat menggantikanya.
Dasar hukum bolehnya
transaksi dalam bentuk Utang-piutang tersebut dalam bentuk ayat al-Quran diantaranya
pada surat al-Muzammil ayat 20 :
4 (#qãKŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qàÊÌø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym 4 $tBur (#qãBÏd‰s)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnr߉ÅgrB y‰ZÏã «!$# uqèd #ZŽöyz zNsàôãr&ur #\ô_r& 4 (#rãÏÿøótGó™$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî 7LìÏm§‘ ÇËÉÈ
Artinya:
Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk
dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang
paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya:
''Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya''.
Hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar benar.dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur.dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki,Maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,supaya jika seorang
lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu,baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan
lebih dekat kepada ALLAH dan tidak (menimbulkan) keraguanmu.(Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu,(jika) kamu tidak
menulisnya.dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian),
Maka Sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu.dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
v Dasar dari hadits
Riwayat Imam Muslim
أن
النبي صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بكراً، فقدمت عليه إبل من إبل الصدقة،
فأمر أبا رافع أن يقضي الرجل بكره، فقال: لا أجد إلا خياراً رباعياً، فقال: أعطه
إياه، فإن خيار الناس أحسنهم قضاء
Artinya:
''Sesunggunya
Rasullah SAW berhutang seekor unta muda kepada seorang laki-laki. Kemudian
diberikan kepada beliau seekor unta shadaqoh. Beliau memerintahkan kepada Abu
Rafi’ untuk membayarnya unta muda laki-laki itu.Abu Rafi’ kembali kepada beliau
dan berkata ‘saya tidak menemukan diantara unta-unta tersebut kecuali unta yang
usianya menginjak tujuh tahun.’Beliau menjawab,’berikan unta itu kepadanya
karena sebaik-baik orang adalah orang yang paling baik dalam mambayar hutang''.[4]
Dari Ibnu Mas’ud
عن ابن مسعود رضى الله عنه أن النبي
صلى الله عليه وسلم قال : ما من مسلم قرضا مرتين الا كان كصدقتها مرة ( رواه ابن
ماجه )
Artinya:
”Dari Ibnu Mas’ud:”Sesungguhnya
Nabi saw. bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali,
seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”[5]
Dari Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلي بن محمد قالا:
حدثنا أبو معاوية عن
الأعمش عن أبي صالح عن أبي هريرة رضي الله عنه
قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من نفس عن مسلم كربة من كرب الدنيا نفس
الله عنه كربة من كرب يوم القيامة
Artinya:
Disampaikan oleh abu bakar ibnu abi syaibah dan
ali bin Muhammad ,disampaikan dan berkata abu muawiyah dari abi sholih dari abu
hurairah RA:Rosullah berkata ''Barangsiapa meringankan suatu beban daqri
seorang muslim di dunia ini, mnaka Allah akan meringankan salah satu dari kesulitan-kesulitan
hari kiamat darinya''.[6][7]
عَنْ
ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ فَارَقَ
الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ
وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
Artinya:Dari
Tsauban (pembantu Rasulullah SAW), dari Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa
yang ruh dan jasadnya telah terpisah (meninggal dunia) dan ia terbebas dari
tiga perkara, maka ia akan masuk surga; (yakni) terbebas dari sifat takabur,
sifat menipu dan utang." [8]
Analisis dari kami
Dari dalil-dalil di atas
dapat diketahui bahwa dianjurkan bagi seorang Muslim untuk menolong sesamanya
dengan jalan memberi hutang agar bisa keluar dari segala kesusahan dan
kesempitan yang dihadapinya.
Bahwa Islam mensunnahkan
hutang bagi yang membutuhkan. Hal ini berarti juga diperbolehkan bagi orang
yang berhutang memberi hutang kepada yang lain dan tidak menganggapnya sebagai
yang makhruh karena ia mengambil harta atau menerima harta untuk dimanfaatkan
dalam upaya untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dan selanjutnya ia mengembalikan
harta itu
seperti sedia kala.
v
Dasar dari Ijma
Kaum muslimin sepakat bahwa Qardh dibolehkan
dalam islam. Hukum Qardh adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi
muqtarid, berdasarkan hadits yang dirirawatkan oleh Ibnu Majah di atas. Juga
ada hadits lainnya:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ،
وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ
الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي
عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya :
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW, telah
bersabda, barang siapa melepaskan dari seorang muslim dari satu kesusahan dari
kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada
seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya didunia
dan akhirat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya menutupi
(aib) nya didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya monolong hamba-nya, selama
hamba-Nya mau menolong saudaranya.”(H.R.Muslim).[9]
Dasar
dari ijma’ adalah bahwa semua kaum muslimin telah sepakat dibolekan hutang
piutang.
