HIWALAH
A. Pendahuluan
kata
mu’amalat (المعاملات) yang kata
tunggalnya mu’amalah (المعاملة) yang berakar pada kata عامل secara arti
kata mengandung arti “ saling berbuat” atau berbuat secara timbal balik. Lebih
sederhana lagi berarti hubungan antra orang dengan orang. Bila kata ini
dihubungkan pada lafadz fiqih, mengandung arti aturan yang mengatur hubungan
antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup di dunia. Ini
merupakan imbangan dari fiqih ibadat yang mengatur hubungan lahir antara seseorang
dengan Allah pencipta.[1]
Muamalah
adalah semua akad yang membolehkan manusia saling bertukar manfaat, selain itu
menurut Idris Ahmad muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
untuk cara yang paling baik. Menurut Rasyid Ridho muamalah adalah tukar menukar
barang yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Kalau ketiga definisi di atas, ditelaah secara seksama fiqih
muamalah dalam arti sempit menekankan keharusan untuk mentaati aturan-aturan
Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara
memperoleh,mengatur, mengelola,dan mengembangkan mal (harta benda).
Namun, menurut pengertian muamalah di atas, fiqih muamalah
mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan harta, seperti salah satunya
Hiwalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Substansi
Kajian
1. Pengertian
Hiwalah
تعريف الحوالة : الحوالة في للغة : لإنتقال,
يقال : حال عن العهد : آي انتقل عنه وتغير
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan
al-tahwil artinya ialah memindahkan atau
mengoperkan[2].
Maka Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut
bahasa ialah:[3]
النقل من محل اْلى محل
Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”
بفتح
الحاء وحكى كسرها وهى لغة التحول اى الإنتقال و شرعا نقل الحق من ذمَة المحيل الى
ذمّة المحال عليه
Artinya: “Yang berarti kata hawalah dengan dibaca
fatha huruf ha’ dan dibaca kasrah, menurut bahasa artinya mengalihkan.
Sedangkan menurut syara’ ialah memindahkan hak dari tanggungannya orang yang
mengalihkan kepada orang yang dilimpahi tanggungan.[4]”
Dari beberapa penjelasan mengenai
pengertian hiwalah menurut bahasa di atas, dapat kita ketahui bahwa hiwalah menurut
bahasa itu memindahkan atau mengoperkan jika dilihat dari arti kata لإنتقال
sedangkan jika kata hawalah yang
mana huruf ha’ nya
dibaca fathah dan kasroh maka artinya mengalihkan.
Dari sini kita bisa
mengetahui bahwasanya pengertian hiwalah jika ditinjau dalam artian bahasa
artinya memindahkan atau mengalihkan.
Sedangkan pengertian
hiwalah menurut istilah adalah sebagai berikut:
a.
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah ialah:
وفي
الإصطلاح عند الحنفية: نقل المطالبة من ذمة المدين الي ذمة الملتزم, بخلاف
الكفالة, فاًءنها ضم في المطالبة لا نقل, فلا يطالب المدين بعد الحوالة
بالإتفاق[5]
نَقْلُ الْمُطَالَبَةِ مِنْ
ذِمَّةِ الْمَدْيُوْنِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُلْتَزَمْ
Artinya:”Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berhutang
kepada yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula.”
b. Al-jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan hiwalah ialah:
نَقْلُ الدَّيْنِ مِنْ ذِمَّةٍ
إِلَى ذِمَّةٍ
Artinya:“Peralihan hutang dari tanggung jawab seseorang
menjadi tanggung jawab orang lain”.
c. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang
dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدٌ يَقْتَضِي إِنْتِقَالِ
ديْنٍ مِنْ ذِمَّةْ
Artinya: “Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain.”
d. Muhammad Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa yang
dimaksud hiwalah ialah:
عَقْدِ تَحْوِيْلَ دَيْنٍ مِنْ
ذِمَّةٍ إِلَى ذِمَّةٍ
Artinya: “Akad yang menetapkan
pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.”
e. Ibrahim
Al-banjuri berpendapat bahwa hiwalah ialah:
نَقْلُ الْحَقَّ مِنْ ذِمَّةِ
الْمُحِيْلِ إِلَى ذِمَّةِ الْمُحَا لِ عَلَيْهِ
Artinya: “Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan
menjadi beban yang menerima pemindahan.”
f.
Menurut Taqiyyudin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah:
إنْتِقَا لُ الدِّيْنِ مِنْ
ذِمَّةٍ إِلَي ذِمَّةٍ
Artinya: “Pemindahan utang dari beban sesorang menjadi beban
orang lain.”
g. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adahlah semacam
akad (ijab Kabul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang
kepada orang lain, dimana orang lain itu
mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.”
Menurut dua ulama fiqih madzhab Hanafi mengemukakan
definisi hiwalah yang berbeda: Menurut Ibnu
Abidin mengatakan bahwa hiwalah ialah pemindahan kewajiban membayar hutang
dari orang yang berhutang (muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (muhil
‘alaih), sedangkan Kamal bin Hummam (790
H/ 1387 M – 861 H/ 1456 M) mengatakan bahwa hiwalah ialah pengalihan kewajiban
membayar hutang dari beban pihak pertama kepada pihak lain yang berhutang
kepadanya atas dasar saling mempercayai.[6]
Kalangan Hanafiyah dan
Malikiyah berpendapat bahwa Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual
beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat
membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang dianggap paling shahih di
kalangan Syafi’iyah dan juga salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya
adalah hadits yang artinya “jika salah seorang dari kamu sekalian
dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, terimalah” (H.R Bukhori dan
Muslim)
Yang shahih menurut Hanabilah
bahwa Hawalah adalah murni transaksi irfaq (member manfaat) bukan yang
lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata “
kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah dan ini sesuai dengan
qiyas”.[7]
Jika dilihat dari beberapa definisi di atas hampir sama substansinya
tetapi dapat kita simpulkan bahwa hiwalah menurut istilah adalah perpindahan
hak membayar hutang dalam transaksi hutang piutang.
2. Landasan
dan Hukum Hiwalah
Akad hiwalah
diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam
Bukhari dari Abu Hurairah,
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُم عَلَي مُلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ.
Rasulullah Bersabda: “ menunda-nunda pembayaran hutang yang
dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kedzaliman. Maka, jika seorang diantra
kamu dialihkan hak penagihan piutangnya pada pihak yang mampu maka terimalah”.
Pada hadits
tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang
yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima
hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan.
Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah
dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau
benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan bendah.[8]
Sedangkan di
dalam riwayat Imam At-Thabrani, redaksi
haditsnya adalah sebagai berikut:
مطل الغنى ظلم وإذا ااحلت على مليء فاتبعه
Sedangkan di
dalam riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, Redaksinya adalah:
مَطْلُ
الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُم عَلَي مُلِيءٍ فَلْيَتَّبِعْ.
Adapula yang meriwayatkan dengan redaksi
مطل الغنى ظلم فإذا ااحيل على ملىء
Semua hadits
ini maksudnya adalah sama. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perintah yang
terdapat di dalam hadits di atas (yaitu fal-yatba’
atau fal-yahtal) adalah perintah yang bersifat sunnah dan anjuran. Oleh
karena itu tidak wajib hukumnya untuk menerima akad al-hawalah. Namun dawud dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa perintah di dalam hadits tersebut sifatnya adalah
wajib, oleh karena itu wajib bagi pihak al-muhal (juga disebut Al-muhtal) untuk
menerima hawalah tersebut.
Adapun menurut
ijma’ maka secara garis besar seluruh ulama’ sepakat bahwa al-hawalah adalah
boleh. Akad al-hawalah boleh dilakukan terhadap Ad-dain (harta yang masih
berbentuk uang), bukan terhadap Al-‘Ain (harta yang barangnya berwujud secara
konkrit biasanya diartikan barang), atau dengan kata lain akad hawalah sah
apabila Al-muhal bihi berupa hutang bukan berupa barang (Al-‘Ain). Karena akad
Al-hawalah mengandung arti an-Naqlu atau At-Tahwil (memindahkan, mengalihkan)
dan hal ini hanya bias dilakukan terhadap harta yang masih berbentuk hutang,
tidak bias dilakukan terhadap Al-‘Ain atau barang. Maksudnya An-naqlu atau
pemindahan yang bersifat abstrak tidak bias terjadi pada barang, oleh karena
itu tidak sah mengadakan akad hawalah terhadap barang.[9]
3. Rukun
dan Syarat Hiwalah
a.
Rukun Hiwalah
Menurut
Syafi’iyah rukun hiwalah ada empat yaitu sebagai berikut:
a.
Muhil,
yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang memindahkan hutang
b.
Muhtal,
yaitu orang yang dihiwalahkan yaitu orang yang mempunyai hutang kepada muhil
c.
Muhal
‘Alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah
d.
Sighat
Hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,”aku hiwalahkan hutangku
yang hak bagi engkau kepada si fulan” dan Kabul dari muhtal dengan kata-katanya
“aku terimah hiwalah engkau”.[10]
Dalam referensi lain yaitu dalam
buku Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah menurut mayoritas ulama’ malikiyah,syafi’iyah
dan hanabilah rukun hiwalah ada lima yaitu:
a.
Muhil,
(orang yang memindahkan )
b.
Muhal,
(orang yang menerima pindahan)
c.
Muhal
Alaih, (orang yang berhutang kepada muhil)
d.
Muhal
bih (hutang yang dipindahkan)
e.
Sighah
Adapun menurut
ulama’ hanafiah rukun hawalah hanya satu yaitu sighah.[11]
Menurut M.
Abdul Majid,dkk mengemukakan bahwa rukun hiwalah ialah :
1.
Muhil
2.
Muhtal
3.
Muhal
Alaih
4.
Hutang
Muhil kepada muhtal
5.
Hutang
Muhal ‘Alaih kepada Muhil
6.
Sighat[12]
Hal ini juga
dijelaskan dalam kitab fthul mu’in yaitu :
(تصح) حوالة (بصيغة) وهى ايخاب
من المحيل. كاحلتك على فلان بالدين الذىلك على اونقلت حقك الى فلان اوجعلت مالى
عليه لك, وقبول من المحتال بلا تعليق, ويصح باحلنى
Artinya: “Yang
mana artinya hawalah dapat menjadi sah dengan adanya sighat; yaitu ijab dari
muhil (pemindah tanggungan hutang), misalnya “utangku kepadamu kupindahkan
tanggungannya kepada si Fulan”, “hakmu padaku kupindahkan kepada si Fulan”,atau
“hartaku pada si Fulan kujadikan untukmu”, dan qabul (pihak yang piutangnya
dipindahkan), dimana ada ijab qabul tidak di ta’liq; misalnya qabul yang sah
“pindahkanlah hakku”[13]
Dapat kita
pahami di dalam transaksi hiwalah harus ada yang namanya muhal, muhil, muhal
‘alaih, benda yang dihiwalahkan dan sighat. Hal ini sesuai dengan beberapa
pendapat yang telah diterangkan di atas yang masuk dalam rukun hiwalah.
b.
Syarat Hiwalah
Didalam bukunya Sayyid Sabiq syarat sah hiwalah ada
empat yaitu:[14]
وشرائط الحوالة أربعة أشياء: رضاء المحيل، وقبول
المحال، وكون الحق مستقرا في الذمة، واتفاق ما في ذمة المحيل و المحال عليه في
الجنس والنوع والحلول والتأجيل. وتبرأ بها ذمة المحيل
syarat hiwalah itu ada empat, yaitu
:
§
Ada
kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
§
Ada
persetujuan dari muhal (orang yang
member hutang)
§
Hutang
yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
§
Adanya
kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang)
dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan
hiwalah hutang muhil bebas.[15]
Dalam referensi
lain syarat hiwalah adalah sebagai berikut:
v Syarat Bagi Pihak Pertama
a.
Cakap
dalam melakukan tindakan hukum, dalam bentuk akad yaitu baligh, dan berakal.
Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti
(mumayyis) ataupun dilakukan oleh orang gila
b.
Ada
persetujuan (ridho). Jika pihak pertama dipaksa untuk melakukan hiwalah maka
akad tersebut tidak sah. Persyaratan dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa
sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya, jik akewajibannya
untuk membayar hutang dialaihkan kepada pihak lain meskipun pihak lain itu
memang berhutang kepadanya.
v Syarat kepada pihak kedua
a.
Cakap
melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal.
b.
Disyaratkan
ada persetujuan dari pihak kedua terhadap pihak pertama yang melakukan hiwalah
(madzhab hanafi sebagaian besar madzhab maliki dan syafi’i). persyaratan ini
ditetapkan berdasarkan pertimbangan, bahwa kebiasaan orang dalam membayar
hutang berbeda-beda ada yang mudah dan ada pula yang sulit, sedangkan menerima
pelunasan itu merupakan hak pihak kedua. Jika hiwalah dilakukan secara sepihak
saja, pihak kedua dapat saja merasa dirugikan, umpamanya apabila ternayata
pihak ketiga sudah membayar hutang tersebut.
v Syarat bagi pihak ketiga
a.