3. Hukum
(Ketetapan) Qardh
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, Qardh
menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan.Dengan demikian,jika seseorang
menukarkan (iqtaradha) satu kilo gram gandum misalnya,ia harus menjaga gandum
tersebut dan harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta
zatnya.Jika muqrid tidak memintanya,muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya,walaupun
Qardh (barang yang ditukarkan) masih ada.Akan tetapi, menurut Abu Yusuf,muqtarid
tidak memiliki Qardh selama Qardh masih ada.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan Qardh,sebagaimana
terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada
penyerahan dan pemegangan:Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis
dengan Qardh muqrid meminta zatnya, baik serupa maupun asli. Akan tetapi jika
Qardh telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
Pendapat ulama Hanabilah dan Syafi’iyah
senada dengan pendapat Abu Hanifah bahwa ketetapan Qardh dilakukan setelah
penyerahan atau pemegangan. Muqtarid harus menyerahkan benda sejenis (Mitsil)
jika penukaran terjadi pada harta mitsil sebab lebih mendekati hak
muqrid.Adapun pertukaran pada harta qimi (bernilai) didasarkan pada gambarannya.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa
pengembalian Qardh pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda
sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya,yang tidak dihitung dan ditakar,dikalangan
mereka ada dua pendapat.Pertama sebagaimana pendapat jumhur ulama,yaitu
membayar nilainya pada hari akad Qardh.Kedua mengembalikan benda sejenis yang
mendekati Qardh pada sifatnya.
a.
Tempat Membayar Qardh
Ulama fiqih sepakat bahwa Qardh
harus dibayar ditempat terjadinya akad secara sempurna. Namun demikian, boleh
membayarnya ditempat lain apabila tidak ada keharusan untuk membawanya atau
memindahkannya, juga tidak halangan dijalan. Sebaliknya, jika terdapat halangan
apabila membayar ditempat lain, muqrid
tidak perlu menyerahkannya.
b.
Jatuh Tempo Qardh
Utang wajib
dibayar pada waktu yang ditentukan bila yang berutang memang telah mampu membayarnya. Bila
dia mampu membayar tetapi menangguhkkan pembayarannya,
dia dinyatakan sebagai orang yang zhalim.
Dari Abu
Huraira menurut riwayat al-Bukhari :
أَبُو هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِىّ، عليه
السَّلام: (مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ)
Artinya :
Hadits Nabi yang
lain dari ‘Amru bin Syarid menurut
riwayat Abu Daud dan al-Nasai, sabda Nabi:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ «لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ
وَعُقُوبَتَهُ، فَعِرْضُهُ التَّظَلُّمُ مِنْهُ بِقَوْلِ مَطَلَنِي وَظَلَمَنِي»
Artinya :
“Orang-orang yang mempunyai harta tetapi mengguhkan hutangnya boleh dituntut dan
disiksa.”[12]
Namun bila
yang berutang tidak mampu
membayar utangnya pada waktu jatuh tempo, orang yang mengutangi diharapkan
bersabar sampai yang berutang mempunyai kemampuan.
Sesuai dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 280:
bÎ)ur šc%x. rèŒ ;ouŽô£ãã îotÏàoYsù 4’n<Î) ;ouŽy£÷tB 4 br&ur (#qè%£‰|Ás? ׎öyz óOà6©9 ( bÎ) óOçFZä. šcqßJn=÷ès? ÇËÑÉÈ
Artinya:
“Jika mereka (orang yang berutang) dalam
kesulitan, maka hendaklah tunggu sampai ia mempunyai kemampuan untuk membayar.
Bila kamu sedekahkan, itu akan lebih baik; seandainya kamu mengetahui.”
Kemudian pengutang
(muqtaridh) wajib berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melunasi
utangnya, tanpa mengulur-ngulurnya ketika mampu membayarnya. Allah berfirman:
$yJåks]÷t/ Óˆy—öt/ žw Èb$u‹Éóö7tƒ ÇËÉÈ
Artinya :
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan
(pula).”(Qs.ar-Rahmaan:
60)
Sebagian orang menyepelekan kewajiban mereka, khususnya dalam masalah utang. Dan ini adalah
perilaku yang tercela, yang membuat banyak orang enggan memberikan utang dan
member kemudahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini merupakan salah
satu faktor beralihnya orang-orang ke bank-bank yang menerapkan system riba dan melakukan hal yang diharamkan oleh Allah. Karena
ketika membutuhkan, mereka tidak menemukan orang yang memberi
mereka pinjaman denagn baik. Sedangkan, orang yang mau memberikan utang tidak menemukan
orang yang mau melunasi utangnya dengan
baik, sehingga hilanglah kebaikan dari orang-orang.
c.
Jaminan (Rungguhan)
Jaminan atau rungguhan ialah suatu barang
yang dijadikan peneguh atau penguat
kepercayaan dalam utang
piutang. Barang itu boleh dijual kalau
utang tak dapat dibayar, hanya penjualan itu hendaklah dengan keadilan (dengan harga yang berlaku dibawah itu)
Firman Allah :
bÎ)ur óOçFZä. 4’n?tã 9xÿy™ öNs9ur (#r߉Éfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm/u‘ 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy‰»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya :
283. jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan
bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Rukun Rungguhan:
1.
Lafadz (kalimat akad), seperti; “saya saya
rungguhkan ini kepada engkau untuk utangku
yang sekian terhadap engkau.” Jawab yang berpiutang,
“saya terima rungguhan ini.”
2.
Ada yang
merungguhkan dan yang
menerima rungguh (yang utang dan
yang berpiutang). Keduanya hendaklah ahli tasarruf (berhak membelanjakan hartanya).
3.
Barang yang dirungguhkan. Tiap-tiap zat yang
bisa dijual dirungguhkan dengan syarat keadaan
barang itu tidak
rusak sebelum sampai janji utang harus
dibayar.
4.
Ada utang, disyaratkan keadaan utang telah
tetap.
5.
Apabila barang yang telah dirungguhkan
diterima oleh yang berpiutang, tetaplah rungguhan; dan apabila rungguhan telah tetap yang punya
barang tidak boleh menghilangkan
miliknya dari barang itu,
baik dengan jalau ataupun diberikan dan sebagainya, kecuali dengan izin yang
berpiutang. Apabila barang yang dirungguhkan rusak atau hilang ditangan orang
yang memegangnya, ia tidak wajib mengganti karena barang
rungguhan itu adalah barang amanat (percaya-mempercayai), kecuali rusak atau
hilangnya itu disebabkan kelalaiannya. Manfaat barang yang dirungguhkan yakni:
Orang yang punya barang tetap berhak mengambil manfaat dari barang yang
dirungguhkan, bahkan semua manfaatnya tetap kepunyaan dia, kerusakan barang pun
atas tanggungannya.Ia berhak mengambil manfaat barang yang dirungguhkan itu
walaupun tidak seizing orang yang menerima rungguhan.Tetapi usaha untuk
menghilangkan miliknya dari barang itu atau mengurangi harga barang itu tidak
diperbolehkan kecualai dengan izin orang yang menerima rungguhan. Maka tidaklah sah bila orang yang merungguhkan menjual barang
yang sedang dirungguhakan itu, begitu juga menyewakannya apabila masa sewa-menyewa itu melalui masa rungguhan Orang yang
memegang rungguhan boleh mengambil manfaat barang yang dirungguhakan dengan sekadar ganti kerugiannya, untuk menjaga barang itu.
Bertambahnya barang yang dirungguhkan:
1.
Tambahan yang terpisah seperti buah, telur,
atau anaknya yang jadi dan lahir sesudah dirungguhkan tidak termasuk barang
rungguha, tetapi tetap kepunyaan orang yang merungguhkan. Maka jika barang
rungguhan itu dijual oleh yang memegang rungguhan, tambahannya itu tidak boleh
ikut dijual,sebab tambahan itu tidak ikut dijual,sebab tambahan itu tidak ikut
dirungguhkan.
2.