Cakap
melakukan tindakan hukum dalam bentuk
akad, sebagai syarat bagi pihak pertama dan kedua.
b.
Disyaratkan
ada pernyataan persetujuan dari pihak
ketiga (madzhab hanafi). Sedangkan
madzhab lainnya tidak mensyaratkan hal ini. Sebab dalam akad hiwalah pihak ketiga dipandang sebagai obyek akad.
Dengan demikian persetujuannya tidak merupakan syarat syah hiwalah.
c.
Imam
Abu Hanifah dan Muhammad bin hasan Asy-
syaibani menambahkan, bahwa Kabul tersebut, dilakukan dengan sempurna oleh
pihak ketiga didalam suatu majlis akad.
v Syarat yang diperlukan terhadap hutang yang dialihkan
a.
Sesuatu
yang dilakukan itu adalah sesuatu yang sudah dalam bentuk hutang piutang yang
sudah pasti.
b.
Apabila
pengalihan hutang itu dalam bentuk hiwalah Al-Muqayyadah semua ulama’ fikih
sepakat menyatakan, bahwa baik hutang pihak pertama kepada pihak kedua maupun
hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
mesti sama jumlah dan kualitasnya. Jika antara kedua hutang tersebuut terdapat
perbedaan jumlah (hutang dalam bentuk uang), atau perbedaan kualitas (hutang
dalam bentuk barang) maka hiwalah tidak sah. Tetapi apabila pengalihan itu
dalabentuk hiwalah al-muthlaqoh (madzab hanafi), maka kedua hutang tersebut
tidak mesti sama, baik jumlah ataupun kualitasnya.
c.
Madzab
Syafi’I menambahkan, bahwa kedua hutang tersebut mesti sama pula, waktu jatuh
temponya. Jika tidak sama, maka tidak sah.[16]
Sedang menurut
Miftakhul Khairi menyebutkan syarat-syarat Hawalah itu sebagai berikut :
§ Persamaan dua hak karena hawalah adalah memindahkan
hak. Ia dipindahkan sebagaimana sifatnya yang ada yang mencakup jenis, sifat,
penempatan (perikatan), dan tenggang waktu. Jika ada perbedaan antara dua hak
menyangkut salah satu dari hal tersebut maka hawalah tidak sah.
§ Hawalah pada hutang yang telah tetap. Tidak sah pada
hutang transaksi salam karena sifatnya tidak tetap, yaitu transaksi salam dapat
dibatalkan jika barang yang ditransaksikan bermasalah.
§ Hawalah dilakukan pada harta yang diketahui. Jika
hawalah terjadi pada jual beli, maka tidak boleh pada barang yang belum
diketahui. Jika hawalah pada pemindahan hak, maka harus pada barang yang dapat
diserahterimakan, sedang barang yang tidak diketahui tidak dapat
diserahterimakan.
§ Hawalah dilakukan dengan kerelaan muhil (orang yang
memindahkan) dan muhal (orang yang menerima pindahan).
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
menyatakan bahwa syarat-syarat hawalah menurut madzab Hanafiah adalah sebagai
berikut :[17]
a.
Syarat-syarat
Shighah
Akad
al-hawalah terbentuk dengan terpenuhinya ijab dan qobul atau sesuatu yang
semakna dengan ijab qobul, seperti dengan pembubuhan tanda tangan diatas nota al-hawalah,
dengan tulisan dan isyarat. Ijab adalah pihak al-muhil berkata ,”aku alihkan
kamu kepada si Fulan.” Qobul adalah seperti pihak al-muhal berkata,: saya
terima atau saya setuju.” Ijab dan qobul diisyaratkan harus dilakukan di majlis
akad dan akad yang ada disyaratkan harus fnal, sehingga didalamnya tidak
berlaku khiyar majlis ataupun khiyar syarat.
b.
Syarat-syarat
al-Muhiil
Ada
dua syarat untuk al-muhiil seperti berikut:
Ø
Ia
harus orang yang memiliki kelayakan dan kompetensi untuk mengadakan akad yaitu
ia adlah orang yang berakal dan baligh. Berdasarkan hal ini berarti baligh
adalah syarat an-nafadz (berlaku efektifnya akad al-hawalah), bukan syarat
al-in’iqad (syarat terbentuknya akad).
Ø
Ridha
dan persetujuan al-muhiil, maksudnya atas kemauan sendiri tidak dalam keadaan
dipaksa. Jadi, apabilapihak al-mihiil dalam kondisi dipaksa untuk mengadakan
akad al-hawalah, maka akad al-hawlah tersebut tidak sah. Karena al-hawalah
adalah bentuk al-ibraa’(pembebasan) yang mengandung arti at-tamliik
(pemilikan). Oleh karena itu tidak sah jika dilakukan dengan aadanya unsure
paksaan seperti bentuk-bentuk akad yang mengandung makna at-tamliik lainnya.
Ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah sependapat dengan ulama’ Hanafiyah
dalam syarat satu ini.
Sementara itu Ibnu Kamal dalam kitab
“Al-Lidhaah,” menuturkan bahwa Ridho pihak al-muhiil adalah sebagai syarat
supaya nanti al-muhal ‘alaih boleh meminta ganti kepadanya.
c.
Syarat
Al-Muhal
Ada
tiga syarat yang harus terpenuhi dalam kaitannya dengan pihak al-muhal, yaitu,
a.
Ia
harus punya kelayakkan dan kompetensi mengadakan akad, sama dengan syarat
pertama pihak al-muhiil yaitu ia harus berakal karena qobul dari pihak al-muhal
adalah termasuk rukun hawalah. Ia harus juga baligh sebagai syarat akad
al-hawalah yang ada bias berlaku efektif. Apabila pihak al-muhal belum baligh
maka butuh kepada persetujuan dan
pengesahan dari walinya.
b.
Ridho
dan persetujuan al-muhal. Oleh karena itu tidak sah apabila al-muhal dalam
keadaan dipaksa berdasarkan alas an yang telah disinggung diatas. Ulama’
Malikiyah, Syafi’iyah sependapat denangan ulama’ Hanafiyah.
c.