Tambahan yang tidak dapat dipisahkan, seperti
tambahan gemuk, tambahan besarnya,dan anak yang masih dalam kandunga, semuanya
itu termasuk yang dirungguhkan. Begitu juga bulunya jika di waktu merungguhkan
sudah watu memotong tetapi tidak dipotonngnya; hal itu menjadi tanda bahwa bulu
itu termasuk dirungguhkan. Tetapi jika di waktu merungguhkan belum waktunya
dipotong,maka ia seperti tambahan yang terpisah, tidak termasuk dirungguhkan;
yang punya barang berhak memotongnya dan mengambil bulu itu apabila sampai
waktu memotongnya.Adapun rungguhan yang berlaku di negeri kita ini (seorang
merungguhkan sawah atau pohon kelapa, semua penghasilannya diambil oleh yang
memegang), hal itu tidak sah dan tidak halal, sebab rungguhan itu hanya berguna
utnuk menambah kepercayaan yang berpiutang kepada yang berhutang, bukan untuk
mencari keuntungan bagi yang berpiutang.
d.
Khiyar Dan Penangguhannya
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa dalam Qardh tidak ada khiyar sebab maksud dari khiyar adalah membatalkan akad,
sedangkan dalam bab Qardh masing-masing berhak boleh membatalkan akad kapan
saja dia mau. Jumhur ulama melarang penangguhan pembayaran Qardh sampai waktu
tertentu sebab dikawatirkan akan menjadi riba nasi’ah. Dengan demikian,
berdasarkan pertimbangan bahwa Qardh adalah derma, muqrid berhak meminta
penggantinya waktu itu. Selain itu, qaradpun termasuk akad yang wajib diganti
dengan harta mitsil, sehingga wajib membayarnya pada waktu itu, seperti harta
yang rusak. Namun demikian, ulama Hanafiyah menetapkan keharusan untuk
menangguhkan Qardh pada empat keadaan:
1.
Wasiat, seperti mewasiatkan untuk penangguhan
sejumlah harta dan ditangguhkan pembayarannya selama setahun, maka ahli waris
tidak boleh mengambil penggantinya dari muqtarid sebelum habis waktu setahun.
2.
Diasingkan Qardh diasingkan kemudian
pemiliknya menangguhkan sebab penangguhan pada waktu itu diharuskan.
3.
Berdasarkan keputusan hakim.
4.
Hiwalah yaitu: pemindahan utang.
Imam Malik berpendapat bahwa Qardh ditangguhkan dengan adanya penangguhan
sebab Nabi SAW bersabda:
المسلمون على شروطهم﴿ رواه أبوداود وأحمد والترمذى والدارقطنى﴾
Artinya:
“Orang-orang Islam didasarkan pada
(persyaratan yang mereka buat).” (H.R. abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Daruqtuni)
Selain
itu, kedua belah pihak yang melakukan akad dapat menetapkan atau membatalkan
transaksi.
4. Rukun Dan Syarat
Qordh
Utang-piutang
itu boleh bila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun Utang-piutang
itu adalah akad yang bermaksud melepaskan uang untuk sementara dengan cara yang
menunjukkan adanya rasa suka sama suka. Rukun Utang Piutang.
Syarkhul
Islam Abi Zakaria al-Ansari memberi penjelasan bahwa rukun hutang piutang itu
sama dengan jual beli yaitu:
a. ‘Aqid ( عاقد ) yaitu yang berhutang dan yang berpiutang.
b. Ma‘qud ‘alayh (عليه معقود) yaitu barang yang dihutangkan.
Demikian juga menurut Drs. Chairuman Pasaribu bahwa rukun
hutang piutang ada empat macam:
ü Orang yang memberi hutang
ü Orang yang berhutang
ü Barang yang dihutangkan
(obyek)
ü Ucapan ijab dan qabul
(lafadz).
Dengan demikian, maka dalam
hutang-piutang dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi rukun dan syarat
daripada hutang-piutang itu sendiri.
Rukun adalah unsur esensial
dari “sesuatu”, sedang syarat adalah prasyarat dari“sesuatu”.
a.
‘Aqid
(orang yang berhutang dan berpiutang)
Orang yang berhutang dan yang berpiutang boleh dikatakan
sebagai subyek hukum.Sebab yang menjalankan kegiatan hutang-piutang adalah orang
yang berhutang dan orang yang berpiutang.Untuk itu diperlukan orang yang mempunyai
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Seseorang mempunyai
kecakapan adakalanya dapat melakukan hukum secara sempurna dan adapula yang
tidak sempurna. Perbuatan hukum dipandang sebagai perbuatan hukum yang sempurna
apabila dilakukan oleh orang yang menurut hukum sudah dipandang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (baligh) di mana dia telah mempunyai
pertimbangan pikiran yang sempurna dan dia melakukan perbuatan hukum tersebut
tidak tergantung pada orang lain.[14]
Sedangkan bagi mereka yang
belum baligh artinya masih anak-anak dipandang mempunyai kecakapan tidak
sempurna untuk melakukan perbuatan hukum, di mana dalam melakukan suatu
perbuatan hukum diperlukan izin.[15]
Sedangkan syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh kedua belahpihak (subyek hukum), yaitu orang yang
memberi hutang dan yang berpiutangadalah sebagai berikut:
·
Orang tersebut telah sampai umur (dewasa).
·
Berakal sehat.
·
Orang tersebut mau dan bisa berpikir.
Seseorang dapat dipandang
mempunyai kecakapan melakukan
perbuatan hukum apabila telah sampai masa tamyiz,
telah mampu menggunakan pikirannya untuk membeda-bedakan hal yang baik dan yang
buruk, yang berguna dan yang tidak berguna, terutama dapat membedakan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
Imam Syafi’i mengungkapkan
bahwa 4 orang yang tidak sah akadnya adalah anak kecil (baik yang sudah mumayyiz
maupun yang belum mumayyiz) orang gila, hamba sahaya, walaupun mukallaf
dan orang buta.
Sementara dalam Fiqh
Sunnah disebutkan bahwa akad orang
gila, orang mabuk, anak kecil yang belum
mampu membedakan mana yang baikdan yang jelek (memilih) tidak sah. Dan anak
kecil yang sudah mampu memilih akadnya dinyatakan sah, hanya keabsahannya
tergantung pada izin walinya.
Di samping itu orang yang
berpiutang hendaknya orang yang mempunyai kebebasan memilih, artinya bebas
untuk melakukan perjanjian hutang piutang lepas dari paksaan dan
tekanan.Sehingga dapat terpenuhi adanya prinsip saling rela.Oleh karena itu
tidak sah hutang piutang yang dilakukan karena adanya unsur paksaan.[16]
b. Ma’qud alaih Obyek Hutang
Di samping adanya ijab
qabul dan pihak-pihak yang melakukan hutangpiutang, maka perjanjian hutang
piutang itu dianggap terjadi apabila terdapat obyek yang menjadi tujuan
diadakannya hutang piutang. Tegasnya harus ada barang yang akan dihutangkan.
Untuk itu obyek hutang piutang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai
berikut:
·
Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan
danpenggunaannya mengakibatkan musnahnya benda hutang.
·
Dapat dimiliki
·
Dapat diserahkan kepada pihak yang berhutang
·
Telah ada pada waktu perjanjian dilakukan.[17]
AbuBakar Jabir al-Jaziri menjelaskan syarat-syarat obyek
hutang
piutang sebagai berikut:
§ Diketahui jumlahnya, baik
dengan timbangan, takaran maupun hitungan.
§ Jika hutang piutang itu
berupa hewan, harus diketahui sifat-sifat umurnya.
§ Bahwa obyek hutang harus
merupakan harta seseorang yang pandaimembelanjakan atau mentasyarrufkannya.[18]
Karena hutang piutang itu
dilakukan adanya suatu kebutuhan yang mendesak, sudah barang tentu benda yang
dijadikan obyek hutang itu adalah benda yang bernilai (bermanfaat) dan setelah
dipergunakan benda itu habis,maka pengembaliannya itu bukan barang yang telah
diterimanya dahulu, akan tetapi dengan benda lain yang sama.
Pengikut Mazhab Maliki
berpendapat bahwa obyek hutang itu adalah benda yang sah yang dipakai obyek Salam (pesanan).Misalnya
barang yang bisa ditakar, ditimbang dan dihitung, sepertiberas, gandum dan
lain-lain.
Demikian juga obyek hutang
harus jelas diketahui timbangan danukurannya. Hutang dalam benda-benda
perniagaan dan hewan juga
diperbolehkan karena dalam salam sah
juga.Mazhab Malikiyah juga
menjelaskan bahwa hutan piutang dengan memakai ukuran yang
tidak dikenal(tidak berlaku) umum, adalah sah asal dikembalikan sebanyak itu
pula meskipun dalam salam hal yang semacam itu tidak diperbolehkan.
Pengikut Mazhab Hanabilah
juga berpendapat bahwa obyek hutang piutang harus diketahui ukurannya apabila
ditakar harus diketahui ukurannya dan takarannya, dan takaran nya tersebut
harus dengan takaran yang sudah berlaku umum.Demikian pula bila benda itu
ditimbang harus dengan alat penimbangan yang bersifat umum.Hutang yang memakai
timbangan atau takaran yang tidak berlaku umum (adalah tidak sah).Barang yang
menjadi obyek hutang piutang haruslah barang yang dapat dimiliki.Tentunya ini
dapat dimiliki oleh pihak yang berhutang.