Qabul
yang dberikan oleh pihak al-muhal harus dilakukan di majlis akad. Ini adalah
syarat terbentuknya akad al-hawalah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Jika
seandainya pihak al-muhal tidak hadir di majlis akad lalu sampai kepadanya
berita tentang diadakannya akad al-hawalah tersebut lalu ia menerimanya maka
menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad akad hiwalah tersebut tetap tidak data
dilaksanakan dan tidak berlaku efektif. Sementara itu menurut Abu Yusuf, syarat
ketiga ini hanya syarat an-nafs. Al-kasani mengatakan bahwa yang benar adalah
pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad, karena qabul pihak al-muhal adalah
salah satu rukun al-hawalah.
d.
Syarat-syarat
Al-Muhal ‘alaiih
Syarat-syarat
muhal ‘alaiih sama dengan syarat-syarat al muhal yaitu
a.
Ia
harus memiliki kelayakan dan kompetensi dalam mengadakan akad yaitu harus
berakal dan baligh.
b.
Ridho
pihak al-muhal ‘alaiih.
c.
Qabulnya
al-muhal ‘alaiih harus dilakukan di majlis akad, ini adalah syarat al-in’iqaad
menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, bukan hanya sebatas syarat an-nafs.
e.
Syarat-syarat
Al-Muhal Biih
Ulama’
sepakat bahwa syarat al-muhal biih ada dua yaitu :
a.
Al-muhal
biih harus berupa ad-damain (harta yang berupa utang), maksudnya pihak al-muhil
memang memiliki tanggungan hutang kepada pihak al-muhal. Apabila tidak, maka
akad tersebut adalah akad al-wakaalah (perwakilan) sehingga selanjutnya secara
otomatis hukum dan peraturan akad al-wakalah, bukan akad al-hawalah. Berdasarkan
syarat ini maka tidak sah mengadakan akad al-hawalah dengan al-muhal bih berupa
harta al-‘ain yang barangnya masih ada, belum rusak atau binasa. Karena al-‘ain
tersebut bukan merupakan suatu yang berada dalam tanggungan.
b.
Tanggungan
hutang yang ada sudah positif dan bersifat mengikat seperti hutang dalam akad
pinjaman hutang (al-qardh). Oleh karena itu tidak sah pada masa lalu akad
al-hawalah dengan al-muhal bih adalah harga al-mukhotobah (sejumlah uang yang
dibayarkan si budak kepada majikannya sebagai syarat kemerdekaannya) sedangkan
si budak adalah sebagai al-muhal ‘alaih. Secara garis besar bias dikatakan
bahwa setiap tanggungan hutang yang tidak sah dijadikan sebagai al-makfuul
bihi, maka juga tidak sah dijadikan sebagai al-muhal bih yaitu harus berupa
hutang yang hakiki, sudah nyata dan positif tidak bersifat spekulatif dan masih
mengandung kemungkinan antara ada dan tidak. Yaitu hutang yang biasanya para
fuqoha’ menyebutnya dengan hutang yang shohih. Disyaratkannya hutang yang ada
harus berstatus positif dan mengikat adalah pendapat jumhur selain ulama’
hanabilah. Sementara itu, ulama’ hanabilah memperbolehkan hawalah terhadap
hutang berupa harga akad mukhatabah dan hutang berupa harga pembelian selama
masa khiyaar. Ulama’ syafi’iyah memperbolehkan hutang tersebut belum positif
dan mengikat dengan sendirinya, seperti hutang berupa harga pembelian yang
dibarengi dengan khiyaar di dalam akad.
Sementara
itu ulama’ malikiyyah mensyaratkan tiga hal untuk muhal bih yaitu:
1.
Tanggungan
hutang yang dijadikan Al-muhal bih memang telah jatuh tempo pembeyarannya
2.
Tanggungan
hutang yang dijadikan Al-muhal bih(hutang yang dialihkan, maksudnya hutang pihak al-muhil kepada pihak
al-muhal) sama spesifikasinya (sifat dan jumlahnya) dengan tanggungan hutang
pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil. Oleh karena itu tidak boleh jika
salah satunya lebih banyak atu lebih sedikit atu jika salah satunya lebih baik
kualitasnya atau lebih jelek. Karena jika tidak sama maka hal itu berarti telah keluar dari al-hawalah dan termasuk
dalam kategori al-bai’ (jual beli) yaitu jual beli hutang dengan hutang.
3.
Kedua
tanggungan hutang yang ada (tanggungan hutang phak al-muhil kepada pihak
al-muhal dan tanggungan hutang pihak al-muhal alaih kepada pihak al-muhil) atau
salah satunya bukan dalam bentuk makanan yang dipesan (salam). Karena jika
dalam bentuk makanan yang dipesan maka itu termasuk menjual makanan tersebut
sebelum pihak yang memesan menerimanya, dan itu tidak boleh. Apabila salah satu
hutang yang ada muncul dai akad jual beli sedangkan hutang yang satunya lagi
muncul dari akadAl-qardh maka boleh apabila hutang yang dialihkan telah jatuh
tempo.
Dari penjelasan
beberapa madzab di atas, dalam hal ini masing-masing orang baik muhal, muhil
dan muhal ‘alaih sama-sama harus berakal, baligh dan sama-sama ridho. Ridho
disini sangat penting sekali dalam transaksi hiwalah karena jika tanpa adanya
keridhoan maka akan terjadi perselisihan hak hutang piutang. Selain itu juga
harus ada persetujuan di antara pihak pertama dan kedua. Hal ini sesuai dengan
madzab Hanafi yang mengatakan kebiasaan orang dalam membayar hutang
berbeda-beda ada yang mudah dan ada yang sulit.
4. Jenis dan Bentuk Hiwalah
Madzab Hanafi
membagi hiwalah dalam berbagai bagian. Ditinjau dari segi obyek akad, maka
hiwalah dapat dibagi dua:
1)
Apabila
yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan itu disebut
hiwalah al-haqq (حوالة الحق = pemindahan hak)
2)
Apabila
yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang, maka pemindahan itu
disebut hiwalah al-dain (الحوالة الدين =
pemindahan hutang)[18].
Sedangkan
menurut ulama’ Hanafiyyah hiwalah ada dua yaitu hiwalah yang berbentuk mutlak
dan hiwalah yang berbentuk muqayyad.[19]
1)
Pemindahan
sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama kepada pihak kedua yang
disebut hiwalah al-muqoyyadah (الحوالة المقيدة =
pemindahan bersyarat).
Sebagai contoh A berhutang kepada B
sebesar Rp.500.000,-. Sedangkan B juga berhutang kepada C sebesar Rp.500.000,-.
B kemudian memindahkan atau menglihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang
berada pada C kepada A, sebagai ganti dari pembayaran hutang B kepada A. Dengan
demikian, hiwalah al-muqoyyad pada satu sisi merupakan hiwalah al-haqq karena
mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A. sedangkan pada sisi lain ,
sekaligus merupakan hiwalah al-dain, karena B mengalihkan kepada A mejadi
kewajiban C kepada A.
2)
Pemindahan
hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang pihak
pertama kepada pihak kedua yang disebut hiwalah al-muthlaqah (حوالة المطلقة= pemindahan
mutlak).
Sebagai contoh A berhutang kepada B
sebesar Rp.500.000,-. A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga C berkewajiban
membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan hutang tersebut
sebagai ganti rugi dari pembayaran hutang C kepada A. Dengan demikian. Hiwalah
al-mutlaqah hanya mengandung hiwalah al-dain saja, karena yang dipindahkan
hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada B.
Kedua bentuk hawalah di atas hukumnya boleh
berdasarkan sabda Rasulullah yaitu :
ومن احيل على مليئ فليتبع
Yang artinya : Barang siapa yang (haknya) dialihkan
kepada orang yang kaya (muhal ‘alaih) maka hendaklah ia menerima pengalian
tersebut.
Hanya saja
hawalah yang berbentuk mutlaq memiliki beberapa perbedaan hal seperti berikut:
a.
Apabila
hawalah adalah berbentuk mutlaq dan pihak muhal ‘alaih tidak memiliki
tanggungan hutang kepada pihak muhil maka pihak muhal hanya menagih pihak muhal
‘alaih untuk membayar tanggungan hutang yang ada di dalam akad hiwalah saja
(yaitu, tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal).
b.
Apabila
hiwalah yang ada berbentuk muqayyad namun kemudian ternyata pihak muhal ‘alaih
tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil seperti jika tanggungan
hutang yang ada merupakan harga pembelian barang yang dijual oleh pihak muhil
kepada pihak muhal ‘alaih dan barang yang dijual tersebut ternyata mustahaq
(ternyata hak milik orang lain bukan hak milik si muhil yang menjualnya) maka
hiwalah tersebut batal. Karena ketika didalam hawalah tersebut dijelaskan bahwa
yang dimaksud adalah tanggungan hutang pihak muhal ‘alaih kepada pihak muhil,
maka hutang tersebut sudah terikat dengan akad hiwalah tersebut, namun ketika
ternyata pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil
maka sudah tentu akad hiwalah tersebut batal dan tidak ada.
Namun apabila akad hawalah tersebut
adalah berbentuk mjutlaq, dan ternyata pihak muhal ‘alaih tidak memiliki tanggunagan hutang
kepada pihak muhil maka akad hawalah tersebut tetap sah dan tidak batal.
c.
Apabila
akad hawalah berbentuk muqayyad kemudian pihak muhil meninggal dunia sebelum
pihak muhal ‘alaih membayarkan hutang yang ada kepada poihak muhal padahal
pihak muhil memiliki beberapa tanggungan hutang yang lain selain tanggungan
hutang kepada pihak muhal, sementara pihak muhil sudah tidak memiliki harta
lagi selain harta yang berada di dalam tanggungan pihak muhal ‘alaih, maka
dalam kasus ini menurut Imam Abu Hanifah, Muhammad dan Abu Yusuf pihak muhal
statusnya tidak lebih berhak daripada pihak-pihak yang berpiutang lainnya
terhadap harta muhil yang berupa hutang yang berda dalam tanggungan muhal
‘alaih tersebut.
Sebenarnya
dalam hiwalah pada umunya berupa uang bukan barang. Namun jika yang
diperlakukan hutang piutang adalah barang maka dalam pengembaliannya harus sama
persis.
Dilihat dari
jenis objeknya hiwalah dibagi menjadi dua yaitu:
Hiwalah
Al Haqq (pemindahan hak/anjak piutang) adalah hiwalah yang
merupakan hak untuk menagih piutang. Yang mengambil alih piutang harus berhati-hati
pada kredibilitas dan kemampuan pihak yang berutang selain harus melihat
keabsahan transaksinya.
Hawalah Haq
merupakan bandingan hawalah terhadap hutang yang terjadi adalah perubahan dan
pergantian individu al-madiin (pihak yang berhutang) bagi pihak al-dayn (yang
berpiutang) atau dengan kata lain
mengganti al-madiin (yaitu muhil) dengan al-madiin yang lain (yaitu al-muhal
‘alaih). Di dalam hawalah terdapat hutang, pihak al-muhil adalah pihak yang
berhutang (al-madiin). Karena ia meng-ihalah-kan kepada pihak lain yaitu
al-muhal ‘alaih untuk membayar tanggungan hutangnya. Hawalah terhadap hutang
hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan ulama.
Hawalah haq
hukumnya juga boleh berdasarkan kesepakatan keempat madzab, tidak hanya menurut
selain ulama Hanafiyah saja seperti yang telah dipahami oleh sebagian pakar
syari’at dan hukum, karena hawalah yang berbentuk muqoyyat yang di syari’atkan,
menuurt ulama Hanafiyah mencakup hiwalatul haq. Karena di dalah hiwalah yang
berbentuk muqoyyat, seseorang (maksudnya muhil) disamping sebagai al-madiin (pihak
yang berhutang) kepada seseorang yaitu al-muhal, ia juga sebagai al-dayn (yang
berpiutang) kepada orang lain yaitu al-muhal ‘alaih. Lalu ia mengadakan akad
hawalah agar pihak yang berpiutang kepadanya, yaitu al-muhal mengambil
pembayaran hutangnya dari pihak yang berhutang kepada pihak al-muhil yaitu
pihak muhal ‘alaih. Ini adalah hiwalatul haq dan pada waktu yang sama juga
merupakan bentuk hawalah terhadap hutang.
Adapun selain
ulama Hanafiyah yang memperbolehkan hawalatul haq, maka sandarannya adalah
kemutlakan diberbolehkannya hawalah oleh syari’at, baik apakah setelah itu
hawalah tersebut dalam bentuk penjualan atau penukaran hutang dibayar dengan
hutang atau tidak.
Karena mereka
berbeda pendapat seputar masalah menjual hutang dengan hutang atau
menghibahkannya kepada selain pihak yang berhutang. Ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah memperbolehkan hal tersebut dengan beberapa syarat seperti ‘iwad
(sesuatu yang menjadi penggganti atau penukar) harus diterima atau dipastikan
di majlis jual beli yang dilakukan, hutang yang dijual bukan berbentuk makanan,
sesuatu yang dijadikan harga pembayaran harus tidak sejenis hutang yang dijual,
penjualan hutang tersebut tidak boleh pada pihak yang bersengketa dengan pihak
yang berhutang agar dalam transaksi tersebut tidak mengandung sesuatu yang
menyusahkan pihak al-madiin. Menurut mereka hiwalatul haq bukanlah termasuk
bentuk penjualan hutang dengan hutang. Sementara itu ulama Hanabila tidak
memperbolehkan menjual hutang dengan hutang atau menghibahkannya kepada selain
al-madiin.