Sebab dalam hutang piutang
akan terjadi pemindahan milik dari yang member hutang kepada pihak yang
berhutang. Demikian juga barang yang dijadikan obyek hutang-piutang harus ada
pada saat terjadinya hutang piutang. Sebab kalau dilihat dari tujuan seseorang
itu berhutang adalah karena adanya kebutuhan yang mendesak, sehingga kalau
barang tersebut tidak dapat diserahkan atau tidak ada, maka tidak mungkin akan
terjadi hutang-piutang.
c. Shighah
Yang dimaksud dengan
shighah adalah ijab dan qobul. Tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha’bahwa ijab
itu sah dengan lafal hutang semua lafad yang menunjukkan maknanya, seperti
kata”AKU memberimu hutang”atau ”Aku menghutangimu” dan jawaban atau qobulnya sah
dengan kata yang menunjukkan kerelaan, seperti ’’Aku berhuang’’ atau Aku
Ridha.dan lain sebagainya.[19]
Dalam perjanjian
hutang-piutang itu disyari‘atkan secara tertulis.Hal ini untuk menjamin agar jangan
sampai terjadi kekeliruan atau lupa, baik mengenai besar kecilnya hutang-piutang
waktu pembayarannya. Sebagaimana
firmanAllah SWT.
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidaksecara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya”. (QS. Al-Baqarah: 282.
Pencatatan ini disyaratkan,
supaya mereka mudah dalam menuntut pihak yang berhutang untuk melunasi
hutangnya apabila sudah jatuh temponya.Di samping disyari‘atkan secara
tertulis, dalam hutang-piutang itu diperlukan juga adanya saksi.Untuk menjaga
agar jangan sampai terjadi perselisihan di kemudian hari. Tanpa adanya saksi
mungkin yang satu akan mengingkari perjanjian yang telah disepakati bersama.
Saksi hutang-piutang itu disarankan 2 oranglaki-laki, baligh, muslim dan bukan
budak belian. Sekiranya tidak di dapatkan 2 laki-laki yang memenuhi syarat dan
dapat diangkat seorang laki-laki dan 2orang perempuan yang saling mengingatkan
di antara keduanya sehingga tidak terjadi kealpaan.
Ketentuan mengenai perintah
penulisan, pengadaan saksi dan barang tanggungan (Borg)
adalah perintah sunnah dan isyarat, yaitu demi kebaikan,kehati-hatian dan
memelihara kepentingan agama di dunia. Di sampingadanya syarat dan rukun sahnya
hutang-piutang, juga terdapat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam
masalah hutang-piutang, yaitu:
ü Diwajibkan kepada orang
yang berhutang mengembalikan atau membayarnya kepada orang yang menghutangi
pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang samadengan barang yang
seharganya.
Sabda Nabi SAW:
عَنْ اَبِيْهُرَيْرَةَرضأَنَّرَسُوْلَاللهِصمقَالَ: مُطَلُّالْغَنِيُّظَلْمٌ.
Artinya :
“Melambatkan membayar hutang pada dia mampu, maka
termasuk zalim”. (HR. Bukhari Muslim)
ü Orang yang menghutangkan
wajib memberi tempo, apabila yang
ü berhutang belum mempunyai
kemampuan dan disunnahkan membebaskan sebagian atau semua piutangnya, bilamana
orang yang berhutang kurang mampu membayar hutangnya.
ü Jika yang dipinjam yang
dihutangkan dalam pengembaliannya tidak membutuhkan biaya, maka boleh
dikembalikan di sembarang tempat yang dikehendaki oleh yang memberi hutang.
Namun kalau membutuhkan biaya, maka wajib mengembalikan di tempat yang tidak
membutuhkan biaya.
ü Cara membayar harus
memenuhi syarat yang telah disepakati dalam
ü perjanjian, demikian pula
tempatnya. Dan bagi yang memberi hutang
ü boleh minta dibayar di
tempat lain dengan syarat tidak merugikan yang berhutang.
ü Menghutangkan sesuatu
dengan syarat sekaligus menggadaikannya itu hukumnya sah.
ü Haram bagi pemberi hutang
mengambil keuntungan dalam bentuk apapun,baik berupa tambahan maupun manfaat
yang lain. Manakalah hal itumerupakan syarat yang disepakati oleh kedua belah
pihak. Lain halnya jika hal tersebut yang pernah dilakukan oleh Nabi, yaitu
membayar hutang dengan unta yang lebih baik dari hutang yang sebenarnya dan
beliau bersabda:
فَإِنَّ مِنْ خِيَارِآُمْاَوْخَيْرُآُمْأَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Artinya :
“Maka sebaik-baiknya kamu adalah yang sebaik-baiknya pada
waktu membayar hutang”. (HR. Muslim.[20]
ü Orang yang menghutangkan
berhak mengajukan urusannya kepada hakim bilamana orang yang berhutang ingkar
janji tidak mau membayar hutang tersebut. Kemudian hakim berhak memaksa menyita
harta benda.Kepunyaan orang yang berhutang untuk dibayarkan kepada orang yang
memberinya hutang.
5. PELAKSANAAN QARDH
Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan
tambahan dari utang yang ia berikan
ketika mengembalikannya. Para ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada
pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan, kemudian si
pengutang menerimanya maka itu adalah riba. Dan yang dipraktikkan bank-bank
sekarang ini,yaitu member pinjaman dengan adanya bunga, adalah jelas-jelas
riba, baik berupa pinjaman konsumtif maupun pinjaman produktif, sebagaimana
yang mereka namakan. Maka pemberi utang, baik bank, perorangan maupun perusahaan, tidak
boleh menerima tambahan yang disyaratkan, apa pun nama dan bentuk tambahan
tersebut. Baik dinamakan sebagai laba, bunga atau pun hadiah baik bentuknya
adalah menempati sebuah rumah, mengendarai kendaraan dan sebagainya. Jadi
selama tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka itu adalah
riba. Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai sama dengan yang diterima dari
pemiliknya; tidak boleh berlebih karena kelebihan pembayaran itu menjadikan
transaksi ini menjadi riba yang diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
dalam hadits dari Ali ra. Menurut riwayat al-Harits bin Usamah yang bunyi :
كل قرض جرمنفعة فهو ربا
“Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang
berpiutang, muqridh) adalah riba.”
Yang
dimaksud dengan keuntungan atau kelebihan dari pembayaran dalam hadits tersebut
diatas adalah kelebihan atau tambahan yang disyaratkan dalam akad utang-piutang
atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak
yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka
yang demikian bukan riba.
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga
yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas
merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sehingga bisa terkena
ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
ü Kebaikan
sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah,ia berkata:“Nabi mempunyai
hutang kepada seseorang,(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun
datang menagihnya.(Maka)beliaupun berkata,“Berikan kepadanya” kemudian mereka
mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali
yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata :“Berikan kepadanya”,Dia
pun menjawab,“Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah SWT
membalas dengan setimpal”. Maka Nabi bersabda
,“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling
baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no.
2305)
ü Berhutang
dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang
dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan
buruk tersebut seperti:
a.
Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak
terbayar
b.
Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c.
Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya
jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d.
Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi
bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain
(berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa
mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka AllahI akan membinasakannya”. (HR.
Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
ü Tidak boleh
melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak
boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang
menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang
menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus
jual beli.” (HR. Abu
Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288.
ü Jika terjadi
keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan
kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk
bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.Janganlah berdiam diri atau lari
dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang,
yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan
perpecahan.
ü Menggunakan
uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah
yang harus dia kembalikan.
Rasulullah
bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang
diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam
Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan
selainnya).
ü Diperbolehkan
bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan,
dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: (Ayahku)
Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku
memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan
tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi meminta syafaat (bantuan) kepada
mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya.
Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu
kelompok, lalu datangkan kepadaku.”(Maka) akupun melakukannya.
Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan
kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no.
2405).
ü Bersegera
melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha
melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk
mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang
padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
Sebagaimana sabda Nabi :“Menunda (pembayaran) bagi orang
yang mampu merupakan suatu kezhaliman”.(HR. Bukhari no. 2400,akan
tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no.
3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no.
2427).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung
Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku
sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)
ü Memberikan
Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya
setelah jatuh tempo.
Allah
SWT berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280).
6. Hikmah qordh
Hikmah hutang piutang yaitu saling meringankan
baban, manghilangkan pertengkaran, dan melahirkan kasih saying diantara
manusia. Pelakunya tarmasuk orang yang berbuat baik dihadapan ALLAH, sedangkan
dihadapan manusia dia dicintai.