Kesimpulannya
adalah bahwa hiwalah menurut fuqoha bukan merupakan bentuk jua beli, akan
tetapi merupakan sebuah akad tersendiri yang berbeda dengan akad jual beli
dalam hal syarat dan konsekuensi-konsekuensinya. Sementara ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah yang memperbolehkan menghibahkan hutang kepada selain al-madiin,
maka menurut mereka di dalam akad ini Nampak terlihat akad hiwalatul haq dalam
bentuknya yang sempurna dan jelas akan tetapi harus dengan terpenuhnya
syarat-syarat hibah seperti adanya ijin untuk melakukan al-qobdhu (serah terima
sesuatu yang dihibahkan) dan syarat-syarat jual beli hutang.[20]
Hawalah Dayn.
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang
kepadanya. Ini berbeda dari hawakah haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama
pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.[21]
5. Beban
Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil
gugur. Andai kata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah
atau meninggal dunia, maka hiwalah tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal
ini adalah pendapat ulama’ jumhur.
Muhammad syafi’i Antonio mengemukakan, bahwa manfaat
hiwalah di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang dengan
cepat dan simultan.
2.
Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang
membutuhkan.
3.
Dapat menjadi salah satu sumber pendapatan non
pembiayaan bagi bank syari’ah.
Menurut madzab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata
muhal’alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka
muhal boleh kembali lagi pada muhil. Menurut Imam Malik, orang yang
meng-hiwalah-kan hutang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal
tidak boleh kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih. Dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang
mengutangkan (muhal) dapat kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.
Hukum hiwalah adalah mubah sepanjang tidak merugikan semua pihak,
berdasarkan hadis NAbi Muammad SAW yang artinya :
“Orang yang mampu membayar hutang haram melalaikan
hutang, maka jika salah seorang kamu memindahkan hutangnya maka hendaklah
diterima pemindahan hutang itu, asalkan orang yang menerima pemindahan sanggup
memmbayarnya”
(HR. Ahmad dan Haihaqi)
Sedang dalam buku Ensiklopedia Fiqih Muamalah
dijelaskan bahwa mayoritas ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
jika hawalah telah sah, muhil (orang yang memindahkan) terbebas dari tanggungan
hutangnya kepada muhal (orang yang menerima pindahan) dan tidak ada hak bagi
muhal untuk mengembalikan tanggungan kepada muhil meskipun hak itu sulit
diselesaikan karena muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil)
menunda-nunda, jatuh pailit, atau meninggal dunia.
Malikiyah berpendapat bahwa muhil (orang yang
memindahkan) tidak terbebas dari tanggungan. Muhal (orang yang menerima
pindahan) boleh mengembalikan hawalah kepada muhil jika muhal’alaih (orang yang
berhutang kepada muhil) jatuh pailit dan ia (muhal) tidak mengetahuinya[22].
Abu Hanifah berpendapat bahwa muhal (orang
yang menerima pindahan) boleh mengembalikan hawalah kepada muhil (orang yang
memindahkan) jika muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) meninggal
dunia dalam kondisi pailit atau ia menyangkal hutangnya dengan bersumpah dihadapan
hakim. Abu Yusuf dan Muhammad menambahkan, jika muhal’alaih (orang yang
berhutang kepada muhil) mendapat pembatasan untuk membelanjakan hartanya karena
jatuh pailit.
Pendapat lain mengatakan jika hawalah
dilakukan dengan kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) sedang
muhal’alaih (orang yang berhutang kepada muhil) orang yang mampu dam au
membayar, muhal tidak boleh menarik kembali transaksi hawalah terhadap muhil
karena muhil telah terbebas dari tanggungan ketika hawalah terjadi dan hutang telah
terpindahkan darinya. Jika hawalah dilakukan ranpa kerelaaan muhal, sementara
muhal’alaih orang yang jatuh pailit atau meninggal dunia, muhal boleh menuntut
kembali haknya kepada muhil karena muhal tidak dapat menunaikan kewajibannya.
Di samping itu, muhal juga tidak wajib menerima hawalah kepada orang yang tidak
mampu melaksanakan kewajibannya karena dapat merugikan.
6. Unsur Kerelaan Dalam Hiwalah
a.
Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa kerelaan muhal adalah hal
yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka
tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa
kerelaannya. Demekian ini karena penyelesaiantanggungan itu berbeda-beda: bisa
mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat
bahwa jika muhal’alaih itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak
membangkang, muhal wajib menerima pemindahan itu dan tidak disyaratkan adanya
kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadits yang telah
disebutkan di atas.
Yang jelas alasan
mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal untuk menerima hawalah
adalah karena muhal’alaih kondisinya berbeda-beda: ada yang mudah membayar, ada
yang sulit, ada yang cepat membayar, dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan
demikian, jika muhal’alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan
bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal’alaih termasuk orang yang
sulit dan suka menunda-nunda membayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal
tidak wajib menerima hiwalah. Dengan demikian juga didasarkan kepada hadits di
atas
b.
Kerelaan Muhal’alaih
Mayoritas ulama’
malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat
kerelaan muhal ‘alaih. Ini berdasarkan hadits (artinya) “jika salah
seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang banyak, ikutilah
(terimalah)”(Riwayat:
Bukhori dan Muslim). Disamping itu hak ada pada muhil (orang yang memindahkan)
dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiyyah berpendapat
bahwa disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai
sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak
wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang falid
Pendapat yang falid adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih
berdasarkan hadits di atas. Disamping itu muhal ‘alaih akan membayar hutangnya
dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya (muhil atau muhal).
7. Akibat Hukum
Jika akad hiwalah telah terjadi,
maka akibatnya :[23]
a. Jumhur
ulama berpendapat, bahwa kewajiban pihak pertama untuk membayar hutang kepada
pihak kedua dengan tersendirinya akan terlepas (bebas). Sedangkan menurut
sebagian para ulama madzab Hanafi, antara lain Kamal bin Humman, kewajiban
tersebut masih tetap ada, selama pihak ketiga belum melunasi hutangnya kepada
pihak kedua.
b. Akad
hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi pihak kedua untuk menuntut pembayaran
hutang kepada pihak ketiga.
c. Madzab
Hanafi yang membenarkan terjadi hiwalah al-muthlaqah berpendapat, bahwa jika
akad hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari pihak pertama, maka hak
dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak ketiga yang mereka tentukan ketika
melakukan akad hutang piutang sebelumnya, masih tetap berlaku, khususnya jika
jumlah hutang piutang antara ketiga pihak tidak sama.
8. Berakhirnya Akad Hiwalah
Akad hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal
berikut:
a. Salah
satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad hiwalah, sebelum akad
itu berlaku secara tetap.
b. Pihak
ketiga melunasi hutang yang dialihkan kepada pihak kedua.
c. Jika
pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang
mewarisi harta pihak kedua.
d. Pihak
kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad
hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.
e. Pihak
kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar hutang yang
dialihkan tersebut.
f.
Menurut mafzab Hanafi,
hak pihak kedua tidak dapat dipenuhi, karena pihak ketiga mengalami pailit
(bangkrut), atau meninggal dunia dalam keadaan pailit.[24]
Dalam refrensi lain dijelaskan bahwa akad
hawalah akan berakhir ketika terjadi pembatalan, dan muhal memiliki hak untuk
melakukan penagihan kembali kepada muhil. Menurut hanafiyah, ketika muhal’alaih
mengalami kebangkrutan, maka akad dinyatakan berakhir dan hak penagihan beralih
kepada muhil. Menurut Hanabilah, Syafi’iyah dan Malikiyah ketika akad hawalah
telah dilakukan secara sempurna, hak penagihan dan beban hutang tidak bisa
dialihkan kembali pada muhil.
Jika muhal’alaih mengalami kebangkrutan dan
muhal tidak diberitahu oleh muhil, maka ia tetap berhak melakukan penagihan
terhadap muhil. Karena, ia diibaratkan membeli sesuatu yang bersifat majhul
(tidak diketahui) dan mengandung unsure gharar (ketidak pastian).[25]
9. Transaksi Melalui Bank
Pada zaman dahulu orang-orang melakukan
transfer uang dengan cara suftajah yang beraal dari bahasa
persi yang diserap menjadi bahasa Arab. Asal mulanya adalah kata suftajah yang berarti sesuatu yang
kokoh. Dinamakan demikian karena masalah ini sangat kokoh. Malikiyah
menyebutnya dengan balushah.
Bentuk konkritnya seseorang membayarkan uang
kepada orang lain (biro pengantar barang) yang harus memberikan kepada orang
yang ditunjuk sebagai penerima di Negara lain. Orang melakukan hal demikian ini
untuk menjaga keamanan di jalan, baik keamanan uang yang dikirim maupun jiwa
orang yang membawanya.
Hukum Suftajahh
Mayoritas fuqoha’ Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah dan salah satu riwayat dari Ahmad berpendapat bahwa suftajah tidak boleh
dipraktekkan karena mengandung hutang piutang yang menarik manfaat (mengandung
riba). Seseorang seolah-olah member hutang kepada oarng lain dengan keuntungan
keamanan dari bahaya jalan. Demikian ini tidak boleh.
Hanabilah berpendapat bahwa suftajah boleh
dipraktekkan karena bukan termasuk kategori hutang piutang, namun termasuk
kategori hawalah yang dibolehkan karena ada kemaslahatan bagi pihak yang
mempunyai hak. Disamping itu, pada asalnya segala transaksi hukumnya boleh.
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ali, ibnu
abbas. Al-Hasan, Ibnu az-Zubair, Ibnu Sirin, an-Nawawi, Ahmad. Dan ishak bahwa
Abdullah ibnu Az-Zubair Radhiyallahu”anh menerima uang dari seorang laki-laki
di Mekkah. Kemudian ia memerintahkannya unutuk membayarkannya kepada saudaranya
Mush’ab di Irak.
Pendapat yang valid adalah boleh mempraktekkan
suftajah karena termasuk kategori hiwalah, bukan hutang piutang. Demikian ini
didukung oleh fakta, dewasa ini dengan adanya apa yang disebut dengan
al-hawalah albankiyah (transfer melalui bank/wesel), yaitu seorang membayar
atau membuang uangnya di bank, kemudian bank memberikan cek untuk menerima uang
itu di Negara lain dengan jenis uang yang sama atau dengan mata uang lain yang
sesuai dengan kursnya. Transfer juga dapat melalui faximil, telepon, dan sarana
telekomunikasi lainnya.
Majlis konvensi fiqih di bawah Rabithah
al-‘alam al-Islami dalam pertemuan kesebelas yang dipimpin oleh Syaikh Abdul
Aziz ibnu Baz Rahimallah membolehkan suftajah. Keputusan majlis itu sebagai
berikut:
1. Menerima
cek sama dengan menerima barang dengan tangan ketika terpenuhi syarat-syaratnya
sebagaimana yang terjadi dalam penukaran uang melalui transfer bank.
2. Nomor
rekening dinilai sebagai menerima dengan tangan bagi orang yang menukarkan mata
uang dengan mata uang lainnya, baik dengan cara seseorang membayarkan uang
kepada bank atau dengan uang yang telah ditabungkan di bank tersebut. Wallahu
a’lam.[26]
10. Kapan Pihak Al-Muhal ‘Alaih Berhak Menerima Ganti
Kepada Pihak Al-Muhil
Pembahasan ini mencakup dua hal, yaitu
pembahasan tentang syarat-syarat al-ruju’ (meminta ganti) dan pembahasan
seputar bentuk ganti yang boleh bagi pihak muhal ‘alaih untuk memintanya dari
pihak muhil, apakah sesuai dengan hutang yang ada (muhal bih) ataukah sesuai
dengan apa yang dibayarkan oleh pihak muhal’alaih kepada pihak muhil.
Adapun syarat-syarat ruju’ adalah sebagai
berikut:
a. Akad
hawalah yang ada berdasarkan perintah dan permintaan pihak muhil. Oleh karena
itu apabila hawalah ada tidak atas perintah dan permintaan pihak muhil maka
pihak muhal’alaih tidak berhak meminta ganti kepadanya. Seperti jika ada
seseorang (muhal ‘alaih) berkata kepada Ad-Dai’in (pihak yang berpiutang atau
muhal), “ kamu memiliki harta begini dan begini yang berada di dalam tanggungan
si Fulan, maka pindahkanlah tanggungan hutang itu kepadaku,” lalu pihak muhal
pun setuju dan menerima hawalah tersebut, maka hawalah tersebut sah. Akan
tetapi jika orang yang berkata tersebut (dalam hal ini posisinya adalah sebagai
pihak muhal ‘alaih) membayar tanggungan hutang yang dimaksud, maka ia tidak
memiliki hak meminta ganti kepada pihak muhil, karena ketika itu ia adalah
orang yang bertabru’ (berderma) dan disini sama sekali tidak ditemukan adanya
tamlik (pemilikan) hutang yang ada dari muhal untuk muhal ‘alaih. Maka disini
muhal ‘alaih tidak memiliki hak untuk meminta ganti kepada muhil.
b. Muhal
‘alaih telah membayar yang ada atau terjadi sesuatu yang semakna dengan
pembayaran, seperti hutang itu dihibahkan atau disedekahkan kepada muhal ‘alaih
dan ia menerima hibah atau sedekah tersebut. Begitu juga apabila muhal ‘alaih
orang yang mewarisi muhal, karena waris termasuk salah satu sebab kepemilikan.
Oleh karena itu apabila ia mewarisinya, maka berarti apa yang diwarisinya
(hutang yang ada) yang sebelumnya menjadi tanggungannya berubah hak miliknya,
sehingga ia memiliki hak untuk meminta ganti atau menagih kepada muhil.
Seandainya pihak muhal ‘alaih dibebaskan dari tanggungan hutang yang ada, maka
ia tidak berhak meminta ganti kepada pihak muhil. Karena Al-Ibra atau
pembebasan berarti pengguguran hak, maka dari itu pihak muhal alaih tidak
memiliki hak apa-apa. Sehingga ia tidak memiliki hak untuk meminta ganti kepada
pihak muhil.
c. Pihak
muhal ‘alaih tidak memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil yang menyamai
tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal. Oleh karena itu, apabila
pihak muhal ‘alaih memiliki tanggungan hutang kepada pihak muhil yang menyamai
tanggungan hutang pihak muhil kepada pihak muhal maka berarti telah terjadi
Al-Maqqshas (sama-sama impas) antara pihak muhal ‘alaih dengan muhil.
C. Skematika
Secara
garis besar praktik hiwalah dalam konsep dasar fiqihnya sebagai berikut:
Gambar 1. Konsep al-Hiwalah menurut Ulama Syafi’iyah
Di bawah ini skema hiwalah menurut ulama Hanafiyah
Di bawah ini termasuk skema hiwalah di perbankan
Syari’ah
D. Penutup
Hiwalah secara bahasa artinya pemindahan atau pengoperan. Sedang menurut
istilah hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang
lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan
atau hak dari satu orang kepada orang lain. Hukumnya hiwalah adalah Mubah.
Rukun Hiwalah ada empat yaitu:
1.
Muhil (orang yang meminjami hutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
2.
Muhal (orang yang berhutang) dengan syarat harus berakal dan baligh.
3.
Muhal ‘alaih (orang yang menerima hiwalah).
4.
Muhal Bih (hutang yang dipindahkan) dengan ketentuan barangnya
harus jelas.
Sedangkan syarat hiwalah itu ada empat, yaitu :
§
Ada
kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)
§
Ada
persetujuan dari muhal (orang yang
member hutang)
§
Hutang
yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan
§ Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang
yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya
dan waktu pembayarannya. Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
Hiwalah akan berakhir jika akad hiwalah telah fasakh (rusak), karena
meninggalnya muhal dan muhal ‘alaih, mewarisi, menghibahkan, menyedekahkan harta
hiwalah, dan muhal membebaskan muhal alaih.
Adapun contoh Hiwalah seperti Ali mempunyai sejumlah hutang kepada Bakar
dan Bakar mempunyai hutang kepada Umar dalam jumlah byang sama. Karena Bakar
tidak mampu membayar hutangnya, ia berunding dengan Ali agar hutangnya itu
ditagihkan kepada Umar. Dalam hal ini, Umar yang berhubungan langsung dengan
Ali, sedangkan Bakar terlepas dari tanggung jawab hutang.
DAFTAR PUSTAKA
Khairi,
Miftakhul dkk. Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Makatabah Al-Hanif.2009)
Djuwaini,
Dimyauddin. Pengantar Fiqih Mu’amalah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2008)
Hasan,
M.Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.2004)
Zainuddin
bin Abdul Aziz Al-Malibari. Fathul Mu’ini (Surabaya: Al-Hidayah.2011)
Dib
Al-Bugha, Mustafa. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzab
Syafi’I (Solo: Media Zikir.2009)
Sarwad,
Ahmad. Fiqih Kehidupan (7) Mu’amalah (Jakarta: DU Publishing)
Muhammad
bin Qasim Aal-Gazi. Fathul Qorib (Surabaya: Al-Hidayah.1991)
Sahrani,
Sohari dan Ru’fah Abdullah. Fiqih Mu’amalah (Bogor: Ghalia
Indonesia.2011)
Syarifuddin,
Amir. Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Prenada Media.2003)
Suhendi,
Hendi. Fiqih Muamalah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2002)
Dahlan,
Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.1997)
Anwar,
Syarifuddin. Khifayatul Akhyar (Surabaya: CV Bina Iman.2007)
Abdul
Jalil, Ma’ruf. Al-Wajiz (Jakarta: Pustaka Al-sunnah.2008)
Sabiq,
Sayyid. Fiqih Sunnah (Bandung: Al-Ma’arif.1987)
Jilid 6.وهبة
الزهيلي. الفقه الإسلامي وادلة. دمسق- سورية
ابن قاسم الغزى. البجورى.
اندونسيا. مكتبة دحلان
[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Fiqih (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 175
[6] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve,1997), hlm 560
[7] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009),
hlm 215-216
[9] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih
islam Wa Adillatuhu (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm.85-86
[10] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fiqih Mu’amalah (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011 ), hlm.
[11] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009),
hlm. 214
[13] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul mu’in (Surabaya:
Al-Hidayah, 2011), hlm. 284.
[15] Mustafa Dib Al-Bugha. Fiqih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam madzhab Syafi’I (Solo: Media Zikir, 2009), hlm.279.
[16]M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm.222-223.
[18] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004),
hlm. 221.
[22] Miftahul Khairi,dkk, Ensiklopedi Fiqih Mu’amalah (Yogjakarta: Maktabah Al-hanif, 2009),
hlm. 218.
[23] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm
.224-225.
[24] M.Ali Hasan,
Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 225.
[26]Miftakhul khairi, dkk, Ensiklopedia Fiqih Mu’amalah
(Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm. 219-221.