Intinya
bahwa dalam pinjaman terdapat beberapa faedah bagi manusia yangtidak dapat
terhitung.[21]
SKEMA AL-QORDH
NASABAH
|
Perjanjian QORDH
|
Bank Syari’ah ssSSyaSyari’ah
|
Proyek Usaha
|
100%
Keuntungan
|
Modal
|
·
Pinjaman qardh diakui:
–
sebesar jumlah dana yang
dipinjamkan pada saat terjadinya;
–
Penerimaan imbalan dari
peminjam diakui sebagai pendapatan pada saat terjadinya.
–
Jika bank sebagai peminjam
qardh:
·
pemberian imbalan kepada
pemberi pinjaman qardh diakui sebagai beban.
.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat di
simpulkan bahwa :
1.Pengertian secara bahasa:memotong, secara
syara’ adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu
orang tersebut mengembalikan gantinya.
2.Landasan Hukum: al-Qur’an surat al-Muzammil
ayat 20, al-Sunnah HR. Ibnu Majah, Ijma’ yang didasarkan pada HR. Ibnu Majah.
3.Rukun:lafadz (Ijab Qabul), yang berpiutang
dan yang berutang, barang yang diutangkan. Sedang syaratnya disebutkan di muka.
4.Pelaksanaannya:adanya tambahan itu haram
bila disyaratkan, hukum ketetapannya setelah terjadi penyerahan, tembat
membayar ialah ketika terjadinya akad tersebut, ketika jatuh tempo diwajibkan
untuk segera dibayar jika mampu dan sebaliknya, jaminan diperlukan guna
kepercayaan yang berpiutang dan yang berutang, tidak adanya khiyar dan dilarang
untuk ditangguhkan pembayarannya untuk waktu tertentu.
Hutang
Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman
kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan
jumlah yang sama
Bahkan
Islam sebenarnya mewajibkan setiap anggota masyarakatnya memiliki ilmu. Dalam
satu hadith disebutkan” menuntut ilmu itu adalah wajib ke atas setiap orang
Muslim. Dengan demikian, untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita
mestilah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri, yaitu berilmu.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari ajaran
agama islam selalu menganjurkan untuk selalu berbuat baik dalam kondisi apapun.
Daftar
Pustaka
[2] Muntaha
Al-Iradat (I/197).Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif
Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah,karya DR. Abdullah Abdurrahim
Al-Abbadi, hal.29).
[4]
Kitab Imam Muslim: Syarah Bulugul Maram I’tiyati salim,Bab Syarah
Hadist,juz 204,hlm VIII,maktabah
syamilah
[6]
Kitab Syarah Sunan Ibnu Majah,bab syarah hadist ,juz 15,hlm VI,Maktabah
Syamilah.
[7]
Kitab Syarah Sunan Abu Dawud,Bab Syarah hadist,juz 185,hlm 24,Maktabah Syamilah.
[8]
Opcit hlm 76 juz II
[9]
Khasiyah Sanad Sunaan ibnu Majah, Juz 1, hlm 99. Maktabah Syamilah
[10]
Syarah shahih Bukhari,Kitab Hiwalah wal Kafalah, Juz 6, hlm 415, Maktabah
Syamilah
[11]
Kitab Fatkhul Bari’,Bab Hiwalah, Juz 4,hlm 465, Maktabah Syamilah
[12]
Syarah Kitab Muwatha’, juz 5, hlm 66, Maktabah Syamilah
[13]
Ghufron A. Mas‘adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 173
[14]
Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, h. 106.
[15]Abdurrahman
al-Jaziri, Kitabul Fiqh ‘ala Mazahibul Arba‘ah, juz 2, h. 303.
[16]Rahmat
Syafi‘ie, Fiqh Muamalah, h. 58.
[17]Abdurrahman
al-Jaziri, Kitabul Fiqh, juz 2, hlm. 304.
[18]Ibid,
h. 305.
[19]
Al-Kaisani:Bada’iash-Shana’I, juz IV, hlm 394, Muntahal iradat,juz II,hlm 225
[20]Al-Hafiz Zaki al-Din Abd al-Azim al-Munzii, Mukhtasir Sahih
Muslim, Terj.
Syinqity Jamaluddin dan Mochtar Zoerni, h. 522.
[21]
Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-tasyri’ wa falsafatuhu(indahnya syari’at
islam), Gema Insani Depok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar